Dia kembali

1302 Words
Bel pulang sekolah telah berbunyi beberapa menit yang lalu, murid-murid berhamburan keluar kelas, tapi tidak untuk si sulung kebanggaan sang ayah itu. Arsen masih setia duduk di bangkunya sambil menatap lekat layar ponselnya. "Pulang ga, Sen?" tanya Dewa. "Nanti." "Nungguin Shena?" "Hm." Dewa pun mengangguk dua kali sambil meraih tasnya di bangku belakang. Ia terkekeh pelan saat ingatan tentang Shena terputar kembali di kapalanya. Dulu saat kelas sepuluh, pemuda itu pernah mengatakan bahwa ia menyukai Shena dan langsung ditolak mentah-mentah. Tapi bukan oleh Shena sendiri, melainkan Arsen yang sama sekali tidak menyetujui hal itu. Arsen memarahinya habis-habisan dan memintanya mencari gadis lain saja. Wajar jika seorang kakak yang baik akan menolak adiknya berpacaran dengan Dewa, yang kala itu bagai playboy cap ikan kakap. Jangankan gebetan, pacar saja Dewa bisa punya lebih dari tiga. Tapi Dewa yang sekarang sudah jauh berubah. Puncaknya adalah lima bulan lalu, saat Dewa kehilangan seseorang yang telah dipanggil oleh sang pencipta untuk selama-lamanya. Seorang gadis periang seusianya yang menderita kanker hati sejak kecil. Niat yang awalnya hanya mempermainkan perasaan gadis itu lambat laun menjadi lebih dalam, saat Dewa selalu setia menemani gadis itu melakukan pengobatan demi pengobatan. Perasaan itu pun muncul dengan sendirinya, merasuk ke dalam hati yang terdalam. Harapan setiap orang yang merawat adalah kesembuhan dari seseorang yang dirawatnya, begitu pula Dewa yang berharap gadis itu akan sembuh dan kembali ceria. Ia dipaksa untuk rela saat Tuhan mempunyai rencana lain, sebuah takdir pahit yang diiringi duka dan air mata. Gadis itu pun menutup mata untuk selama-lamanya di pelukan Dewa, dengan satu pesan terakhir agar pemuda berhenti bermain hati, temukan seseorang yang tepat dan berbahagia bersamanya. Gadis malang itu bernama Anindya, yang secara kebetulan sangat mirip dengan Sonia. "Lah, itu bukannya Shena?" tunjuk Affan ke jendela yang mengarah langsung pada parkiran sekolah. "Mana?" tanya Dewa. "Itu." Dewa membenarkan jika Shena baru saja masuk ke dalam mobil putih yang dikemudikan oleh Sonia, melihat gadis jelita itu membawa serta tasnya sudah bisa dipastikan jika ia pulang. "Iya loh." Affan mengerutkan keningnya saat Arsen tetap bergeming, bahkan pemuda itu tersenyum sendiri menatap layar ponselnya. "Gimana sih? Bukannya nungguin Shena, Shena nya udah pulang itu." "Lo ga pulang, Sen?" tanya Affan lagi, kelas sudah sepi hanya tersisa mereka bertiga. Dio tidak masuk sekolah hari ini, alasaannya karena ia harus mengisi sesi doa dan baca Al-Quran di pernikahan tetangganya yang diselenggarakan hari ini. Dio mungkin tampak biasa aja seperti remaja pada umumnya, tapi suara pemuda itu saat melantunkan ayat-ayat suci sangat sopan masuk ke telinga. Begitu dalam dan indah, berkat didikan keras dari kedua orang tua pemuda itu. Affan menoleh saat bahunya ditepuk oleh Dewa, "Udah biarin, kita pulang duluan aja." "Lah? Terus Shena?" "Halahh, paling Shena yang satunya." ujar Dewa sedikit meninggikan suaranya sebelum menyeret Affan untuk keluar dari kelas itu bersamanya. Sengaja memang, untuk menjadi sindiran keras bagi si sulung Darsono. Pasalnya sekalipun gelar sahabat baik Arsen sudah mereka dapatkan, kisah tentang Kania tidak pernah sampai ke telinga mereka hingga hari ini. Menyadarinya Arsen pun yang melirik sekilas dan kembali fokus ke layar ponselnya, seseorang yang tengah berbalas pesan dengannya jauh lebih penting bagi Arsen. Pemuda itu menyimpan kembali ponselnya dan bangkit, membawa serta tas kosong yang ia jadikan formalitas sebagai anak sekolah. Sang putra Darsono bergegas menuju kelas yang letaknya lima blok dari kelasnya. Saat berpapasan dengan beberapa siswi lain, Arsen bisa mendengar mereka tengah berbisik membicarakan dirinya dan sang pujaan hati. Rupanya rumor tentang dirinya sama sekali belum mereda. "Hai." sapa Arsen setelah sampai di kelas Kania, ia menghampiri gadis cantik yang sedang menulis di bangku paling belakang. "Hai." balas Kania malu-malu. "Masih lama?" "Eh?" "Masih lama nulisnya? Lanjutin aja." ujar Arsen, pemuda itu duduk di meja dekat bangku sang kekasih. Kania tergopoh-gopoh menyimpan kembali buku dan pulpennya, hanya sebagian kecil dari materi yang belum selesai ia tulis. Itu tidak jadi masalah karena ia bisa meminjam catatan dari teman sekelasnya, sekalipun sikap mereka kepada Kania belum membaik sejak kabar mengenai dirinya yang menjadi kekasih Arsen muncul ke permukaan. Entah Kania yang terlalu lugu atau memang teman-temannya bersikap berbeda tidak seperti biasanya. Gadis itu meraih tasnya, ia berdiri dan tersenyum malu-malu ke arah Arsen. "Ayo pulang!" ajaknya. "Ga disini aja?" tanya Arsen. "Ngapain?" "Ya, ngapa-ngapain gitu." goda si sulung dengan sengaja. Kania pun memerah, pikirannya melayang ke hal-hal yang sangat mustahil untuk terjadi. Gadis itu menggeleng keras guna mengusir pikiran bodoh dari kepalanya. "Maksudnya ngapa-ngapain gimana? Yang itu?" "Yang apa?" "Eh?" Arsen terkekeh gemas melihat betapa polosnya Kania, ia mengacak puncak kepala sang kekasih pelan. "Jangan mikir yang aneh-aneh." ujar Arsen, pemuda itu segera menarik tangan Kania dna menggenggamnya erat. Serasa ada banyak kupu-kupu yang berterbangan di perutnya setiap kali Arsen melakukan hal-hal kecil yang manis, bahkan hingga detik ini, pertemuan dengan pemuda itu selalu terasa mendebarkan. Beruntung bagi Kania saat sekolah sudah sepi, hanya beberapa saja yang masih betah berlama-lama di sekolah. Jadi ia bisa tetap menikmati momen ini tanpa takut akan tatapan mata orang-orang terhadapnya. Jika saja masih banyak murid di sekolah, pasti Kania sudah mengambil jarak sejauh dua meter dari Arsen. SUV hitam itu terbuka, Arsen mempersilahkan Kania untuk masuk, tapi gadis itu malah diam saja sambil menatapnya aneh. "Ayo masuk!" suruh si sulung. "Kita mau kemana?" "Pulang." "Tapi, aku harus ke cafe Brian." "Iya." Arsen mengangguk dua kali, "Aku anterin kamu dengan selamat sampai kesana." Kania pun masuk ke dalam mobil dan duduk dengan nyaman disana, ia mengamati design interior mobil mahal itu dan terkagum-kagum karenanya. Semua yang terpasang di dalamnya terlihat bagus dan canggih, sangat wajah jika mobil ini berharga tinggi. Untuk seorang gadis biasa sepertinya, menaiki mobil seperti ini tentu merupakan hal yang sangat jarang ia lakukan. Kesehariannya hanya sebatas berdiri di dalam bus, atau duduk di angkot yang sudah butut. Jarak menuju cafe Brian tidak terlalu jauh, biasanya Kania akan berjalan kaki melewati gang-gang kecil yang akan banyak menyintas waktu. Apa boleh buat jika Arsen memaksanya, ia juga tak sampai hati untuk menolak. Kania turun saat mobil hitam itu terparkir rapi di pelataran tempatnya bekerja. Gadis itu mengerutkan keningnya saat Arsen juga ikut turun, "Kamu mau ke cafe juga?" "Hm." Kania mengangguk-angguk mendapati sang kekasih tengah sibuk dengan ponselnya, sekilas terlihat bahwa pemuda itu tengah berkirim pesan dengan Shena, sang adik tersayangnya. Tidak heran karena dalam hidup Arsen, kembarannya itu masih memegang peranan penting di atas segalanya, hidup Arsen sering terpusat pada Shena dan membuat Kania mencelos. "Kamu mau beli apa?" tanya Kania berbasa-basi. "Ini." Arsen menyimpan kembali ponselnya. "Shena minta dibeliin boba." "Shena ya?" Kani menunduk menatap sepatunya yang sudah usang, "Kok dia tahu kamu disini?" "Tadi aku bilang sama dia." Arsen pun melangkah masuk ke dalam cafe yang tengah ramai itu, diikuti Kania di belakangnya. Gadis itu berpamitan dan segera menuju ke toilet guna mengganti seragamnya dengan baju kerja. Seorang pemuda berusia akhir dua puluhan tengah sibuk melayani pembeli, ia kocar-kacir sendiri karena tidak terbiasa. Hari ini karyawan yang biasanya bekerja sedang sakit, jadi Brian sendiri yang turun tangan menggantikannya. "Boba, enam!" ujar Arsen. Brian pun mendongak, "Ngapain lo?" "Mau beli boba." jawabnya enteng. "Bisa nggak? Enam loh, banyak, biar ga gulung tikar cafe lo." "Iya-iya, tunggu disana lo!" usir Brian, pemuda itu selalu ketus saat berbicara dengan Arsen, terutama dengan Aldi dan Aldo, tapi sellau bersikap manis kepada Shena. "Btw, kenapa banyak banget, kembung lo minum enam." "Titipan Shena, Yan!" "Oh gitu, oke deh!" Arsen memilih menunggu, membuat lima gelas boba dengan keterampilan yang Brian milik pasti membutuhkan waktu yang lama. Si sulung memilih untuk mengeluarkan ponselnya guna mengusir rasa bosan, ia duduk sendiri di salah satu meja sambil menunggu pesanan miliknya. Minuman manis itu, awalnya Shena hanya memesan dua saja, tapi karena ada Aldi dan Aldo yang juga merengek minta dibelikan, Arsen pun memesan enam gelas untuk ketiganya. Cup! Arsen sontak menoleh saat pipinya dikecup oleh seseorang, sepasang tangan melingkar di bahu bidangnya. "Long time no see, my dear!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD