LEMBAR 19

552 Words
Ariska berjalan gontai ke tempat kuliahnya. Sebenarnya, ini masih pagi. Namun, Ariska ingin menghabiskan dulu waktu paginya di ruang seni. Ariska memiliki mood yang tidak baik. Sepertinya, dia bisa melepaskan emosinya ke dalam bentuk lukisan. Setidaknya dengan begitu Ariska tidak menyakiti orang lain. Saat Ariska membuak pintu ruang seni, ada orang yang menyambutnya. Haikal ada di sana, sedang melukis juga. Namun, menyadari ada yang datang dengan cepat Haikal menutup lukisannya itu. Ariska tertawa, “kenapa di tutup, kak ?” Haikal menggeleng kemudian tersenyum, “belom selesai. Lagian ga bagus.” Ariska terkekeh kecil kemudian menyimpan tasnya di loker dan mengambil beberapa alat lukis di meja yang sudah disediakan. Lalu mengambil kanvas dan meletakkanya di sisi Haikal. Sebenarnya, Ariska sendiri ingin menyelesaikan lukisannya sendiri hari ini. Namun, karena ada Haikal, mood jelek yang semalam ada di dalam diri Ariska menjadi sedikit berkurang. Dimana Haikal membuat mood Ariska lebih baik. Entah kenapa, namun hanya dengan melihat wajah Haikal yang kalem membuat Ariksa menjadi cukup baik. “Dari kapan di sini ?” tanya Ariksa kepada Haikal ketika dia menuangkan cat minyak berwarna biru ke plat yang biasa dia gunakan untuk mencampur cat di tangannya. Haikal berjalan menjauhi Ariska lalu menjawab, “setengah jam yang lalu.” Ariksa mengangguk kemudian melihat jam tangan di pergelangan tangannya, “setengah tujuh ?” Tanya Ariska. Anggukan dari Haikal membuat Ariska tidak memperhatikan lagi Haikal sedang apa di jajaran loker di ruang seni itu. Haikal tertutupi oleh kanvas yang ada di depan Ariska. Kemudian Haikal berjalan menuju Ariska yang sedang menutupi sebagian kanvas bagian atas dengan warna biru tua yang sudah hampir penuh di kanvasnya. Lalu, Haikal menyodorkan apron khusus untuk melukis. Ariska kemudian memperlihatkan jika jari jemarinaya sudah dipenuhi cat. Lalu tertawa. “Gue kayaknya ga perlu gituan. Tanggungan abis.” Kata Ariska begitu menatap Haikal. Detik selanjutnya, Ariska di tarik oleh Haikal untuk berdiri, kemudian memasangkan apronnya dari kepala kemudian Haikal beralih ke belakang Ariska kemudian mengikatnya di sana. Ariska yang tidak pernah diperlakukan seperti itu, bahkan oleh Iqsa mencoba untuk menenangkan hatinya yang berdebar. Cukup keras. “Thank you,” kata Ariska lalu duduk kembali. Haikal mengangguk dan duduk di sebelah Ariska. Menatap Ariska yang tidak memperdulikan kehadiran Haikal dan terus meneruskan menarikan alat lukisnya di atas kanvas dan memadu padankan warna yang ada di dalam pikirannya sendiri. Kemudian Ariska tersenyum saat alarm di ponselnya berbunyi. “Gue ada kelas pagi ini.” Kata Ariska kemudian menyimpan alat lukis ke tempatnya setelah mencucinya singkat. Lalu meletakkan kanvasnya di tempat khusus setelah memberikan inisial ‘Ar’ di atas lukisannya tadi. “Gue yang simpenin deh.” Kata Haikal. Ariska menggeleng sambil membuka apronnya, “ga usah. Di sana aja, ga bakal ada yang ngambil.” “Yakin ?” Ariska mengangguk lalu melipat apron dan menyimpannya di lokernya, “iya. Jarang juga yang masuk ke sini. Banyak yang ga tertarik.” Haikal membenarkan dalam hati. Namun, Haikal khawatir akan ada orang yang mengaku – ngaku jika ini adalah lukisannya. Lantas, setelah Ariska pamit Haikal memasukkan lukisannya ke loker miliknya yang cukup untuk menyimpan kanvas sedang itu. Haikal mengirimi Ariska pesan denga nisi bahwa dirinya sudah menyimpan kanvasnya tadi di lokernya. Walaupun tidak mendapat balasan, Haikal cukup senang karena bisa melihat Ariska melukis di depannya. Walau Haikal tidak tahu akan jadi apa lukisannya kali ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD