Aldi yang tampan

2023 Words
Teriknya matahari tidak menyurutkan semangat seorang pemuda yang dengan lincah mendribble bola basketnya itu, sesekali ia lempar pada rekan satu timnya untuk lebih menguasai permainan. Soal basket, Aldi memang tidak sejago sang kakak yang sudah sering ikut turnamen. Tapi bukan berarti pemuda itu tidak bisa bermain, ia hanya malas saja karena merasa bakatnya bukan disana. Sudah puluhan kali Arsen mengajak pemuda itu bergabung di tim basket sekolah, tapi Aldi menolak. Aldi justru memilih mengikuti jejak Affan di ekstrakurikuler jurnalistik. Aldi menyukai fotografi dan videografi sejak sekolah menengah pertama, pemuda itu sebenarnya ingin sekali masuk sekolah kejuruan, tapi dilarang oleh sang ayah karena nantinya sangat tidak efisien. Maksudnya, jika ketiga saudaranya berada di sekolah umum dan hanya dia sendiri yang berbeda, akan sulit untuk mengawasi Aldi nantinya. Galih Darsono meminta sang putra untuk mengambil jurusan jurnalistik di universitas saja, alih-alih di sekolah menengah. Sekalian jika sang casanova memang memiliki bakat, kedua orang tuanya akan dengan senang hati memberinya modal untuk membuka usahanya sendiri, seperti studio foto yang sedang banyak digeluti anak-anak muda saat ini.   Aldi kembali memasukkan bola ke keranjang lawan, pemuda itu beradu tos dengan Rando. Malik tidak bisa ikut bermain karena pergelangan kakinya cedera akibat jatuh dari skateboard. Sang putra Darsono menyugar rambut lebatnya ke belakang, wajah tampan penuh karismatik itu tersenyum ramah pada barisan siswi yang tengah melihat aksinya. Hari ini adalah jadwal olahraga untuk kelas Aldi yang harus berakhir lebih cepat karena guru pembimbing ada kepentingan mendadak, istri dari guru olahraga Aldi melahirkan pagi ini, jadi kelas terpaksa dikosongkan. Karena sudah terlajur berganti baju olahraga, Aldi dan teman-teman sekelasnya memutuskan untuk bermain basket di halaman sekolah. "Udahan Di, capek! Panas banget lagi!" ujar Rando ngos-ngosan, pemuda itu mengusap wajahnya yang penuh keringat dengan kaos olahraganya.   "Yaelah, cupu lo! Baru aja main berapa menit." ejek Aldi sambil memainkan bola basket di tangannya.   "Gue angkat tangan Di, gue ke kantin duluan." Rando berlari kecil menuju kantin, selain untuk membeli minuman penyegar dahaga, beberapa sudut kantin juga lebih sejuk karena banyak pepohonan. Rando pergi meninggalkan Aldi dan teman-temannya yang lain begitu saja. Aldi pun melempar bola basket di tangannya kepada Vigo, dan berlari kecil menghampiri Malik yang hanya duduk di pinggiran kelas sambil mencabuti rumput di sekitarnya. "Udah Mal, lo bikin tamannya jadi gundul tuh." ujar Aldi setelah sampai di depan Malik. "Yee, jadi bersih gini, bagus kan." ujarnya bangga. "Bagus sih bagus, tapi ini kelas orang. Kantin yuk." "Ayo deh." Aldi membantu Malik untuk berdiri, kaki pemuda itu masih mengenakan sepatu khusus untuk cedera, dan satu lagi mengenakan sepatu sekolah biasanya. Tadi pagi, Aldi tertawa habis-habisan melihat penampilan Malik, dan kali ini pun ia masih merasa lucu melihat sahabatnya itu. "Kenapa sih?!" kesal Malik. Pemuda itu berjalan dengan terbata, ia tidak mau Aldi memapahnya dengan alasan tidak mau terlihat lemah. "Gapapa, lucu aja lihat lo." ujar Aldi mencoba untuk tidak tertawa. "Kenapa ga pake sepatu dua-duanya aja sih?" "Yang kiri, kan cedera." "Maksudnya alat bantu jalan." "Lawak nih anak, kan yang cedera satu, masa pake dua-duanya sih. Ntar gue jalannya kayak robot lah." Aldi pun menutup mulutnya agar tawa pemuda itu tidak menggelora dan semakin membuat Malik kesal, pasalnya pemuda lincah seperti Malik sangat aneh mengenakan sepatu alat bantu jalan. Malik itu anak yang pecicilan dan sering melakukan tindakan ekstrim di luar batas, Malik sering mengikuti bela diri dan parkour tapi justru tidak pernah ada catatan ia cedera karenanya.   Sepanjang perjalanan, Aldi bukan tidak peka jika dirinya selalu menjadi pusat perhatian terutama bagi para siswi yang tak sengaja melewatinya. Aldi membau tubuhnya sendiri saat para gadis itu saling berbisik sambil tersenyum aneh, tapi sudah bisa dipastikan ia tidak bau. Justru tubuhnya semakin mewangi berkat semprotan perfume milik Arsen yang ia pinjam setiap jam pelajaran olahraga. Bahkan, wangi tubuhnya kini sama persis dengan sang kakak. Wajah dan leher yang penuh keringat bercucuran, rambut awut-awutan, semakin menambah kesan cool dan manly dari anak ketiga keluarga Darsono itu.  Aldi mengedipkan sebelah matanya, tepat saat melewati sekumpulan siswi yang sedang makan di kantin. Melihat mereka memekik kegirangan, membuat Aldi menyunggingkan senyum miringnya.  Malik mencebih, "Bisa udahan tebar pesonanya, saya enek bapak." ujarnya. "Iri, bilang boss!!" balas Aldi sebelum berlari meninggalkan Malik setelah memberikan tampang mengejek pada pemuda itu, jika saja Malik tidak sedang cedera, pasti putra Darsono itu mendapatkan jitakan keras di jambul kesayangannya. Perjalanan menuju kantin memakan waktu lama karena ia harus berjalan pelan, Malik pun duduk di depan Rando yang sedang meminum jus jeruk dengan hikmat. "Ga ada yang bakal ngambil Ndo, itu jus lo." cibirnya. "Sluuuurrpp, aahhhh!" Rando sengaja meminum jusnya dengan penuh drama. Jus jambu yang kini tersisa setengah gelas saja.   "Ck, iklan sirup Marjan lo?" "Bukan, Nutrisari jeruk Maroko. Apa lo!" garang Rando.   Malik tak menanggapi lagi, ia memilih untuk menerima segelas jus jambu dari nampan yang Aldi bawa dengan susah payah. "Kok jambu sih?" "Kenapa?" tanya Aldi. "Yang lain ga ada?" protes Malik. Rando pun memutar bola matanya, ia tahu sahabatnya itu tidak terlalu menyukai jus jambu. Berbanding terbalik dengan dirinya yang sangat menyukai jus dari buah yang kaya akan vitamin C itu. "Udah minum aja, jus jambu baik untuk kesehatan tau, kaki lo yang cedera besok sembuh habis minum itu." "Mau makan gak?" tawar Aldi.   Kedua sahabatnya langsung mendongak seketika, "Dibayarin?" tanya mereka, sengaja menatap Aldi dengan binar mata menggemaskan dan penuh harap. Aldi berdecih, "Cuma tanya, ga punya duit gue. Ini mau pesen bakso Mang Dadan, kalo mau gue pesenin sekalian." Kedua temannya langsung menghela napas kasar, "Kan lo anak orang kaya, sekali-kali lah bayarin kita makan." ucap Rando. "Papa sama mama yang kaya, gue enggak." jawabnya enteng. "Ini aja dapat uang dari mereka, kalo ga jadi anaknya mama papa, pasti udah jadi gelandangan gue." Malik menjentikkan jarinya saat sebuah ide terlintas di kepalanya, "Kenapa lo gak buka jasa pacar sewaan aja, muka lo kan ganteng pasti laku. Di internet sekarang banyak yang kayak gitu, ga susah kok, cuma nemenin ngobrol aja." "Bener tuh, banyak loh cewek yang mau sama lo. Biar gue jadi managernya. Lumayan lah, kalo sekali kencan dapet lima ratus ribu, pasti kita untuk banyak, Di." tambah Rando.   "Gue jadi sopir lo Di." tandas Malik, cowok itu menepuk-nepuk bahu Aldi dengan gemas. Aldi mencebih mendengar penuturan kedua temannya, bisa-bisanya mereka mempunyai pikiran untuk memanfaatkannya demi keuntungan semata. Memang mereka dalah sahabat yang luar biasa. "Ga mau, gue masih bisa minta uang sama mama daripada hari jual diri." kesalnya. "Ralat ya, itu bukan jual diri Aldi. Itu adalah jasa." balas Rando. "Sama aja!" ketus Aldi.   Bel istirahat pun akhirnya berbunyi, para siswa berlarian keluar dari kelas mereka. Beruntung Aldi dan kedua temannya sudah lebih dulu mengisi area yang nantinya akan penuh sesak dengan murid-murid yang ingin mengisi perut mereka. Kantin utama selalu jadi tempat andalan saat jam istirahat, selain tempatnya yang luas dan nyaman, disini juga ada banyak gerai yang menjual makanan dengan harga murah. "Kak Violet, makasih sandwichnya ya." ucap Aldi saat seorang gadis berwajah campuran Indo-Arab melewatinya. Violet tersenyum malu-malu, pipi gadis itu memerah seperti tomat hanya karena mendapat sapaan dari Aldi.   "Sandwich?" Rando menaikkan alis kanannya.  "Yang tadi pagi." balas Aldi pelan setengah berbisik.  Dan kedua temannya hanya membeo. Tadi pagi, seperti pagi pada umumnya. Laci meja Aldi penuh dengan kiriman cokelat dan surat cinta dari para gadis yang mengaguminya. Pemuda itu sempat terheran saat menemukan sebuah kotak makan berisi sandwich di lacinya, setelah dilihat lagi ada yang terselip disana yaitu selembar kertas kecil bertulis 'Violet, XII IPA 4', dan Aldi langsung paham. Jangan tanyakan siapa yang menghabiskan sandwich itu, karena sudah pasti Rando dan Malik bersedia tanpa diminta. Cokelat? Arsen dan Shena dengan senang hati memakannya. Dan, surat cinta? Menurut Aldi itu sudah sangat kuno, pemuda itu hanya membuangnya di tempat sampah  Aldi mengusap perutnya yang terasa berbeda. "Kenapa?" tanya Malik. "Ga tau, mules." "Tuh kan, karma orang pelit dibayar tunai, Di." Merasa perutnya semakin melilit, Aldi berlari menuju toliet yang letaknya di belakang area kantin. Syukurlah sedang sepi, jadi ia bisa menuntaskan panggilan alamnya tanpa mengantre. Lima menit berlalu, Aldi keluar dengan perasaan lega. Padahal ia belum sempat memesan bakso lava ala Mang Dadan, tapi perutnya sudah melilit tidak karuhan. Setelah diingat kembali, rupanya pagi tadi ia luoa belum melakukan ritual rutinnya yaitu buang air besar sebelum berangkat ke sekolah. "Eeh... eh!" Aldi berpegangan pada tembok pembatas saat ia tak sengaja tergelincir di lantai. Ada papan peringatan lantai licin disana, tapi pemuda itu sudah hampir menyapa ubin yang basah. Sebuah kertas yang tertempel di papan itu bertuliskan jika keran air di salah satu bilik toilet rusak dan membanjiri sampai ke depan toilet. Aldi mengusap dadanya, syukurlah ia tidak terpelesat. Pemuda itu pun berjalan dengan hati-hati. Tapi, kehati-hatian itu rupanya tidak berada di pikiran gadis yang tengah berlari menyusul kedua sahabatnya itu. Tak melihat papan penanda, gadis itu melewati toilet setengah berlari. Ia pun tak menunduk untuk menyadari bahwa lantai banyak digenangi air. "Eh! Awas!" "Awwwh!" Kaki kanan Sonia tergelincir, dan satu kakinya lagi kehilangan keseimbangan. Gadis itu pun menumbuk Aldi yang baru saja keluar dari toilet. Sonia tercekat, kedua tangannya berpegangan pada bahu kokoh Aldi. Dari jarak yang nyaris terpangkas sepenuhnya ini, ia dapat melihat ketampanan sang putra Darsono yang tidak tertandingi. Sonia membeku untuk beberapa saat, debaran jantungnya menggila saat napas pemuda itu menyapu wajahnya dengan hangat. Entah sebuah kemalangan atau keberuntungan yang ia dapat hari ini, tapi waktu seolah menghentikan lajunya untuk sesaat. Sonia dibuat kehilangan akal saat merasakan nyaman di dalam pelukan hangat adik sang sahabat itu. Aldi mengerjap, ia menjauhkan wajahnya dari Sonia yang sudah mirip kepiting rebus. Pemuda itu pun melambaikan tangannya di depan wajah Sonia yang diam tak berkedip, "Kak? Kak Sonia?" "Eh!" "Ma-maaf." Sonia terbata, seluruh isi pikirannya ditarik kembali dari lamunan. Sekuat tenaga gadis itu mencoba untuk berdiri dengan tegar, "Lantainya licin ya?" Aldi mengangguk, "Iya, keran airnya bocor tadi. Terus banjir sampe ke luar." "Kakak gapapa, kan?" tanya Aldi. "Heh?" Sonia menggeleng, "Gapapa kok." "Kok mukanya merah banget?" Sonia pun menangkup kedua pipinya, terasa panas, pasti sekarang ia tengah memerah. Gadis itu pun mengumpat dalam hati karena dengan mudahnya tersipu. Ia sangat malu karena Aldi melihatnya kacau dan salah tingkah, gadis itu pun enggan menatap manik cerah Aldi saat ini. Memilih untuk terus menunduk sambil melihat ke arah lain. "Ga kok, gapapa." "Yakin?" "Iya, yakin." "Mau dianterin ke UKS?" tawar Aldi. Sonia kembali menggeleng dengan tegas, "Gapapa kok ini, beneran deh!" "Emm... Yang tadi, makasih ya." "Yang mana?" Aldi menautkan keningnya. "Itu...." "Yang mana?" "Ah udahlah!" pekik Sonia semakin salah tingkah, terlebih saat Aldi mencoba untuk terus menatap matanya. Berlama-lama disini sangat tidak baik untuk kesehatan jantungnya yang saat ini masih terus berdebar-debar. Tunggu! Apakah Aldi tadi merasakan detak jantungnya? Posisi mereka berpelukan dan saling menempel tadi, ah, Sonia merutuki sifatnya yang sulit untuk berhati-hati. Sonia pun berlari meninggalkan Aldi yang keheranan, sahabat kakaknya itu sangat aneh setelah tergelincir tadi. Aldi pun menggelengkan kepalanya dan memilih acuh, bukan urusannya juga tentang Sonia. Lagipula, gadis itu belum sempat menyapa ubin apalagi terbentur lantai karena ia dengan sigap menangkapnya. Satu-satunya benturan yang terjadi adalah dengan dirinya, dan tidak mungkin sampai membuat Sonia salah tingkah seperti itu. "Kenapa lo?" tanya Vanya saat Sonia sampai di meja mereka dengan tatapan kosong. "Son? Lo kenapa sih?" "Heh?" "Lo linglung apa gimana sih? Kenapa?" tanya Vanya penasaran, gadis itu menempelkan tangannya di dahi Sonia. Suhu tubuh gadis itu masih normal, tapi mengapa wajahnya memerah. "Kenapa pipi lo merah banget?" Sonia menghela napas sejenak, ia menggigit bibirnya seperti seseorang yang linglung. "Gue tadi habis ketemu malaikat." ujarnya. "Malaikat apa?" tanya Shena, ia yang awalnya ingin menyendok bakso pun tidak jadi melakukannya. Sikap Sonia lebih membuatnya tertarik kali ini. "Jangan bilang malaikat maut, Son?!" "Yakin sih ini malaikat mau, Na. Buktinya dia jadi linglung gini." balas Vanya. Sonia menggeleng dengan senyuman yang tersungging indah di wajahnya, mengingat kembali kejadian bersama Aldi tadi sanggup menggetarkan seluruh jiwa raganya. Sonia sudah mengenal Shena dan Arsen untuk waktu yang lama, sejak mereka masih bersekolah di taman kanak-kanak tepatnya. Tapi si kembar Aldi dan Aldo, jujur saja ia tidak mengenal mereka lebih jauh selain adiak dari kedua sahabat kecilnya. Setelah Affan, kali ini bisa dipastikan bahwa Aldi sanggup membuat dirinya kembali jatuh cinta sekalipun gadis itu belum sepenuhnya yakin. "Malaikat paling tampan di hidupku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD