3 - EMMETT'S

1822 Words
Cerita Douglas tentang perempuan yang baru dikencaninya mengisi pertemuan mereka Jumat itu. Tawa mereka pun turut menyumbang keriuhan di Emmett’s yang memang sudah sangat ramai.  And the gang is back!  Shane, Liam, Douglas, Charles, dan Jason berkumpul lagi setelah dua minggu Jason tidak bertemu mereka. Kedatangannya jelas disambut dengan tepukan di pundak oleh ketiga sahabatnya. Liam pun menepati janjinya untuk tidak menyebutkan pertemuannya dengan Jason di hadapan Liam, Douglas, dan Charles agar mereka bertiga tidak merasa disisihkan dari cerita Jason. Untuk pertama kalinya, Jason merasa bisa menyisihkan Sara dari pikirannya kali ini meskipun dia tidak tahu untuk berapa lama. Hampir satu jam mereka ada di Emmett’s  dan Jason merasa berada dalam elemennya, dikelilingi sahabat-sahabat yang dikenalnya begitu baik. Mereka pun saling bertukar cerita tentang minggu yang telah berakhir. Sekalipun ketakutan Jason bahwa keempat sahabatnya—kecuali Liam—akan menanyakan Sara sempat mengemuka, nyatanya tidak ada satu dari mereka yang menyinggung nama perempuan tersebut. Jason yakin Liam punya ambil, tapi dia tidak ingin menanyai pria itu apa yang disampaikan kepada Charles, Douglas, dan Shane hingga nama Sara tidak disebutkan malam ini.  “And she was like, ‘You’re the gentlest guy I’ve ever been with,’ and then she kissed me. Man! She really was a hell of a kisser!” “Are you ready to propose?” tukas Shane setelah menandaskan birnya yang tinggal setengah gelas.  Ucapan itu sontak membuat Liam mengalihkan perhatiannya ke Jason dengan tatapan menyesal.  Jason hanya memberikan senyum tipis karena Shane jelas tidak akan mengucapkan kalimat tersebut jika tahu bahwa hubungan Jason dan Sara sudah berakhir. Jason tidak bisa menyalahkan Shane untuk ketidaktahuannya. Pun dia tidak ingin tampak terluka bahwa pernyataan sesederhana itu mampu mengungkit sakit hati yang berusaha dia sisihkan. “Anybody wants a smoke?” Pertanyaan itu otomatis memotong cerita Douglas dan mereka berempat memandang Jason. Satu-satunya cara Jason bisa menghindarkan diri dari ucapan-ucapan yang akan membuat dadanya sesak adalah mengungkapkan alasan tersebut.  “Sejak kapan kamu merokok?” tanya Charles. Jason hanya mengedikkan bahu. “I can’t remember,” jawabnya enteng. “So no one wants to join me?” Tanpa menunggu balasan, Jason bangkit dari duduknya dan meninggalkan teman-temannya untuk sekadar menghindar sesaat. Begitu sampai di luar, dia menyalakan satu batang dan mengamati MacDougal Street yang penuh dengan manusia malam ini. Jason tidak menyangka bahwa ucapan Shane yang jelas tidak ditujukan kepadanya, mampu menyinggungnya. Dia hanya teringat dengan pertanyaan serupa yang pernah diajukan sahabat-sahabatnya dulu saat dirinya masih bersama Sara.  Sejujurnya, Jason pun tidak ingat terakhir kali dia memasukkan racun ini ke dalam tubuhnya. Dia menjustifikasi keputusannya kembali merokok karena Sara. Tidak ada alasan lain yang bisa dia cari. Meskipun tahu hanya membohongi diri sendiri, Jason merasa kebohongan tersebut membuatnya mampu menjalani hari dengan lebih ringan.  “Man, you’re okay?” Jason menoleh dan menemukan Liam berdiri di sampingnya dengan tatapan khawatir. Dia tersenyum karena di antara keempat temannya, Liam bisa disebut yang lebih perhatian akan keadaan teman-teman dekatnya. Sekalipun pekerjaannya berhubungan dengan angka, Liam punya sisi perasa yang jarang ditunjukkan di hadapan orang lain, kecuali sahabat-sahabatnya.  “Aku baik-baik saja. Nggak perlu khawatir. Aku nggak akan terjerumus ke obat-obatan kalau itu yang kamu takutkan.” Jason lantas mengangkat jari tangannya yang mengapit rokok. “Ini cukup buatku dan nggak akan lama. Aku ….” Dia membuang napas, memikirkan kalimat yang bisa dia ucapkan untuk mewakili perasaannya. “It helps me dealing with Sara,” jelasnya. Tatapannya dan Liam bertemu. Jason yakin alasan itu tidak cukup bagi Liam untuk memahami keputusannya untuk merokok, tetapi Jason yakin, sulit bagi Liam untuk sepenuhnya mengerti suasana hatinya. Dia bukan pria yang bisa berbohong, terlebih ke sahabatnya sendiri. Maka dia hanya mengucapkan sesuatu yang memang benar sekalipun bukan seluruhnya.  “Bisa kasih tahu aku berapa lama kamu akan seperti ini?” Tanggapan yang diberikan Jason hanyalah sebuah kedikan bahu. “Aku nggak tahu, tapi aku janji akan berhenti.” Dia lantas membuang sisa rokok yang tinggal sedikit dan mematikannya dengan ujung sneakers. “Yang lain gimana? Nggak curiga?” “Mereka menduga, tapi aku tidak mengiyakan atau membantah apa pun. Saranku, kamu tetap harus bilang ke mereka, Jason. You can’t keep this up forever. They also deserve to know. ” Jason berniat menyalakan rokok kedua, tetapi tangan Liam mencegahnya. Dia memandang Liam seolah ingin bertanya kenapa dia tidak bisa menyalakan batang kedua. Dari ekspresi Liam, Jason tahu bahwa ucapan sahabatnya itu serius. “Kamu harus bicara dengan mereka dulu. Setelah itu, aku tidak akan lagi melarang kalau kamu ingin menghancurkan kesehatan.” Ada banyak hal yang ingin diucapkan Jason kepada Liam saat ini. Namun sebagai dua orang yang sudah berteman cukup lama, Jason cukup tahu Liam tidak bisa dibantah. Dia pun tahu, Liam sangat benci dengan rokok. Ayahnya meninggal karena kanker paru-paru sepuluh tahun lalu. Namun Jason tidak berniat mengungkit kenangan buruk tersebut. Rokok adalah satu-satunya yang bisa dia konsumsi tanpa harus terjerumus ke hal-hal yang jauh lebih buruk.  Dengan terpaksa, Jason memasukkan rokok yang siap diisapnya ke dalam saku kemeja dan membuang napas. “Mereka nggak perlu tahu, Liam.” “Yes, they do,” balas Liam tegas. Kali ini Liam yang tampak kesal. “Mereka bisa membantu kamu, Jason. Kamu meragukan mereka?” Jason diam.  Teman-temannya memang sangat loyal, dalam artian, jika ada salah satu dari mereka punya masalah, yang lain akan membantu apa pun yang mereka bisa.  Kenangan Jason kembali ke tiga tahun lalu saat Charles ditinggalkan oleh tunangannya tiga hari sebelum mereka resmi menjadi suami-istri. Selama hampir satu tahun, mereka membantu Charles agar bisa melupakan peristiwa tersebut. Bukan hal yang mudah memang, tetapi mereka memang sukses mengembalikan semangat hidup Charles dan membuat pria itu percaya lagi pada cinta.  Jason menelan ludah karena dia percaya, tidak ada satu pun temannya yang akan menghakiminya atau menganggapnya berlebihan. Mereka tahu arti Sara dalam hidupnya begitu besar dan berakhirnya hubungan mereka jelas sesuatu yang mustahil disimpannya seorang diri dalam jangka waktu lama. Maka dengan satu tarikan napas, dia menatap Liam dan mengangguk.  “Aku nggak tahu apakan Emmett’s tempat yang pas untuk cerita hal seperti ini.” Liam tertawa kecil. “My place is, you know, just around the corner.” Jason pun tidak bisa menahan diri untuk tidak tergelak. “Let’s tell the boys!” *** Apartemen Liam memang bisa dibilang paling ‘dekat’ dengan Emmett’s, dan sering dijadikan tujuan utama setelah mereka melakukan bar hopping. Tidak jarang, mereka semua hangover hingga esok siang. Untungnya Liam masih belum memiliki pasangan, jadi apartemennya tak ubahnya seperti bachelor pad. Ketika memberitahu Charles, Douglas, dan Shane bahwa mereka akan menuju apartemen Liam, semuanya langsung bangkit dari kursi. Tidak ada pertanyaan tentang kebiasaan baru Jason atau alasan apa yang membuat mereka harus meninggalkan Emmett’s dan membatalkan bar hopping. Jason hanya bisa tertawa melihat tingkah teman-temannya. “Let me know if you need help,” ujar Liam saat melihat Jason membuka botol bir satu per satu di dapur. “I’ll be fine,” balas Jason dibarengi seulas senyum tipis. Ketiga temannya sudah duduk di sofa dan menyelonjorkan kaki. Begitu bir di tangannya tinggal satu, Jason meneguknya sebelum mengambil single sofa. Tidak lama kemudian, Liam datang sembari membawa semangkuk keripik kentang dan meletakkannya di meja. “Guys, ada satu hal yang harus aku beritahu ke kalian. I need your attention, please.” Di mata sahabat-sahabatnya, Jason adalah pria yang sangat laid back, maka jika dia sudah mengucapkan kalimat seperti itu, mereka tahu hal yang akan diucapkan Jason bukan hal ringan atau bisa dijadikan candaan.  Menarik napas, Jason mengamati empat pasang mata yang tertuju ke arahnya. Dalam perjalanan ke sini dari Emmett’s, Jason sudah menyiapkan diri untuk bersikap kuat di hadapan teman-temannya. Namun semakin dia menguatkan diri, semakin tidak mungkin dia menahan rasa sakitnya sendiri. “I broke up with Sara. And this time … it’s for good.” Reaksi yang dia dapatkan adalah diam. Jason jelas tidak menyangkanya. Dia menatap satu per satu temannya yang masih belum bersuara.  “We … suspected it,” balas Shane. “Kami tidak mau mengkonfrontasi kamu karena kami tahu, kamu akan cerita kalau sudah siap. Ketika Liam tidak bilang apa-apa, kami tahu pasti ada sesuatu antara kamu dan Sara.” “Kami kaget sebenarnya karena kamu baru cerita sekarang,” tambah Charles. “How long has it been?” tanya Douglas.  “Sebulanan,” jawab Jason singkat. “Aku nggak nyangka Sara akan memutuskan hubungan karena aku merasa semuanya baik-baik saja, kecuali frekuensi pertemuan yang memang jarang karena pekerjaan. Alasan aku nggak kasih tahu kalian karena aku masih kaget dengan keputusan Sara.” “No wonder you look like s**t,” tukas Douglas yang kemudian disambut tawa oleh yang lain. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Shane sembari mengedarkan pandangan ke arah Liam, Charles, dan Douglas, seolah menganggap Jason tidak ada di sana. “Upstate?” usul Charles yang memang punya properti keluarga di Crown Point. “Vegas?” sambut Douglas. “San Diego?” tambah Shane. “Puerta Vallarta?” ucap Liam. Selama beberapa menit, Jason hanya diam menyaksikan keempat sahabatnya saling berdiskusi tanpa sekalipun menganggap kehadirannya. Meneguk birnya, dia membiarkan mereka menyebutkan satu demi satu tempat—bahkan yang paling absurd sekalipun—sebelum akhirnya merasa cukup. Memang seperti kebiasaan jika salah satu dari mereka sedang mengalami masalah—terutama jika yang berhubungan dengan perempuan—satu hal yang pasti mereka pikirkan adalah menghabiskan akhir pekan di tempat selain New York.  “Guys, I’m here!” seru Jason. Mereka berempat pun berbarengan menatap Jason dan menutup mulut.  “Aku nggak mau ke mana-mana. Aku cuma perlu kalian bantu agar bisa melupakan Sara dan caranya bukan dengan pergi meninggalkan New York untuk berlibur.” Jason lantas menatap Charles. “But spending a weekend in Crown Point sounds nice. I can’t say no for that.” Jason sengaja menyebutkan Crown Point karena Charles punya rumah keluarga yang digunakan sebagai holiday home setiap musim panas tiba. Jason selalu bersemangat tiap berada di sana dan selalu kembali ke New York dengan pikiran yang jauh lebih fresh.  “Consider it done!” respon Charles dengan penuh semangat. Dalam waktu singkat, mereka pun mulai menyusun rencana untuk pergi ke Crown Point dua minggu lagi. Setelah mencari jadwal yang pas, dua minggu ke depan tidak ada satu pun dari mereka yang punya janji. Mereka pun setuju untuk membawa dua mobil dan menjadikan apartemen Liam sebagai meeting point.  Untuk pertama kalinya sejak ditinggalkan Sara, ada perasaan bahagia yang melingkupi Jason karena dia masih memiliki teman-temannya. Setelah apa yang dia lakukan hanyalah berangkat dan pulang kerja, dia punya sesuatu untuk dinanti. Pikiran untuk meninggalkan New York pun tersisih. Setelah menandaskan birnya, Jason bangkit dari duduk, meninggalkan keempat pria yang telah menjadi bagian terpenting dalam hidupnya. Berdiri di depan dinding kaca yang menampilkan pemandangan Manhattan tanpa cela, Jason tersenyum. “Things will be alright,” ucapnya lirih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD