Peliharaan baru

1256 Words
Aldi berlari tergopoh-gopoh sambil membawa tasnya yang kosong tak berisi apapun, semua buku dan pulpen sengaja ia tinggal di loker. Hari ini jam pelajaran terakhir adalah Bu Fitria, dan dikarenakan kelas Aldi hampir setengahnya mendapat nilai merah. Bu Fitria menambah jam hingga tiga puluh menit setelah bel pulang sekolah. Kepala pemuda itu langsung memanas seketika, sepuluh soal dari sang guru rasanya tidak ada habisnya. Hampir semua tipe soal matematika memiliki jawaban yang sangat panjang padahal pertanyaannya hanya sedikit. Ditambah lagi, bertemu dengan persamaan X dan Y yang sangat memusingkan. Aldi bukan murid yang pandai dalam mata pelajaran itu, jadi wajar jika nilainya selalu merah. "Duhh!" keluh pemuda itu, ia berlari sekuat tenaga menuju parkiran sekolah. "Pliss, jangan ditinggal!" Pemuda itu melihat layar ponselnya dan menemukan puluhan notifikasi pesan dari si bungsu. Jika saja tidak ada jadwal pulang bersama hari ini, pasti ia tidak akan terburu-buru mengejar mereka. Sang ayah meminta keempatnya langsung ke kantor setelah pulang sekolah, dan Galih Darsono berpesan untuk pulang bersama. Aldi bernapas lega, SUV hitam mengkilap itu masih disana. "Hah.....hah.....hah!" "Syukurlah belum ditinggal." "Maaf, saudaraku, tadi Bu Fitria ada ulangan mendadak." Aldi masih mengatur napasnya yang tersengal akibat terlalu keras berlari, pemuda itu bertumpu pada lututnya sambil menatap ketiga remaja yang sibuk dengan seekor kucing. Tunggu! Kucing? Aldi mengerutkan keningnya melihat seekor anak kucing sedang duduk dengan manis di pangkuan Shena. Ia mengeong manja saat kepalanya dielus oleh Arsen, sambil terus memakan remahan roti yang diberikan si bungsu. "Kucing siapa tuh?" "Eh!" kaget Aldo menyadari sang kembaran berdiri di sampingnya. "Sudah keluar ternyata, lama banget sih." "Iya, adalah ulangan mendadak dari Bu Fitria." "Wah, sama, kelasku tadi juga ulangan mendadak, Di. Soalnya kita nilainya merah semua." "Kucing siapa tuh?" tanya Aldi lagi, pemuda itu mendengus kesal karena jawaban yang tidak to the point dari Aldo. Aldo pun menunjuk sebuah kardus kecil yang lusuh di dekat tempat sampah parkiran, "Tadi kita nunggu disini, kan. Terus ada suara ngeong-ngeong dari arah tempat sampah, karena penasaran gue samperin, eh, ada anak kucing ternyata." cerita si bungsu. "Punya orang kali." "Punya orang gimana?" tanya Shena, udah jelas-jelas dibuang di dekat tempat sampah." "Ya terus, itu kucingnya mau diapain?" "Dirawatlah." jawab sang kakak perempuan. Dalam sejarah keluarganya, keluarga Darsono belum pernah memelihara hewan berbulu yang sangat menggemaskan itu. Kucing, tidak pernah ada dalam list keluarga mereka. "Yakin ini?" Shena mengangguk, "Iya lah, nanti aku yang ngurusin." "Hallah, palingan juga diserahkan sama Bik Yun." celetuk Aldo. "Maksudnya kalo aku ga sibuk, aku yang ngurus." koreksi gadis itu. "Kapan ga sibuknya, sibuk terus gitu." "Udah, tinggalin aja lah mbak, ribet tau!" "Mau pulang gak ini?!" tanya Arsen, ia mengecek ponselnya saat ada sebuah pesan masuk. Dari Galih Darsono, isinya menanyakan apakah mereka sudah berjalan menuju ke kantornya. Shena bangkit dari kap mobil sang kakak, anak kucing keturunan ras persia berwarna calico itu ia gendong dengan sayang. Sudah sejak lama gadis itu ingin memelihara seekor kucing, apalagi warna dari kucing itu sangat cantik. Kucing putih dengan dua belang berwarna hitam dan oren yang merata di tubuhnya. Dulu saat masih kecil, Shena ingin memelihara kucing tapi dilarang oleh sang ibu. Alasannya karena tidak ada yang akan mengurusnya, Shena saat itu sibuk dengan sekolah dan berbagai tambahan belajar yang ia ikuti. "Ini gimana?" "Gimana kamu aja." balas Arsen, ia tidak masalah jika Shena ingin memelihara kucing asalkan dijaga dengan baik. "Mau tinggalin, tapi kasihan." "Di bawa pulang aja sih." Shena mengangguk mendengar ide dari sang kakak, kucing itu sudah jelas dibuang dan tidak diinginkan oleh pemiliknya dulu. Kucing kecil itu kemungkinan masih berusia satu bulan, dan belum mampu mencari makan sendiri. Gadis cantik itu bimbang, memelihara seekor kucing juga sebuah tanggung jawab yang besar. Tapi, Shena tersenyum manis menatap ketiga saudara laki-lakinya. "Duhh, kenapa nih senyum-senyum." tanya Aldi was-was, "Aku ga ikutan yah, buat ngurusin kucingnya." "Kenapa? Alergi bulu kucing?" tanya Aldo. Aldi menggeleng, "Bukan gitu." "Terus?" "Udah-udah!" putus Arsen. "Bawa aja Na, nanti yang urusin gampanglah. Ini papa udah neror suruh kesana sekarang. Mama juga udah di kantor papa soalnya." Arsen memutari mobilnya, ia membuka handel pintu dan segera masuk. Diikuti oleh Shena dan kedua adiknya. Mobil SUV berplat B itu meninggalkan parkiran sekolah yang sudah sepi, petugas penjaga sekolah bahkan sudah mengunci beberapa pintu kelas. Sepanjang perjalanan, Shena terus membelai puncak kepala kucing yang tengah tertidur di pangkuannya itu. Setelah memakan secuil roti milik Aldo, kucing itu nampaknya kelelahan karena sibuk mencari induknya. "Kira-kira, namanya bagusan apa ya mbak?" tanya Aldo, pemuda itu mendekat guna melihat kucing telon itu. "Ga tau nih, ada ide?" "Gimana kalau calico." saran Aldo, "Atau trico, three colour!" "Jangan deh, udah biasa itu." "Terus apa?" tanya Aldo lagi. Kedua sarannya tidak diterima oleh sang kakak perempuan karena dinilai terlalu biasa. Sudah banyak kucing bernama calico, kan. Arsen memutar kemudinya, melajukan mobil.saat lampu hijau kembali menyala. Si sulung menjentikkan jarinya, "Gimana kalo Ginger, atau Jahe?" "Ginger gimana sih? Kan, warnanya tiga, bang." protes Aldi dari belakang. "Gapapa, kan, cuma nama aja loh." "Nama adalah doa, bang." ujar Aldi. "Aku doain dia anget kayak jahe." "Ngadi-ngadi." Jalanan cukup padat karena bertepatan dengan jam pulang kerja, jadi mereka sempat terjebak macet untuk beberapa saat. Kucing itu tetap tertidur pulas berkat mobil mahal kedap suara milik si sulung. Mobil itu adalah hadiah ulang tahun yang tidak sepenuhnya merupakan pemberian. Karena pada kenyataannya, Arsen membayar hampir dua per tiga harga mobil ini. Arsen mengumpulkan banyak uang berkat kepiawaian menjalankan perusahaan sedikit demi sedikit. Tokk..... tok..... tokkk..... Shena membuka kaca mobil Arsen, di luar ada anak-anak kecil penjual koran seperi beberapa hari lalu. "Kak, korannya kak?" tawarnya kepada Shena. "Berapa?" "Sepuluh ribu aja, kak." "Nih!" Shena memberikan selembar uang dua puluh ribu kepada anak itu, dan segera disambut dengan senyum semringah. "Dua ya, kak." anak itu memberikan dua gulung koran kepada Shena, tapi hanya diterima satu gulung saja. "Loh, kak, korannya satu aja?" "Sebentar, kembaliannya." "Ga usah buat kamu aja." "Beneran kak?" "Iya." "Terima kasih, kakak cantik." puji anak penjual koran itu kepada Shena, sebelum mobil mahal itu melaju karena kemacetan berangsur membaik. Sekalipun belum terlalu lancar, tapi perjalanan tetap bisa diteruskan. Aldi menyimpan kembali ponselnya saat ia kalah bermain game online dengan Rando. "Beli koran mulu ga pernah dibaca." "Baca kok!" balas Shena tidak terima. "Kapan?" "Nanti." "Hm." "Aku bukan beli buat dibaca atau butuh banget. Ini soal kemanusiaan, anak itu senang dan mendapat hasil yang banyak." Tidak mengherankan lagi jika Shena rutin membeli koran di lampu hijau, sampai menumpuk tapi tidak satu pun ia baca. Tujuan Shena sebenarnya baik, ia ingin sedikit membantu dengan membeli dagangannya agar cepat habis. Anak-anak jalanan itu berjualan untuk menyambung hidup mereka yang keras, jika jadi mereka, pastilah Shena tak akan mampu bertahan selama itu. Shena jadi berpikir tentang apa yang ia berikan sebagai kontribusi dalam bidang kemanusiaan. Memang ada sebuah keinginan dalam lubuk hati terdalam untuk membangun sebuah panti asuhan, mengingat ada banyak sekali anak-anak yatim piatu yang tidak punya tempat tinggal. "Kasusnya sama kayak kucing ini ya." "Kasusnya gimana?" tanya Aldi. "Kucing ini juga yakim piatu dan dibuang karena ga bisa merawat." Terlampau nyaman, anak kucing itu masih setia tertidur di pangkuan si gadis cantik. Ia sama sekali tidak terganggu dengan obrolan dari keempat anak Darsono itu di dalam mobilnya. "Mending mikir nama deh." saran Aldi. "Ga nemu gue, yang tadi ditolak juga." balas Aldo mengsedih. Menurutnya nama Calico itu bagus, mengingat warna khas dari bulunya. Rata-rata kucing telon berjenis kelamin betina, sangat jarang menemukan yang berjenis kelamin jantan. Tapi, kucing yang baru dirawat Shena itu berjenis kelamin jantan. Kucing itu juga gendut dan menggemaskan sekalipun terlihat kotor. "Ahha!" Shena menjentikkan jarinya, "Namanya cupang!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD