Rusuh

1800 Words
Sore hari yang hangat ditemani semburat jingga di cakrawala, matahari mulai bersiap untuk kembali bersembunyi agar orang-orang bisa beristirahat dibuaian malam yang dingin. Menanam bunga menjadi sebuah trend yang heboh belakangan ini, selain untuk healing, menanam bunga juga meningkatkan kreativitas diri. Tapi untuk beberapa orang yang terlalu malas atau tidak memiliki cukup waktu untuk menanam sendiri, mereka tetap dapat menikmati keindahan bunga dengan cara membeli. Saat ini bisnis jual beli tanaman hias sangat marak dan digeluti berbagai kalangan. Metode penjualannya pun lebih banyak dipasarkan di sosial media, alih-alih membuka sebuah toko khusus tanaman hias. Wulandari Darsono adalah salah satu yang sedang mengikuti trend membeli bunga berbagai jenis. Tak tanggung-tanggung, sang nyonya itu lebih dari dua puluh jenis bunga dari berbagai toko online. Dan sore ini, beberapa dari mereka telah sampai kepada pemiliknya. "Mah, ini mau ditaruh dimana?" tunjuk gadis itu pada sebuah pot berisi bunga berwarna ungu yang entah apa namanya. Daunnya beruas seperti padi dan bunganya kecil-kecil.   Wulandari pun menghentikan aktivitasnya yang sedang menyirami bunga-bunga barunya, "Di dekat lampu jalan." wanita paruh baya itu mengarahkan telunjuknya. "Itu ada temennya juga, tuh!" Shena membawa pot bunga berukuran itu sedang untuk ditata berjejer dengan bunga sejenisnya, tapi berbeda warna.  "Ma, bunga yang ini di tambah pupuk gak?" tanya Aldo, pemuda itu datang sambil membawa sekarung pupuk kompos. Wulandari mengangguk, "Semua yang belum di kasih, kamu kasih pupuk aja." Sore ini, Wulandari mengajak keempat anaknya untuk berkebun, terlalu sore memang, sengaja untuk menghindari sinar matahari yang terik. Menata halaman dengan berbagai bunga warna-warni adalah kegemaran wanita itu. Pekan lalu, ia membeli belasan bunga yang sering muncul di sosial media. Lalu sore ini, wanita cantik itu memberdayakan anak-anaknya untuk lebih produktif di sore hari ini. "Mah, aku capek, udah ya." ujar Aldi.   Wulandari menghela napas jengah, "Baru aja berapa menit kamu bantuin mama, masa udah capek aja, dasar lemah!" ejek sang ibu.   "Ini emang buat apa sih mah?" "Yaa, buat ditanam lah. Masa buat ngambil air." jawab Aldo, pemuda itu sedang mengisi pot kosong dengan tanah dan pupuk. Kurang satu sekop lagi dan pot itu siap ditanami bunga.   Aldi mendelik tajam, "Yang buat ngambil air, gayung?" "Itu yang dipake kalo lagi hujan." balas Arsen.   "Payung, bukan gayung!" "Bukan, itu yang berenang di laut." timpal Shena.   "Itu duyung!!!" kesal Aldi. Ketiga saudaranya hanya terkekeh dan tak berniat untuk membalas lagi, mereka sibuk dengan tugas yang berikan oleh sang ibu untuk masing-masingnya. Seperti tugas Shena yaitu memindahkan bunga ke dalam pot yang lebih besar, Aldo bertugas memberi pupuk, dan Arsen yang bertugas menata pot bunga itu. Hanya Aldi yang tidak memiliki tugas yang jelas sore ini. Salah satu hewan yang paling Aldi hindari adalah cacing, hewan tanah yang berguna untuk kesuburan ini menjadi pantangan tersendiri untuknya. Oleh karena itu juga Aldi tidak menyukai berkebun, dan segala kegiatan yang melibatkan tanah dan cacing di dalamnya. Bentuk hewan itu yang membuatnya ngeri sendiri ketika melihatnya. Itu juga yang kini menjadi sebuah inspirasi untuk si bungsu melakukan kejahilan, di sekop kecil yang tengah ia genggam ada seekor cacing yang berukuran lumayan besar. Warna merah muda yang khas dan gerakan menggeliat yang mengerikan bagi Aldi. Si bungsu mendekat dengan sekop di belakang tubuhnya, "Di?" "Hmm." "Mau yang seger-seger gak?" "Apaan?" tanya Aldi sambil mengerutkan keningnya, pemuda yang tengah berjongkok sambil menata pot bersama Arsen itu mendongak. Tepat saat itu juga, Aldo mengambil cacing itu dengan tangannya dan mengarahkannya tepat di depan mata Aldi. "Aaaaaaaaaaaaargh!!" pekik Aldi. Tangannya refleks menampik lengan Aldo yang membuat cacing itu terbang tak tentu arah, hingga akhirnya hinggap di celananya. Aldi pun bangkit sambil menghentak-hentakkan kakinya agar cacing itu pergi dari celananya. "Aaaaaargh, mama tolongin, ada cacing!" "Aduh, mana cacingnya?" tanya Wulandari tergopoh-gopoh menghampiri sang putra. "Ga tau mama, tadi ada disini." "Dimana sih?" "Aaaaaaa, ga tau!" "Kamu diam dulu coba!" kesal sang ibu, wanita itu menahan kedua bahu Aldi agar berhenti bergerak tidak jelas. Ia mengamati tubuh sang putra dan tidak menemukan cacing menempel di pakaiannya. "Udah ga ada!" ujar Wulandari mencoba meyakinkan sang putra. Aldi mendelik tajam pada Aldo, si bungsu itu justru berdiri dengan tengil sambil cekikikan tidak jelas. Dari raut wajahnya, sudah jelas jika ia sangat puas melihat sang kakak tersiksa. Ini untuk pembalasan minggu lalu, ketika Aldi mengerjainya habis-habisan dengan seekor kecoa. Si bungsu paling benci dengan kecoa, apalagi yang masih bisa terbang. "Seneng lo!" ketus Aldi. "Ini pembalasan minggu lalu, wleee." "Tunggu aja pembalasan yang jauh lebih kejam." ujar Aldi.   Setelah acara berkebun yang melelahkan, ketiga anak laki-laki Darsono tekapar di teras depan rumah. Sinar matahari memang tidak seterik siang tadi, tetapi karena berulang kali memindahkan pot bunga yang tak sedikit jumlahnya, membuat mereka kelelahan. Belum lagi saat posisi dari pot itu tidak seperti yang diinginkan sang ibu, maka mau tidak mau mereka harus memindahkannya lagi. Shena datang dengan nampan berisi es kelapa muda dan beberapa camilan.  Aldo langsung bangkit dari rebahannya, meneliti satu persatu camilan di toples. "Kacang medenya mana?" "Habis." jawab Shena.   "Stock di lemari?" Shena menggeleng, "Ga ada, kosong semua."   Arsen mengambil segelas es kelapa muda, "Tumben, biasanya mama selalu restock." balas pemuda itu. Kacang mede yang notabebe adalah camilan favorit di rumah ini biasanya akan disiapkan oleh sang ibu di lemari dalam jumlah yang banyak. Shena pun mengendikkan bahunya, "Mungkin lagi ga panen medenya." jawabnya asal. "Kok ada es kelapa? Kita, kan ga ada pohon kelapa ya." ujar Aldi, tangannya terulur untuk mengambil segelas es kelapa muda yang tampak menyegarkan. "Iya, tadi beli di perempatan depan, kebetulan mama tadi lewat sana." jelas Shena.   "Enak nih, sore-sore gini minum es kelapa, segerrr!" Aldi bersemangat karena pemuda itu sangat menyukai air kelapa, setiap minggu Aldi akan membeli segelas kelapa muda di warung perempatan dekat rumahnya dan sudah menjadi langganan.   Mereka berempat akhirnya sibuk dengan minuman masing-masing, menyendok serutan kelapa sembari menikmati rona senja yang tertutup polusi. Sebuah lagu pun sengaja diputar oleh si sulung guna menambah hangat suasana yang tercipta oleh senja, rasanya sangat tenang hingga menjemput malam yang dingin tak terasa menakutkan. Terkadang, menjadi dewasa itu menakutkan. Semakin dewasa maka akan semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk diri sendiri, menjadi dingin dan kesepian adalah sebuah kutukan. Arsen menatap satu persatu wajah tiga orang yang menjadi separuh nyawa baginya, meresapi wajah polos itu sebelum berubah menjadi mengerikan di kemudian hari. Beban dan tanggungjawab sebagai sulung mulai terasa semakin berat baginya, terlebih perihal ketiganya yang telah beranjak dewasa. Semakin jauh dari genggaman Arsen, mereka lah yang akan melepaskan diri dan mencari dunianya masing-masing. Arsen yang pertama meletakkan gelasnya, serutan kelapa di gelas itu sudah habis. Hanya tersisa airnya saja, "Menang!" ujar pemuda tampan itu. "Lahh, emang ini tadi balapan?" "Iya." jawab Arsen enteng, "Yang paling duluan habisin kelapanya dia menang." "Yang kalah cuci gelasnya!" tambah Shena, sembari meletakkan gelasnya yang sudah bersih dari serutan kelapa. Air di dalam gelasnya masih tersisa setengah, gula jawa yang ditambahkan ke dalamnya terlalu manis bagi Shena yang kurang suka rasa legit. Jadi gadis itu tidak melanjutkan minumannya, nanti saat es yang ada di dalamnya mencair, mungkin tak akan terlalu manis. Aldi dan Aldo pun saling lirik, mereka beradu cepat untuk menghabiskan serutan kelapa di gelas masing-masing. Si bungsu menanggalkan sendoknya, ia menenggak es kelapa miliknya, begitu pun Aldi yang tak mau kalah. Byuuuuuuuurrrr!!!  Aldi menyemburkan minuman di mulutnya, tadi sebelum menenggak ia tak sengaja melihat semut berenang di gelasnya. "Huh, untung ga ketelen. Bisa bentol-bentol lambungku." ujar pemuda itu. Ia meneliti kembali gelasnya, takut jika masih ada kawanan semut yang tertinggal disana. Ini pasti efek dari gula jawa yang menjadi pemanis minuman itu. "Ini pasti mamang penjualnya lupa nutup gulanya, kan, jadi ada semut." "Untung aja ga ketelen sih." Aldi mendongak, lalu sedetik kemudian bola matanya menjadi bulat seketika. Astaga! Semburannya tadi tidak sengaja mengenai ketiga saudaranya, Arsen yang paling parah, karena si sulung berada tepat di depan Aldi. Serutan kelapa masih menempel di rambut Shena, dan wajah Aldo sudah pias dengan air kelapa.  "Ma..maaf wahai saudara." ujar Aldi sambil mengigit bibirnya, ia menangkup kedua tangannya tanda memohon.   Tak ada ekspresi dari ketiga saudaranya, perasaan Aldi kini benar-benar tidak enak. Intuisinya kuat mengatakan, ia harus segera pergi tapi kakinya menolak untuk bergerak. Mendengar helaan napas Arsen, Shena yang sibuk memungut serutan kelapa di rambutnya, dan Aldo yang mengusap wajahnya dengan kaos yang ia kenakan. "Aduhh. Maaf, tadi aku ga sengaja. Sumpah!" "Gimana dong? Maafkan aku kawan." Ketiga saudaranya menatap sekilas pada Aldi, mereka meraih gelas masing-masing dan meminumnya.   Byuuuuuuuurrrr!!!  "Mamaaaaaa!" teriak Aldi heboh. Rambut, wajah, leher dan bajunya semua basah dan lengket. Serutan kelapa kecil-kecil tersebar di rambut dan wajahnya. Pemuda itu mengusap wajahnya kasar, sambil mendelik tajam kepada ketiga saudaranya yang tengah tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perut mereka.   "Awas ya kalian!" ujar Aldi tidak terima. "Kan, udah minta maaf."   "Wleeeeeee!" ejek Aldo dan kembali tertawa.   Kalau digambarkan di film-film kartun, wajah Aldi sekarang sudah memerah dengan telinga berdesing saking marahnya, pemuda itu menatap sengit ketiga saudaranya. Ia tidak bisa tinggal diam saat ditindas dengan nyata oleh mereka, lihat saja pembalasan yang akan mereka terima. Memutar otak secepat mungkin, Aldi melihat sekeliling guna mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk membalas mereka. Aldi menatap toples di sampingnya lalu tersenyum miring, tangannya diam-diam meraih kacang telur di dalam toples itu sebanyak-banyaknya. Mereka masih tidak menyadari serangan balik dari Aldi, karena terlalu asik tertawa, mari kita lihat apakah mereka masih bisa tertawa setelah ini. "Serangggg!!!" Aldi melemparkan satu persatu kacang telur di genggamannya. Sementara saudara-saudaranya sibuk melindungi kepala mereka dari serangan mendadak itu. Aldi mengambil ancang-ancang, lalu bersiap untuk berlari.  "Hahahahah! Rasakan pembalasanku." "Hahahaha! Rasakan ini." Serangan itu mendadak berhenti dan Aldi sudah menghilang di balik pintu. Langkah kaki pemuda itu tercetak di sepanjang jalan yang ia lalui karena tubuhnya basah. Shena menatap sekeliling, kacang telur berceceran dimana-mana.  "Mampus!" ucapnya.  "Aldi!!" Mereka segera memunguti kacang telur itu satu-persatu dan membersihkan sisa pertarungan, yang belum bisa dinyatakan siapa pemenangnya. Membalas Aldi itu bisa dilakukan kapan saja, masalahnya jika Wulandari sampai mengetahui kekacauan yang mereka buat, habis sudah kena marah. Wanita itu paling benci melihat sesuatu yang tercecer dan berantakan. "Awas lo Di!" kesal Arsen, si sulung mengepalkan telapak tangannya. Dibandingkan Shena dan Aldo, dia jauh lebih parah karean berhadapan langsung dengan Aldi.   "Tenang bang, kita pasti balas dendam." Aldo mulai menyusun sebuah strategi di otaknya, serangan balik yang akan mereka lancarkan akan menjadi sebuah kemenangan. Karena tiga lawan satu, Aldi tidak mungkin lolos kali ini. "Tunggu pembalasan kita, Di." "Ha...Ha...Ha...." Di kamarnya, Aldi sengaja mengunci pintu kamarnya rapat-rapat agar ketiga saudaranya tidak bisa masuk ke dalam. Ia harus membersihkan diri setelah sebuah pertarungan yang melibatkan jiwa dan raga, tapi sebelum beranjak menuju kamar mandi. Pemuda itu meraih ponsel yang tergeletak di nakas, ada banyak pesan masuk disana, rata-rata dari para wanita. Tapi, sebuah pesan dari Candra membuatnya penasaran. Aldi pun membuka roomchat Candra, isinya perihal taruhan yang dimenangkan oleh pemuda itu beberapa hari lalu. 'Besok minggu, jangan sampai ga dateng! Taruhannya gue menang, jadi jangan cupu!'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD