Chapter 4

1378 Words
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan Dea baru saja sampai di rumah kecil yang ia beli secara cicil tiap bulannya. Rumah itulah yang menaungi Dea selama di Jakarta. Rumah petak yang jika masuk, sudah langsung bertemu kamar tidur. Biasanya Dea tak pernah membawa temannya ke rumah. Bukannya ia malu, namun rumah yang ia beli terbilang cukup aneh. Tak ada kamar tidur, namun memiliki kamar mandi. Seperti kos-kosan namun ini sebuah rumah petak. Ah sudahlah, jangan membahas tentang rumah petak Dea. Dea menghempaskan tas yang ia bawa ke atas kasur yang memang hanya cukup untuk dirinya saja. Rasa lelah sangat terlihat di wajahnya. Apalagi seharian tadi ia selalu bersama nenek Risma, mendengar wanita itu bercerita tentang cucu tampannya. Tampan? Ya. Bagi Dea, Abhi sangatlah tampan. Dia begitu sempurna. Dari semua yang ada pada Abhi, dea sangat menyukai rahang Abhi yang tajam dengan tatapan mata yang ikut mengiringi. Abhi adalah tipe pria idaman Dea. Tapi untuk sifat, ia belum tahu bagaimana sifat Abhi sebenarnya. Entah baik atau tidak. Tapi jika Abhi orang yang baik, kenapa ia tak mencari nenek Risma?. Dea menggeleng kuat. Sudahlah, ia tak akan memikirkan itu dulu. Dea berbaring melepas penat. Pinggangnya terasa sakit. Nyaris seperti orang tua yang sudah kekurangan kalsium tulang. "Kau masih muda Dea, tapi kenapa tubuhmu seperti orang tua.." gumam Dea. Ia menghela nafas kasar. Dea kembali meraih tas yang ia bawa. Mengeluarkan ponselnya lalu membuka galeri foto yang ada di ponsel tersebut. Ia membuka satu buah foto yang ternyata foto Abhi dan nenek Risma. Tadi ia sengaja meminta untuk di foto dengan ponselnya pada nenek Risma. Dea men zoom foto tersebut. Memfokuskannya pada bagian Abhi saja. Ia terpesona melihat ketampanan Abhi. "Apa dia jelmaan pangeran yunani? wajahnya Sangat tampan.." gumam Dea sambil terus menatap wajah Abhi dari layar ponselnya. Asik menatap layar ponselnya, Dea mendadak menguap. Sepertinya tubuhnya memang butuh istirahat. Dea mematikan ponsel lalu berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Sebelum tidur, ia memutuskan untuk mandi terlebih dahulu, setelahnya ia harus mengerjakan kewajiban yang seharusnya ia lakukan. Walaupun terlambat, namun sebagai seorang muslim, ada kewajiban yang harus Dea lakukan, yaitu bersujud merendahkan diri di hadapan Tuhan. setelahnya ia mengisi sedikit perutnya dengan makanan yang ia beli tadi saat di perjalanan pulang. Setelah itu baru ia akan pergi tidur karena esok pagi ia masih harus bekerja di cafe. ***** Dea menatap langit luas pagi ini. Ia tak menyangka jika panas terik kemaren akan digantikan dengan hujan lebat yang membasahi kota Jakarta sejak subuh tadi tepat saat ia bangun jam tiga pagi untuk bersiap sholat subuh. Genangan air sudah merambat ke mana-mana. Jika sudah hujan deras begini, biasanya Dea akan kesulitan keluar dari rumahnya karena memang kawasan tempat ia tinggal cukup rendah dari jalan raya. Dan biasanya di gang depan sudah banjir hingga sampai betis orang dewasa. Dea kembali menatap langit. Ia berjalan sedikit ke depan sampai tubuhnya berada setengah langkah dari pancuran atap. Ia menjulurkan tangan kanannya, menampung air yang jatuh dari langit. "Apa telpon boss saja ya.." gumamnya. "Tapi apa mungkin boss bakalan kasih izin? Secara yang lain datang juga." Hembusan nafas gusar keluar dari bibir Dea. Ia kembali menurunkan tangannya lalu masuk ke dalam. Dea melirik jam dinding yang terpajang saat kakinya sudah menginjak dalam rumahnya. Mungkin Dea bisa sedikit lega karena jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Berharap nanti sampai jam tujuh, hujan sudah reda. Dea mengumpulkan benda yang ingin ia bawa termasuk ponselnya sendiri. Baru saja ponsel tersebut ingin ia raih, suara deringnya seketika mengagetkan Dea. Ia pikir itu notifikasi tak penting, ternyata dari rekan kerjanya Reza. "Ya Za?" tanya Dea langsung saat ia mengangkat panggilan tersebut. "Udah berangkat lo? Kalau belum nebeng gue aja, cuma gue tunggunya di gang. Soalnya kayak biasanya, jalan menuju gang rumah lo pasti bakalan banjir.." seperti mendapatkan angin segar, Dea seketika mengangguk, namun ia langsung sadar jika mereja bicara lewat telpon, otomatis Reza tak akan melihat anggukannya. "Oke. Gue jalan ke depan. Ya Ampun, padahal gue lagi bingung mau pergi pake apa. Makasi ya Za.. Lo selalu jadi malaikat gue.." puji Dea sembari bercanda. "Jiaaahh..moment gini baru lo muji gue.." celetuk Reza membuat Dea tertawa cukup keras. Panggilan itu terputus, dengan cepst Dea membereskan isi tasnya lalu berlari mengambil payung. Biarlah ia menunggu di halte depan gang dari pada menunggu di dalam rumah. Apalagi Reza mengatakan jika dirinya hampir sampai di gang rumah Dea. Setelah mengunci rumahnya, Dea mulai berjalan menuju halte. Benar tebakan Dea, pasti sudah banjir dan sekarang banjir sudah mencapai betisnya. Dea sampai menggulung kaki celananya sampai lutut agar tak basah. "Mau kerja De?" tanya ibu Rina penjaga warung di dekat rumah Dea. Dea tersenyum lalu mengangguk, "Iya buk. Hujan gini pun masih harus kerja buk.." jawabnya. "Ya itulah De. Kalau nggak kerja mau dapat makan dari mana. Hidup di Jakarta nggak mudah.." curhat Bu Rina. Mereka pernah berbicara tentang diri sendiri, dan bu Rina bukan asli Jakarta juga. Ia datang dari padang ikut suaminya ke Jakarta. Saat suaminya bekerja, Bu Rina menjaga warung kelontong yang ia bangun di depan rumahnya. "Iya Buk. Apa-apa mahal ya. Nggak kayak dulu. Dulu masih bisa beli ini itu dengan mudah. Sekarang makin lama makin susah.." kali ini Bu Cia menimpali. Dea hanya tersenyum. Ia tak bisa lama-lama untuk bergosip di sana karena ia juga didesak waktu. Takutnya Reza sudah sampai di gang. "Ya sudah buk, Dea berangkat dulu. Takut macet.." pamit Dea yang langsung diangguki dan ucapan hati-hati dari mereka. Dea kembali melanjutkan jalannya menuju halte depan gang. Hujan masih stuck di sana saja. Masih deras namum tak terlalu ber-angin. Dea cukup lega tentang tak ber-angin ini. Karena jika ber-angin, ia tak akan bisa sampai ke depan karena sudah bisa dipastikan payung yang ia kenakan akan patah. Saat langkah kakinya sudah sampai di depan gang, Dea melirik ke sana kemari mencari mobil Reza. Dan ia langsung tersenyum saat mendapati mobil tersebut berdiri tak jauh dari halte. Apalagi di dalam ada Reza yang sudah melambai-lambai memberi kode. Dea langsung berjalan cepat menuju ke arah mobil dan langsung masuk ke dalam. "Parah banget banjir depan rumah lo De.." gerutu Reza sambil melihat ke arah gang. "Ya begitulah. Posisinya rendah banget dari jalan soalnya.." jawab Dea sambil merapikan payungnya. "Ini mobil lo basah karena payung gue.." "It's okay. Santai aja. Ni mobil juga mau disalonin kok..." Dea mengangguk. Setelah siap semua, Reza pun melajukan mobilnya menuju cafe. Berharap diperjalanan nanti mereka tak terkena macet sedikitpun. ****** Abhi baru saja terbangun. Tubuhnya terasa begitu segar bangun pagi ini. Ia menggeliat sebentar lalu duduk dari tidurnya. Pergulatan panas dirinya dan Citra semalam membuat tubuh Abhi segar lagi. Ia benar-benar dipuaskan oleh Citra. Dan semalam setiap dirinya keluar, ia selalu meneriakkan nama Citra sebagai janjinya pada wanita itu. Abhi mengurai rambut belakangnya. Ia melirik ke arah luar, dari balik gorden kamarnya, ia bisa melihat sinar matahari yang terik sebagai pertanda dirinya kesiangan. Namun banyaknya genangan air membuat Abhi menebak jika semalam Jakarta diguyur hujan deras. Hari ini Abhi mempunyai jadwal penerbangam ke Jepang. Ada perusahaan yang harus ia urus di sana dan penerbangan tersebut dijadwalkan siang ini jam satu siang. Abhi melirik jam dinding di kamarnya, sudah jam sepuluh. Lagi-lagi Abhi mengurai rambut hitamnya lalu mengusap wajahnya kasar. Ia menyibak selimut yang ia kenakan lalu turun dari ranjangnya dan berjalan menuju kamar mandi. Sebelum berangkat ke Jepang, Abhi menemui Leo terlebih dahulu. Ada hal yang ingin ia bicarakan dengan sahabatnya tersebut. Setengah jam waktu yang Abhi pakai untuk membersihkan tubuhnya. Lama memang untuk ukuran seorang laki-laki. Tapi begitulah Abhi, ritual yang ia lakukan di kamar mandi cukup banyak dan ia menghayati satu per satu dari yang ia lakukan. Abhi menatap cermin besar yang ada di kamarnya. Ia memperhatikan tubuhnya yang kini hanya dililit handuk untuk menutupi bagian bawahnya. Perut atletis, d**a bidang, dan lengam berotot. Abhi sudah terlihat seperti artis-artis hollywood yang digandrungi para gadis. Tapi tak harus jadi artis hollywood, sekarang pun ia sudsh digandrungi banyak wanita. Bahkan mereka rela merelakan tubuhngmya secara sia-sia di gagahi Abhi. Kenapa bisa ia digandrungi seperti itu ia pun tak tahu. Entahlah, tapi ia bangga dengan hal itu. Punya wajah tampan dan digandrungi banyak wanita. ****- yuuukkk bantu ramaikan cerita ini..> dukung project aku untuk oktober dengan cara klik lambang Love bagi yang belum klik.. ..> terima kasih..^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD