LEMBAR 3

1060 Words
Mengenal lebih jauh seorang Abraham Iqsa. Abraham Iqsa jauh lebih dewasa dari Ariska. Saat ini, Ariska berumur sembilan belas tahun. Sedangkan Iqsa berumur dua puluh empat tahun. Iqsa adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Dan dia memang sudah bekerja. Setelah kuliah dan lulus, dirinya langsung mendapat pekerjaan di bidang property. Bukan jabatan tinggi. Iqsa merentas karirnya dari bawah. Di suruh – suruh sampai bisa jadi sampingannya adalah cleaning service. Namun, ide dan karakter Iqsa adalah yang dibutuhkan oleh perusahaannya. Dan Iqsa diangkat lambat laun menjadi orang yang menduduki kursi di atas empat tingkat. Dan Ariska sangat bangga dengan hal itu. Dulu, sebelum Iqsa bekerja, Iqsa dan Ariska sama – sama seorang yang terpelajar. Masih tahap belajar dan mereka berhasil memiliki beberapa rasa yang sama. Sama – sama suka belajar dan suka menerima hasil yang baik. Tapi, Ariska berbeda dengan Iqsa. Jika Iqsa harus memastikan kedepannya adalah jalan yang lurus, berbeda hal dengan Ariska yang membiarkan tuhan memberikan jalan apa yang terbaik untuk Ariska. Ariska sendiri tidak memaksakan dirinya akan menjadi apa dan bagaimana jalannya. Yang terpenting bagi Ariska adalah, dia berbuat baik hari ini, dia yakin kedepannya akan terbayar juga. Namun, Ariska memiliki masa yang buruk saat masih sekolah dengan rok biru pendeknya. Dan Iqsa yang merubah kebiasaan buruk Ariska. Dulu, Ariska di anggap anak aneh. Karena tidak memiliki masa dimana yang namanya zaman anak SMP yang sudah berpacaran. Dan tidak mengalami dimana tingkat kegalauan dan tangisan pada zaman itu. Di zaman Ariska SMP, hidupnya hanyalah dengan stik PS dan beberapa hal yang mungkin anak perempuan tidak membayangkan akan melakukannya. Seperti kabur dari kelas bahkan dari sekolah bersama teman laki - lakinya. Atau memainkan mainan yang biasa anak laki - laki mainkan. Futsal misalnya. Dan jangan lupakan kenakalan Ariska dulu. Merokok. Iya. Ariska pernah merokok dalam kadar yang masih bisa di toleransi. Kebanyakan teman laki - laki membuatnya biasa akan hal seperti ini. Dan faktor lainnya adalah Ariska tidak betah berada di rumah yang menjadikannya lebih banyak waktu di luar bersama teman laki - lakinya dari pada harus berakhir di rumah dengan keadaan sepi dan dingin. Dan kali ini, setelah dirinya dinyatakan lulus dari tingkat rok pendek di atas lutut berwarna birunya. Ariska menemukan sosok Abraham Iqsa. Setelah menjalani hubungan begitu lama dengan Iqsa, Ariska paham betul jika dirinya harus berbagi sesuatu yang tidak dibaginya kepada orang tua. Aib bahwa dirinya pernah merokok. Dan bahkan Ariska menceritakan bahwa dirinya pernah mabuk satu kali sampai dirinya tidak ingat apapun pada waktu itu. Dan Iqsa menerima itu dengan baik. Iqsa merubah pelan – pelan keadaan Ariska yang saat kenal dengan Iqsa sangat buruk dan dapat dikatakan tidak baik bagi seorang perempuan. Iqsa adalah sosok orang yang sangat tidak percaya diri. Dia selalu merasa tidak enak bersanding dengan Ariska yang cantik menurut Iqsa. Dan itu membuat Iqsa menjadi posesif kepada Ariska. Namun, Ariska tidak ada masalah dengan itu. Ariska merasa dia lebih suka di posesif – kan oleh orang yang sayang padanya. Daripada orang tuanya yang sama sekali tidak tau apa – apa tentang Ariska. "Mau beli pop corn ga ?" Ariska bertanya pada Iqsa saat sudah memegang tiket bioskop film yang sedang laris di pasaran film Indonesia. Iqsa hanya berdeham menjawab pertanyaan Ariska. "Sa, kamu niat ga sih ngajak aku nonton ?" Iqsa kini mendongkak. Matanya bertemu dengan mata Ariska yang sedang menatapnya sebal. Iqsa juga malah memutar bola matanya. Mereka berdua sama – sama tidak bisa menahan kekesalannya dari raut wajah mereka berdua. "Kamu yang maksa aku kesini Ris, lagian aku bisa sampai jam 8 malem aja. Kamu bisa pulang naik taxi kan nanti ?" Ariska diam. Nafasnya tentu saja tertahan. Kesalnya semakin menjadi. Padahal Ariska hanya berniat baik mengajaknya liburan. Dan ini bisa di bilang cara sederhananya. Cara sederhana seorang Ariska untuk Iqsa. Ariska bisa saja membawa Iqsa ke pantai atau bahkan ke tempat apapun yang bisa membuat mereka sama – sama nyaman. Namun, hal sekecil dan sesederhana seperti ini saja Iqsa tidak suka, apalagi yang ribet dan harus mempersiapkan ini dan itu. Iqsa mungkin akan marah. "Kemarin malam kamu juga udah kerja lembur, Ay. Sekarang juga ?" Iqsa kini menatap Ariska, "Ris, kok kamu jadi aneh sih ? Biasanya kamu ngerti kerjaan aku. Ini, perusahaan aku ada proyek besar buat dua bulan lagi. Dan aku masih harus ngerjain beberapa hal penting. Kamu ngerti kan ?" Iya. Ariska tau. Dirinya memang seharusnya mengerti. Tapi ini sudah kelewatan. Bagaimana bisa Iqsa bekerja terus menerus, bahkan di malam minggu seperti sekarang. Sepenting itukah proyeknya ? Bahkan dulu Iqsa pernah menargetkan hasil proyek tiga puluh juta untuk dirinya jika proyek berhasil tidak sekeras ini Iqsa bekerja. Dulu, masih ada waktu untuk mengajak Ariska datang ke tempat seperti ini. Bahkan, Iqsa sempat mengajaknya ke puncak hanya untuk melihat pemandangan. Dan kali ini, Iqsa benar - benar bukan Iqsa. Bukan Iqsa yang Ariska kenal. "Iya. Ya udah kamu pulang sana ke kantor aja. Aku mau nonton sendiri aja." Ariska bahkan memberikan kode untuk Iqsa jika dirinya tidak suka menonton bioskop sendiri. Harusnya Iqsa sudah tau. Ariska berbicara seperti itu setiap kali Iqsa dan dirinya nonton film bersama. "Kamu beneran bisa nonton sendiri ?" Dan pertanyaan itu bukan pertanda baik. Ini adalah hal yang sedikit Ariska pertanyakan. Siapa yang sebenarnya berubah ? Ariska atau bahkan Iqsa sendiri ? Siapa yang tidak mengerti posisi masing – masing ? Ariska selama ini selalu mengerti keadaan Iqsa bagaimanapun caranya. Bagaimanapun keadaannya. Namun, apa Iqsa pernah bertanya tentang kuliah Ariska akhir – akhir ini ? Boro – boro bertanya. Ngehubungin lewat chat aja Iqsa sudah sekali. Lama di balas dan tentu saja sekalinya di bales, singkat padat dan sangat jelas sekali. Dan menurut Ariksa, yang berubah di sini adalah Iqsa. Bukan Ariska. Iqsa sudah tidak seperti dulu. Jika Ariska membutuhkan teman untuk sekedar mengobrol, Iqsa selalu menyempatkan diri untuk mendengarkan walaupun tidak pernah memberikan saran yang benar, namun setidaknya, Ariska merasa dihargai dan tentu saja lega. Sekarang ? Mana bisa seperti itu. Di telepon sebentar pasti langsung di tutup. Dan pada akhirnya, Ariska harus memendamnya. Ariska tidak terlalu terbuka kepada orang lain selain Iqsa. Dan mungkin itu juga menjadi satu alasan kenapa teman – teman Ariska memilih untuk hanya sekedar mengenal Ariska. Tidak dalam. Hanya di permukaannya saja. Dan itu yang membuat kebanyakan orang salah menilai orang. “Oke , aku bisa nonton sendiri.” Kata Ariska kemudian berdiri dari tempat duduknya. “Hati – hati di jalan, Sa.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD