2 - UNABLE TO LET GO

1326 Words
Jason membuka pintu depan dan mendapati Liam membawa satu tas kanvas yang dia yakini pasti berisi makanan. Jason menaikkan alis seolah bertanya kepada salah satu orang yang dikenalnya paling lama di New York apa yang sedang pria itu lakukan. Mereka memang jarang bertemu sejak Jason menceritakan hubungannya dengan Sara yang kandas, tapi Jason jelas tidak menyangka Liam akan datang ke rumahnya. “What the hell are you doing here?” tanya Jason, sama sekali tidak berusaha menyembunyikan keterkejutannya. “Preventing you not to wallow in pity!” balas Liam sembari masuk ke rumah tanpa dipersilakan lebih dulu. Jason hanya bisa memandang punggung Liam yang perlahan menjauh dari tempatnya berdiri. Dia hanya bisa menggeleng sambil membuang napas sebelum menutup pintu dan menghampiri sahabatnya tersebut. “Bawa apa?” Liam mengangkat tas yang dipegangnya sebelum menjawab, “Everything you like from Chirp.” Senyum Jason dengan cepat mengembang. Chirp adalah salah satu dari sekian ribu restoran di New York yang bisa dia hafal di luar kepala menu-menunya. Makanan Peru yang disajikan restoran itu cocok dengan lidah Jason hingga tidak terhitung berapa kali dia makan di sana sejak mengenal Chirp. Terlebih jarak kantor Liam yang ada di 5th Avenue sangat dekat dengan Chirp yang ada di W 34th Street. Liam bisa sampai di sana dalam waktu kurang dari 20 menit jika dia sedang bersemangat untuk jalan kaki. Saat kantor Jason masih di 151 West 42nd Street, dia sering menjadikan Chirp sebagai tujuannya untuk makan siang. Namun sejak kantornya pindah ke Brookfield Place di Lower Manhattan, restoran itu hanya didatanginya sesekali. Jason lebih suka makan di tempat-tempat yang tidak jauh dari kantornya untuk menghemat waktu. “Beef stir fry, pork confit, maduros, tostones, creamy chicken, chirp chicken salad,” ujar Liam sembari mengeluarkan makanan dari tas yang dibawanya ke atas meja satu per satu. “Mereka pikir aku akan memberi makan seluruh Bronx dengan ini.” Jason tertawa kecil mendengarnya sebelum dia menghampiri meja makan dan melihat makanan favoritnya tersaji di meja. Liur Jason hampir menetes membayangkan mulutnya dimanjakan dengan maksimal. Dia kemudian mengambil garpu, pisau, serta piring sebelum  meletakkannya di atas meja. Tidak ketinggalan, membuka dua bir dingin dan mengulurkan satu ke Liam. “Kamu pasti punya niat lain datang ke sini,” ucap Jason dengan nada curiga. Dia lantas membasahi tenggorokan dengan meneguk birnya. Mengenal Liam lebih dari sepuluh tahun, semua kebiasaan dan sifat sahabatnya itu sudah sangat dikenal Jason. Liam jelas tidak akan datang ke rumahnya dari apartemen yang ditinggali pria itu di Sugar Hill, terlebih saat weeknight. Jason merasa wajar untuk bersikap curiga. Balasan yang diberikan Liam justru duduk di depan meja makan dan menatap Jason. “That’s exactly why I’m here!” Perlu beberapa detik sebelum Jason sadar bahwa pertanyaannya tentang alasan Liam datang ke sini adalah alasannya. Selama ini, Jason selalu menyambut kunjungan teman-temannya dengan senang hati—kecuali memang ada pekerjaan yang harus diselesaikannya. Meneguk birnya sekali lagi, Jason lantas duduk di depan Liam dan mulai mengisi piringnya dengan chicken salad dan beef stir fry. Mereka menikmati makan malam dalam diam, sesekali menyinggung soal pekerjaan, tetapi selebihnya, mereka diam. Jason bersyukur dia hanya bercerita soal Sara kepada Liam, karena jika teman-temannya yang lain tahu, dia pasti sudah diseret dari satu bar ke bar lain supaya nama Sara tidak menghampirinya. Dengan Liam, dia bisa bicara serius tanpa diinterupsi siapa pun. “Thanks for coming over.” “You’ll do the same if I were in your position.” Jason mengangguk. “You bet!” Begitu makan malam selesai, Jason mencuci piring sementara Liam meletakkan sisa makan malam ke dalam wadah sebelum dimasukkannya ke kulkas. Setelah meja makan bersih—tidak ada yang membuat Jason kesal selain meninggalkan meja makan dalam keadaan kotor—mereka berdua menuju teras belakang dan duduk di anak tangga, membawa dua botol bir baru di tangan masing-masing. “Jadi, bagaimana perasaan kamu sekarang?” Jika orang lain yang mengajukan pertanyaan itu, Jason dengan cepat bisa berkelit dan mengatakan dirinya baik-baik saja. Namun Liam bukan orang lain, karena jika dia menjawab dengan kalimat seperti itu, Liam akan terus mencecarnya hingga tidak ada pilihan selain berkata jujur. “I think I’m okay, to be honest. Aku nggak lagi punya keinginan untuk mengirimi Sara pesan singkat dan meminta penjelasan darinya. Tapi aku tetap belum bisa terima bahwa hubungan kami sudah berakhir. Dia satu-satunya perempuan yang aku cintai lima tahun terakhir, dan rasanya masih nggak nyaa kalau hubugan ini sudah berakhir.” “Aku percaya ada hal lain yang tidak Sara ceritakan, yang membuat dia akhirnya memilih jalan ini untuk hubungan kalian.” Jason hanya mengedikkan bahu. “Hanya Sara yang akan tahu jawabannya.” “Lalu apa rencana kamu?” “Melanjutkan hidup? Aku nggak punya pilihan lain, kan?” Liam tidak menanggapi balasan itu. Dia kemudian meneguk seperempat botol bir yang dinginnya mulai tidak terasa sembari menatap halaman belakang rumah Jason yang tampak tidak terurus. “Mungkin kamu bisa mulai dengan merawat halaman belakang ini.” Jason tergelak mendengarnya. “Yeah, I was thinking about it.” “Maybe you should take your leave and go to Indonesia. Maybe visiting your Mom will do you good.” “Aku nggak yakin pergi jauh dari New York akan membantu melupakan Sara.” “Tapi kamu juga punya banyak kenangan dengan dia di sini.” “Fair point.” Sepadat apa pun New York, dan mustahil menyusuri setiap sudutnya, Liam benar. Jason tidak pernah melabeli dirinya sebagai pria yang sentimental—Liam adalah pria itu dan menjadi alasan dia mengungkapkan tentang kenangan Sara di kota metropolitan ini—dan berada di New York atau tempat lain, tidak akan mengubah fakta apa pun. “Dan ini bukan pertama kali kami putus. So, I think I will be okay.” “Tapi kali ini berbeda,” balas Liam sebelum dia menoleh untuk menatap Jason. “Kali ini tidak ada jalan untuk kembali, dan aku yakin kamu masih mengharapkan itu.” Kali ini giliran Jason yang diam karena apa yang diungkapkan Liam mewakili perasaan yang mati-matian dia tepis. Jason sepenuhnya sadar Sara tidak akan kembali dalam hidupnya, tetapi sulit baginya untuk tidak berharap bahwa Sara akan mengetuk pintu rumahnya, menjelaskan bahwa tumpukan pekerjaan membuatnya mengambil keputusan gegabah, Sara akan meminta maaf, dan mereka akan berpelukan. Semuanya akan kembali seperti lima tahun yang telah mereka lalui. Sebuah bayangan yang indah, tetapi tidak akan menjelma menjadi kenyataan. “Kamu pasti sedang membayangkan Sara meminta maaf.” Liam mengucapkannya setelah dia berdecak keras. “Ini yang aku takutkan, Jason. Kamu masih berharap dia akan kembali, tapi mengenal Sara, dia serius kali ini.” “You’re right.” “Dan aku juga tahu, ini bukan hal yang bisa hilang dengan mengajak kamu bar hopping, tapi kalau besok malam kamu tidak muncul di Emmett’s, aku akan meminta Shane untuk menyeret kamu ke sana, tidak peduli kamu suka atau tidak.” Emmett’s di MacDougal Street memang jadi ‘markas’ Jason dan teman-temannya setiap Jumat malam. Menikmati pizza di sana sebelum bar hopping—pindah dari satu bar ke bar yang lain yang letaknya berdekatan—sudah menjadi jadwal rutin mereka berlima. Jason, Liam, Shane, Charles, dan Douglas selalu bertemu di sana dan bertukar cerita tentang minggu mereka. Sudah dua minggu Jason tidak datang, menggunakan pekerjaan sebagai alasan. Namun dia tidak bisa selamanya menghindar jika ketiga temannya tidak ingin curiga. “I’ll be there.” Pandangan yang diberikan Liam seperti meragukan ucapan Jason. “Are you sure?” Jason menghela napas sebelum dia mengangguk, sembari menatap Liam lekat-lekat. “Yes, Liam.” Mereka berdua lantas tergelak. Jika bukan karena teman-temannya, Jason tidak yakin dia akan bisa menjalani hari saat hubungannya dengan Sara dulu berakhir. Kali ini, dia pun percaya teman-temannya akan melakukan hal yang sama dan memastikan dirinya tidak akan mengambil keputusan bodoh. Meninggalkan New York dan kembali ke Indonesia, misalnya. Jason pun mengangguk, tahu bahwa Sara akan menjadi masa lalu, cepat atau lambat.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD