Dua

1689 Words
H a p p y R e a d i n g A n d E n j o y, G u y s! -D e m i K i a n- Di atas balkon kamarnya, Rafa buru-buru meletakkan gitar yang sedari tadi ia mainkan. Cowok itu merunduk, mencoba bersembunyi di antara pagar pembatas balkon yang amat langsing. Matanya memerhatikan dua sosok di bawah sana yang sedang sama-sama nyengir entah membicarakan hal apa. Mendadak Rafa merasa kesal, ingin memisahkan Kinan dan Raka yang masih berbincang di halaman rumah yang cukup luas tersebut. "Oh, jadi setelah nggak dapet tumpangan dari gue, dia minta dianterin sama Raka," ucapnya setengah berbisik. Tanpa sadar tangan Rafa terkepal gemas. "Itu Kinan ngapain lagi senyum-senyum segala? Sok manis banget, najis!" Rafa bergumam penuh emosi. Raka yang masih duduk di atas motornya kini bahkan tertawa cukup kencang. Sehingga Rafa hampir saja melemparkan apa pun yang ada di dekatnya supaya mengenai Raka. Namun, cowok itu memilih untuk segera turun menemui kedua insan di sana. Hanya butuh sedetik kemudian, Rafa melesat secepat kilat meninggalkan balkon. Tidak membutuhkan waktu lama, cowok tinggi yang mengenakan setelan celana olahraga sebatas lutut dan kaus oblong berwarna putih yang berlari dari dalam rumah itu mendadak berhenti tepat di halaman rumahnya sendiri. Tubuhnya membelakangi Raka dan Kinan yang asik berbincang. "Siomay, Bang! Woy, siomay! Berhenti, Bang!" teriaknya keras-keras. Sementara itu Kinan menaikkan sebelah alisnya heran menatap Rafa yang berteriak entah pada siapa. Padahal sejak tadi ia berbincang dengan Raka, tidak ada satu pun, penjual makanan yang lewat di sana. Sama halnya dengan Raka yang menatap Rafa bingung. Raka secara alami melemparkan senyum begitu Rafa berbalik menatapnya kikuk. Teman sebaya Kinan itu tampak menggaruk kepalanya canggung. "Ngelindur lo?" celetuk Kinan menatap Rafa dengan kedua alis yang hampir menyatu. Rafa menggaruk kepala yang tidak gatal. Ia sendiri tidak tau apa yang sedang ia lakukan di sana. Padahal niatnya ia ingin mengacaukan suasana tawa Raka dan Kinan. Akan tetapi, ia malah terlihat seperti orang bodoh di sana. Dalam hati, Rafa tak berhenti merutuki kebodohannya sendiri. "Nggak ada penjual lewat dari tadi, Raf. Salah liat kali lo," Raka ikut menimpali. "A-ha-ha ...," tawa Rafa terdengar hambar. "Iya, kayaknya gue salah liat." cowok flamboyan itu tertawa garing. "Elo yang nganterin Kinan balik?" ucapnya kemudian seolah tidak terjadi apa pun. "Cuma ngasih tumpangan sih, soalnya gue juga sekalian lewat sini." Raka membalas seadanya karena memang demikian kenyataan yang ada. Baik Rafa dan Raka sama-sama tersenyum. Rafa kini menyandarkan tubuhnya pada pagar besi rumah yang hanya setinggi d**a. Ia mengamati Raka dan Kinan secara bergantian. Lebih tepatnya mencoba mencari topik pembicaraan yang secara tidak langsung bisa membuat Raka segera pergi dari sana. "Nggak sekalian lo antar jemput aja, Mas." Perkataan Rafa kontan membuat Kinan dan Raka saling lempar pandang. Kemudian kembali menatap Rafa secara bersamaan. "Lo pikir Mas Raka tukang ojek?" Kinan menyahut ketus. "Lagian lo kenapa deh, Raf? Aneh." "Gue sih nggak keberatan." Raka membalas umpan yang sengaja di lemparkan oleh Rafa. "Gimana Ki?" sambung Raka yang kini mengamati Kinan. Ditatap seorang cowok baik bin ramah dengan senyum semanis gulali, pipi Kinan seperti terbakar. Gadis itu mengulum bibir lantas tersenyum kikuk. "Eum ... nggak perlu kayaknya, Mas. Btw, omongannya Rafa nggak usah di dengerin. Dia itu kadang-kadang emang agak ...," ucap Kinan menggantungkan kalimatnya seraya meletakkan telunjuk yang miring ke dahi. "Apa, lo bilang?" sahut Rafa melotot pada Kinan. Niat hati ingin membuat Raka merasa tidak nyaman, kini justru Rafa sendiri yang menahan gejolak ingin memukuli seseorang. Cowok itu berkali-kali berdehem, bersiul dan melakukan tindakan bodoh lainnya saat Kinan dan Raka membicarakan sesuatu yang tidak ia mengerti. "Eh! Langitnya gelap banget. Kayaknya bakalan hujan deres, nih." Rafa mengadahkan kepala memandangi langit sore yang sebaliknya. "Awannya cerah, Raf. Lo itu sakit, ya?" Kinan menanggapi dengan kerutan di dahi. Ia menggelengkan kepala menatap Rafa yang mulai bertingkah aneh. "Sekali lagi, makasih buat tumpangannya, Mas. Gue masuk dulu, ya?" pamit Kinan pada Raka yang sudah berbaik hati mengantarkannya pulang. Eum ... ralat memberi tumpangan. "Gue juga mau balik kok, lo masuk aja," ucap Raka kemudian mendapat anggukan dari Kinan. "Sekali lagi makasih." Perlahan kaki Kinan melangkah mundur seraya membungkukkan tubuhnya pada Raka. Lalu melenggang memasuki rumah bercat putih s**u tersebut tanpa kembali menoleh ke belakang. Sementara itu tepat di atas motor besarnya, Raka tersenyum menatap dua rumah yang bersandingan kemudian pandangannya berhenti menatap Rafa yang masih diam menempel di pagar seperti cicak yang siap untuk bertelur. "Gue duluan Raf, lo masuk gih, panas!" Raka mengingatkan sambil melajukan motor melewati Rafa yang tersenyum jengkel. Hingga beberapa detik kemudian ketika motor Raka sudah jauh tidak terlihat, Rafa keluar dari halaman rumahnya meloncati pagar yang sudah terbuka. Ia melakukan gerakan pukulan angin bahkan tendangan absurd. Dari balik jendela bertirai merah muda itu, Kinan menggelengkan kepala prihatin melihat kelakuan Rafa. "Gila, tuh anak." *** "Kian cepetan turun, makanannya keburu dingin!" Kinan sudah berteriak untuk yang ke-tiga kalinya. Tanpa melepas dulu seragam sekolah, Kinan menggenakan celemek berwarna cokelat. Rambut sepundak yang diikat sembarangan menyisakan helaian yang membingkai wajah Kinan hingga membuatnya terlihat semakin cantik dengan keringat yang membasahi pelipis. Tangannya dengan cekatan membersihkan sisa minyak yang menempel di kompor, mengumpulkan semua peralatan yang kotor lalu mencucinya. Sampai saat Kinan menyelesaikan aktivitas mencuci peralatan masak yang kotor, gadis itu mendesis gemas sambil membanting celemek yang dilepaskan dengan kasar di atas kursi makan. Ia berjalan menaiki anak tangga dengan cepat, matanya melirik jam tangan yang sudah menunjukkan pukul tiga lebih lima belas menit. Langkahnya berhenti di depan pintu bercat putih, ia ketuk sebanyak tiga kali, tetapi tetap saja tak ada sahutan. Gadis itu mendorongnya. Sialnya pintu itu terkunci dari dalam. "Buka pintunya Kian," pinta Kinan lembut. Masih tanpa sahutan, Kinan mengetuknya kembali meski tidak mendapatkan respon dari adiknya tersebut. "Udah jam berapa ini? Buruan makan, kamu belum minum obatnya juga, 'kan?" titah Kinan masih berdiri di depan pintu kamar tersebut. Cewek itu menghela napas pendek, "Sorry, aku pulang telat." Untuk yang terakhir kalinya Kinan berbicara pelan dengan Kian. Ia berjalan cepat memasuki kamarnya tepat bersebelahan dengan kamar Kian, lalu keluar lagi dengan sebuah kunci di tangan. Kinan memutar kunci tersebut lalu terbukalah kamar Kian, menampakkan si pemilik kamar yang sedang merebahkan diri dengan kedua telinga yang disumpal ear phone. Kinan mengembuskan napas pendek, matanya berputar jengah menghadapi Kian. Ia mendekat, merebut paksa gadget dalam genggaman Kian dengan gerakan yang tidak disadari oleh adiknya. "Kakak apa-apaan, sih?" ucap Kian terkejut dengan kedatangan Kinan. "Salah siapa pintu dikunci, dipanggil nggak nyahut-nyahut. Kamu pikir aku nggak bisa masuk kalau kamu kunci pintu dari dalem?" balas Kinan kesal. "Balikin nggak HP-ku!" Kinan menggeleng, tangannya menyembunyikan ponsel berwarna putih yang ditempeli stiker beruang cokelat milik Kian di belakang punggungnya. "Makan, terus minum obat baru aku balikin." Kinan memasukkan ponsel adiknya ke dalam saku kemeja sambil meninggalkan Kian di kamarnya. "Balikin dulu, Kakak." "Makan dulu," ucap Kinan pelan. "Sebelum kamu makan terus minum obat, aku sita HP kamu." cewek itu berbalik setelah menyelesaikan ucapannya. Ia memasuki kamarnya lalu mengunci pintu dari dalam meletakkan ponsel milik Kian di atas meja belajar. Baru saja tangannya bergerak melepaskan kancing pertama untuk berganti pakaian, kedua tangannya mendadak lunglai. "Kakak tuh, bukan mama yang bisa seenaknya ngatur dan nyuruh-nyuruh aku!" teriak Kian dari luar. "Dasar nyebelin!" "Aku benci sama Kakak!" Setelah itu, yang terdengar hanyalah suara hentak kaki yang perlahan menjauh. Saat itu hati Kinan seperti digores sebilah kaca. Ia tertunduk, menyandarkan diri di balik pintu. Tangannya meraih ponsel hitam miliknya yang sejak tadi berada di saku rok abu-abu. Dengan penuh harapan, ia membuka ponsel tersebut berharap seseorang yang selalu ia nanti membalas pesan-pesannya. Namun, sama seperti kemarin dan lusa. Tidak ada balasan apa pun meski pesannya telah dibaca. Seulas senyum prihatin tercetak jelas di bibir Kinan. Ia menggenggam erat ponsel hitam tersebut dengan penuh kekecewaan. Tanpa disadari dalam kamar yang gelap itu mata Kinan berkabut. Air mata sudah menggenang di pelupuk mata tanpa ada yang tahu dan menghampiri. Bahkan bertanya mengapa? Buru-buru ia usap matanya dengan tangannya sendiri hingga tak berbekas. Adalah setitik air mata yang tercipta, namun ia hapus bahkan sebelum benar-benar terjatuh. Ada masanya Kinan lelah dengan rutinitasnya. Menjadi seorang kakak juga mama untuk Kian. Meski mentah-mentah Kinan menolak hal itu, tetapi keadaan telah memaksa Kinan untuk melakukan apa yang bukan kewajibannya. Di usianya yang menginjak delapan belas tahun, Kinan harus ekstra sabar menghadapi Kian yang berada dalam masa pubertasnya. Apa lagi Kian memiliki riwayat penyakit asma yang sering kambuh jika kelelahan. Jika bisa Kinan pun ingin berteriak pada seseorang, menyuarakan sesak yang memenuhi rongga d**a. Sama seperti Kian yang setiap saat selalu membentaknya begitu saja. Akan tetapi, pada siapa Kinan harus berteriak? Bahkan mungkin saja apa yang ingin ia sampaikan hanyalah sia-sia. Sejak delapan tahun yang lalu kepergian mama yang masih tidak bisa di mengerti oleh Kinan. Ayahnya juga semakin sibuk entah apa yang dikerjakan. Bukan lagi satu bulan sekali untuk pulang menengok ia dan Kian. Hampir satu tahun lamanya, Kinan tidak melihat wajah ayah. Pesan-pesan yang Kinan kirimkan tidak pernah terbalas, pernah sesekali ayah menelepon itu pun tidak lama. Hanya mengatakan pada Kinan bahwa uang bulanan telah ditransfer dan sebentar lagi ayah akan pulang. Tidak sekali dua kali Kinan mendatangi kantor tempat ayah bekerja. Akan tetapi, tidak sekali pun Kinan temui lelaki yang sejak kecil ia kagumi. Entah itu bisnis di luar pulau atau bahkan di luar negeri. Hanya sebatas itu yang Kinan tahu. Kinan mendongak, menatap langit-langit kamar berwarna abu-abu yang sengaja ia tempeli hiasan berbentuk bintang. Sehingga terlihat menyala ketika kamarnya gelap seperti saat ini. Meskipun kamar Kinan memang lebih sering gelap karena Kinan menyukai berada dalam kegelapan. Ia berdiri, meletakkan ponselnya di atas meja belajar bersebelahan dengan milik Kian untuk mengganti pakaian. Air matanya sudah dihapus bahkan sebelum tangisnya benar-benar habis. Kinan tidak ingin lemah bahkann saat tidak ada siapa pun di sampingnya. Selalu seperti itu. Untuk sebentar saja Kinan melepaskan lelahnya sendiri. Lalu kembali untuk menjadi kuat lagi untuk diri sendiri. Menutupi segala lukanya dengan topeng tak kasat mata. -D e m i K i a n- -b e r s a m b u n g! Jangan lupa tekan love-nya, ya! ^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD