Tok...tok...tok
Pagi itu Sean terbangun ketika mendengar pintu kamarnya diketuk. Dengan setengah mengantuk, Sean beringsut dari kasur lantainya dan berjalan menuju pintu. Saat pintu kayu itu terbuka Sean melihat neneknya berdiri di depan kamarnya.
“Ada apa, nek?” tanya Sean sambil menguap. Tidurnya semalam sama sekali tidak nyenyak. Dua hari tinggal di sini masih membuatnya belum terbiasa.
“Nenek dan kakek akan pergi ke ladang untuk memanen cabai, kau mau ikut?”
Sean terdiam. Jujur sebenarnya ia tidak mau ikut. Berdiri di ladang di tengah terik matahari di musim panas tentu akan membuat tubuhnya berkeringat, Sean benci itu. Dirinya juga lebih suka sendirian, tapi ia juga tak mungkin menolak permintaan neneknya. Ia sadar kakek dan neneknya sudah tua, tak mungkin ia tega membuarkan mereka berdua bekerja sendiri di ladang. Setidaknya Sean masih punya hati nurani dan juga sopan santun.
“Baik, tapi aku mandi dulu,” jawab Sean akhirnya.
Senyum Jae Hwa merekah mendengar jawaban Sean. Ia pikir cucunya itu akan menolak ajakannya, ternyata tidak. “Baiklah, mandi dulu. Kakek dan nenek akan menunggu di depan.”
Sean tersenyum pada neneknya lalu kembali masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil pakaian ganti. Gadis itu hanya berharap agar matahari tak bersinar terlalu terik nantinya dan kegiatan panen atau apalah itu cepat berakhir.
***
Mulut Sean terbuka lebar saat gadis itu sampai di depan ladang milik kakek neneknya. Sean lupa jika ladang itu ternyata cukup luas, lebih luas dari yang ia bayangkan. Sean menelan ludahnya, mereka tak mungkin memanen semua cabai di ladang seluas ini, kan?
“Tenang saja, akan ada yang membantu kita,” ucap Jae Hwa sembari menepuk pelan pundak Sean, seolah tahu apa yang dipikirkan cucunya.
“Itu mereka datang.” Bum Tae menunjuk pada beberapa orang yang datang ke arah mereka.
Sean ikut menoleh ke arah jari telunjuk kakeknya. Raut wajahnya berubah kesal ketika melihat pemuda yang membuatnya hampir tenggelam ada di sana.
“Hai, kita bertemu lagi.”
Mendengar Seungha menyapanya, Sean melengos malas. Dia masih ingat dengan jelas bagaimana pemuda itu hampir membuatnya mati kemarin.
“Maaf ya soal kemarin.” Seungha kembali bersuara, tapi Sean kembali mengabaikannya. Sepertinya gadis itu benar-benar marah padanya. Jika jadi Sean, Seungha juga akan seperti itu. Dia hampir membuat gadis itu tenggelam kemarin, wajar Sean marah padanya.
“Sean sudah melupakan kejadian itu, kau tak perlu khawatir,” ucap Jae Hwa.
Sementara Sean terdengar mendengus kesal. Bagaimana ia bisa melupakan kejadian yang hampir membuatnya bertemu dengan malaikat maut? Dan lagi pemuda yang melakukannya sekarang tersenyum ramah seolah tak merasa bersalah sekali pun. Sesuai tebakannya, Seungha memang pemuda yang menyebalkan.
Sepertinya keputusan Sean untuk membantu kakek dan neneknya memanen cabai di ladang adalah sebuah kesalahan. Bukan hanya panas terik matahari yang harus gadis itu hadapi, tapi juga Seungha yang sangat menyebalkan menurut Sean. Pemuda itu terus mengikutinya. Sean sama sekali tidak mengerti, ladang itu sangat luas dan Seungha bisa memanen cabai di bagian lain, tapi pemuda itu terus mengikutinya sambil bicara. Sungguh sangat mengganggu.
Sean tipe orang yang suka ketenangan, kehadiran Seungha serta segala macam ocehannya tentu sangat mengganggu gadis itu.
“Bisa kau berhenti!” Sean yang sudah tidak tahan akhirnya bersuara sambil menatap jengkel pada Seungha.
“Apa?” tanya Seungha tak mengerti.
“Bisa kau berhenti mengikutiku? Ladang ini sangat luas, kau bisa memanen cabai di bagian lain.” Sean melipat kedua tangannya di depan d**a sambil mengangkat alisnya sebal.
“Nenek Jae Hwa yang memintaku ikut denganmu dan membantumu,” ucap Seungha polos. Memang begitu adanya, nenek Sean lah yang memintanya untuk mengikuti gadis itu dan membantu Sean. Katanya, ini pertama kali Sean ikut memanen cabai, jadi gadis itu pasti kesulitan melakukannya.
Sean mendengus sambil memalingkan wajahnya. Apa susahnya memanen cabai? Kau hanya tinggal memetiknya dari pohon, selesai. “Aku tidak butuh bantuan apa pun.”
“Dan kenapa kau terus bicara sejak tadi?”
“Aku pikir kau akan bosan jadi aku mengajakmu mengobrol, tapi ternyata sejak tadi aku hanya bicara sendiri,” jawab Seungha.
Sean kembali mendengus. Lebih baik ia merasa bosan karena tak ada yang mengajaknya bicara daripada harus mendengarkan Seungha terus mengoceh sambil mengikutinya.
“Kau pasti tak akan kuat mengangkat karung itu sendiri.” Seungha menunjuk karung yang hampir penuh dengan cabai-cabai yang mereka petik tadi. “Nenek memintaku untuk membantumu membawanya.”
Sean memutar bola matanya malas. Ia sungguh tidak mengerti dari semua orang yang ada di ladang itu, kenapa neneknya harus meminta Seungha membantunya?
“Ini kau bawa dulu.” Seungha memberikan keranjang berisi cabai yang baru ia petik pada Sean, pemuda itu kemudian beralih mengangkat karung berisi cabai yang mereka petik. “Karena karungnya sudah penuh, aku akan membawanya ke sana dan membawa karung yang baru. Kau tunggu di sini.”
Sean mengernyit sambil menatap Seungha yang pergi dengan membawa karung besar berisi cabai yang tadi mereka petik. Menunggu di sini? Yang benar saja. Siapa Seungha sampai memerintahnya untuk menunggu pemuda itu.
Tak peduli pada ucapan Seungha tadi, Sean terus melangkah dengan tangan terulur untuk memetik cabai-cabai berwarna merah itu. Sekarang dia hanya ingin kegiatan ini cepat selesai agar ia segera pulang ke rumah dan tidak bertemu dengan Seungha, pria menyebalkan yang hampir membuatnya mati.
***
Sean berjalan sambil menyeka keringatnya. Matahari benar-benar bersinar dengan terik hari itu, seolah Tuhan tak mendengarkan doanya pagi tadi. Acara memanen cabai di ladang kakeknya selesai 5 menit lalu. Sean diminta pulang lebih dulu, sementara kakek dan neneknya masih berada di ladang, mengobrol dengan orang-orang yang membantu mereka tadi. Sean menebak orang-orang itu adalah tetangga mereka.
“Ini.”
Sean terperanjat kaget saat tiba-tiba seseorang menyodorkan sebotol minuman bersoda padanya, tapi lebih kaget lagi melihat ada minuman bersoda di desa yang jauh dari perkotaan ini. Dua hari di sini Sean sama sekali tak melihat ada mini market, toserba atau semacamnya. Jadi melihat minuman itu membuatnya terkejut.
Sean kemudian menoleh ke samping, untuk melihat siapa yang menyodorkan minuman bersoda itu. Raut wajah gadis itu berubah masam saat melihat Seungha sudah berjalan di sampingnya dengan senyum merekah di wajahnya.
Satu hal lagi yang tidak Sean suka dari tempat ini, yaitu senyum kapitalis milik Seungha. Memang senyum yang pemuda itu tunjukkan memang terlihat ramah, tapi percayalah menurut Sean ada yang pemuda itu sembunyikan di balik senyumnya.
“Kau tak mau?” Seungha bertanya karena Sean hanya diam saja.
Akhirnya gadis itu meraih minuman itu dari tangan Seungha. Sean lantas membuka tutup botolnya lalu meneguk minuman itu hingga habis setengah. Ia memang tak menyukai Seungha, tapi minuman bersoda itu tak salah apa pun, jadi Sean mengambilnya.
“Sudah mau pulang?” tanya Seungha. Mereka berjalan beriringan—tidak lebih tepatnya Seungha mengikuti Sean, gadis itu sengaja berjalan lebih cepat.
Sean diam saja, tak berniat menjawab pertanyaan dari Seungha.
“Kau datang dari Seoul? Kau kemari untuk liburan?” Seungha kembali bertanya dan sekali Sean mengabaikannya. Meski begitu Seungha tak merasa kesal sedikitpun. Entahlah, walau Sean terus mengabaikannya dan bersikap dingin padanya sejak di ladang, tapi Seungha tak bisa merasa kesal pada gadis itu. Aneh bukan?
“Oppa!!!”
Langkah kaki Sean dan Seungha terhenti ketika seoarang gadis berseru sambil melambaikan tangannya pada mereka. Sean menyipitkan matanya, melihat gadis yang saat ini tengah berlari kecil ke arahnya—bukan lebih tepatnya ke arah Seungha.