Penjelasan

1290 Words
Dahlia terdiam, menatap sang putra dengan penuh tanda tanya, jika telinganya tidak salah dengar. Gadis yang tengah membawa banyak baju itu baru saja memanggil Erlangga dengan sebutan sayang. Dahlia terang-terangan mengamati Putri dari atas sampai ke bawah, ia mencoba mengingat kembali dan merasa belum pernah bertemu dengan gadis itu. Sejauh yang ia tahu, Erlangga sangat jarang berinteraksi dengan wanita. Putra tunggalnya itu nyaris tidak memiliki teman berjenis kelamin perempuan, yang selalu ia kenalkan hanyalah keempat sahabatnya. Sejak kecil, kedua orang tuanya terbiasa membatasi ruang gerak untuk pemuda itu dengan alasan menjaganya dari kejamnya dunia luar. "Dia siapa?" tanya Dahlia pada anaknya. "Dia......" "Dia..... itu....." "Maaf, tante siapa ya?" tanya Putri langsung, ia tidak tahan melihat Erlangga yang mendadak jadi aneh. Erlangga yang biasanya percaya diri malah berubah jadi kikuk, seperti tengah terpergok melakukan kesalahan padahal tidak ada yang salah dengan apa yang tengah mereka lakukan. Suasana di toko itu pun mendadak jadi sepi di area yang mereka tempati, seperti sengaja memberi ruang untuk kelimanya berbicara. Bukannya menjawab, Dahlia terus terfokus pada Erlangga. Wanita itu mengguncang lengan sang putra agar menjawab pertanyaannya. "Dia siapa? Teman?" "Tante ini siapa sih, tante salah orang kali." Dahlia pun melirik dengan tajam, "Kamu pikir saya salah mengenali orang? Yang benar saja." "Terus kenapa tante maksa-maksa Erlang?" "Apa urusannya sama kamu?!" ketus Dahlia. Putri menghela napas jengah, ia meletakkan asal baju-baju yang sedari tadi ia bawa. Wanita berpenampilan modis di depan Erlangga itu sangat menyebalkan baginya, ia tidak menyangkal jika semua yang melekat pada wanita itu adalah asli dan mahal. Contohnya saja tas yang tengah ia bawa saat ini, Putri sangat menginginkan tas seperti itu. Lupakan tentang tas, Putri kembali fokus pada wanita paruh baya itu. "Oh ya jelas ini urusan saya tante." "Diam ya, kamu itu cuma teman Erlangga." "Teman?!" tanya Putri tidak terima, susah payah ia mendapatkan Erlangga dan kini ia hanya dianggap sebagai teman. Yang benar saja. Putri berdecih lalu menyilangkan tangan di depan d**a dengan angkuh. "Asal tante tahu ya, satya ini bukan teman Erlangga." "Terus apa?" "Saya?" Putri menunjuk dirinya sendiri, "Saya pacar Erlangga, tante." Dentingan piring saat para pelayan menyajikan makanan membuyarkan lamunan Shena dari kejadian beberapa waktu lalu. Sesaat setelah ia melihat mobil Erlangga terparkir di depan tokonya, ia segera berbasa-basi dengan mengajak kedua wanita berkelas itu untuk makan siang. Ada restoran yang enak di dekat tokonya, dan Shena menyarankan untuk pergi kesana. Dahlia dan wulandari pun setuju meskipun harus dengan paksaan yang alot karena mereka masih senang memilih gaun dan model gaun yang ingin dikenakan nanti, saat pesta pertunangan Erlangga dan Shena di gelar. Bagai mendapatkan momentum yang tepat, saat mereka menuruni tangga menuju ke lantai dasar. Erlangga dan Putri ternyata tengah berdiri di dekat mereka. Langsung saja Dahlia mengenali sang putra. "Selamat menikmati." ujar seorang pelayan yang telah selesai menghidangkan pesanan mereka. Menu makan siang kali ini adalah seafood. Ada kepiting saus padang, sop cumi, dan masih banyak lagi. Ternyata salah satu makanan favorit Dahlia dan Wulandari adalah seafood. "Terima kasih." jawab Wulandari, wanita itu duduk melingkar dengan Shena di kanannya dan Dahlia di sisi kiri. Tak melupakan Putri dan Erlangga yang juga turut bergabung dalam makan siang penuh kecanggungan itu. Mereka dipaksa ikut makan siang, tujuannya tak lain adalah untuk sebuah penjelasan tentang hubungan mereka. Suasana di toko sangat ramai, dan mereka tidak mau mengundang banyak perhatian. Shena tampak santai sambil memakan makanannya, lain halnya dengan Putri yang masih sangat kebingung dan asing dengan suasana seperti ini. Begitu pun Erlangga yang rasanya ingin segera menghilang dari bumi. Acara makan pun berlangsung cepat dan hikmat, tidak ada yang membuka suara setelah kejadian tak terduga beberapa waktu yang masih sangat terngiang. "Jadi, kamu pacarnya Erlangga?" tanya Wulandari kepada Putri. Putri mengangguk, "Iya, tante." "Sudah berapa lama?" "Belum lama, tante." "Saya ingin kamu putus dengan anak saya." ujar Dahlia tiba-tiba, ia meletakkan sendok dan garpunya karena makanan yang lezat itu menjadi hambar. Ia merasa sangat tak berselera makan, otak dan hatinya berkecamuk siang ini. Mendapati fakta bahwa ada seorang wanita muda yang mengaku sebagai kekasih sang putra tunggal adalah satu hal di luar dugaan. Terlebih, mereka sudah menerima lamaran keluarga Shena kepadanya. Dahlia pucat pasi menahan malu, di hadapan Wulandari dan Shena mereka memergoki Erlangga tengah berkencan dengan kekasihnya. Kedua orang tua Erlangga sangat membatasi pergaulan dan ruang gerak untuknya sebagai bentuk rasa peduli dan menjaga pemuda itu dari keras dan pahitnya dunia. Tak pernah sekalipun ia mendapati Erlangga berteman dengan wanita, yang ia tahu hanya empat sekawannya. Putri mengerutkan keningnya, "Maksud tante?" "Ya." Dahlia mengangguk, "Kurang jelas ya? Saya ingin kamu putus dengan anak saya." "Anak?" beo Putri. "Iya, Erlangga adalah anak saya dan sudah ditentukan ia akan bertunanga dua bulan lagi." "Tu..tu..tunangan?!" Shena menutup kembali pintu ruang kerjanya, mengingat kembali wajah pucat pasi Putri yang bagai tak dialiri darah membuatnya cukup senang. Baru saja ia mendeklarasikan bahwa Erlangga adalah miliknya lewat Dahlia. Putri tak membuka suara lagi setelah dipaksa untuk putus oleh ibunda Erlangga, ia sibuk menatap pemuda itu meminta penjelasan sambil menahan sesak dan amarah yang sejak tadi coba ia tekan. Mungkin cara-cara yang Shena tempuh adalah jahat, tapi apa mau dikata karena cara baik tidak akan membuat Erlangga menjadi miliknya. Cintanya pada pemuda itu ternyata hanya bertepuk sebelah tangan dan tak berbalas dengan indah, Erlangga terang-terangan menolak dan kini pemuda itu punya kekasih. Tapi, Shena merasa tidak kesulitan untuk memukul mundur Putri dari tahta hari Erlangga selamanya. "Jadi, Angga punya pacar?" tanya Wulandari lagi, wanita itu tengah duduk santai di ruang kerja Shena. Perutnya sedikit begah karean terlalu banyak diisi dengan seafood. Wanita itu kembali membolak-balik halaman demi halaman katalog yang tengah ia genggam. "Menarik." "Maksud mama?" Wulandari meletakkan kembali katalognya, "Kamu jadi harus membuktikan siapa yang pantas bersanding dengan Erlangga, kan?" "Bukannya udah jelas, ya." "Kamu?" Wulandari tertawa keras mendengar ucapan penuh percaya diri dari sang putri, Shena itu sebelas dua belas dengan dirinya jika sudah memegang tegus ambisi. Yaitu rela berjuang sampai titik darah penghabisan untuk memperjuangkan apa yang mereka inginkan. "Kamu terlalu percaya diri Na, hati manusia itu tidak ada yang tahu. Bisa jadi bukan kamu yang dipilih Erlangga nantinya." "Jadi menurut mama, Putri jauh lebih pantas?" Wulandari mengerutkan keningnya, "Putri? Siapa Putri?" Shena memutar bola matanya malas, ia kembali mengambil jarum pentul di gelang tangannya dan memasang pada manekin. Sebuah gaun berwarna putih tengah ia kerjakan sambil menunggu sang mama selesai beristirahat, Shena pun tak berencana pulang cepat mengingat masih banyak deadline yang belum terselesaikan. Kasihan jika hari spesial untuk seseorang harus hancur karena ketidak-mampuannya membuat gaun yang lebih baik. Mereka membayar mahal untuk satu set gaun full payet, jadi hasil yang mereka dapatkan harus sesuai. Shena melirik sang ibu, "Jadi, menurut mama aku ga bisa dapeti Kak Angga?" "Angga sudah punya pacar, Na." "Itu tidak penting, mah." Menghadapi seseorang yang keras kepala ditambah sifat ambisius yang akut, Wulandari sangat hafal dengan perangai sang putri, Shena pasti sudah mendapatkan banyak informasi seputar apa yang menjadi fokusnya untuk saat ini. Shena adalah orang yang senang memiliki rencana, baik rencana jangka panjang maupun jangka pendek. Dan, untuk pertunangan itu ia pasti sudah punya banyak rencana. Terbesit sebuah ide gila di kepalanya, ada satu hal yang sangat dibenci oleh Shena, yaitu diremehkan. "Mama ga yakin kamu bisa mendapatkan apa yang kamu mau kali ini." "Maksudnya?" "Yaa." Wulandari bangkit, ia meraih tas bermerek yang tergeletak di meja. "Sama seperti perusahaan papa, mama ga yakin kali ini kamu bisa menang." Shena mengerutkan keningnya, "Mama meragukan aku?" "Emmmh, gimana ya." ujar Wulandari bermain-main. "Mama harus tahu, pertama, perusahaan bukan tujuanku." ujar gadis itu sambil menghentikan aktivitasnya, ia harus menjelaskan sesuatu kepada sang ibu. "Aku hanya ingin papa mengakui bahwa perempuan itu bisa jadi pemimpin, dan aku bisa jadi pemimpin yang hebat." "Kedua, Kak Angga akan jadi milikku mah, itu mutlak." ujar gadis cantik itu penuh percaya diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD