Satu

4066 Words
H a p p y R e a d i n g A n d E n j o y, G u y s! -D e m i K i a n- "Namanya Kinanti Azraina. Suka sama hujan, tapi paling benci kalau kehujanan. Sering telat ke sekolah, tapi tiap malem suka begadang di balkon kamar. Punya riwayat sakit maag, tapi paling susah buat makan. Panggil aja dia Kinan. Tingginya 170 cm, kira-kira berat badannya 40kg, mungkin sih. Rambutnya sepundak. Paling anti pakek anting dan aksesoris cewek, tapi dia nggak masuk kategori tomboy juga, sih. Kalau di tanya kenapa? Pasti jawabnya males. Kinanti anak kelas 12 IPA 1 di SMA Angkasa. Dia nggak pinter, tapi juga nggak b**o-b**o banget. Maksimal dia sering masuk 10 besar. Hampir nggak punya temen kecuali temen sebangkunya. Kerjaannya molor di kelas. Jarang banget gaul dan kumpul sama anak-anak sebayanya. Lebih sering di rumah atau pergi sendirian. Pinter banget masak. Dan, dia cantik. Unik dan. . . , mendorong. Kenapa mendorong? Yah, Kinan itu emang s****n yang sering mendorong gue atau pun hati gue buat selalu bersikap aneh setiap dekat sama dia." -D e m i K i a n- Kedua remaja itu masih saling melempar tatapan sengit di tengah lapangan yang sunyi. Maklum bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu. Hanya menyisakan beberapa anak osis yang masih berada di ruangan mereka. Beberapa siswa yang sedang mengikuti ekstra lain, juga satpam penjaga sekolah. Termasuk dua orang berseragam putih abu-abu yang berbeda gender ini. Di antara keduanya yang berdiri saling berhadapan, sebuah bola basket tergeletak di sana. Rafa melipat kedua lengan di depan d**a, senyumnya mengembang tipis, tapi jelas menantang. Sedangkan Kinan mengepalkan kesepuluh jarinya di sisi tubuh. Sedikit mendongak demi menunjukkan pada cowok di depannya kalau, dia sama sekali nggak takut dan nggak akan kalah. "Jangan sampai kalau gue menang nanti, tiba-tiba lo jadi amnesia, ya?" Kinan memperingatkan sambil menunjuk wajah mengejek di depannya. Rafa tertawa kecil, tangannya berpindah masuk ke dalam saku celana. Ia sedikit membungkuk demi memangsa jarak dengan gadis keras kepala tersebut. "Gue juga. Jangan sampai lo lupa." Keduanya sudah sepakat bahwa jika salah satu dari mereka menang dalam pertandingan basket ini. Yang kalah harus bersedia menuruti apa pun permintaan lawan selama tiga hari. Tanpa banyak bicara lagi, Rafa mengangkat bola basket tersebut ke atas lalu terjadilah aksi rebutan. Rafa dengan luwes mendribel bola dengan mudah melewati Kinan. Bahkan hanya dalam hitungan detik saja ia sudah berada di depan ring lawan. Sedangkan Kinan. Jangan ditanya, Kinan jelas kewalahan. Dari postur yang sudah kalah tinggi, Kinan cuma bergerak asal demi mendapatkan bola. Gerakannya sangat terbaca oleh Rafa, bahkan bukan sekali dua kali cewek itu menarik kemeja Rafa untuk menghentikannya. Tapi, tetap saja gagal. Jelas saja, Rafa cukup populer sebagai kapten basket di kalangan sekolah. Bahkan beberapa anak kelas sepuluh ada yang dengan gamblang menyatakan suka pada Rafa. Tapi, sejauh ini pun, Rafa belum pernah menggandeng satu cewek yang berstatus jadi pacarnya. Makannya sampai saat ini, berbagai macam hadiah juga pernyataan cinta masih sering Rafa terima dari para juniornya. Jadi, untuk Rafa pertandingan satu lawan satu siang itu bukan hal besar. Apalagi hanya Kinan. Hanya seperti dia sedang latihan basket sendiri. Tapi, Kinannggak mau kalah oleh Rafa. Biarpun peluang untuk menang cuma satu persen, jika itu Rafa maka akan ia lawan. Bukan gengsi, melainkan ada kebahagiaan tersendiri saat bisa mengalahkan cowok tengil tersebut. "Ck, serius dong! Kalau kayak gininggak seru tau," ucapnya dengan satu tangan mendribel bola dan sebelah tangan lainnya menahan kepala Kinan agar tidak mendekat. Tawanya pecah juga. Ia lepaskan kepala Kinan lalu kembali memasukkan bola ke dalam ring dengan sempurna. Rafa mengangkat kedua tangannya ke atas sambil memutari Kinan yang cemberut. "Oke, gue serius sekarang." Kinan menaikkan lengan kemejanya seolah-olah sedang bertarung. Kali ini ia menggiring bola, matanya melirik Rafa yang membayangi dari belakang. Saat tangan panjang Rafa hampir saja merebut bola tersebut, Kinan sudah lebih dulu menginjak salah satu kaki Rafa dengan sekuat tenaga, membuat cowok itu mengaduh berguling memegangi kakinya. Dengan kesempatan itu buru-buru ia berlari membawa bola lalu melemparkannya ke dalam ring. Lemparan pertama gagal, Kinan berlari cepat mengambil bola di sisi lapangan, mendribelnya beberapa kali lalu melemparkannya lagi tanpa meleset. "Apaan lo main curang!" "Gue dapet poin. Yes!" Kinan mengepalkan tangan sambil mengangkat tinjunya ke atas. Ia tersenyum puas. "Nggak bisa. Lo curang, jadi itu nggak dihitung." Rafa masih ngotot sambil membuntuti Kinan yang sudah memainkan bola kembali. "Yang penting bolanya masuk ke ring, kan?" Kinan tersenyum tipis. Lagi-lagi ia berlari menerjang Rafa sambil menyikut rusuk cowok tersebut sampai tumbang. Dan, Lagi Kinan menggunakan kesempatan itu untuk memasukkan bola ke dalam ring. Sepanjang permainan, hal tersebut terus berulang. Entah itu, injakkan, sikut, cakar, atau bahkan gigitan berkali-kali Rafa terima. Sehingga Rafa nggak berhenti mengoceh karena kesal akan permainan Kinan yang semakin brutal. Ini adalah permainan basket teraneh yang pernah terjadi. Bola terakhir yang masuk ke dalam ring Rafa membuat skor keduanya selisih satu angka, unggul pada Kinan. Kinan menjatuhkan diri di tengah lapangan. Keringat membanjiri kening juga lehernya yang basah. Napasnya masih naik turun, sedangkan matanya lurus menatap langit berawan yang terlihat cerah. "Gue menang!" teriaknya kemudian tertawa. Napasnya naik turun berirama dengan hidung yang turut kembang kempis. Tak berselang lama Rafa menyusul tiduran di sebelah Kinan. Kondisinya nggak jauh berbeda dengan Kinan. Yang terlihat mencolok adalah bekas gigitan Kinan di kedua lengan Rafa. Ia merentangkan kedua tangan dan kaki panjangnya lebar-lebar. "Sekali ini, aja, gue tanding sama lo." Rafa menatap langit cerah dengan Napasnya yang naik turun. Kinan tersenyum geli. "Kenapa? Takut kalah?" Rafa tertawa mendengus kemudian menegakkan tubuh demi menatap Kinan. Ia mengangkat kedua lengan yang masih menunjukkan bekas k*******n yang Kinan lakukan padanya. Rafa mendekatkan lengannya ke arah Kinan, supaya cewek itu tau penyebabnya. "Gue nggak mau mati kehabisan darah gara-gara vampir bergigi tumpul kayak elo," ucapnya kesal. Rafa kembali merebahkan tubuhnya di sebelah Kinan. Keduanya diam sejenak, membiarkan semilir angin mengusir gerah setelah pertarungan sengit barusan. "Kinan?" Rafa memanggil. Matanya masih lurus menatap awan yang berubah bentuk. "Apaan?" Cewek itu juga masih dalam posisi yang sama, menatap langit yang terlihat cerah hari itu. "Jangan bilang longgak bisa nepatin janji ya. Kita udah sepakat, pokoknya selama tiga hari lo harus nurut sama gue!" Kinan menoleh pada Rafa. Telunjuknya terarah tepat di pipi Rafa. Sedangkan cowok itu juga menoleh, dicekalnya pergelangan tangan Kinan. Sambil menatap kedua mata Kinan lekat. Kali ini bukan tatapan sengit seperti awal permainan basket dimulai. Kinan pun tau, tatapan Rafa ini jelas berbeda. Dan sialnya, hal itu membuatnya semakin tidak nyaman. Tapi, Kinan masih berusaha untuk diam menunggu Rafa buka suara. "Kalau gue suka sama lo, gimana?" Pertanyaan Rafa ditangkap dengan jelas oleh kedua telinga Kinan. Tapi, cowok itu nggak mendengar jawaban Kinan setelah menunggu sekitar satu menit. Yang ada hanya suara gesekan antara dedaunan pohon mahoni yang membentuk kanopi di atas lapangan basket tersebut. Kinan masih membatu, hanya kelopak matanya yang berkedip sesaat sebanyak tiga kali. Kemudian cewek itu menarik tangannya paksa dari cengkeraman Rafa. Kinantertawa mendengus sambil mengibas-ibaskan tangannya yang gerah. Ia sudah berdiri membiarkan Rafa sendiri rebahan di tengah lapangan, tapi sebelum beranjak dari sana Kinan sempat tersenyum manis sekali. "Lo pikir, gue bakalan kemakan sama gombalan basi lo itu?" Kinan tertawa remeh. "Najis!" imbuhnya lalu bergegas meninggalkan lapangan. Rafa kontan menegakkan tubuh menatap kepergian Kinan dengan sepeda putihnya. Cowok itu berdesis kesal dengan dahi yang berlipat-lipat mendengar jawaban Kinan. "Gue serius padahal." Ia menghela napas, lalu meletakkan kedua tangannya di bawah kepala sebagai bantal. Kembali di pandangi langit siang menjelang sore yang sangat cerah itu. *** Pagi itu Kinan bergegas mengayuh sepedanya agar cepat sampai di sekolah. Penampilannya bisa dikatakan cukup berantakan dari pada kemarin. Rambut yang belum terikat rapi, masih berupa cepolan asal. Sepatu kets yang hanya dipijak bagian belakangnya. Seragam putih mencuat di beberapa bagian yang sepertinya juga dimasukkan secara terburu-buru. Kinan tidak peduli. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah bagaimana caranya secepat mungkin sampai ke sekolah. Sebab, harusnya pagi ini ia sudah duduk di kelas mengikuti ulangan harian biologi dari bu Puji. Tadinya, Kinan sempat melongokkan kepalanya di depan gerbang Rumah Rafa. Berharap cowok itu mengingat perjanjian atas permainan basket kemarin sepulang sekolah. Tapi, Kinan juga tidak terlalu berharap banyak pada Rafa. Toh, mau sampai kapan pun, Kinan yakin bahwa Rafa tidak akan pernah mengijinkan siapa pun untuk duduk di jok belakang motor bututnya tersebut. Sialnya lagi Kinan yang sudah semalaman begadang justru tertidur setelah sholat subuh. Alhasil Kinan kelabakan mengurus sarapan serta menyiapkan obat untuk adiknya yang sedang sakit. Begitulah kronologi kejadian pagi itu. Gadis itu mempercepat kayuhannya tiga kali lipat bahkan tanpa mengurangi kecepatan saat melewati polisi tidur. Sampai bunyi ngik-ngik yang berasal dari sepedanya tidak juga ia hiraukan. Saat itu juga seorang pengendara motor menyalakan klakson dengan kencang. Hal itu membuat Kinan terkejut secara otomatis roda sepedanya oleng dan menggilas batu, hingga kecelakaan tunggal tak terelakkan. Kinan berserta sepedanya terkapar di jalan. Sialnya si pengendara motor tersebut tidak berhenti untuk setidaknya membantu Kinan berdiri. "Aaa!!!" Gedubrak! Tepat di depan sebuah bengkel Kinan terjungkal. Lutut dan telapak tangan yang mendarat lebih dulu itu tergores, seakan nggak dirasakan oleh Kinan. Ia buru-buru bangkit dan menghampiri sepeda putih tersebut. "Putus?" Kinan menatap nanar rantai sepedanya. Gadis itu memejamkan mata gemas. Kedua tangannya memegangi rantai sepeda seakan nggak percaya dengan apa yang terjadi. "Ini maksudnya apaan coba? Nggak tau apa gue lagi buru-buru? Udah telat lo malah ngambek kayak gini, nggak lucu tahu!" maki Kinan pada sepeda tersebut. Kinan mulai merengek kecil sambil mengotak-atik sepedanya, tapi tetap saja nihil. Rantai itu putus, jadi bagaimana caranya Kinan memasang kembali hanya dengan tangan kosong? Saking paniknya Kinan bahkan baru sadar bahwa ada bengkel di depannya. Dengan gemas Kinan mendorong sepedanya mendekati bengkel. "Kenapa nggak dari tadi coba? Oon banget,sih, gue!" Kinan masih juga bergumam pada dirinya sendiri. "Bocor lagi?" tanya seseorang yang baru muncul. Kinan agak terkejut dengan keluarnya cowok bertopi terbalik dengan setelan jumpsuit ala montir berwarna biru tua. "Eng..., anu, Mas rantainya putus. Bisa cepet nggak? Gue buru-buru soalnya." "Kok manggil Mas lagi, sih? Kan, gue udah bilang panggil aja Raka." cowok tersebut tersenyum simpul. Ia mengambil alih sepeda Kinan lalu memerhatikannya sejenak. "Kalau rantainya doang nggak akan lama, tapi jerujinya ada yang patah, tuh. Kayaknya mesti di ganti, deh." "He? Patah?" ulang Kinan. Dengan cepat Kinan berjongkok di sebelah roda sepedanya. Lantas menemukan apa yang dimaksud Raka barusan. Ada sekitar empat sampai lima jeruji yang patah. Kinan menatap Raka sebentar lalu menunduk lagi. Tiba-tiba saja ia berdiri dengan cepat kurang dari satu detik. "Kalau gitu gue tinggal aja deh, Mas. Tolong di benerin ya? Kalo bisa jangan lama-lama." "Insha Allah. Terus lo gimana?" tanya Raka. Kinan mengedipkan matanya menatap Raka bingung. Kalimat yang barusan didengar Kinan terasa sedikit ambigu bukan? "Gimana, gimana maksudnya?" "Ke Sekolahnya Kinan. Lo mau naik apa? Angkot udah susah jam segini." "Masih ada lima belas menit lagi, kalau lari dari sini sampaike Sekolah, kira-kira lima sampai tujuh menit. Terus dari gerbang sampai ke kelas gue, sekitar dua menit." Kinan menatap jam yang melingkar di tangannya sambil menghitung sisa waktu yang ia miliki. "Gue lari aja. Udah deket kok, dari sini." "Gue anterin, aja biar lebih cepet, gimana?" tawar Raka. Kinan terdiam ambigu. Terlalu tidak sopan kalau tiba-tiba ia merepotkan Raka. Baru kenal Raka dua bulan, itu pun jarang bertemu. Sekali bertemu selalu saja dia yang merepotkan Raka karena sepeda tuanya yang sering rewel. Masa iya, sekarang mau merepotkan lagi? Rem yang sudah aus, pedal terlepas, bocor berkali-kali, rantai terlepas, standar patah. Dan masih banyak lagi, semua itu Raka yang menyelamatkan Kinan dan sepedanya. Ah! Kinan jadi merinding mengingatnya. Ia merasa nggak enak, apalagi Raka tidak pernah mau menerima bayaran dari Kinan. Cewek itu menggelengkan kepalanya cepat berusaha menghapus semua ingatan yang baru saja melintas. "Oke, ya? Sekalian gue mau beli onderdil baru buat itu mobil," ucap Raka sambil menunjuk salah satu mobil di antara beberapa mobil dan motor yang terparkir di sana dengan dagunya. "Bentar gue ambil motor dulu." Kinan masih menatap punggung Raka yang semakin hilang di antara deretan mobil yang berjajar di bengkel. Ia kemudian meraup wajah dengan kedua telapak tangannya. Gemas dengan hari-harinya yang lebih sering di d******i dengan kekacauan. Dan sedetik kemudian sadar bahwa barusan dirinya terluka. Kinan meringis pelan,kemudian menyembunyikan kedua tangannya di belakang punggung. "Kapan, sih, lo nggak ngerepotin Mas Raka lagi?"Lagi-lagi Kinan bermonolog dengan dirinya sendiri. Tak lama setelah itu Raka muncul dengan motor besar warna hitam. "Yuk, Ki." Tanpa banyak bicara lagi Kinan bergegas naik ke jok belakang dan berpegangan pada besi yang ada di bagian belakang jok. "Kalo bisa ngebut ya, Mas. Gue ada ulangan soalnya." Raka tersenyum manis tanpa di lihat oleh Kinan. Padahal, satu setengah menit yang lalu Kinan sendiri yang bilang bahwa waktunya masih cukup untuk sekedar berlari ke sekolah bahkan sampai ke kelasnya sendiri. Di balik helm full face itu Raka tertawa kecil. Cewek di belakangnya itu terlalu polos atau nggak tahu malu sih? *** "Woy, Raf! Kinan dateng, tuh!" teriak seorang cowok yang duduk di bangku paling pojok bersama para penyamun lainnya. Namanya Beno, hobinya laknat banget yaitu nonton bokep. Bahkan Beno cukup terkenal sebagai bandar bokep di sekolahnya. Sedangkan cowok yang duduk di kursi nomor tiga dari depan, mulai mengalihkan pandangan dari ponselnya menuju ke pintu. Di mana Kinan datang sambil mengusap-usap baju seragamnya yang agak kusut. Matanya tidak terlepas dari Kinan yang berjalan bingung menuju kursinya. Tepat di depan Rafa. Rambut hitamnya sudah terikat rapi, tidak berantakan seperti pagi tadi. "Masih selamat lo hari ini. Semua guru lagi ada rapat dadakan, jadi ulangannya batal," ucap seorang cewek teman semeja Kinan sambil memainkan pulpen di tangan. Raut wajah kebingungan itu digantikan binar kebahagiaan. Kinan bahkan tanpa sadar menghela napas lega sambil menjatuhkan diri di atas kursinya. "Seriusan?" Kinan masih setengah nggak percaya. Ia meletakkan tas di atas meja. Tidak mengacuhkan Rafa yang sedari tadi menatapnya dengan aneh. Cewek ber-name tag Putri Prameswari itu mengangguk seraya tersenyum pada Kinan. "Emang lo kemana aja, sih? Jam segini baru nyampe sekolah? Kebiasaan banget!" Putri menopang dagunya dengan tangan kiri. Ia memerhatikan Kinan yang sibuk menggeledah isi tas. "Gara-gara lo, gue jadi dapet ide buat puisi yang harus dikumpulin hari ini." Puti belik memutar tubuhnya menghadap ke meja. Cewek itu sibuk menorehkn tinta hitam di atas selembar kertas putih yang berada di atas papan d**a. Kinan mengernyit heran, namun tidak mau tahu apa yang dimaksud Putri barusan. Ia sudah memasang ear phone ke telinga lalu bersiap melakukan ritual khusus yang hampir tidak pernah Kinan lupakan di sekolah. Tidur. Berbeda dengan Kinan yang terkenal dengan julukan tukang tidur, Putri ini cewek paling aktif di kelas Kinan. Walaupun tidak begitu pintar, tapi Putri mengikuti banyak ekstra di sekolah. Senin PMR, Rabu jurnalis, dan Jum'at Rohis. Kinan sampai hafal semua kegiatan ekstra Putri karena setiap saat Putri selalu melapor pada Kinan, meski sejujurnya Kinan juga tidak mau tahu. Tapi, karena dulu pun sempat berada dalam satu organisasi jurnalistik sebelum akhirnya Kinan memilih untuk keluar karena satu alasan. Kinan jadi tahu bagaimana perasaan Putri saat ini yang masih belum menciptakan satu puisi untuk di setorkan ke ketua jurnalis. Bagaimanapun juga, Putri adalah satu-satunya teman terbaik yang Kinan miliki. Satu-satunya orang yang mau bergaul dengan Kinan di sekolah itu selain Rafa. Walau kadang Putri bisa saja jadi orang yang sangat menyebalkan untuk Kinan. "Btw, lo belum jawab pertanyaan gue. Dari mana aja lo sampai telat lagi hari ini?" Putri kembali memutar tubuhnya hingga menghadap Kinan. Tidak ada jawaban, Kinan hanya tersenyum samar memainkan plester luka di tangannya sambil mengingat siapa yang barusan begitu peduli dengannya memberikan plester tersebut. Mengingatkan untuk merapikan rambut, bahkan tidak pernah lelah memberikan senyumnya untuk Kinan. Sedangkan Rafa yang sejak tadi menyimak masih saja mengamati Kinan yang duduk di depannya. Cowok itu menggunakan kaki panjangnya untuk menendang kursi Kinan yang tepat di depannya. "Ck, apa sih?" Kinan menoleh sewot. Rafa menghela napas pendek, ia tahu mood Kinan pastu sedang buruk apalagi karena kecelakaan tunggal tadi. Rafa sedikit memajukan kepalanya, untuk memastikan bahwa Kinan tidak terluka. Tapi, belum sempat bibirnya bersuara Putri sudah lebih dulu histeris. "Astaga, Kinan!?" ucapnya cukup keras. Sehingga beberapa siswa yang awalnya sibuk dengan kegiatan masing-masing kini menjadikan Kinan pusat perhatian. "Itu dengkul lo kenapa bisa lecet gitu?" Cewek berrambut ikal yang mengenakan bandana warna soft pink itu mendekat untuk melihat lutut Kinan. "Cuma lecet dikit, Putri. Lo itu kebiasaan, deh bikin anak-anak jadi ngeliatin gue tau." Kinan menatap teman sebangkunya itu gemas. "Kok bisa? Lo jatoh atau gimana? Ih! Ini mah harus di bawa ke UKS, Ki. Dibersihin pakek alkohol biar nggak infeksi." Putri masih mengacuhkan luka di lutut Kinan. Sedangkan Kinan sudah membuka kemasan plester di tangannya lalu menempelkan plester luka bermotif cherry itu pelan-pelan di lututnya. Bahkan Rafa yang awalnya duduk, beranjak dari kursi demi melihat luka yang dimaksud Putri. Sumpah demi apa? Lo itu sembarangan banget ya Kinan? Belum disterilin itu lukanya. Kalo infeksi kaki lo di potong gimana?" Kinan mulai menatap Putri gemas. Ia menyerahkan bungkus plester ke tangan Putri. "Apa kata lo, deh Puput." "Putri, bukan Puput!" Tegas cewek tersebut tak terima di panggil Puput. "Ya, udah lo diem. Gue mau bobok sebentar. Nanti kalau ada guru lo bangunin gue." Kinan mulai menyalakan musik yang ia dengar memalui ear phone di telinganya lalu merebahkan kepala di atas meja sembari memeluk tas. Menatap Kinan yang sudah menepatkan diri pada posisi ternyamannya. Putri mengepalkan tangan seolah ingin memukul Kinan. Namun, cewek itu justru mengusap-usap rambut Kinan lembut seperti seorang kakak pada adiknya. "Kenapa dia?" tanya Rafa sembari mengendikkan dagu ke arah Kinan. Putri hanya mengangkat kedua bahunya acuh untuk menjawab pertanyaan Rafa. Cowok itu kembali menyibukkan diridengan mengelus-elus benda pipih berwarna hitam metalik dengan jari-jarinya. Namun, hal itu hanya berselang beberapa detik. Tiba-tiba saja Rafa berdiri dari kursi lalu menghampiri Kinan yang suah dalam posisi khusyu. Rafa menyentuh punggung Kinan dengan jari telunjukkan. Ia mengguncangkan tubuh cewek itu pelan, namun tidak mendapatkan respon sama sekali. "Bangun, Kinan." Rafa menowel lengan Kinan, tapi masih tidak ada respon dari cewek tersebut. Justru yang berreaksi adalah teman semeja Kinan. Putri melotot diikuti tangannya yang menampar lengan Rafa. "Lo tuh, ngapain sih, gangguin orang?" "Kinan, bangun woy!" ucap Rafa semakin menjadi. Bahkan cowok berpawakan tinggi itu berbicara tepat di telinga Kinan. "Ikut gue ke UKS sekarang, atau gue seret paksa?" "Ck, pergi nggak!" Putri mengancam sambil mengangkat papan d**a miliknya. "Balik sana ke kursi lo." Kinan belum juga berreaksi membuat Rafa semakin gencar mengganggu Kinan. Sedangkan tangannya yang lain sibuk menepis serangan dari Putri. Kali ini Rafa menarik ikat rambut Kinan sampai terlepas. Lalu mengacak-acak rambut hitam sepundak tersebut hingga akhirnya membuahkan hasil. Kinan terbangun bahkan berdiri dari kursi lalu melayangkan tamparan-tamparan keras di tubuh Rafa. "s****n emang lo! Gue ngantuk, bisa diem nggak, sih?"balas Kinan yang kini akhirnya bersuara. Cewek itu melepaskan ear phone yang menggantung di telinganya "Ikut gue!" "Ogah!" tandas Kinan cepat. "Ini perintah bukan penawaran." Telak. Tanpa persetujuan, Rafa menarik lengan Kinan secara paksa. Seolah kekuatan Kinan yang berontak tidak ingin meninggalkan kelas bukan apa-apa bagi Rafa. Cowok itu dengan mudah membawa Kinan keluar kelas. Menciptakan bisik-bisik dari para siswa di kelasnya. "Mereka, itu, sebenernya pacaran atau gimana, sih?" tanya Dea. Cewek yang rambutnya dicepol ke atas tak jauh dari kursi Putri. "Udah jelas gitu pakek nanya. Waktu pembagian otak kemana sih lo, De? Kinan sama Rafa emang pacaran." suara Beno menyahut dari pojokan kelas. "Kalo nggak tau nggak usah nyebarin berita hoax, ya! Mereka berdua cuma temenan, tau!" sahut Putri menanggapi yang sebenarnya. "Temen rasa pacar, gitu maksud lo?" sambung Beno lagi mengundang gelak tawa seisi kelas. Putri memonyongkan bibir lalu beralih memfokuskan diri pada coretan puisi yang harus segera di kumpulkan untuk jurnalis sore nanti. Sedangkan kedua insan yang saling lempar pandang di UKS itu masih sama-sama diam. Kinan menatap Rafa penuh kebengisan, entah sejak kapan kepribadian Rafa yang dulunya super kalem sekarang menjadi orang paling menyebalkan. Rafa meletakkan semangkuk bubur ayam di atas nampan tepat di hadapan Kinan yang duduk di atas ranjang sedangkan cowok itu masih berdiri di depan ranjang. "Makan!"nada perintah tak terbantah jelas tertangkap dari ucapan Rafa barusan. Kinan masih bergeming tanpa mengalihkan tatapannya pada Rafa. "Iya, gue tau gue ganteng, tapi udah ngeliatinnya. Makan dulu abis itu, lo bisa ngeliatin gue sepuas yang lo mau." "Najis!" sahut Kinan membuang muka. Akhirnya cewek itu berreaksi juga. Rafa tersenyum tipis. "Makan gih, lo belum sarapan, 'kan? Biar gue yang obatin luka lo." "Nggak mau." "Perlu gue suapin?" Rafa memiringkan kepalanya sehingga dapat melihat wajah kesal Kinan dengan jelas. Kinan diam, tidak menjawab juga tidak berekspresi. "Boleh, sini." Rafa kembali menarik bubur di hadapan Kinan, lalu mengambil satu suapan penuh, dan mengarahkannya pada Kinan. "Aaa..." suaranya menirukan seseorang yang menyuapi bayi. Kinan menepisnya pelan. Ia mengembuskan napas pendek pertanda kesal. "Lo, tuh kenapa, sih akhir-akhir ini nyebelin banget? Sama gue doang lagi," ucap Kinan kelewat sewot. "Emang gue ngapain? Gue biasa aja, elo yang lebay." Kinan tersenyum nggak percaya dengan apa yang barusan dikatakan Rafa. "Lo nggak inget perjanjian kita kemarin? Lo jelas kalah." "Dan, lo jelas-jelas curang. Jadi, jelas pertandingan kemarin sama sekali nggak fair." potong Rafa yang kemudian tersenyum menyebalkan. "Udah, buruan makan! Nggak usah mengalihkan topik," ucap Rafa masih menggantungkan sendok di hadapan Kinan dengan wajah tanpa dosa. "Gue bilang nggak, ya enggak." "Gue bilang makan, ya makan! Ayo aaa...." sahut Rafa tak menyerah. Kinan jengah dengan cowok di hadapannya itu. Ia berdiri untuk pergi ke mana saja, yang penting nggak ada Rafa di sekitarnya. "Duduk nggak?" perintah Rafa yang sama sekali tidak diindahkan oleh Kinan. Kinan justru semakin mengacuhkan Rafa yang masih memanggil namanya. Tapi, baru berapa langkah tangan Kinan sudah di tarik paksa. Membuat mau nggak mau cewek itu memutar tubuh demi memelototi Rafa s****n. "Mau ke mana?" tanya Rafa kalem. Tapi, nggak sekalem wajah Kinan yang membentur d**a Rafa karena tarikan spontan barusan. Kinan masih mengusap hidungnya yang paling menderita. "Sakit?" Rafa kembali bertanya. Bahkan mendekatkan wajah di hadapan Kinan. "Asli ngeselin banget sih lo jadi manusia!" Sementara tangan yang masih dalam genggaman Rafa itu mendadak terasa perih saat Rafa menyentuh telapak tangan Kinan. "Sakit woy!" rintih Kinan menarik tangannya dengan cepat. "Makannya belajar menerima bantuan dari orang lain, kalau nggak mau kesakitan sendiri. Duduk! Gue obati dulu luka lo." Cowok bertubuh tinggi itu mendadak berubah menjadi kalem lagi. Ia menyentuh pergelangan tangan Kinan lembut. Saat itu juga Kinan tidak lagi melawan. Entah kenapa, sekesal apa pun ia pada Rafa, kemarahannya tidak akan pernah lebih dari lima menit. "Maaf!" ucap Rafa di sela-sela kebisuan. Tangannya sibuk mengobati luka lecet di lutut juga tangan Kinan. Kinan jlas mendengarnya, alisnya saling bertaut menatap Rafa heran. Kenapa juga cowok itu tiba-tiba minta maaf padanya? "Maaf kenapa?" "Udah bikin lo kaget dan jatuh kayak gini," ujar Rafa mengatakan kejujuran. Rafa diam, merasa sangat bersalah atas apa yang pagi tadi terjadi. Kinan pun diam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Meski sebenarnya Kinan ingin marah pada Rafa yang belakangan terlalu menjengkelkan, tapi semua itu tidak bisa Kinan ekspresikan. "Nggak apa-apa." Kinan berusaha mengabaikan apa yang barusan terjadi. Mendengar jawaban Kinan, Rafa cukup terkejut. Jawaban dari Kinan benar-benar di luar ekpetasinya, ia pikir Kinan akan marah dan mengamuk padanya seperti biasa. Tapi, Syukurlah. Rafa malah senang dengan hal ini. "Raf, bisa lo ambilin buku paket yang ada di meja itu?" ucap Kinan tiba-tiba. Rafa menoleh sebentar mencari buku yang di maksud Kinan. Dahinya mengernyit heran. Kini pandangannya terarah pada Kinan. "Buat apaan, sih? Ngerepotin banget, deh!" balas Rafa sambil bergumam. Namun, cowok itu tetap bergerak mengambil buku tebal yang di maksud oleh Kinan. "Nih!" Kinan menerimanya dengan senyum sambil mengucapkan terimakasih tanpa suara. Sedangkan Rafa kembali menunduk untuk mengobati lutut Kinan. Cowok itu melepaskan plester yang melekat di sana. Namun, tiba-tiba saja Kinan menyerang kepala Rafa dengan buku yang ada di tangannya sebanyak dua kali. Cowok itu mengaduh keras menyentuh kepalanya yang cukup pening, sambil melotot pada Kinan yang tersenyum tipis. Keduanya saling pandang. Kinan tersenyum lewat sepasang, mata sendunya menatap Rafa dengan perasaan puas. "Sekarang, gue udah bener-bener maafin lo." -b e r s a m b u n g!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD