Sofia menarik napas panjang.
Cewek itu turun dari mobil Innova keluaran terbaru milik Erzan itu dengan tampang kusut. Dia membenarkan ransel yang menggantung di punggung, kemudian menatap rumah bertingkat di depannya dengan tatapan malas. Setengah hati, Sofia menoleh ke arah Erzan yang kini memasukkan kedua tangan ke saku celana, kemudian mengangkat satu alisnya.
“Ada masalah?” tanya cowok itu dengan nada datar. Dia menatap Sofia dari ujung rambut hingga ujung kaki, kemudian kembali fokus pada wajah sahabat dari Lexna itu.
“Ngapain lo bawa gue ke rumah lo?” Sofia balas bertanya. Sementara itu, Erzan tidak merespon. Dia tetap menatap Sofia dengan sedemikian rupa, membuat Sofia jengah dan memutuskan untuk mengalihkan tatapannya. Cewek itu berdeham, menarik napas lagi, kemudian membalas tatapan Erzan dengan tatapan kesal. “Ngapain ngeliatin gue kayak begitu, sih? Hati-hati jatuh cinta sama gue beneran!”
“Mimpi aja lo,” balas Erzan ketus. Cowok itu berjalan lebih dulu, meninggalkan Sofia yang sibuk menyumpahi Erzan dan akhirnya terpaksa mengikuti cowok tersebut.
Di dalam rumah Erzan, Sofia seperti merasakan hawa kesepian yang begitu kental. Cewek itu sampai berhenti melangkah, menoleh ke segala arah hanya untuk menyalurkan kekepoannya: mencari keberadaan keluarga Erzan.
“Bokap sama nyokap gue udah lama cerai. Gue di sini tinggal sama bokap, tapi beliau lebih sering menghabiskan waktu di pekerjaan dan luar negeri. Gue nggak punya saudara.”
Sofia terkesiap dan buru-buru menoleh. Di belakangnya, Erzan sudah berdiri sambil membawa dua kaleng minuman bersoda yang terlihat mengembun. Cowok itu kemudian menyerahkan satu minuman kaleng tersebut kepada Sofia, yang diterima oleh cewek itu dengan keterkejutannya. Detik berikutnya, Erzan melangkah menuju sofa dan menjatuhkan tubuhnya di sana.
“Lo mau sampai kapan berdiri di sana? Sini!” perintah Erzan arogan, membuat Sofia mendengus dan tidak punya pilihan lain, selain mendekati Erzan. Cewek itu mengambil tempat lumayan jauh dari Erzan, lantas membuka penutup kaleng dari minuman tersebut.
“Jadi, lo tinggal sendiri aja di rumah sebesar ini?” tanya Sofia hati-hati. Dia takut menyinggung perasaan Erzan. Walau menyebalkan, tapi Erzan tetaplah manusia yang mempunyai hati, kan?
“Sama pembantu.” Erzan menjawab seadanya. Dia tidak menatap Sofia, melainkan ke arah televisi di depan mereka. Tatapannya datar dan tidak bisa terbaca. Seketika itu juga, Sofia merasa sedikit kasihan terhadap Erzan. Sama seperti Redhiza, kemungkinan besar Erzan bersikap menyebalkan karena ada masalah yang disembunyikan di dalam hati dan enggan dikeluarkan.
“Mmm... terus, lo ngapain bawa gue ke sini?” tanya Sofia lagi, teringat akan tingkah aneh Erzan yang membawanya ke rumah ini.
“Buat jadi b***k gue. Ingat perjanjian yang udah lo setujuin, kan?”
Ugh! Ingin rasanya Sofia menghajar Erzan, tapi, dia memang sudah menyetujui perjanjian konyol itu. Dan lagi, karena raut wajah datar Erzan saat menceritakan masalah keluarganya itu, Sofia jadi sedikit iba dan kasihan. Well, hitung-hitung menambah pahala untuknya. Jadi, biarlah dia meladeni permainan Erzan. Yang perlu dia lakukan saat ini hanyalah menambah stok kesabarannya dalam hal menghadapi Erzan.
“Gue nggak butuh dikasihanin, Sof.” Suara Erzan mendadak terdengar sangat dekat di gendang telinga Sofia, membuat cewek itu tersentak dan menoleh. Lalu, dia menahan napas saat wajah Erzan sudah teramat dekat dengan wajahnya, juga bagaimana cowok itu mengurungnya dengan rentangan kedua tangan, sehingga dia terperangkan di antara tubuh cowok itu dan lengan sofa di belakangnya. “Gue sama sekali nggak butuh rasa kasihan dari lo.” Cowok itu kembali bersuara.
Dengan satu gerakan cepat, Sofia mendorong d**a Erzan hingga cowok itu terjungkal ke belakang. Cowok itu mendengus, lantas bangkit. Dia mengusap tengkuknya dan berjalan menuju dapur, meninggalkan Sofia yang sibuk menahan amarah dan emosinya.
Kurang ajar si Erzan. Dipikirnya, dia itu siapa, sampai-sampai bisa melecehkannya seperti tadi?
“Sofia, gue nyuruh lo ke sini itu buat—“
“Lo beda, Zan,” potong Sofia tiba-tiba, membuat langkah Erzan terhenti. Untuk sesaat, Sofia bisa melihat gestur tubuh Erzan yang menegang, membuat cewek itu mengutuk diri dalam hati dan menyumpahi dirinya sendiri karena sudah kelepasan bicara. Harusnya, Sofia simpan dalam hati sendiri saja mengenai perbedaan dalam diri Erzan.
Tak lama, Erzan memutar tubuh. Cowok itu tersenyum. Senyum menjengkelkan dan menyebalkannya seperti biasa, membuat Sofia tertegun. Kemudian, senyuman itu berubah menjadi senyuman jahil, menyebabkan Sofia menelan ludah dan meringis aneh sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Lo tau nggak, Sof? Di kompleks perumahan gue ini, ada rumor yang beredar. Katanya, di rumah sebelah pernah ada kejadian bunuh diri. Orang yang bunuh diri itu masih suka bergentayangan sampai sekarang, nyari cewek-cewek manis tapi ngeselin kayak lo, buat dijadiin istrinya.”
“Istri?!” seru Sofia sambil bangkit berdiri. Wajahnya berubah menjadi panik dan takut, dan semua itu bisa ditangkap dengan jelas oleh Erzan yang kini sibuk menahan tawa dan mengomentari ketololan Sofia karena sepertinya, cewek itu percaya pada cerita barusan.
“Mm-hm.” Erzan mengangguk mantap. “Dia itu semasa hidupnya punya obsesi buat nikahin semua cewek bermuka manis dan bersifat menyebalkan kayak lo gitu. Katanya, cewek-cewek begitu sangat menantang.”
“Lo... nggak lagi ngibulin gue, kan?” tanya Sofia takut. Dia mengawasi rumah Erzan dan merasa angin membelai tubuhnya dengan sangat niatnya. Membuat cewek itu menggigil dan merinding tanpa bisa dicegah. “Erzan! Gue serius nanya barusan!”
“Ngapain gue ngibulin lo? Kurang kerjaan banget.” Erzan mengangkat bahu tak acuh dan bersedekap. “Itu hak lo mau percaya sama cerita gue barusan atau nggak. Yang jelas, hari ini itu peringatan hari kematian dia. Dan dengar-dengar, dia bakalan datangin satu per satu rumah yang ada cewek manis nan menyebalkan menurut dia, buat—“
“Erzan! Dapurnya di mana?!” teriak Sofia dan langsung berlari mendekati Erzan. Cewek itu mendongak, menatap manik Erzan dan meremas ujung kaus cowok tersebut. “Lo... belum makan, kan? Gue udah janji bakal jadi b***k lo, dan sekarang, gue akan bikinin lo makan. Lo suka makan apa pun, kan? Mm, lo bisa temanin gue pas masak, kan? Nggak lama, kok. Lo bisa nunggu sambil duduk di meja makan. Oke? Oke?”
Erzan diam dan menunjuk arah dapur. Langsung saja, Sofia berlari menuju ke arah yang ditunjuk oleh Erzan, meninggalkan cowok itu yang tersenyum tipis dan mendengus geli. Ketika sosok Sofia menghilang dari pandangan, Erzan menarik napas panjang dan menunduk. Dia menatap lantai di bawahnya dengan tatapan datar dan hati yang mendadak risau. Mengutuk kebodohannya karena membawa-bawa masalah keluarganya di hadapan Sofia.
“Bego,” gumamnya untuk diri sendiri. Cowok itu memejamkan mata, berusaha mengenyahkan perasaan memuakkan yang kembali hadir di dalam hati. Dia membuka mata detik berikutnya, mengganti sikap anehnya, sikap yang tidak pernah ditunjukkannya ini kepada siapa pun, dengan sikap menyebalkan dan menjengkelkan miliknya yang selalu dia tampilkan di depan orang banyak.
Yang Erzan tidak tahu, Sofia memerhatikan dari kejauhan. Cewek itu menghembuskan napas panjang dan mendengus. Mengumpat dalam hati atas sikap Erzan yang dirasa sangat palsu hanya untuk menutupi perasaannya yang sebenarnya.
“Lo pikir gue sebego apa sampai percaya sama semua cerita lo, jerk?” Cewek itu menggumam pelan.
please,” balas Lexna, menyebabkan Redhiza tertawa dan mengacak rambut cewek itu gemas.
“Omong-omong,” kata Redhiza tiba-tiba. Dia tersenyum tipis ke arah Sofia. “Kenapa lo nggak ajak Erzan masuk, Sof?”
“Hah?”
Sementara Lexna sibuk kaget dan mencerna ucapan Redhiza barusan, Sofia justru menelan ludah dan tertawa hambar. Cewek itu menarik napas panjang dan punggungnya meluruh begitu saja di sofa. “Lo liat, ya?”
“Yup.”
“Dia bilang, dia nggak mau ketemu sama lo, soalnya dia capek. Apalagi kalau sampai dia ketemu sama Lexna. Nanti, Lexna bakalan ngomel-ngomel nggak jelas dan lemparin semua barang-barang ke kepalanya seperti biasa.”
“Heh, kapan gue ngelakuin hal itu? Dia aja yang selalu datang di waktu nggak pas!” Lexna menoleh ke arah Redhiza. “Jadi, tadi ada Erzan?”
“Ya. Gue sempat liat mobil Innova nya di seberang rumah Sofia, tapi agak sedikit jauh dari sini. Jadi, lo sengaja jalan kaki dari situ, kan?”
“Hmm... nothing less from Redhiza Taufano Abimanyu, right?” Sofia tersenyum kecil dan menarik napas panjang. “Cowok yang tadi di kantin itu namanya Kio Brawijaya. Awalnya, gue nggak begitu kenal dia. Kita nggak sengaja dekat karena waktu itu, Kio pernah nolongin gue yang hampir ketabrak.”
“Dan dia jadi suka sama lo setelah insiden itu, karena kalian mendadak jadi berkomunikasi dan cukup dekat.” Redhiza menyimpulkan dan Sofia tidak membantahnya.
“Gue nggak begitu risih di awal, karena dia emang baik dan perhatian. Tapi, lama-kelamaan dia jadi sedikit... posesif. Dia marah kalau liat gue bergaul sama cowok lain. Satu hari, ada kali dia telepon gue, sms, bbm, line, wa dan segala macam lainnya dari pagi sampai malam. Dan dia selalu nanya gue lagi sama siapa, lagi ngapain, bla-bla-bla.” Sofia memijat pelipisnya dan mendesah panjang. “Terus, dia bilang kalau dia suka sama gue dan gue harus jadi ceweknya.”
“Harus?!” Lexna menggeram. “Dia pikir, dia itu siapa? Redhiza versi kedua, gitu?”
“Ooh, jadi lo terpaksa pacaran sama gue, Lex?” tanya Redhiza dengan nada sedemikian rupa, membuat Lexna tertawa dan berdeham. Dia berkomat-kamit tidak jelas, menyumpahi ketololannya barusan. Bukannya marah, Redhiza malah tertawa dan menggeleng.
“Makanya, pagi itu, pas dia datangin gue di kelas dan nyuruh gue jadi pacarnya—lagi, gue langsung kabur. Begitu gue liat Erzan dan Redhiza, gue langsung ngumpet di belakang Erzan. Terus, tau-tau ide gila itu hadir di otak gue dan gue tanpa sadar ngomong hal absurd begitu.” Sofia mengerang panjang. “Dan sekarang gue harus terikat kontrak sama iblis! Hancur udah masa remaja gue yang bahagia dan cerah.”
Lexna dan Redhiza saling tatap. Keduanya tersenyum geli dan kembali menatap wajah kusut Sofia.
Saat itulah, suara bel rumah Sofia terdengar. Cewek itu, Lexna dan Redhiza saling tatap, kemudian berdiri. Sofia berjalan paling depan, membuka pintu rumahnya dan membeku saat menemukan sosok Kio di depannya.
“Kio?”
Lexna dan Redhiza berdiri di belakang Sofia, mengawasi dari tempat mereka. Redhiza menatap Kio dari ujung rambut hingga ujung kaki, meneliti cowok bernama Kio itu. Tapi, tidak banyak yang bisa Redhiza dapatkan, selain kenyataan bahwa Kio adalah cowok yang harus mendapatkan apa pun yang dia inginkan. Terlihat dari sepasang mata dingin itu kala menatap Sofia.
“Lo harus jadi cewek gue, Sof! Lo itu milik gue!”
“Hei!” teriak Lexna kesal. Baru saja cewek itu akan meringsek maju, berniat memaki Kio, lengannya sudah ditahan oleh Redhiza. Cewek itu menoleh tidak senang dan mengerjap saat Redhiza membisikkan sesuatu di telinganya. Membuat Lexna tersentak dan menoleh lagi ke arah Kio.
Jadi... alasan Sofia berdiam diri bukan karena ucapan Kio barusan, melainkan...
“Milik lo, kata lo?” ulang Erzan yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang Kio. Lexna sendiri bahkan tidak tahu kapan Erzan bisa ada di sana. Mungkin perhatiannya terpusat pada kebrengsekkan Kio pada sahabatnya, Sofia. “Lo pikir Sofia barang?”
Kio memutar tubuh dan mendengus. Dia menatap Erzan tajam dan bersedekap. Erzan sendiri menanggapi dengan santai. Cowok itu bersedekap, mengangkat satu alisnya kala Kio menunjuk wajahnya lurus-lurus.
“Gue udah bilang kalau gue akan rebut dia dari lo, b******k!”
“Ngaca, siapa yang b******k di sini.” Erzan membalas ucapan Kio dengan nada datar dan terkesan dingin. “Lo nggak malu ngedeketin cewek orang? Lo mirip sama psycho, tau.”
Kio mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Cowok itu menahan amarah yang tiba-tiba saja menggelegak dan menatap Sofia yang masih tertegun dengan kedatangan Erzan itu. Melihat bagaimana cara Sofia menatap Erzan, membuat amarah Kio menjadi tidak terkendali. Cowok itu kemudian mengangkat sebelah tangannya ke udara dan melayangkannya tepat ke pipi Sofia.
“Sofia!” teriak Lexna. Sofia yang kaget hanya bisa membelalak, ketika tangan Kio melaju kencang ke arahnya. Cewek itu refleks menutup mata, mempersiapkan diri menerima tamparan Kio. Namun, setelah ditunggu-tunggu olehnya, tamparan itu tidak dia dapatkan. Otomatis, Sofia membuka kedua matanya perlahan dan terkesiap saat mendapati sosok Erzan sudah berada di depannya dengan kepala tertoleh ke samping.
“Erzan!” Sofia menutup mulut dengan kedua tangan, sementara Lexna sudah ditarik Redhiza ke belakang punggungnya. Cowok itu berniat maju, memberikan sedikit pelajaran bagi Kio yang hampir saja menampar sahabat dari pacarnya itu, ketika tangan Erzan terulur di depan tubuhnya, menahannya untuk bertindak.
“Biar gue,” bisiknya pelan. Erzan mengangkat wajah dan menatap Kio yang tetap menatapnya dengan tatapan tajam. Cowok itu bahkan tidak peduli bahwa dia baru saja menampar Erzan, setelah sebelumnya hampir menampar Sofia. “Siapa pun yang mau nyakitin cewek gue, akan berhadapan sama gue!”
Saat hendak menghajar Kio lah, Sofia langsung menengahi. Cewek itu memasang tubuhnya di antara Erzan dan Kio, membuat laju tangan Kio berhenti satu senti di depan wajah Sofia. Kedua mata Erzan membulat dan ada sengatan pada hatinya, ketika dia melihat Sofia melakukan hal tersebut.
Seolah-olah, Sofia sedang mengkhianatinya.
“Dia bahkan nggak pantas dapat pukulan dari orang sebaik lo, Zan,” kata Sofia pelan. Keduanya saling tatap. Erzan masih menatap Sofia dengan tatapan kagetnya, sementara Sofia menatap dengan tatapan lelahnya.
“Ini belum selesai!” Kio bersuara, membuat perhatian Redhiza dan Lexna teralih pada cowok kurang ajar itu. Kemudian, Kio memutar tubuh dan pergi dari hadapan mereka semua.
Sepeninggal Kio, suasana menjadi hening dan sedikit tegang. Redhiza menggamit lengan Lexna, menyuruh cewek itu untuk masuk ke dalam dan menunggu Erzan serta Sofia di sana. Ketika kedua sejoli itu menghilang, Erzan segera menyentak tangan Sofia yang sejak tadi menahan lengannya dengan kasar, membuat Sofia menghembuskan napas panjang.
Dia tahu, ini semua kesalahannya.
“Ponsel lo ketinggalan di mobil gue. Gue balik ke sini cuma buat nganterin itu aja.” Erzan menyerahkan ponsel Sofia ke tangan cewek itu dan memutar tubuh. Dia bahkan tidak pamit kepada Sofia. Sofia sendiri membiarkan dan kembali menghembuskan napas panjang. Dia berniat masuk ke dalam rumah, ketika sesuatu menyambar lengannya dan memutar tubuhnya, kemudian mengurungnya di dinding samping pintu.
Erzan.
“Lo sadar posisi lo saat ini?” tanya cowok itu dengan nada rendah dan terkesan berbahaya di telinga Sofia. Untuk sesaat, Sofia merasa takut pada sosok Erzan saat ini. “Sadar apa nggak? Atau gue perlu menyadarkan elo?”
Sofia menelan ludah dan tetap tidak menjawab.
“Lo itu cewek gue!”
“Pu—pura-pura. Gue cuma cewek pura-pura.” Sofia menjawab terbata. Manik Erzan saat ini benar-benar menakutkan. Entah ke mana sifat Erzan yang selalu ramah di hadapan semua orang, sifat menyebalkan yang selalu dia tunjukkan pada Lexna dan padanya selama ini.
Ini Erzan yang lain.
“Lo udah mengkhianati gue, Sofia. Gue nggak peduli kalau lo ini hanya pura-pura menjadi pacar gue. Gue nggak peduli kalau kita cuma palsu! Tapi, gue paling nggak suka sama pengkhianat!”
Erzan meninju dinding samping Sofia, membuat cewek itu tersentak dan menunduk. Tubuhnya gemetar hebat. Dia bahkan membiarkan Erzan pergi. Cewek itu hanya bisa menatap punggung Erzan yang mulai menjauh itu dengan mata berkaca, yang kemudian berubah menjadi tangisan pelan.
“s**t!” umpatnya seraya menghapus air mata. “Kerasukan setan darimana, sih, tuh cowok?! Dasar sinting!”
This is disaster!
<3 <3 <3