Pilih aku atau dia

1566 Words
"Lang!" "Erlang!" "Denger dulu, aku belum selesai ngomong!" Putri menarik kasar lengan Erlangga agar pemuda itu tidak pergi meninggalkannya. Erlangga berbalik, ia memutar bola matanya malas kepada gadis yang berstatus pacarnya itu. "Apa lagi sih, Put?" "Apa?!" ulang Putri, gadis itu menyeka wajahnya kasar karena tiupan angin di rooftop cukup kencang siang ini. "Apa gimana sih, Lang?" "Kamu gila ya! Kamu pacarku dan kamu mau tunangan sama cewek di toko baju itu. Apa kamu ga mikirin perasaan aku? Terus hubungan kita gimana, aku ga mau putus." "Itu keinginan papa mama, aku ga bisa nolak." jawab Erlangga. "Bohong!" "Put..." "Mana mungkin kamu ga bisa nolak sih, kamu yang mau tunangan, bukan mereka." Erlangga mengusap wajahnya kasar, inilah yang ia takutkan terjadi. Mati-matian coba menyembunyikan kabar pertunangannya dari Putri, tapi justru sang ibu sendiri yang membongkarnya. Beberapa hari lalu, saat mereka tak sengaja bertemu di toko pakaian milik Shena. Dahlia Ardiwangsa mengatakan kepada Putri bahwa Erlangga akan bertunangan, dan Dahlia ingin Putri menjauh dari anaknya. Wajah Putri langsung pias seketika, ia bingung harus berekspresi seperti apa karena perasaan sakit, sedih, kecewa dan marah bercampur menjadi satu. Gadis itu hanya terdiam sembari menahan air matanya yang terbendung di kelopak mata. Makan siang dan pertemuan pertamanya dengan sang calon mertua, justru menjadi peristiwa paling menyakitkan dalam hidup Putri. "Lang, kamu harus lakuin sesuatu." pinta Putri. "Apa?" "Apapun, asalkan kita bisa tetap sama-sama." jawab Putri. Gadis itu menatap sang kekasih dengan mata berkaca-kaca, ia menggenggam telapak tangan Erlangga sambil memohon. "Aku tahu kamu pasti bisa membatalkan pertunangan ini, kamu ga cinta sama cewek itu, kan? Kamu cuma cinta sama aku, kan?" "Put, ini bukan soal cinta?" "Terus soal apa? Pertunangan itu tentang cinta, Lang." "Kamu ga akan paham." "Kalo gitu jelasin sama aku, ceritain sama aku. Aku ini pacarmu, aku berhak tahu tentang hidup kamu Lang, jangan simpan masalahmu sendiri." ujar Putri, menjadi sebuah tamparan tersendiri bagi Erlangga. Karena selama berpacaran, pemuda itu tidak pernah menceritakan tentang keluarganya, sekalipun Putri sudah meminta puluhan kali. Erlangga menghela napas kasar, ia ingin menjelaskan semuanya kepada Putri tapi bingung harus memulai dari mana. Putri tidak akan bisa mengerti rasanya menjadi dirinya, anak semata-wayang yang tidak bisa menentukan pilihannya sendiri. Semua dalam hidup Erlangga sudah didekte dan harus berjalan sesuai dengan keinginan orang tuanya. Dan itu terjadi sejak Erlangga masih sangat belia, hingga akhirnya pemuda itu terbiasa menurut. "Sekarang maunya gimana?" tanya Erlangga. "Aku?" "Iya." "Bukan aku, Lang!" jawab Putri tajam. "Kamu yang harusnya bersikap, kamu pilih aku atau cewek itu." Erlangga terdiam sejenak, "Udahlah, Put, itu cuma pertunangan bisnis antara dua perusahaan. Setelah setahun juga aku bujuk dia biar batalin pertunangan ini." "Pertunangan bisnis?" Erlangga mengangguk, "Papaku dan papa dia sepakat untuk menjodohkan kita, sebagai bagian dari mempererat hubungan perusahaan aja." "Kamu yakin?" tanya Putri meragu, "Kamu yakin ga akan jatuh cinta sama cewek itu?" Diamnya Erlangga membuat Putri semakin merasa sesak di dadanya, setelah hari pertemuan tak sengaja di toko baju. Erlangga seolah mengabaikannya tanpa alasan yang jelas, dan selama itu pula Putri terus mendesaknya untuk bicara. Ada yang harus diselesaikan, dan suatu hubungan tidak akan berjalan baik tanpa komunikasi yang baik pula. Putri ingin menangis saat sang kekasih hanya diam, dari sorot matanya, Putri yakin bahwa Erlangga pun meragu soal hatinya. "Lang?" Putri tercekat, matanya memanas menahan sesak di hatinya. "Jawab aku." "Kamu pilih aku atau dia?" "Udahlah, Put, aku ga mau bahas ini." ujar Erlangga, pemuda jangkung itu berbalik dan berjalan menuju pintu rooftop. Bahkan, angin yang bertiup kencang disana tak mampu mendinginkan kepalanya yang memanas karena emosi. Bukan tanpa alasan pemuda itu menghindari Putri, salah satu alasannya karena ia masih kebingungan untuk mengambil sikap. Erlangga tidak mau memaksakan hatinya untuk Shena, tapi ia juga tak sanggup melawan kedua orang tuanya. Pemuda itu meraih kenop pintu, rooftop tak lagi menyenangkan untuknya. "Aku lompat kalo kamu pergi!" Putri nekat, gadis itu berdiri di pinggiran rooftop sambil berlinang air mata. Bahunya bergetar hebat dan ia mati-matian menahan isakannya. "Aku beneran lompat, Lang!" teriak Putri. Mau tak mau Erlangga pun berbalik, pemuda itu mendengus kesal. "Put, jangan kekanak-kanakan deh!" "Biarin!" balas Putri. "Biar kamu tahu gimana sayangnya aku sama kamu, kalo kamu pilih dia, aku lebih baik mati." "Put, turun!" pinta Erlangga. "Jangan kayak anak kecil, semua bisa dibicarain." "Enggak!" "Putri!" "Kamu jahat!" Selangkah demi selangkah pemuda itu mendekat ke arah sang kekasih, ia merasa deja vu. Saat gadis itu menyatakan cintanya, drama ini pun juga terjadi. Putri memaksa untuk menjadi kekasihnya dengan cara mengancam akan lompat dari atas rooftop. "Turun, Put!" "Enggak!" Putri semakin mundur, kedua tangannya masih berpegangan pada pagar rooftop. "Jawab kamu pilih siapa?!" "Buat apa? Ga ada gunanya juga. Itu ga akan menyelesaikan masalah." "Jawab!!" "Pilih kamu!" sentak Erlangga, pemuda itu sangat kesal melihat tingkah konyol dari sang kekasih. Putri selalu berpikiran sempit dan membahayakan dirinya sendiri. Puas?!" Jawaban dari pemuda di hadapannya sanggup membuat hatinya tenang seketika, Putri menyeka air matanya yang membanjiri pipi. "Aku pegang omongan kamu!" ujarnya sambil meraih uluran tangan Erlangga. Tak mau berlama-lama, sang putra tunggal Ardiwangsa itu segera pergi meninggalkan pacarnya sendirian. Ada emosi yang harus segera didinginkan saat ini, ia tidak mau lepas kendali dan berakhir menyakiti Putri. Sebuah dering notifikasi pesan berbunyi, Putri pun mengambil ponsel yang ia simpan di sakunya. Pesan dari Raya, isinya adalah data lengkap seorang gadis yang sialnya sangat cantik, bernama Arshena Putri Darsono. Raya memberikan banyak informasi berikut dengan foto-foto gadis itu. Rupanya, Shena bukan gadis biasa. Ia adalah anak dari pengusaha kaya raya, dan benar seperti yang dikatakan Erlangga bahwa pertunangan mereka adalah pertunangan bisnis. Putri menyimpan kembali ponselnya, ada satu hal yang harus ia selesaikan dengan Shena. Ia tak mungkin membiarkan gadis itu mengambil pujaan hatinya begitu saja. Di sisi lain gedung sekolah itu, kantin, menjadi sangat ramai berkat promo dari cireng Mbak Iin yaitu buy 1 get 1. Begitu pula Shena dan kedua temannya, di meja mereka ada enam piring berisi cireng balado pesanan mereka. Sonia yang paling bersemangat, piring pertama gadis itu bahkan sudah habis dalam waktu lima menit. Vanya menggelengkan kepala melihat Sonia kembali menyuapkan cireng ke mulutnya, sekaligus dua, "Buset, Son, lo kerasukan setan kelaparan tujuh tahun?" "Apa sih!" kesal Sonia. "Makannya santai aja dong, nih punya gue habisin juga." Vanya mendorong piring yang masih utuh ke hadapan Sonia. "Yeyyy! Makasih Vanya." ucap Sonia bersemangat. "Sama-sama." Vanya menatap Shena, lalu keduanya sama-sama bergidik ngeri. Nafsu makan Sonia yang katanya sedang diet sangat mencengangkan hari ini. Terutama kegilaan gadis itu pada cireng balado. Shena menoleh ke arah pintu masuk saat suara gaduh terdengar, rupanya Affan dan Dewa baru saja memasuki kantin dengan tidak santai. Kedua pemuda itu bermain kejar-kejaran hingga menambrak beberapa orang di kantin. Kedua pemuda itu pun berhenti tepat di meja Shena, padahal sudah berpura-pura tidak tahu agar Affan tidak mengenalinya. "Na?" panggilnya dengan tengil. Dari cara berdiri saja sudah membuat orang ingin mencubit ginjal pemuda itu. "Mau ditutupin pake panci juga gue bisa mengenali kalian." ujarnya bangga. "Gimana? Gimana?" tanya Affan, ikut duduk di samping Shena tanpa permisi. "Ada lomba makan cireng lagi, kah?" Shena menggeleng, "Ga ada, lagian ga usah sok-sokan deh. Lo aja nyerah kemarin." ujar gadis itu mengungkit kembali bulan lalu ketika mereka berlomba menghabiskan cireng terbanyak. "Itu bukan menyerah, Seiiina!" "Shena!" koreksi Shena. "Itu namanya menyesuaikan kemampuan." "Beli sendiri dong lo, enak aja main ngabisin punya orang." kesal Vanya, ia mendelik tajam ketika cireng di piringnya malah dihabiskan oleh Affan dan Dewa. Dewa mengelap tangannya dengan tisu, "Minta dikit, pelit banget sih." "Sedikit gimana sih? Sampai habis loh." Shena memutar bola matanya melihat Vanya terlibat adu mulut dengan Dewa, ditambah lagi Affan yang hadir sebagai bumbu-bumbu perpecahan. Dio datang dengan santai, ia duduk di samping Shena yang kosong. "Abang mana, Yo?" tanya gadis itu sambil celingukan mencari keberadaan sang kakak. Arsen dan ketiga orang ini adalah serangkai, ada mereka pasti ada Arsen dan begitu pun sebaliknya. Dio mengendikkan bahu, ia mencomot cireng balado di piring Shena. "Kok tanya saya." "Kan, lo temennya." "Mereka juga temennya." tunjuk Dio pada Affan dan Dewa. "Serah deh!" Dio terkekeh, "Canda, Na." ujarnya sambil menyengir lebar. Pemuda itu menggeser seporsi cireng untuk lebih dekat ke arahnya. "Arsen ada kok." "Mana?" "Palingan juga kencan." "Kencan?" Dio mengangguk, "Arsen kalo kencan di kantin belakang." "Yang sepi biar makin, uwwwiiiiiwwww!" celetuk Dewa dan langsung dihadiahi lemparan cireng dari Shena. Beruntung ia dapat menangkapnya sehingga kotor dan terbuang. "Arsen makin berani ya." ujar Vanya. "Maksud lo?" "Baru pertama kali denger Arsen pacaran, dan sekarang udah kencan aja." Shena mengangguk dua kali, ada sedih dan ada senang rasanya harus melepas sang kakak untuk mencari pujaan hatinya. Terlepas dari Gladys dan semua keruwetan hidup Arsen, tapi Shena akan ikut senang jika Arsen telah menemukan kebahagiaannya sendiri. Selama ini poros hidup Arsen hanya keluarga dan perusahaan sang ayah yang diwariskan kepadanya. Bagai robot yang telah disiapkan untuk menjadi seorang penerus, seringkali membelenggu Arsen untuk meraih mimpinya. "Arsen, kan juga manusia biasa, Van!" balas Dewa. "Iya paham." jawab Vanya. "Masih ga nyangka aja." "Sama loh!" setuju Affan. "Masih ga nyangka si Arsen bisa suka sama cewek." Shena melotot mendengar penuturan Affan, "Lah, lo pikir abang gue ga normal apa?" "Ya siapa tahu, Na, habisnya ga pernah punya gebetan sebelumnya." Arsen dan Kania masih menjadi topik yang tak ada habisnya dalam obrolan mereka. Meskipun sampai detik ini tidak ada penjelasan, atau setidaknya cerita singkat yang keluar dari bibir Arsen tentang Kania. "Aneh aja ga sih? Atau asing?" celetuk Sonia. "Asing gimana?" tanya Affan pada pertanyaan ambigu dari Sonia. Gadis itu pun hanya mengendikkan bahu dan kembali menyuap cirengnya. "Orang tuh kalo ga pernah pacaran, sekalinya pacaran pasti serius." "Lah, kata siapa?" tanya Vanya. "Kata quotes di IG." Sonia menyengir lebar. Shena menoleh saat bahunya ditepuk pelan oleh Dio, "Na?" "Apa?" "Tuh cewek kenapa lihatin lo segitunya ya?" "Hah, mana?" Seorang gadis dengan mata sembab menatap tajam ke arah Shena, saat sang putri Darsono berbalik, gadis itu segera mengalihkan pandangannya. Berpura-pura mengobrol dengan kedua temannya. Shena tidak bodoh untuk mengetahui siapa dan apa tujuan gadis itu menatapnya dengan tatapan penuh amarah dan kebencian. Shena mengendikkan bahunya, "Biarin aja lah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD