Di perjalanan, Devan sesekali melirik, mencuri pandang. Keduanya nyaris tidak berbicara. Senna pun menatap jalanan dengan tatapan kosong.
Berat membayangkan bagaimana jika pada akhirnya ia melepaskan Senna. Dan larut dengan rasa cemburu dan perasaannya sendiri? Devan terlalu takut dengan norma. Toh, sekarang Senna sudah punya kekasih.
Sesampainya di rumah Hamidah, mereka disambut dengan hangat. Hamidah, perempuan senja berusia 60-an menyambut dengan wajah ramah dan tatapan penuh kasih, ia langsung tersenyum saat melihat Senna.
“Ini pasti Senna, ya?” sapa Hamidah lembut.
Senna membungkuk sopan. “Iya, Nek. Terima kasih sudah bolehin Senna ikut.”
Devan buru-buru menambahkan, “Orang tuanya nitipin ke saya, Nek. Jadi sekalian saya ajak.”
Hamidah tersenyum, tak mempermasalahkan. Ia justru tampak senang ada tamu muda yang sopan dan manis seperti Senna.
“Enggak apa-apa sering-sering main ke sini.” Hamidah katakan.
Senna tersenyum lalu mengangguk sopan. “Iya nek.”
Namun momen itu tak berlangsung lama ketika sosok Stella muncul dari ruang tengah. Wanita itu tinggi, berkulit putih, rambutnya panjang tergerai, tubuh langsing dengan lekuk feminin yang nyaris sempurna. Gaun berwarna champagne sederhana melekat pas di tubuhnya.
Senna refleks melirik ke arah d**a Stella, penuh, tapi proporsional. Seketika rasa minder menyergap dirinya.
“Yah, beda banget itu enak digenggam,” desis Senna miris. Matanya menunduk sesaat, merasakan ketidaknyamanan yang menusuk. Melihat size dadanya yang hanya setutup gelas.
“Mas Devan udah datang, ya?” Stella bertanya lembut, melangkah mendekat sambil tersenyum.
Devan hanya mengangguk, tatapannya melirik sekilas pada wanita ity. “Iya, Stella.”
Stella mendekat, matanya melirik ke arah Senna sekilas sebelum kembali menatap Devan. “Hari ini aku masak sup daging kesukaan Mas. Semoga cocok, ya.”
Senna diam, lalu tersenyum penuh kepalsuan. Tapi tak lama bibirnya sulit bertahan dengan senyuman itu. Jujur perasaannya sangat terluka, tapi wajahnya berusaha tetap biasa.
“Iya, terima kasih.” jawab Devan datar. Suaranya dibuat lebih antusias.
Mereka kemudian duduk bersama di ruang makan. Meja penuh hidangan yang tampak lezat. Tapi suasana justru hening dan tegang. Hamidah berkali-kali melirik Devan, seolah menunggu pria itu mengatakan pembatalan pertunangan itu. Tapi Devan tetap diam, bahkan tak menunjukkan ekspresi apapun.
Senna menunduk, memandangi sup di piringnya tanpa nafsu. Sesekali matanya mencuri pandang ke arah Devan, yang sama sekali tak menatapnya.
“Senna masih kuliah atau sudah kerja?” tanyanya Stella sambil tersenyum. Memecah hening yang dari tadi menyelimuti.
Senna mendongak, mencoba tersenyum. “Saya masih kuliah, Tante.”
Mendengar kata 'Tante' membuat Stella tidak suka. Tapi berusaha menyembunyikan ketidaksukaannya.
Senna menambahkan, setengah bercanda. “Kalau nanti Tante nikah sama Om Devan, berarti aku tetap panggil Tante, ya? Tante Stella.” Senna berusaha tersenyum .
Stella tertawa pelan, matanya melirik Devan yang mendadak menghela napas panjang. Entah apa yang ada dalam pikiran pria itu.
“Iya, kalau gitu, nanti aku jadi Tante kamu.” jawab Stella, walau matanya tak lepas dari wajah Devan yang terlihat gelisah.
Hamidah memandang cucunya penuh harap. Tapi Devan tetap diam. Tatapannya kosong, tangannya bahkan beberapa kali memainkan sendok tanpa sadar.
Senna menahan sakit di d**a. Ingin rasanya berdiri, pergi, tapi dia hanya bisa diam. Makanannya hambar, bahkan air yang ia teguk pun terasa melukai tenggorokan.
Setelah makan, Hamidah meminta Stella dan Devan bicara di taman. Stella tersenyum manis, lalu menarik lengan Devan dengan santai.
“Ayo, Mas. Kita ngobrol bentar.”
Devan tampak enggan, tapi mengikuti. Sementara Hamidah menahan Senna.
“Kamu temenin Nenek dulu, ya, Nak. Duduk sini aja,” ajak Hamidah.
“Iya Nek.” Mau tak mau, Senna menuruti.
Kini Senna hanya bisa menatap punggung Devan yang menjauh bersama Stella. Pemandangan itu menyakiti hatinya. Dan lagi-lagi dia harus baik-baik saja.
“Gue enggak boleh nangis,” gumamnya dalam hati.
Tangannya bergerak cepat mengambil ponsel. Dengan jari gemetar, ia mengirim pesan ke Galen.
Senna:
Tolong jemput gue. Gue share lok ke Lo.
Pesan terkirim, Senna menunggu sambil mengobrol dengan Hamidah entah apa yang dibicarakan Hamidah. Sesekali Senna menanggapi, sambil menunggu balasan dari Galen. Tak lama ponselnya berdering, pesan dari Galen.
Galen:
Gue udah di depan.
“Nek, maaf Senna harus pulang, ada janji sama temen tadi. Nanti bilangin Om ya, aku udah pulang sama temen.”
“Enggak nunggu Devan?” tanya Hamidah.
Senna mencium tangan Hamidah. “Takut ganggu nek, permisi.”
Senna lalu berdiri pelan lalu berjalan meninggalkan Hamidah
Hamidah hanya tersenyum. “Hati-hati, ya. Salam buat orang tua kamu.”
Senna melangkah keluar hatinya masih terasa sakit, tapi ia mencoba baik-baik saja. Tanpa sepengetahuan Devan, ia pergi meninggalkan makan malam itu dengan perasaan berantakan.
Sementara di taman, Devan hanya menatap kosong. Stella berbicara panjang lebar, tapi pikirannya melayang. Sosok Senna terus terbayang di benaknya.
Sementara Senna melangkah keluar dari rumah Hamidah. Matanya yang merah jelas menunjukkan bahwa ia berusaha keras menahan tangis. Ia berusaha menahan sakit di d**a, mengusap pelan pipinya yang basah. Di halaman, Galen sudah menunggu dengan motornya. Ia itu tampak terkejut begitu melihat penampilan Senna yang tak seperti biasanya.
“Eh, gila, lo beneran Senna?” tanyanya setengah bercanda, tapi raut wajahnya berubah khawatir begitu memperhatikan mata Senna yang memerah.
Senna tidak menjawab, jq menunduk, menghela napas berat. Air mata yang sudah ia tahan nyaris tumpah lagi. Galen, yang semula ingin meledek, langsung memilih diam. Ia paham, ada sesuatu yang salah.
Tanpa banyak tanya, Galen membuka jok motornya, mengambil helm, dan memakaikannya ke kepala Senna dengan hati-hati.
“Lo kenapa sih? Udah cantik banget padahal,” ucap Galen lembut, tapi Senna hanya menggeleng kecil, menolak menjawab.
“Kalo gue tau lo secantik ini, harusnya tadi gue bawa mobil, bukan motor bego ini,” ucap Galen, mencoba mencairkan suasana dengan gurauannya.
Senna mendengus pelan, suaranya serak. “Diem lo ah! Gue lagi males.”
Galen hanya tersenyum tipis, tak ingin memaksa. Ia tahu Senna sedang galau.
Dengan hati-hati, Galen membantu Senna naik ke jok belakang, melepaskan jaketnya, lalu menutupi paha Senna yang sedikit terbuka karena roknya terlalu pendek untuk naik motor. Galen bergerak tulus dan penuh perhatian.
“Gue nggak mau lo masuk angin. Ditutup aja ya pake jaket gue.” ucap Galen sambil mengencangkan jaket itu di pangkuan Senna.
Senna terdiam, menatap Galen sejenak lalu mengangguk. “Makasih,” ucapnya pelan.
Galen tak menjawab, tangannya bergerak memasang helmnya sendiri, lalu menyalakan mesin motor. Mereka melaju perlahan, di ibu kota malam. Jalanan cukup lengang, lampu-lampu kota terlihat samar di kejauhan.
Di lampu merah, Galen menoleh sedikit, suaranya terdengar tidak jelas dari balik helm. “Eh, kita mau ke mana Sen?”
Senna yang melamun hanya mengerutkan kening. “Hah?” sahutnya bingung.
Galen terkekeh pelan. “Gue tanya, mau kita kemana?”
“Hah?!”
“MAU KEMANA SENNA?!”
Senna menghela napas,. “Kemana aja, gue nggak mau pulang sebelum jam sembilan. Gue cuma mau suasana tenang dulu.”
Galen mengangguk paham. “Oke. Ke mana aja. Yang penting lo tenang.”
Lampu hijau menyala. Motor itu kembali melaju.
Di rumah Hamidah, Devan baru saja menyelesaikan obrolan panjangnya dengan Stella. Meski mereka berbicara berdua cukup lama, pikirannya sama sekali tidak fokus. Semua kata-kata Stella seakan masuk telinga kiri, keluar telinga kanan.
Pikirannya terus saja terbayang pada Senna. Senyum tipis gadis itu. Tatapan matanya yang kosong. Dan terutama, kata-kata Senna saat memanggil Stella ‘Tante’ yang entah kenapa, menyakiti hatinya.
Begitu ia kembali masuk ke dalam rumah, langkahnya melambat. Matanya melihat seluruh ruangan mencari sosok yang tadi ia tinggalkan. Namun, kosong. Tidak ada Senna di sana.
“Nek, Senna mana?” tanyanya buru-buru.
Hamidah yang tengah menyesap teh menoleh. “Oh, dia pulang duluan, dijemput temennya. Katanya ada janji.”
Sekejap wajah Devan menjadi tegang, kedua alisnya bertaut. “Temennya? Siapa? Kenapa dia nggak bilang saya?” Nada suaranya berubah lebih tinggi.
Hamidah terkejut sejenak melihat ekspresi sang cucu. “Ya Nenek juga nggak nanya lebih jauh. Dia bilang dijemput, udah pergi tadi.”
Devan langsung merogoh saku, menhamb6 ponselnya dan menghubungi nomor Senna. Setiap gerakan menunjukkan bahwa dirinya panik. Tak peduli Stella yang berdiri tak jauh darinya memandang penuh tanya.
Nada sambung terdengar. Berkali-kali. Tapi tak ada jawaban. “Sial.” gumamnya cemas, menekan tombol panggilan lagi. “Sen, angkat...”
Panggilan kedua. Masih nihil.
“Dev, kamu jangan bikin nenek panik. Dia cuma pergi sama temennya. Lagian Senna udah gede,” ucap Hamidah mencoba menenangkan.
Devan menggeleng cepat. Wajahnya tegang. “Nggak, Nek. Dia itu, dia anaknya manja banget. Nggak pernah pergi malam-malam sama temen apalagi cowok. Siapa temennya tadi Nek? Naik apa?”
Wajah Hamidah mulai berubah jadi kedal. “Ya ampun, kamu segitunya, sih, Dev. Coba tanya satpam depan. Mungkin mereka liat.”
Devan bergegas tanpa pikir panjang. Ia bahkan tak mempedulikan Stella yang hanya bisa berdiri terpaku, matanya menatap heran ke arah punggung Devan yang menjauh cepat.
Stella menghela napas berat. Matanya berkaca-kaca. Baru kali ini ia menyadari, bahwa sepertinya di dalam hati pria itu, ada nama lain yang lebih berarti dan itu bukan dirinya.