LEMBAR 24

517 Words
"Ya gimana lagi?"  Ariska menghentikan nafasnya barang sedetik. Kemudian Ariska mendesah pelan. "Hah ?" Kata Ariska, "kamu bilang apa, Sa ?"  Iqsa kini menatap Ariska juga. Dia melipat tangannya di depan d**a. Tersenyum kecil lalu menaik turunkan alisnya. Sebenarnya jika Iqsa sudah begini, Ariska tidak tahu kenapa merasa bahwa Iqsa akan melakukan hal yang menyebalkan.  "Ya apa sih, Sa ?"  Iqsa masih diam ketika pertanyaan ulangan dari Ariska dipertanyakan lagi.  "Kamu inget ga pas kita backsreet dari mama sama papa kamu ?"  Ariska menepuk meja di depannya. "Aaaaaah, kamu mah. Males ah males."  "Terus ada hal lain yang bisa dilakuin ?"  Kini Ariska yang berfikir, "ya udah deh. Gitu aja."  Iqsa tersenyum. Setidaknya, hubungan antara Ariska dan dirinya juga pekerjaannya aman. Tidak ada cara lain. Jika Ariska menginginkan pekeejaan itu, pada akhirnya hanya itu yang bisa di lakukan. Ariska dan Iqsa juga pernah menjalani backstreet ketika Ariska masih sekolah menengah atas.  Jika boleh di ceritakan, Ariska sebenarnya memang di larang unruk berhubungan lebih dari teman ketika masih sekolah menengah atas. Alasanny klasik. Agar Ariska bisa mempertahankan nilai yang sudah di atas. Ariska sendiri tidak suka seperti itu.  Semakin ke sini, Ariska merasa jika nilainya juga turun walaupun tidak berpacaran. Saat sekolah menengah pertama misalnya. Dia tidak mengenal percintaan seperti itu. Namun, karena mama dan papanya tidak pernah menanyakan masalah sekolah, Ariska jadi seenaknya.  Tidak pernah belajar dengan benar dan hanya bermain saja.  Saat sekolah menengah atas, Ariska ketahuan diantar pulang oleh Iqsa. Hal itu menjadikan Ariska kena marah. Lagipula, saat itu Ariska tidak tahu bahwa mama dan papanya ada di rumah. Biasanya juga tidak pernah ada di sana. Ariska biasa pulang sendiri bahkan berangkatpun sendiri.  Mungkin saat itu Ariska sedang sial.  "Tapi kamu serius kan dengan kerjaan itu ?" Tany Iqsa memastikan lagi.  Ariska mengerjap kemudian menggedikkan bahunya karena pertanyaan Iqsa barusan.  "Loh kenapa ?"  "Aku kan masih belom baca kontraknya. Siapa tau nanti ada di kontraknya yang menjelaskan kalo aku harus diam saja di kantor." Ucap Ariska sedih.  Iqsa kini bingung. Bukankah Ariska menginginkan pekerjaan ini ?  "Melukis itu perlu inspirasi, kalo diem di kantormah ga bisa." Kata Ariska kemudian meminum minumannya, "jadi aku pengennya ada keluar - keluar gitu."  Iqsa sekarang mengerti. Kemungkinan Ariska akan sering keluar kantor jika bekerja.  "Lagi pula, baru pertama kali aku kerja dengan target."  "Lukisan lo bakal ngejual nama lo juga nanti." Kata Iqsa, "tapi kan di kantor bukan lukisan lo aja yang dijual. Ada cover film dan lain - lain." Lanjut Iqsa.  Ariska mengangguk, "tapi gue takutnya di targeting itu loh, Sa."  Iqsa terkekeh, "itu hal biasa di kerjaan kayak gini, Ris." Kata Iqsa, "makannya kamu harus tau dan paham dulu sebelum tanda tangan kontrak." Ucap Iqsa.  Lagi - lagi Ariska mengangguk, "untung aku punya kamu yang bisa ngajarin."  Kekehan Iqsa lagi - lagi terdengar oleh Ariska, "kalo di kantor kita beda management dan aku senior kamu loh, Ris."  Ariska diam menatap Iqsa.  "Apa ?" Tanya Iqsa.  Ariska terkekeh, "sombong amat lo sama gue." Ucap Ariska lalu tertawa, "baiklah. Senior."  Ariska jadi berfikir tentang lukisan yang akan ia buat.  'senior itu pacarku.'  Bukankah itu bagus?  Ariska tertawa dalam hati. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD