Sofia merenggangkan otot-otot tangannya sambil memejamkan kedua mata dan mengerang tertahan. Cewek itu kemudian menarik napas panjang lantas menopang dagu dengan sebelah tangan, kemudian menatap meja di hadapannya dengan tatapan menerawang. Kejadian tadi pagi di koridor kampus masih menari-nari di benaknya. Bagaimana Erzan menolongnya saat dia bertabrakan dengan mahasiswa lain dan jatuh ke lantai. Apalagi, Erzan menjadikan dirinya sendiri sebagai alas bagi Sofia, supaya cewek itu tidak membentur kerasnya lantai.
Kadang, Sofia berpikir, mungkin saja Erzan memiliki kepribadian ganda. Di satu sisi, Erzan menampakkan dirinya yang menyebalkan. Di sisi lain, cowok itu akan menjelma menjadi cowok super gentle yang siap menolong siapa saja, terlebih kaum cewek. Di kesempatan lain, Erzan akan berubah menjadi sosok dingin yang tidak terjamah dan membuat Sofia ketakutan, walau cewek itu menyembunyikannya dengan sangat baik di dalam hati.
Semua teman-teman Sofia sudah keluar kelas, karenanya dia memutuskan untuk berdiam diri di ruangan ini sendirian. Meskipun tinggal mengurus skripsi, ada kalanya Sofia menyembunyikan diri di ruangan kelasnya, yang dipakai oleh teman-teman seperjuangannya namun masih harus menyelesaikan beberapa mata kuliah itu, untuk menjernihkan otak guna mengerjakan skripsi nantinya. Seperti saat ini. Lexna biasanya ikut bergabung dengan dirinya, namun hari ini, sahabatnya itu sudah berjanji akan menemani Redhiza ke suatu tempat. Sofia dan Lexna memang lebih sering menghabiskan waktu di kampus setiap harinya untuk mengerjakan skripsi mereka, daripada mengerjakannya di rumah.
“Tenang... akhirnya, gue dapat ketenangan,” gumam Sofia pelan. Cewek itu menarik napas panjang—lagi, dan menulis sesuatu dengan sebelah tangannya yang bebas di atas buku tulisnya. Pikirannya mendadak bercabang dan Sofia yakin, dia tidak bisa berkonsentrasi dengan skripsinya hari ini. “Biasanya kalau suasana mendadak tenang, terlalu tenang, pertanda bakal ada angin ribut.”
Ucapan yang langsung menjadi kenyataan.
Terdengar suara langkah mendekat, membuat Sofia mengerutkan kening dan menegakkan punggung. Cewek itu menoleh, lalu terpaku. Di sana, Kio sedang mendekat ke arahnya. Cowok itu menatapnya datar, terkesan dingin. Sofia ingin bangkit dan kabur, tapi tubuhnya seakan tidak berfungsi dengan baik. Dia malah mematung dan tidak tahu harus berbuat apa.
“Tadi pagi, gue liat kejadian menarik di koridor,” kata Kio dengan nada yang sulit ditebak. Cowok itu kemudian berdiri tepat di depan Sofia yang masih duduk, lalu membungkuk dan mengurung cewek itu dengan cara merentangkan kedua tangannya di masing-masing lengan kursi. “Benar-benar heroik, kan, cowok tercinta lo itu? Hmm?”
Sofia menelan ludah dan berusaha menentang tatapan Kio. Kalau pada akhirnya dia tahu akan seperti ini, mungkin lebih baik jika dulu Sofia berharap mobil itu menabraknya saja, daripada harus diselamatkan oleh Kio yang tahu-tahu saja berubah menjadi b******k seperti sekarang.
“Apa gue dilarang bermesraan sama pacar gue sendiri?” tanya Sofia dengan nada yang dibuat sedingin mungkin, walau dia sadar sepenuhnya jika suaranya terdengar terbata. “Salah kalau dia nolong gue? Gue pacarnya dan wajar kalau dia nggak mau sesuatu yang buruk terjadi sama gue.”
“Gue bisa jauh lebih romantis daripada itu, Sofia,” balas Kio. Sebelah tangannya terulur, menyentuh pipi Sofia, membuat cewek itu tersentak dan ingin menepis tangan kurang ajar tersebut. Tapi, lagi-lagi, dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Dia... takut. Dia benar-benar takut pada sosok Kio yang sekarang. Kio sangat berbeda dengan sosoknya yang hangat dan lembut dulu.
Kio yang sekarang terlihat seperti seorang psycho!
“Putusin dia dan jadi pacar gue, Sofia,” bisik Kio. Cowok itu memajukan wajahnya dan menatap manik cokelat milik Sofia. Dia tersenyum, dingin dan misterius. Rasanya Sofia sudah ingin menangis, tapi dia menahan diri. Dia tidak boleh terlihat lemah. Dia tidak boleh cengeng. Dia tidak boleh... tidak boleh....
Sofia memejamkan kedua mata dan mengepalkan kedua tangan di atas pahanya. Di saat-saat seperti ini, wajah Erzan justru melintas di benaknya, membuat Sofia memanggil nama cowok itu tanpa sadar di dalam hati. Lalu, terdengar suara berisik di sekitarnya, membuat Sofia mengerutkan kening dan membuka kedua mata perlahan.
Lalu, dia melihat Erzan menarik kerah kemeja Kio dan mendorong cowok tersebut sangat keras dan kasar hingga jatuh ke lantai.
Erzan?
“Er... zan...?” panggil Sofia tidak percaya. Cowok itu berdiri membelakanginya, merentangkan sebelah tangannya ke belakang sebagai bentuk perlindungannya untuk Sofia. Sekilas, dia menoleh ke belakang, memastikan cewek itu baik-baik saja dan kembali fokus pada oknum kurang ajar yang sudah dilemparnya tadi.
Kio Brawijaya.
“Jangan pernah sentuh cewek gue sama tangan kotor lo itu,” kata Erzan dengan nada tajam, membuat Sofia mendongak dan menatap sebagian wajah Erzan yang bisa ditangkapnya dengan kedua mata. Ekpresi wajah cowok itu datar, terkesan dingin. Benar-benar berbeda dengan Erzan yang selalu meledeknya dan Lexna dulu.
Ini sisi lain Erzan.
“Cih,” cibir Kio sambil bangkit berdiri dan membersihkan pakaiannya. Dia maju ke arah Erzan, berdiri tepat di depan cowok itu dan tersenyum menantang. “Tangan, tangan gue, kenapa lo yang ngelarang? Hak gue mau sentuh Sofia atau cewek mana pun juga!”
“Lo boleh sentuh cewek lain, tapi lo haram nyentuh Sofia. She’s mine, not yours! Dia cewek gue, harta gue yang harus gue jaga mati-matian.” Erzan tersenyum merendahkan. “Ngerti?”
“Kalau gue menolak untuk mengerti, apa yang bakal lo lakuin?” tanya Kio menantang. Sementara itu, Sofia masih diam. Dia gemetar karena menahan rasa takutnya pada Kio. Namun, semuanya mendadak hilang ketika Erzan menutup pandangannya dengan cara memosisikan tubuhnya sendiri sepenuhnya di depan Sofia yang masih duduk.
“Akan gue paksa untuk mengerti, Tuan Kio Brawijaya.” Erzan berucap dengan mantap. “Nah, gue sekarang akan bawa pacar tersayang gue pergi dari raja neraka. Dan tolong, ini peringatan pertama sekaligus peringatan terakhir dari gue. Sekali lagi gue dengar atau liat lo bikin Sofia ketakutan, detik itu juga lo harus mempersiapkan diri dengan sangat baik.”
Selesai berkata demikian, Erzan menarik pergelangan tangan Sofia sampai cewek itu berdiri. Kemudian, dia membawa Sofia pergi dari hadapan Kio dan berhenti tepat di ambang pintu. Sofia yang berjalan di belakang Erzan terpaksa menabrak punggung cowok tersebut, meskipun tangannya masih digenggam oleh Erzan.
“Ah, satu lagi.” Erzan bersuara dan memutar tubuh. Dia menatap Kio yang meliriknya dengan lirikan tajam. Erzan tersenyum miring dan menunjuk wajah Kio. “Gue benar-benar nggak suka kalau ada cowok lain yang nyentuh cewek gue seenak jidat mereka, terlebih cowok model elo. Jadi, gue akan hapus jejak tangan lo di pipi Sofia barusan.”
Sofia yang terlambat mencerna ucapan Erzan hanya bisa mengerutkan kening dan mengerjap. Detik berikutnya, mata cokelat indah cewek itu membulat maksimal tatkala bibir Erzan menyentuh pipinya dengan sangat lembut, dalam dan lama. Membuat debar jantungnya meningkat drastis dan dia merasa akan mati lemas sebentar lagi karena kedua dengkulnya yang tidak mampu lagi menahan beban tubuhnya.
Ketika Erzan menjauhkan bibirnya dari pipi Sofia, cowok itu tersenyum miring. Senyuman menyebalkannya yang selalu dia perlihatkan dulu. Melihat senyuman itu, Sofia segera memegang pipinya dan menatap jengkel ke arah Erzan. Matanya melotot mengerikan ke arah cowok itu karena Sofia sadar, barusan Erzan sudah mengerjainya.
Ciuman di pipi tadi merupakan tanda perang dari Erzan.
Arrrghh! Dasar cowok b******k!
“Nah, hilang deh kuman membandel dari pipi lo, Sofia Sayang,” kata Erzan kemudian seraya menepuk kepala Sofia sebanyak tiga kali. Lalu, tatapannya kembali fokus pada Kio yang sedang mati-matian menahan emosi dan amarah. Melihat itu, Erzan kembali tersenyum.
Senyuman mengejek.
“Jadi, jangan pernah sentuh cewek gue lagi, karena gue akan menghapus jejak tangan kotor itu dengan cara mencium cewek gue tepat di depan lo. Paham?”
Ketika Erzan kembali memegang tangan Sofia, berniat membawa cewek itu keluar dari dalam kelas, suara Kio terdengar. Tubuh Erzan sempat membeku selama beberapa detik dan Sofia menyadarinya. Cewek itu mendongak, berusaha menatap wajah Erzan namun tidak berhasil.
“Akan gue pastiin Sofia pergi dari lo, meninggalkan lo seorang diri, Erzan!” ancam Kio dengan nada dingin.
Erzan merasa kepalanya sakit. Semua terasa berputar, tapi dia tidak boleh jatuh di sini. Suara seseorang silih berganti terdengar di kepalanya, membuat Erzan kehilangan fokus. Dia butuh istirahat, dia harus keluar dari semua ini secepatnya.
Dia harus...
“Gue nggak akan pernah ninggalin dia. Jadi, sebanyak apa pun lo mencoba, lo nggak akan pernah berhasil bikin gue pergi ninggalin Erzan, Kio!”
DEG!
Erzan menoleh dan menatap Sofia yang kini sedang bersitatap dengan Kio. Cewek itu menatap tajam dan tegas Kio, kemudian melepaskan genggaman tangan Erzan pada pergelengan tangannya, digantikan dengan dirinya yang menggenggam erat tangan cowok itu. Erzan sendiri hanya bisa diam, tidak bisa menemukan suaranya kembali. Sakit pada kepalanya sedikit demi sedikit menghilang, pun dengan suara-suara yang saling tumpang-tindih terdengar.
Sofia membawanya keluar kelas, meninggalkan Kio yang menggeram dan mendorong kursi hingga jatuh ke lantai. Dia terengah, berusaha mengatur emosi yang sudah memuncak.
“Akan gue buat dia pergi dari lo, Erzan!”
%%%
Sofia menarik tangan Erzan sampai ke pelataran parkir, kemudian menyentakkan tangan cowok itu begitu saja. Dia berdeham, membelakangi Erzan yang belum mengeluarkan suara sejak Kio mengancamnya tadi di kelas, kemudian memutar kedua bola matanya. Erzan yang pendiam seperti ini jelas merupakan sisi Erzan yang lain. Jangan-jangan, cowok itu sebenarnya memiliki banyak kepribadian.
“Kenapa lo diam aja diancam kayak tadi?” tanya Sofia. Kesal juga sejak tadi hanya diam saja. Cewek itu memutar tubuh dan berhadapan dengan Erzan yang menatapnya datar. “Lo bukan kayak lo. Harusnya lo balas ucapan Kio atau tonjok dia kalau perlu!”
Mendengar kalimat terakhir Sofia membuat Erzan sadar dari lamunannya dan mengangkat satu alis. Wajah Sofia terlihat sangat kesal, membuat Erzan bersedekap.
“Kenapa lo yang sewot dan emosi? Perasaan gue yang diancam biasa aja, tuh,” balas Erzan datar. “Lagian, gue malas meladeni ucapan cowok b******k nggak tau diri kayak stalker lo itu, Sof! Jadi, biarin aja dia mau ngoceh kayak apa pun.”
Baru saja Sofia hendak membalas ucapan Erzan, cewek itu mendadak membeku. Kepalanya seperti ditusuk ribuan pisau, membuat tubuhnya terhuyung tanpa sadar. Dia memegang kepalanya dan sedikit meringis, membuat Erzan mengawasinya dengan seksama.
“Lo kenapa?” tanya Erzan. Nada suaranya membuat Sofia gemas bukan main. Ingin rasanya cewek itu melempar kepala Erzan dengan sepatu yang sedang dipakainya saat ini.
“Gue baik-baik aja.” Sofia berdeham dan berusaha merasakan sengatan pada kepalanya tadi. Hmm, sepertinya sekarang dia baik-baik saja. Mungkin, tadi dia hanya sedikit merasa sakit pada kepalanya karena kelelahan juga beban pikiran mengenai skripsi serta masalah Kio. “Lo mau ke mana sekarang?”
“Dunno.” Erzan memasukkan kedua tangannya ke saku celana. “Any idea?”
Sofia ingin menjawab, tapi lagi-lagi, sengatan itu menyerang kepalanya. Dia merasa dunianya berputar dan mendadak merasa sangat panas. Panas yang benar-benar panas. Untuk bernapas pun rasanya Sofia mengalami kesulitan. Aneh, padahal cuaca sedang mendung, angin berhembus lumayan kencang, tapi kenapa dia justru merasa panas? Rasanya, tadi dia tidak mengalami hal ini.
Mata Sofia terasa berat, membuat cewek itu ingin memejamkannya sejenak. Lalu, tahu-tahu saja dia sudah kehilangan keseimbangan tubuhnya dan terhuyung ke depan. Sofia bisa mendengar suara seseorang, memanggil namanya berulang kali dengan nada yang sedikit khawatir.
Khawatir?
“Sofia! Sofia, lo kenapa?”
Fokus Sofia kembali. Cewek itu membuka mata dan mendongak. Matanya membulat maksimal ketika betatapan dengan manik milik Erzan. Wajah cowok itu sangat dekat dengan wajahnya, hingga Sofia bisa merasakan hela napas Erzan yang begitu hangat. Lalu, Sofia menyadari bahwa tubuhnya sedang ditopang oleh Erzan, yang artinya, dia sedang berada dalam pelukan Erzan.
“Badan lo panas,” kata cowok itu lagi. Serak dan berat. Khas cowok dewasa. Dia baru sadar kalau suara Erzan sebegini serak. Terdengar menggoda dan membuatnya terlena.
Detik berikutnya, Sofia segera menjauhkan dirinya dari Erzan. Dia mendorong tubuh Erzan dan sialnya, tubuhnya justru terjungkal ke belakang karena terlalu cepat bergerak. Sofia menjerit pelan, lalu sebelah tangannya terulur ke depan begitu saja. Cepat, Erzan segera menangkap uluran tangan Sofia, menarik cewek itu ke arahnya hingga keduanya jatuh ke aspal dengan posisi Erzan yang berada di bawah tubuh Sofia.
Sofia terkesiap. Cewek itu menutup mulut dengan kedua tangan saat melihat Erzan meringis menahan sakit. Dia segera bangkit, membantu Erzan untuk duduk dan menatapnya dengan tatapan cemas.
“Sori, Zan... lo nggak apa-ap—“
Belum sempat Sofia melanjutkan ucapannya, dia kembali merasakan sakit pada kepalanya. Semuanya berputar, membuatnya memejamkan kedua mata sejenak dan hal terakhir yang diingatnya adalah suara keras Erzan.
Lalu, dia tidak ingat apa pun lagi.
%%%
Suara bel terdengar, membuat semua anak-anak berlarian ke luar kelas sambil tertawa senang. Ada yang bermain petak umpet, lompat tali atau bahkan berkumpul bersama sambil menikmati bekal yang disiapkan oleh para mama tercinta sejak pagi di rumah.
Tapi, tidak dengan anak kecil berkepang dua itu.
Dia duduk sendirian di dalam kelas, menatap kotak makanan yang disiapkan oleh pembantunya di rumah. Mamanya sudah tidak ada lagi di dunia ini sejak dia dilahirkan, sehingga dia tidak tahu bagaimana rasanya kasih sayang seorang ibu yang sesungguhnya. Papanya menikah lagi ketika dia duduk di bangku TK, dengan alasan ingin membuatnya bahagia.
Namun, dia tidak merasakannya.
Saat ini, dia duduk di bangku kelas dua. Tubuhnya mungil, lebih kecil jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Dia mengalami masalah komunikasi, di mana tidak ada satu pun orang yang bisa dia ajak bicara. Dia terlalu pemalu, dia terlalu takut.
Dia terlalu rapuh.
Bunda, wanita yang dinikahi papanya itu, tidak pernah mengajaknya bicara. Beliau selalu memasang wajah kesal di depannya. Tapi, kalau papa di rumah bersamanya, bunda akan selalu tersenyum, membelai rambutnya, mengecup pipinya gemas dan bermain bersamanya.
Papa juga lebih perhatian pada bunda. Dia selalu ditinggal, dia tidak pernah lagi dibacakan dongeng sebelum tidur, dia tidak pernah dicium hangat lagi di kening. Semua berubah. Karenanya, dia takut mencari teman. Menurut pemikirannya, di mana dia masih sangat kecil dan jauh dari kata paham dengan hal-hal yang menyangkut orang dewasa, dia akan selalu ditinggalkan. Dia akan selalu dibuang.
Tidak ada yang peduli padanya.
Sampai kemudian, tangan hangat itu terulur.
“Hai,” sapa sosok di depannya dengan pipi gembil dan senyuman lebarnya. Senyum hangat itu sangat memukau, membuat si anak berkepang dua terpesona. Terlebih saat sosok itu menarik kursi dengan susah payah, duduk di depannya, menaruh kotak makanannya dan mencubit pipinya gemas.
“Ayo, kita makan,” ajaknya. Terdengar sedikit aneh saat sosok berpipi gembil itu berbicara. Terkesan lucu dan menggemaskan. “Kata Mama, nggak baik buang-buang makanan. Nanti, makanannya nangis.”
“Kamu... kenapa aneh gitu ngomongnya?” tanya si anak berkepang dua dengan nada polos. Yang ditanya hanya mengerjap dan tertawa keras.
“Kata Mama, aku cadel. Cadel itu, lidahnya pendek. Cadel itu, nggak bisa ngomong ‘l’.”
“Nggak bisa ngomong ‘l’?”
“Maksudku....” Si anak berpipi gembil mengambil buku di depannya dan menulis huruf yang dia maksud. “Ini. Aku nggak bisa ngomong huluf ini.” Lagi, dia tertawa. “Sofia kenapa nggak main sama anak-anak yang lain? Kenapa selalu sendilian?”
Sofia menunduk. Matanya memanas, ingin menangis keras. Sadar bahwa ucapannya mungkin salah, dalam benak si anak berpipi gembil, dia harus melakukan sesuatu untuk menghibur Sofia.
“Sofia, jangan sedih!” serunya keras. Dia memasang wajah-wajah lucu dengan maksud membuat Sofia tertawa. “Liat, aku lucu, kan?”
Sofia mengerjap dan mengangguk mantap. Awalnya dia tersenyum, lalu senyumnya berubah menjadi tawa keras.
“Sofia mau kan jadi teman—“
“Sofia!”
Guncangan pada tubuhnya dan tepukan pelan pada pipinya, disusul oleh suara yang terdengar khawatir membuat Sofia membuka kedua matanya perlahan. Hal pertama yang dilihatnya adalah wajah Erzan. Cowok itu nampak aneh, menatapnya dengan tatapan yang tidak pernah Sofia lihat sebelumnya. Lalu, cewek itu memandang sekeliling dan meringis saat merasa kepalanya begitu nyeri.
“Lo demam.” Erzan menjelaskan. “Lo pingsan selama hampir setengah jam. Barusan gue bangunin lo karena lo kesulitan napas terus meracau nggak jelas.”
“Meracau?”
“Mm-hm.” Erzan melirik sekilas dan membawa nampan yang dia taruh di atas meja untuk diserahkan kepada Sofia. “Manggil-manggil nama... mmm, siapa ya, tadi? Mmm... bakpao?”
Bakpao?
“Bakpao? Siapa itu bakpao?” tanya Sofia dengan kening mengerut. Erzan mendesis jengkel dan menaruh nampan tersebut di atas kedua paha Sofia yang kini sudah duduk bersandar di atas ranjang.
“Mana gue tau!” gerutu Erzan. “Lo mimpiin bakpao? Lagi ngidam bakpao?”
Sofia memutar kedua bola matanya. Kesal. Kemudian, cewek itu menatap semangkuk bubur beserta teh panas di atas nampan tersebut dan beralih menatap Erzan. “Lo yang bikin?”
“Hmm,” gumam cowok itu pelan. Dia berkacak pinggang dan mendengus. “Lo benar-benar nyusahin, ya!”
DEG!
Kamu itu anak nggak berguna, bisanya menyusahkan saja!
Liat, itu si Sofia sendirian lagi. Dia pasti nggak punya teman. Mungkin, dia nggak disukai sama teman-temannya.
Lo tau cewek yang namanya Sofia itu? Cih, pura-pura bersikap manis di depan semua orang biar dia disukai dan dipuja! Dipikirnya, semua orang tulus gitu temenan sama dia? Kalau bukan karena dia pintar, dia nggak akan didekati sama anak-anak yang lain!
Erzan mengangkat satu alisnya ketika dia melihat Sofia menaruh nampan di atas meja di samping tempat tidur. Cewek itu menyibak selimut, berdiri dengan susah payah, hingga Erzan terpaksa memegang lengannya untuk menahan tubuh Sofia yang terhuyung. Namun, cowok itu tersentak saat Sofia justru menepis tangannya kasar.
“Sofia?” panggil Erzan dengan nada heran, terlebih ketika kepala Sofia menunduk. “Lo baik-baik aja, ka—“
Erzan membeku tatkala Sofia mengangkat kepalanya dan cewek itu sudah menangis. Wajah dan matanya memerah. Kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya yang gemetar. Erzan sampai mundur beberapa langkah dan menelan ludah ketika menyadari bahwa Sofia memang benar-benar menangis.
“Iya! Gue emang nyusahin! Gue nggak ada gunanya! Gue aneh, gue hina, gue nggak tau diri! Puas kalian semua?! Puas?!”
Kalian... semua...?
Tanpa basa-basi, Sofia langsung berlari meninggalkan ruangan tersebut. Erzan sempat mematung, mencerna semua ucapan tidak masuk akal Sofia barusan. Dia bukannya serius mengatakan kalau Sofia menyusahkan. Dia berkata demikian karena dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa untuk menunjukkan kecemasannya.
Sadar bahwa Sofia baru saja pergi dari hadapannya, ucapan Kio kembali terngiang.
Akan gue buat dia pergi dari lo, Erzan!
Seperti tersengat, Erzan langsung mengepalkan kedua tangan dan memantapkan hati. Dia memutar tubuh, berlari mengejar Sofia. Dalam pikirannya, kondisi tubuh Sofia tidak memungkinkan cewek itu untuk berlari lebih jauh lagi. Karenanya, dia yakin kalau dia bisa mengejar cewek itu.
Sesampainya di jalan, Erzan melihat sosok Sofia yang berlari dengan kekuatan lemah. Cewek itu nyaris terjatuh tapi masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Langsung saja, Erzan menyerukan nama Sofia, membuat cewek itu menoleh dan membulatkan matanya.
Ada apa?
Kenapa Sofia terlihat sangat ketakutan?
“Erzan!!!”
Erzan menghentikan larinya dan menoleh. Suara klakson itu tadinya tidak terdengar, tapi sekarang, dia bisa mendengarnya dengan jelas. Terlalu jelas. Jarak mereka semakin dekat, tapi Erzan tidak bisa melarikan diri. Sudah terlambat. Dia pasti akan ditabrak.
Lalu, tubuhnya didorong dengan sangat keras.
Erzan tersungkur ke samping dan segera mengangkat wajah. Di sana, Sofia berdiri. Berteriak, menutup wajah dengan kedua tangan, pasrah akan ditabrak. Mata Erzan membulat, hingga orang-orang yang melihatnya pasti beranggapan bola mata itu akan keluar dari rongganya sebentar lagi. Jantung Erzan berdetak sangat kencang, menyesakkan, hingga kemudian detaknya merosot drastis, nyaris ke titik nol.
“Sof....” Suaranya tercekat di tenggorokan. Kedua tangannya semakin mengepal, membuat kuku jarinya menancap pada kulit telapak tangannya hingga berdarah. Peluh membasahi wajahnya. Otaknya kembali memutar adegan di mana sang mama pergi meninggalkannya sendirian di rumah besar itu hanya dengan seorang pembantu, sementara sang papa sibuk dengan perusahaannya. Dia sendiran. Dan dia akan kembali sendiran. “SOFIA!!!”
%%%