Minggu misterius

1558 Words
Sebuah notifikasi pesan kembali muncul di ponsel boba milik Aldi, itu adalah pesan keenam dari Candra yang mewanti-wantinya agar tidak ingkar janji. Candra mengingkatkan tentang taruhan itu padahal Aldi sudah hafal di luar kepala, pesan dari Jovan, Ega dan Dimas pun mengonfirmasi bahwa mereka akan datang. Pantang, bagi seorang laki-laki untuk ingkar janji. Aldi menyambar jaket kulit berwarna hitam milik Arsen di kamar sang kakak, kebetulan di hari minggu yang cerah ini si sulung sudah pergi entah kemana. Saat berpapasan dengan Shena, pemuda itu hanya menyapa seadanya. Tapi bukan Shena namanya jika tidak penasaran, gadis itu mengikuti Aldi sambil membawa s**u kedelai yang ia beli dari tukang sayur di depan kompleks. "Kemana?" tanya gadis itu. "Mau nyusu, eh, mau pergi!" koreksi Aldi. Shena pun melempar sebotol kecil s**u kedelai yang tadi ia beli, "Nyusu tuh biar kuat menghadapi kehidupan." ujarnya. Sebotol s**u kedelai itu berhasil ditangkap Aldi dengan sigap, sebelum tumpah kemana-mana dan mengotori baju dan jaket milik Arsen. Aldi mencebih saat melihat warna s**u itu dan membaca tulisan yang tertera di botolnya, s**u kedelai rasa melon biar ga blo'on. "Rasa yang lain dong!" protes Aldi, melihat Shena membawa kantung plastik berisi s**u kedelai beraneka rasa. "Udah yang itu aja." "Melon ini, ga keren minum s**u rasa melon." "Lah, apa hubungannya?" Shena mengerutkan keningnya. Aldi memutar bola matanya malas, "Udah tampang gangster ini masa minum rasa melon. Rasa cokelat dong, atau yang original juga boleh." Shena berpura-pura tuli, ia melenggang pergi begitu saja tanpa mempedulikan Aldi. Menurutnya ia baru saja membuang beberapa menit waktunya yang berharga untuk berbicara penuh kesia-siaan dengan Aldi. Hari ini hanya Shena yang tersisa di rumah, dan rencananya siang nanti ia akan berkunjung ke salon bersama Sonia. Don Juan melesat membelah jalanan ibukota bersama pemiliknya, motor gagah itu melaju dengan pasti di jalanan yang ramai karena banyak orang pergi untuk menghabiskan hari minggu mereka. Aldi merasa miris saat tiap kali ia menyalip pengguna jalan, selalu ia temui sepasang kekasih yang saling berpelukan di atas roda dua mereka. Sedangkan jok belakang Don Juan, masih kosong belum menemukan pemiliknya. Aldi pun menghel napas jengah, "Tenang sayang, nanti juga ketemu pemilik jok belakang kita." ujarnya pada motor kesayangannya itu. Aldi berhenti di lampu merah bersama para pengendara motor lainnya, di sebuah perempatan yang cukup padat, lampu hijau memang disetel lebih lama. "Eh eh!" pekik seorang gadis dengan motor matic di samping Aldi. Motornya hampir oleng karena disalip pengendara yang ugal-ugalan, beruntung Aldi sigap menahan stang motor itu agar tidak jatuh. "Duh, hati-hati dong!" kesal gadis itu, "Makasih ya mas, udah bantuin." ucapnya pada Aldi. "Iya, sama-sama." "Jalanan emang punya umum, tapi ga semua pengendara tahu aturan dan tata krama. Udah tahu jalanan macet, tapi tetap aja nekat mau nyalip. Kasihan kan pengendara yang lain, masih lampu merah loh ini, dasar!" gerutunya. Aldi tersenyum dari balik helm yang sengaja ia tutup, helm full face memakai kaca film berwarna hitam sehingga wajahnya kurang terlihat dari luar. Ingin rasanya ia berbincang lebih lama dengan gadis itu, gadis yang sama, yang ia temui di perpustakaan sekolah tempo hari. Larasati terlihat lucu mengenakan helm karena pipi tembamnya. Tapi apalah daya karena mereka harus berpisah di persimpangan jalan, keduanya memilih jalur yang berbeda. Sesuai dengan lokasi yang tertera di kertas undangan dari Candra, Aldi mengerutkan keningnya saat ia tak mengenali jalanan itu. Apakah koordinat google maps miliknya salah, Aldi rasa tidak. Tapi mengapa ia menuju rute yang sama dengan area balapan minggu lalu? Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, KLX 101 fanta black itu sampai di sebuah pelataran gedung dengan banyak motor lain terparkir di halamannya. Sekilas tidak ada yang salah dengan gedung itu, hanya letaknya yang jauh dari pemukiman. Aldi memarkirkan motornya di dekat motor Jovan. "Sepi banget?" guman Aldi. "Bener ga ya? Atau pulang aja, palingan acaranya udah mulai." Aldi berdialog dengan dirinya sendiri, memilih antara masuk ke gedung yang pintunya tertutup itu atau pulang saja. "Eh, tapi cupu banget kalo pulang." "ALDI!" Sang putra Darsono menoleh saat namanya dipanggil dengan keras, rupanya dari arah samping bangunan itu, Candra muncul bersama satu temannya. Aldi mendadak was-was, apakah Candra merencanakan sesuatu yang buruk terhadapnya? Jangan-jangan pemuda itu akan membawanya ke dalam dan mengeksekusinya habis-habisan. Aldi menggelengkan kepalanya guna mengusir pikiran buruk dari otaknya, ia mengamati Candra yang berjalan mendekatinya dengan penuh senyuman. Ia menghela napas lega karena tak mendapati tali atau pun kain penutup kepala seperti yang biasa digunakan oleh penculik. "Datang juga lo!" Candra menepuk bahu Aldi dengan bangga, ia menggiringnya menuju ke pintu di samping gedung itu. "Iyalah, gue ga cupu!" ujar Aldi ketus, ia bersedekap sambil mengikuti Candra. "Kata siapa lo cupu?" "Kata elo lah!" "Yee, kita kan teman." cengir Candra, Aldi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang tidak ada permusuhan antara dirinya dengan Candra, baik Jovan, Ega dan Dimas pun demikian. Mereka hanya rival balapan liar yang terlihat seperti musuhan, padahal aslinya tidak begitu. Anak pengusaha tambang yang songong itu sangat sering menantangnya untuk adu balapan, dan Aldi mengiyakan saja untuk menambah cerita masa mudanya. Dan seperti yang dikatakan Candra, sang putra Darsono tak masalah menganggapnya teman. Pintu besar di samping bangunan itu dibuka, begitu melangkah Aldi disambut dengan ruangan besar dan luas dengan design interior bergaya eropa klasik era pertengahan. Aldi sampai tak berkedip melihat langit-langit tinggi yang berhiaskan mozaik indah. "Ini tempat apaan, Can?" Candra memutar bola matanya, "Panggil gue Dra, jangan Can, kesannya kek imut banget gue." "Iya iya." serah Aldi, "Ini tempat apaan Dra? Bagus banget." "Anggap saja ini ruang pertemuan." "Ini gereja?" tebak Aldi, tapi di depan bangunan tadi tidak ada tanda salip di atasnya. Candra pun menggeleng, "Bukan lah, ya kali ini ada gereja di tempat sepi gini." Candra memberikan sebuah kain yang masih terbungkus plastik transparan, ia memberikannya pada Aldi yang tampak kebingungan saat membukanya. Sebuah jubah hitam lengkap dengan tudung khas penyihir, saat dibolak-balik pun tidak ada logo atau tulisan di jubah itu. Hanya polos dan berwarna hitam. Aldi mengerutkan keningnya, "Ini apaan dah?" "Udah pake aja." ujar Candra, pemuda itu dan satu temannya lagi juga segera mengenakan jubah mereka. "Buruan, Di. Udah telat ini!" "Telat mau ngapain?" "Nanti lo juga tahu, buruan pake!" Meskipun masih sangat bingung, tapi Aldi mengikuti langkah Candra dan temannya itu sambil memakai jubah miliknya. Pemuda itu mensejajarkan langkah dengan Candra saat menyadari bahwa semakin masuk ke dalam, ruangan ia semakin luas. Di sisi kiri ruangan, ada panggung kecil dengan banyak barisan kursi yang sudah terisi banyak orang berpenampilan sama. Disana juga ada alat musik lengkap mulai dari drum, keyboard, gitar, dan sebuah mikrofon yang terpasang di tengah. Aldi berpikir mungkin Candra akan mengajaknya menonton salah satu band musik yang sedang menggelar konser khusus, jadi pemuda itu ikut saja dibelakang. "Jovan mana?" bisik Aldi saat Candra sibuk memilih tempat duduk, ada sekitar lima puluh orang disana dan suasananya sangat ramai. "Tuh!" tunjuk Candra pada tiga pemuda yang tengah duduk di barisan paling belakang, mereka sibuk memainkan ponsel masing-masing tanpa peduli bahwa tidak ada yang bermain ponsel di ruangan itu selain mereka. Candra pun melambaikan tangannya, ia berjalan cepat menghampiri ketiganya, mau tak mau Aldi pun mengikuti. Aldi mengambil tempat di tengah-tengah Jovan dan Ega setelah menyempil, untung saja keduanya bersedia bergeser sedikit. "Ini konser apaan sih? Band nya darimana?" "Konser apaan?" "Lah, ini bukannya konser ya?" tanya Aldi. "Tuh, ada panggung." Jovan hanya mengendikkan bahunya, ia pun tak tahu apa yang sedang mereka lakukan saat ini. Sesuai dengan taruhan hari itu, ia datang sebagai bukti untuk menepati janji. "Ga tau, si Candra ditanyain bilangnya lihat sendiri aja. Tapi, kalaupun beneran konser ya bagus lah." "Kalo bisa lagu metal nih, bagus!" celetuk Ega. "Iya sih, kostumnya aja gini, pasti lagu metal." balas Aldi membenarkan. Beberapa orang mulai berangsur duduk, saat segerombolan orang berjubah putih datang sambil membawa ornamen aneh yang sama dengan gambar di kartu undangan. Simbol-simbol aneh seperti illuminati dan beberapa lagi yang tak Aldi mengerti. "Wahh, ngeri juga properti konsernya ya." ujar Jovan. "Iya, kayak mau ikutan sekte apa gitu." tambah Dimas. Seorang pemuda yang berusia lebih tua dari mereka membuka tudung jubah putihnya, wajahnya damai dan berseri, ia tersenyum ramah sambil bersiap di depan mikrofon. Kode bahwa mike telah siap pun diberikan, dan orang itu mengacungkan jempolnya. Ada lima orang lagi yang berdiri di belakangnya, membawa bendera dengan lambang aneh dan tongkat seperti mayoret. "SELAMAT DATANG DI JUMPA BAKTI MINGGUAN!" sambutnya dengan lantang, sorak riuh tepuk tangan pun menggema di aula besar itu. Kecuali empat pemuda yang tampak bingung, siapa lagi jika bukan Aldi dkk. Mereka baru ikut bertepuk tangan saat Candra menyuruhnya. "Mari keluarkan kitab kita!" "Ketua!" Candra mengangkat tangannya, dan semua pandangan langsung tertuju kepadanya. "Ya?" "Saya membawa anggota baru." ujar Candra. Jovan yang pertama mengerutkan keningnya, "Anggota apaan?!" desis Jovan sambil melotot tajam. Tepuk tangan kembali terdengar, orang-orang tersenyum senang melihat anggota baru mereka. Begitu pula pemuda yang baru saja dipanggil ketua itu, "Silahkan maju ke depan, untuk anggota baru. Candra, tolong antarkan mereka." Candra mengangguk dan memberikan kode kepada keempatnya untuk mengikuti langkahnya, "Ayo!" "Kemana?" "Udah ikut aja!" Aldi dkk pun mengikuti Candra ke atas panggung, mereka berbaris diapit oleh Candra dan ketua. Tudung pun terlepas, Aldi tersentak saat tudungnya dilepas oleh lima orang berjubah putih di belakang mereka. "Selamat datang!" ujar sang ketua, sembari menyalami mereka satu persatu. "Selamat bergabung di perkumpulan kami." "Mohon maaf, kalau boleh tahu ini perkumpulan apa? Kalian anak band ya?" tanya Dimas. Sang ketua pun terkekeh, "Bukan." "Lalu?" "Selamat datang di perkumpulan pemuja langit."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD