“Oppa.”
“Oh, Hyunji-ya. Kau baru pulang sekolah?”
Siswi berseragam SMA itu mengangguk mengiyakan pertanyaan Seungha. Gadis bernama Hyunji itu menatap Sean lalu kembali menatap Seungha. “Oppa, dia siapa?”
Seungha melirik Sean. Belum sempat ia menjawab pertanyaan Hyunji, Sean berlalu meninggalkan mereka berdua. Seperti yang sudah Seungha duga, Sean itu—dingin.
“Siapa?” Hyunji kembali bertanya karena Seungha masih diam saja.
“Ah, cucunya nenek Jae Hwa,” jawab Seungha masih terus menatap Sean yang sudah menjauh dari mereka, hingga kemudian punggung gadis itu menghilang setelah berbelok saat sampai sebuah persimpangan.
“Yang penari balet itu?”
Seungha mengalihkan pandangannya pada Hyunji sambil mengerutkan dahi. “Kau kenal?”
Hyunji menggeleng. "Tidak."
“Lalu dari mana kau tahu jika dia seorang penari balet?”
“Oh, nenek Jae Hwa sering bercerita soal cucunya yang penari balet, namanya Sean kan?”
Seungha mengangguk. Sekarang dia tahu jika Sean adalah penari balet, pantas saja Sean terlihat—anggun. Seungha sendiri tidak tahu apa semua penari balet terlihat seperti, tapi di matanya Sean terlihat anggun—pengecualian untuk sikapnya yang dingin.
“Oppa, mau makan siang bersama?”
“Kau belum makan?”
Hyunji mengangguk. “Menu makan siang sekolah hari ini tidak enak, jadi aku melewatkannya. Mau makan ramyeon?”
“Astaga!”
“Ada apa?”
Mendengar Hyunji menyebut ramyeon, Seungha baru ingat jika nenek Jae Hwa minta dia untuk menemani Sean makan siang. Katanya gadis itu belum makan sejak pagi, dan pasti kelaparan sekarang.
“Hyunji-ya kita makan ramyeon-nya lain kali saja. Aku harus pergi ke rumah nenek Jae Hwa.”
Meninggalkan Hyunji yang terlihat bingung, Seungha segera melesat ke rumah nenek Jae Hwa. Bisa gawat jika ia lupa harus menemani Sean makan dan membiarkannya kelaparan, bisa-bisa gadis itu semakin tidak menyukainya.
***
Sean membuang botol bekas minuman bersoda dari Seungha tadi ke tempat sampah. Setelah meneguk minuman itu sampai habis, Sean merasa cuaca siang itu tak terasa terlalu panas lagi.
Gadis itu lantas membaringkan tubuhnya ke atas lantai kayu di teras rumah sang nenek. Sean mengibas-ngibaskan kaos yang dikenakannya untuk menghilangkan rasa gerahnya. Cuacanya memang sudah tidak terlalu panas, tapi ia baru saja berjalan cukup jauh dari ladang menuju rumah neneknya, tubuhnya yang berkeringat membuatnya merasa gerah.
Kruk....
Sean memegang perutnya yang baru saja berbunyi. Ia baru ingat jika pagi tadi tidak sempat sarapan karena harus buru-buru pergi ke ladang untuk membantu nenek dan kakeknya. Sekarang ia merasa lapar, tapi karena mengantuk Sean memilih mengabaikan rasa laparnya dan mulai memejamkan mata.
Dulu saat masih menari balet, ia sering berdiet untuk menjaga berat badannya, jadi menahan rasa lapar seperti sekarang ini bukan apa-apa baginya. Dan lagi Sean malas jika harus bangun untuk mencari makanan di dapur. Lebih baik dia menikmati waktu tidur siangnya—di teras rumah itu.
Rasanya sangat nyaman berbaring di atas lantai kayu di teras rumah neneknya, sampai Sean enggan untuk bangun dan pindah tidur di dalam kamarnya. Ditambah lagi angin yang berembus sepoi-sepoi, membuat Sean dibuai oleh rasa kantuk hingga benar-benar terlelap.
“Sean.”
“Yoo Sean.”
Baru sebentar Sean terlelap, gadis itu mendengar suara seseorang memanggil namanya. Dalam hati, Sean mengutuk siapa pun yang mengganggu tidur siangnya.
Sean kemudian membuka matanya perlahan untuk memastikan siapa orang yang sudah mengganggu tidur siangnya. Begitu matanya terbuka sempurna, Sean mendapati Seungha sedang menyengir di atas wajahnya. Ssibal.
Dengan malas, Sean terpaksa bangun lalu menatap kesal pada Seungha yang masih menyengir tanpa rasa bersalah setelah mengacaukan tidur siangnya.
“Mau apa kau kemari?” tanya Sean ketus. Awas saja jika Seungha datang untuk hal yang tidak berguna, dia tidak akan segan memukul pemuda itu karena telah mengacaukan tidur siangnya yang berharga.
“Ayo makan tteokbokki,” jawab Seungha sambil mengangkat kantong plastik berisi tteokbokki.
Sean mengerutkan dahi menatap kantong plastik berwarna putih yang dibawa Seungha. Ia memang sedang lapar, tapi dari mana pemuda itu mendapatkan makanan itu. Sean tidak tahu jika di sekitar sana ada kedai yang menjual tteokbokki.
“Ah, ini dari Hyunji. Ibunya yang membuatnya,” jawab Seungha seolah mengerti arti tatapan Sean.
“Hyunji?”
“Annyeonghaseyo.” Seorang gadis tiba-tiba muncul dari belakang tubuh Seungha, lalu menyapanya dengan ramah.
Bukannya membalas sapaan Hyunji dengan ramah, Sean justru mendengus lalu membuang muka. Gadis itu tidak suka bertemu orang asing—dan Seungha baru saja melakukan hal yang tidak ia sukai. Yaitu membawa gadis bernama Hyunji ke rumah neneknya.
***
Sean hanya fokus menyantap tteokbokki yang dibawa Seungha, tanpa memedulikan pemuda itu dan juga gadis bernama Hyunji yang ikut makan bersamanya.
“Eonni, kau juga tinggal di Seoul?” tanya Hyunji dengan ramah.
Sean bergeming, sama sekali tak berniat menjawab pertanyaan Hyunji. Gadis itu sudah 3 kali bertanya dan Sean mengabaikan semua pertanyaannya seolah tak mendengar pertanyaan itu.
Hyunji kemudian melirik Seungha, meminta penjelasan kenapa Sean tak menjawab pertanyaannya. Namun, Seungha hanya menggeleng sambil tersenyum kecut. Bukan hanya Hyunji yang diabaikan oleh Sean, tapi dia juga.
Seungha menyuruh Hyunji mendekat padanya lalu membisikkan sesuatu. “Dia itu sangat dingin.”
Pemuda itu berbisik dengan pelan, tapi Sean masih bisa mendengarnya dengan jelas. Bukan Sean jika ia langsung kesal karena ucapan Seungha. Gadis itu justru sama sekali tidak peduli Seungha menganggapnya seperti apa, dingin, ketus dan semacamnya. Sean sama sekali tidak peduli.
“Jadi kau seorang penari balet?” Seungha kemudian ikut bersuara, berharap Sean tak lagi mengabaikannya kali ini.
Tangan Sean yang hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya itu terhenti ketika Seungha menyebut soal balet. Dari raut wajah datar, ekspresi Sean berubah dingin.
Seungha dan Hyunji yang melihat perubahan raut wajah gadis itu saling melirik. Suasana di ruang makan itu berubah menjadi dingin seketika.
“Keluar!” perintah Sean sambil menatap tajam pada Seungha.
“Oh?”
“Aku bilang keluar!!!”
***
“Keluar kalian!!!”
Sean mendorong Seungha dan Hyunji keluar dari rumah neneknya.
“Kenapa? Kenapa?” tanya Seungha bingung saat Sean mendorong tubuhnya untuk keluar dari rumah nenek Jae Hwa. Ia sama sekali tidak mengerti kenapa Sean tiba-tiba mengusir mereka. Padahal sampai beberapa menit yang lalu gadis itu masih makan dengan tenang, tapi sekarang Sean terlihat sangat marah. Apa dia mengatakan sesuatu yang salah?
Brak!!!
Seungha dan Hyunji terjungkit kaget saat Sean menutup pintu pagar rumah itu dengan keras. Mereka saling bertatapan dengan raut wajah bingung. Sean tiba-tiba mengusir mereka.
“Oh, Seungha-ya, ada apa?” tanya Jae Hwa yang baru saja datang bersama suaminya. Ia kaget saat melihat Sean mendorong kedua anak muda itu keluar dari rumah mereka dan menutup pintu pagar dengan keras. “Kalian bertengkar?”
Seungha menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia sendiri tidak mengerti kenapa Sean tiba-tiba sangat marah sampai mengusir mereka.
Balet?
Pemuda itu ingat setelah ia bertanya soal balet pada Sean. Mungkinkah gadis itu marah karena itu? Tapi kenapa? Bukannya tadi Hyunji bilang jika Sean itu seorang penari balet?
“Begini, tadi kami sedang makan bersama sambil mengobrol.”
Mereka tidak mengobrol, Sean sama sekali tak menanggapi perkataan mereka. Jadi pada dasarnya Seungha dan Hyunji bicara sendiri.
“Lalu aku bertanya soal Sean yang ternyata seorang penari balet, lalu tiba-tiba dia jadi seperti tadi,” jelas Seungha.
“Aigoo, harusnya kalian jangan sebut balet di depannya.”
Seungha dan Hyunji saling bertatapan. “Kenapa?”
“Dia sudah berhenti menari balet setahun yang lalu, jadi setiap kali mendengar balet Sean jadi sangat sensitif,” jawab Bum Tae. Kakek Sean itu kemudian masuk lebih dulu ke dalam rumah untuk melihat keadaan Sean yang sedang marah sekarang.
“Kenapa berhenti?” tanya Hyunji pada Jae Hwa. Ia ingat betul Jae Hwa selalu mengatakan betapa berbakatnya Sean, jadi dia ingin tahu kenapa gadis itu berhenti menari balet.
“Nenek tidak bisa memberitahu kalian. Sekarang kalian pulang saja, jika Sean melihat kalian masih ada di luar mungkin dia akan semakin marah.”
Jae Hwa buru-buru masuk ke dalam rumah. Setelah mendengar semua cerita Yeon Woo tentang Sean, dan melihat betapa marahnya gadis itu tadi, Jae Hwa menjadi sangat khawatir tentang keadaan cucunya. Sean dikirim ke sini untuk menenangkan diri, tapi yang terjadi justru sebaliknya.
“Oppa, ayo!” Hyunji menarik lengan Seungha, mengajak pemuda itu pergi dari sana.
“Ya,” sahut Seungha, tapi tak bergerak. Pemuda itu masih menatap pintu pagar rumah nenek Jae Hwa. Sejujurnya, pemuda itu mengkhawatirkan keadaan Sean setelah melihat gadis itu sangat marah setelah ia menyebut kata balet.
Seungha ingin tahu apa yang membuat gadis itu menjadi sangat marah ketika mendengar kata balet.
Apa dia membenci balet?