1 - THE HEARTBREAK BLUES

1431 Words
Duduk di belakang rumah yang disewanya di Rego Park, Jason menatap taman yang belum diurusnya sejak musim dingin berakhir. Terlebih saat ini, semua fokusnya teralihkan ke Sara dan keinginannya untuk memahami keputusan perempuan itu. Sudah hampir satu bulan sejak pertemuannya dengan Sara di Devoçion dan dorongan untuk mengirimi Sara pesan singkat untuk sekadar bertanya tentang kabar, begitu kuat. Tidak ada lagi pesan dari Sara setelah mereka berpisah hingga pikiran Jason mulai dirasuki kemungkinan-kemungkinan yang tidak lagi sehat. Jason sempat berpikir bahwa Budapest hanyalah alasan yang dibuat Sara karena tahu Jason tidak mungkin mengikutinya ke sana. Namun ketika Jason mengecek ** Sara, perempuan itu tersenyum lebar—seorang diri—dengan bangunan parlemen di belakangnya. Jason pun kemudian memutuskan untuk meng-unfollow Sara dan menghapus aplikasi itu dari ponselnya. Dari semua sahabatnya di New York, hanya Liam yang tahu tentang putusnya hubungan mereka. Jason pun meminta dengan sangat agar Liam tidak memberitahu teman-temannya yang lain sampai dia mampu untuk mengatasi luka hatinya. Satu-satunya tempat yang membuat nama Sara tersisih adalah kantor. Maka Jason pun lebih sering tinggal di sana lebih lama dan hanya pulang jika hari sudah cukup larut. Andre—atasannya—pun sampai mengungkapkan keheranannya, tapi Jason berhasil menjawab rasa penasaran itu tanpa menyinggung nama Sara. Dia bahkan kembali menekuni hobinya untuk menonton pertunjukan Broadway. Berada di antara kerumunan, mematikan ponsel, dan menikmati pertunjukkan yang ada di panggung berhasil mengalihkan pikirannya akan Sara. Dalam perjalanan pulang, yang mengisi benaknya adalah pertunjukan yang baru dia saksikan. Jason pun memutuskan untuk memasak kembali dengan menu yang lebih sehat. Dia bahkan lupa kapan terakhir kali pergi ke gym. Maka dia pun mendaftar lagi di tempat gym yang lama untuk kembali berkeringat dan melampiaskan luka hatinya dengan berolahraga. Namun saat seperti ini datang dan tidak ada yang bisa dia lakukan selain duduk seorang diri, nama Sara kembali menghampirinya. Otaknya akan membawa Jason merunut kejadian dalam hidupnya sejak dia remaja. Down the rabbit hole, kalau kata orang Amerika. Jason merasa semua tujuan dan keinginan dalam hidupnya sudah tercapai. Kuliah di negeri Paman Sam adalah mimpi masa kecilnya, terlebih setelah dia mendengar cerita ayahnya tentang banyak hal yang akan dipelajarinya. Menjadi mahasiswa di Columbia University terbukti menjadi pengalaman yang selamanya akan tersimpan dalam memori. Bahkan tawaran pekerjaan yang datang setelahnya, semakin meyakinkan Jason bahwa jalur hidupnya sudah tertata rapi. Delapan tahun bekerja di Rising, sebuah advertising agency, posisi Jason sudah jauh lebih nyaman. Bertemu dengan Sara adalah satu hal yang tidak dia sangka. Tentu saja dia menginginkan pasangan hidup. Hanya saja, Sara datang tidak lama setelah dia bersumpah jika bertemu dengan perempuan yang disukainya, dia akan menjalaninya dengan serius. Jason tersenyum mengingat pertemuan pertamanya dengan perempuan itu. Di sebuah send-off party salah satu teman kuliahnya yang akan pindah ke Jepang, pandangan Jason tidak bisa beralih dari Sara, yang malam itu menguncir kuda rambutnya dan mengenakan terusan selutut hitam berlengan panjang. Ketika akhirnya Sara menghampirinya, mereka langsung menuju ke balkon, di mana suasana tidak begitu riuh dan mereka bicara hampir dua jam. Jason lantas meminta nomor telepon Sara dan permintaan itu disambut Sara dengan senang hati. Tiga hari setelahnya, Jason mendapatkan pesan dari Sara yang mengajaknya menonton pertunjukan solo concert temannya. Jason tentu saja tidak melewatkan kesempatan itu. Jenis musik yang dimainkan teman Sara sesungguhnya bukan favoritnya, tetapi bisa menghabiskan berjam-jam bersama perempuan itu di sekitaran Hempstead membuat Jason tidak menyesali sedikit pun. Malam itu memang mengubah banyak hal sesudahnya. Akhir pekan yang biasa Jason habiskan dengan bermalas-malasan, sejak bertemu Sara, dia menemani perempuan itu ke farmers market di Union Square setiap Sabtu pagi. Lalu mereka akan ke apartemen Sara di Highbride dan memasak makan siang berdua. Hal-hal sekecil itu sangat Jason rindukan jika Sara harus meninggalkan New York karena pekerjaan. Jason meneguk bir di tangannya yang sudah tidak lagi dingin. Dia mengembuskan napas, seolah dengan melakukannya, semua yang tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata atau perbuatan, akan keluar dari sistem tubuh Jason. Namun dia sadar, hidup tidak punya konsep seperti itu. Meski melakukan lebih banyak hal sejak ditinggalkan Sara, dia merasa semuanya adalah sebuah bentuk penyangkalan. Dia belum menerima fakta bahwa hubungannya dan Sara berakhir, dan menggunakan aktivitas itu sebagai cara untuknya menghindar dari realita yang sesungguhnya. Bahkan imajinasi terliar Jason menuntunnya untuk meninggalkan New York sebagi cara untuk menyembuhkan luka hatinya. Setiap kali pikiran itu muncul, Jason hanya bisa tertawa sebelum menyisihkannya. Dia punya segalanya di New York, untuk apa dia harus meninggalkan kota ini hanya karena ketidakmampuannya melanjutkan hidup setelah hubungannya berakhir? Jason menggeleng, menganggap pikiran itu sangat absurd. Dengan sekali teguk, Jason menandaskan bir di tangannya sebelum dia masuk. Temperatur mulai naik hingga Jason tidak sabar musim panas segera datang. Dia yakin, sebelum suhu naik, Sara tidak akan lagi punya kuasa atas hati dan pikirannya. Jason lantas berjalan mendekati kulkas sebelum dia mengeluarkan beberapa sayuran untuk mulai memasak makan malam. Untuk pertama kalinya sejak Sara pergi, Jason mengeluarkan rice cooker dari storage room karena dia merindukan makan nasi. Sekalipun sudah lama menjadi penghuni New York, di dalam tubuh Jason Patrick Hartanto tetaplah mengalir darah Indonesia.   ***   Jason baru saja meletakkan tas kerjanya dan berniat melepas dasinya saat ponselnya berdering. Begitu dia melihat nama yang terpampang di layar, kening Jason mengerut. Setelah mengendurkan dasi dan melepas sepatunya, Jason mengangkat panggilan itu untuk kemudian duduk di sofa. “Mama? Apakah semuanya baik-baik aja?” Balasan yang diterima Jason adalah sebuah tawa kecil. “Mama kangen sama kamu.” Jawaban itu tetap bisa membuat senyum Jason mengembang. Setelah menghidupkan lampu di atas nakas, Jason mengubah panggilan itu menjadi video call. Melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam, yang berarti di Jakarta baru pukul sembilan pagi. Sungguh tidak biasa mamanya menghubunginya pada waktu seperti ini. Namun begitu wajah mamanya terlihat olehnya, senyum Jason semakin melebar. “Tumben sekali Mama telepon jam segini. Pagi sekali.” Perempuan yang berada ribuan kilometer jauhnya dari tempat Jason duduk itu hanya tersenyum. “Mama mimpiin kamu semalam.” Karena bukan pertama kali mamanya meneleponnya untuk hal yang sama, Jason memutar bola matanya. Meskipun mimpi-mimpi yang pernah didengarnya tidak masuk akal, Jason tetap memberikan mamanya waktu untuk menceritakkannya. “Biar aku tebak. Mama mimpi punya cucu?” Mamanya kali ini tertawa lebar sebelum menggeleng. “Kayaknya mimpinya tahu kalau kamu bakal bereaksi kayak gini.” Perempuan di pertengahan 60-an merapikan anak rambutnya sebelum menatap Jason lekat. “Mama mimpi kita makan malam berdua. Di sini. Di rumah ini.” Kalimat itu jelas tidak disangka Jason. “Bukan di New York?” tanyanya. “Bukan, Jason. Apa kamu punya rencana pulang tanpa ngabarin Mama dulu? Buat kejutan?” Jason menggeleng. “Belum ada rencana pulang, Ma. Kerjaan masih belum bisa ditinggal,” bohongnya. Mamanya berdecak sebelum mengucapkan serentetan kata-kata yang sudah begitu sering didengar Jason. “Kerja itu nggak usah ngoyo. Ingat kesehatan. Kamu nggak ada yang ngurusin di sana.” “Ada Sar—” Jason menelan ludahnya sebelum sadar bahwa tidak ada lagi Sara dalam hidupnya. “Jason kerja seperti biasa kok, Ma. Ini udah pulang,” lanjutnya. Namun terlambat. “Sara bagaimana kabarnya?” Jason mulai merutuki mulutnya yang kelepasan menyebut nama Sara karena jika mamanya sudah bertanya seperti ini, apa pun alasan yang akan dia utarakan, bagi mamanya tidak akan cukup. Dia pun akhirnya mengembuskan napas. Jason tahu dia harus mengungkapkan ini cepat atau lambat. “We broke off, but this time … is for good.” Jason mendapati mamanya diam. Ini bukan pertama kali dia menyampaikan berita serupa karena hubungannya dengan Sara memang pernah berakhir sebelumnya, tetapi mereka selalu kembali. Kali ini Jason merasa perlu menegaskan bahwa Sara tidak akan kembali dalam hidupnya. “Kali ini alasannya apa?” “Sara harus ke Budapest lama, dan dia merasa hubungan kami udah nggak bisa diselamatkan.” Jason mengedikkan bahunya. “Aku baik-baik saja, Ma. Nggak perlu khawatir.” Jason memang masih sangat fasih berbahasa Indonesia karena mamanya enggan menggunakan bahasa Inggris sejak Jason meninggalkan Indonesia untuk kuliah. Pun karena dia masih berstatus warga negara Indonesia—sebuah pilihan yang tidak dia sesali—hingga banyak orang di Indonesia terkejut saat dia mulai berbicara dalam bahasa ibunya tersebut tanpa aksen bule. Tampangnya memang terlihat bukan wajah Indonesia asli, tapi nama belakangnya serta kebiasaannya yang masih suka menikmati nasi dan sambal, tidak memungkiri ke-Indonesia-an Jason. “Kamu sudah makan?” Jason menggeleng. “Nanti take away aja, tapi aku bisa jamin sehat.” “Ya sudah, kamu segera mandi dan makan. Mama cuma pengen kasih tahu itu.” Setelah berbasa-basi sebentar, sambungan itu pun terputus. Jason mengembuskan napas panjang sebelum dia melempar pelan ponselnya ke atas meja. Memejamkan mata, Jason bisa membayangkan mimpi yang dialami mamanya. Memang bukan mimpi yang biasa, tapi Jason yakin, mamanya punya teori dan penjelasan panjang lebar tentang arti mimpi tersebut. Jason meraih kembali ponselnya sebelum dia menelepon salah satu restoran vegan untuk memesan makan malam. Dia tidak akan memusingkan diri dengan analisis mimpi mamanya karena ada yang lebih penting untuk dia pikirkan. Memyembuhkan hatinya dari Sara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD