Sempurna

1622 Words
Apa yang terbesit ketika berbicara tentang uang kas? Kelas? Bendahara? Uang kas adalah satu hal yang wajib ada di kelas, terutama kelas sepuluh yang baru memulai kehidupan di SMA. Segala fasilitas di kelas itu sudah sangat lengkap, tapi selalu ada hal-hala mendesak yang membutuhkan uang. Oleh karenanya, iuran kas di kelas si bungsu diadakan setiap senin setelah upacara bendera selesai dilaksanakan. Dan sosok yang mendapat kehormatan sebagai bendahara kelas itu adalah gadis berambut pendek yang terkenal sangat galak. Magdalena Pertiwi namanya, kerap disapa Lena atau Bendahura. Alasannya karena Lena dan Fitri, wakil bendahara kelas itu, sangat suka hura-hura. Lena menggulung buku tulis yang tadi ia gunakan sebagai kipas, gadis itu memberi kode kepada Fitri untuk mengambil buku keramat yang isinya daftar siswa-siswi di kelas itu. Saat iuran sepuluh ribu rupiah mereka berikan, maka centang hijau mereka dapatkan. Tapi jika sebaliknya, maka mereka akan mendapat silang berwarna merah dari Fitri. "Ayo, Len!" ajak Fitri sudah bersiap dengan buku dan pulpen warna-warni miliknya. "Banyak yang belum bayar ya?" tanya Lena. Fitri pun mengangguk, "Iya nih, lihat sendiri deh banyak banget yang ga tertib buat bayar kas." "Kalo gitu hari ini kita tertibkan." Fitri pun mengangguk dua kali, sebagai wakil bendahara, tugasnya hanya mengikuti bendahara satu yang bertugas menagih layaknya penagih hutang. Lena memulai dari barisan depan, isinya siswi teladan yang rajin membayar kas tentu saja, sehingga tidak butuh waktu lama karena mereka sudah tahu dengan kewajibannya. Barisan tengah, masih cukup kooperatif sekalipun ada beberapa yang belum membayar dengan berbagai alasan. Lena pun masih bisa memaklumi itu karena barisan tengah bukan yang paling banyak absen saat iuran kelas. Jreng.... jrengg.... jrenggg..... Petikan gitar Leon mengawali sesi bernyanyi pagi ini, gitar itu pun sengaja ditinggal di dalam kelas karena pemuda bermata sipit itu punya banyak di rumahnya. Leon sedang tergila-gila dengan bermain gitar seperti cover lagu di internet, ia pun banyak belajar memainkan gitar setelahnya. "Udah Yon, petikan lo ga enak didengar. Dari tadi genjrang-genjreng tapi nadanya ga tau kemana. Ini yang dengerin juga capek sendiri loh." ujar Roy dan diangguki beberapa siswa lain, pasalnya, Leon belum terlalu mahir dan petikan nadanya belum enak untuk didengarkan. "Namanya juga masih belajar." "Iya sih, tapi belajar dulu yang pinter. Baru main, atau minta diajarin siapa gitu biar makin pro." "Ini, kan belajar Roy." balas Leon tak mau kalah. "Lo kalo ga suka ga usah dengerin." "Gimana caranya? Ini kuping ga bisa ditutup." "Pergi sana lah, biasanya juga ke kantin." Roy memutar bola matanya malas, pemuda itu melepas dasi yang melilit kerah lehernya dan membuka tiga kancing bajunya, menampilkan kaos putih polos yang digunakan pemuda itu sebagai baju dalam. Barisan belakang memang tempat yang sangat ciamik karena dekat dengan AC, ia membutuhkan pendinginan karena saat upacara tadi matahari sedang terik-teriknya. Leon kembali menggenjreng senar gitarnya, pemuda itu masih terbata-bata dan sesekali melihat tutorial di ponselnya. "Ini gimana sih?" guman Leon. "Ini A?" "Kunci C gimana ya?" "Woy!!" sentak Aldo, ia menepuk keras bahu leon hingga pemuda berdarah Cina itu berjingkit kaget. Aldo pun yang meringis tanpa rasa bersalah, ia meletakkan sebotol air mineral di samping Leon. Titipan pemuda itu saat Aldo hendak pergi ke kantin. "Sama-sama." ucap Aldo padahal Leon belum mengucapkan apa-apa. Leon memutar bola matanya, ia meraih air mineral itu dan membuka tutupnya. "Makasih." "Yoi!" "Main apa lo?" tanya Aldo ikut duduk di meja samping Leon. "Ini, main congklak." "Ini gitar namanya." koreksi Aldo sambil mengambil alih gitar itu dari pangkuan Leon, dilihat dari mereknya, sahabatnya itu tidak main-main dalam memilih gitar yang baik. Gitar berwarna coklat itu bukan gitar biasa seharga raturan ribu, tapi jutaan rupiah. Dapat dilihat dari kualitas bahan dan nada yang dihasilkan. "Yaa, udah tahu gitar masih nanya." ketus Leon. Tak menghiraukan Leon, Aldo pun mencoba memetik senar gitar itu. Tapi pemuda itu segera mengerutkan keningnya lalu menatap sang sahabat. "Kok gini? Nadanya berubah ini." "Emang iya?" "Iya." jawab Aldo seadanya, dulu ia pernah mengikuti les bermain gitar bersama Shena saat sekolah dasar hingga lulus sekolah menengah pertama. Tapi, keduanya tak lagi melanjutkan les itu saat SMA karena merasa tidak lagi mempunyai cukup waktu. Shena senang bernyanyi dan Aldo senang bermain gitar, mereka adalah kombinasi yang pas untuk sebuah pertunjukkan di acara keluarga. Biasanya mereka akan menyumbangkan sebuah lagu di acara pernikahan atau perkumpulan keluarga untuk acara selingan. Aldo pun awalnya dipaksa oleh sang kakak perempuan untuk menemaninya, karena dulu si bungsu sangat penurut kepada Shena, Aldo ikut dengan senang hati. Shena juga mengajak Arsen dan Aldi, tapi keduanya menolak dan lebih memilih mengikuti les olahraga di sekolah. Seperti basket dan futsal. Jadi lah Shena mengajak Aldo yang kebetulan tidak mempunyai kegiatan di waktu pulang sekolahnya selain bermain dan bermain. Dengan secuil ilmu yang ia miliki, berbekal ingatan yang mulai pudar karena tak lagi diasah. Aldo mencoba menyetel nada gitar itu dengan mengencangkan dan melonggarka senarnya. "Kau begitu sempurna...." "Hiyaaaaaa!!!!" sorak Roy dan anak-anak lain saat Aldo mulai mengeluarkan sedikit jurus tersembunyinya. Suara si bungsu itu sebenarnya cukup merdu hanya saja ia terlalu malas untuk bernyanyi. Seisi kelas pun mulai mengarahkan perhatian mereka kepada sang putra Darsono, sebuah momen langka untuk mendengarkan Aldo menyumbangkan suara emasnya. Karena saat di dalam kelas, pemuda itu hanya diam dan bermain game, atau numpang tidur. Sangat berbeda dengan perangainya ketika di luar sekolah, Aldo yang selalu petakilan dan urakan. Satu kelas pun menyoraki si bungsu untuk bernyanyi. "Lanjutin!" "Lanjutin!" "Lanjutin!" Leon turun dari meja dan kini hanya tersisa sang putra Darsono disana, ia memilih mengikuti Roy dan menonton dari bawah layaknya penonton bayaran. Leon dan beberapa anak lainnya mengarahkan kamera ponsel mereka untuk merekam Aldo, ini akan menjadi stories yang bagus nantinya. "Ayo buruan nyanyi, Do!" ujar Roy. "Ga mau ah, malu." balas Aldo, pemuda itu hendak meletakkan gitarnya tapi dihalangi oleh Leon. "Ga mau, Yon." "Oh gue tahu nih." celetuk Roy. "Harus ada ceweknya dong biar seru!" Seisi kelas bersorak mengiyakan ide cemerlang dari Roy, mereka bersorak dan saling tunjuk barisan siswi yang sekiranya cocok untuk menjadi pemanis dalam hiburan kali ini. Aldo pun mendelik tajam, "Jangan aneh-aneh!" "Gapapa, buat seru-seruan aja." balas Roy. "Roy, ga usah woy!" sentak Aldo saat sahabatnya itu mulai bangkit dan mencari mangsa. "Gue pulang kalo lo macem-macem, jangan bikin masalah deh." "Yaelah, buat hiburan aja, Do. Sekalian buat konten di medsos nih." Roy pun menatap seisi kelas, matanya bergerilya mencari sosok yang tepat. Si bungsu Darsono itu sangat pemalu kepada wanita, jadi ia merasa harus memilihkan yang cocok untuk Aldo. Seorang gadis cantik yang pemberani. Hingga tatapan pemuda itu jatuh kepada gadis berambut pendek yang tengah bersedekap sambil memegang sebuah gulungan buku, Lena tampaknya menjadi pasangan yang cocok kali ini. Roy pun beranjak untuk menghampiri gadis itu, "Lena!" "Wooooaaaa!" sorak Leon diikuti seisi kelas. Tanpa menunggu persetujuan, Roy menarik gadis itu untuk mendekat ke arah Aldo. Lena ingin sekali memberontak, tapi lidahnya mendadak kelu. Beberapa hari terakhir sejak insiden ia pingsan di kelas, Lena selalu berdebar saat bertemu dengan Aldo. Memang tidak ada alasan yang jelas untuk semua itu, murni dari dalam hatinya. Lena mendengar cerita dari Dhea, teman sebangkunya, bahwa saat ia pingsan. Sang putra Darsono itulah yang menggendongnya sampai ke UKS. Dan untuk itu, Lena belum sempat mengucapkan terima kasih. Setiap kali ia ingin berbicara kepada Aldo, ada saja halangannya. Entah pemuda itu sedang bersama teman-temannya atau dirinya yang mendadak salah tingkah karena Aldo ada di sekitarnya. Lena tak pernah berpikir bahwa mengucapkan terima kasih akan sesulit ini. Mulanya ia berpikir untuk memberikan sesuatu sebagai tanda terima kasih, tapi jika dipikir lagi itu bukan gayanya untuk berterima kasih. Lena menyadari sifat galak dan pemarah yang ia punya, menjadikannya kerap kali di cap negatif oleh orang-orang yang hanya mengenal sampulnya saja. Lena mendadak salah tingkah saat berada di hadapan Aldo, ia mendelik tajam kepada Roy yang seenaknya menarik tangannya. "Lepas!" desisnya. "Jangan galak-galak dong, Len. Sekali-kali lah kita seru-seruan biar suasana kelas ini ga boring." ujar Roy. "Santai aja Len, ini cuma bercanda kok." tambah Leon. Roy pun kembali bergabung dengan Leon, tak mau kalah ia mengeluarkan ponselnya dan mulai merekam. Berbeda dengan Aldo yang tampak tenang dan tidak masalah dengan situasi ini, Lena malah sebaliknya. Gadis itu berdebar tidak karuhan dan bergerak gelisah karena salah tingkah. Ia ingin melangkah pergi tapi hatinya seolah bekerja sama dengan tubuhnya untuk tetap tinggal di tempat. Terlebih saat gitar itu mulai dipetik dengan nada yang mengalun indah, menusuk lembut indra pendengarannya. Lena mengulum bibirnya, ia memberanikan diri untuk menatap Aldo. Gadis itu sengaja mengambil jarak dan bersandar pada meja agar tidak oleng, melihat karismatik seorang Reynaldo sanggup membuatnya meleyot saat itu juga. Saat semua kamera mengarah kepadanya, Lena pun mencoba untuk bersikap wajar. "Kau begitu sempurna........" "Di mataku kau begitu indah........." tepat di kata terakhir itu, Aldo mendongak guna membalas tatapan mata Lena. Gadis itu serasa tersengat aliran listrik statis yang membuat perasaannya membuncah, jika bisa digambarkan, sekarang ada kupu-kupu berterbangan yang menggelitik perutnya. "Kau membuat diriku akan selalu memujamu." Para penonton di kelas itu melambaikan tangannya menikmati alunan lagu yang dibawakan oleh Aldo. Mereka ikut terhanyut ke dalam suasana yang sangat romantis itu, yang sialnya hanya sebuah ajang untuk seru-seruan. Jika boleh berharap lebih, Lena ingin semua ini adalah kenyataan yang nyata, bukan permainan belaka. "Janganlah kau tinggalkan diriku." Lena ikut bernyanyi, mengimbangi nada rendah si bungsu dengan suaranya. Lena sebenarnya bisa bernyanyi dengan baik. "Yang tak akan mampu menghadapi semua." "Hanya bersamamu ku akan bisa." "Kau adalah darahku." senandung Lena. "Kau adalah jantungku." sambung Aldo. "Kau adalah hidupku lengkapi diriku, oh sayangku kau begitu." Mereka pun saling tersenyum sebelum sebuah kata pamungkas dengan makna yang dalam dan kunci dari lagu ini. Jika bisa, Lena ingin waktu berhenti saat itu juga, ia ingin menikmati senyuman tipis namun memanah tepat di relung hatinya itu untuk waktu yang lama. Saat manik kelam itu menatap matanya, Lena sudah mempersiapkan diri untuk jatuh sejatuh-jatuhnya. "SEMPURNA."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD