Drama pulang sekolah

1823 Words
Arsen melihat jam tangan berwarna mocca yang bertengger manis di pergelangan kirinya, manis sekali seperti pemiliknya, Aldi. Jam tangan itu milik Aldi, karena diletakkan sembarangan di meja ruang tamu, jadi lah Arsen memungutnya. Lumayan kan punya jam tangan baru, lagipula sudah banyak jam tangan Arsen yang dipakai Aldi tanpa dikembalikan lagi. Pemuda tampan itu mendongak untuk mencocokkan jamnya dengan jam dinding di kelas. Affan yang melihat itu pun peka, pemuda berhoodie hitam itu langsung menyabet tasnya. "Apakah sudah waktunya undur diri, baginda?" tanya pemuda jenaka itu. "Adinda sudah tidak sabar, untuk mencicipi opor ayam buatan mama tercinta." Affan menerawang jauh, ia mengulum bibirnya membayangkan opor ayam yang akan ia jumpai di meja makan siang ini. Dewa dan Dio mendekat setelahnya, kedua pemuda itu turut mengambil tas mereka dan bersiap untuk pulang. "Lo butuh orang buat bantuin ngabisin opor gak, Fan?" tawar Dio, Dewa yang berdiri di sampingnya langsung mengangguk. "Kita siap empat lima buat bantuin." Pemuda berhoodie hitam itu mendelik ke arah dua sahabatnya itu, "Yee, giliran makan aja lo gercep." Affan mengeluarkan ponsel dari saku celananya, "Bentar gue tanya mama dulu." Dewa dan Dio bersorak, lumayan bisa mencicipi lagi masakan mama Affan yang enak itu. Keluarga Affan memang paling royal soal makanan, tak heran jika rumah Affan sangat cocok untuk dijadikan basecamp atau sekedar tempat untuk berkumpul. Affan sendiri sangat dimanjakan dengan banyak fasilitas mewah di rumahnya, seperti PS terbaru, Wi-fi kecepatan tinggi, dan masih banyak lagi. Tak heran jika ketiga sahabatnya sangat senang berada di rumah Affan. Hampir lima menit lamanya, sambungan telepon Affan dan sang ibu belum juga tersambung. "Kenapa?" tanya Dio khawatir. Affan menggeleng, "Ga diangkat sama mama, mungkin lagi sibuk masak. Rumah gue hari ini mau ada syukuran kecil-kecilan." "Lahh, berarti kita berpotensi mengganggu dong?" ujar Dewa. "Udah, gapapa. Kalo cuma buat ngasih makan lo berdua, syukuran mama ga berkurang seperlima persen kok." Jawab Affan. "Lagian bagus kalo lo berdua ke rumah, kan bisa ikut bantu-bantu." Dewa mengangguk-angguk, masalah bantu membantu bukan masalah bagi mereka selama itu masih bisa dikerjakan dengan baik. "Tapi kalo arisan tante-tante lagi males ah, males digodain." Affan terkekeh geli mengingat arisan sang ibu minggu lalu, kebetulan ketiga sahabatnya bersedia hadir dan membantu. Saat itu Arsen beruntung karena pemuda itu memilih untuk bantu-bantu di dapur, tapi Dewa dan Dio kebagian membawa makanan untuk disuguhkan. Alhasil, mereka jadi guyonan habis-habisan oleh para tante teman sang ibu karena wajah tampan mereka. "Kenapa lo ga mau aja sih, lumayan kan jadi piaraan tante-tante kaya raya. Itu geng mama rata-rata pengusaha semua, lumayan kalo bisa dapet saham." "Dihh, sesat lo!" kesal Dio, dia yang paling sering digoda karena senyumnya yang manis, sepertinya Dio adalah tipikal yang banyak dicari untuk cuci mata. "Lumayan, Yo." tambah Arsen ikut menyambung kesesatan Affan. "Lo kan suka banget sama sepatu, bisa lah minta dibeliin sama tante, atau lo mau penthouse? Villa? kan, tinggal minta." Arsen melirik Affan dan mereka tertawa bersama melihat ekspresi wajah Dio yang masam. "Tante, Dio minta beliin sepatu dong!" ucap Dewa dengan nada manja. "Tante, tante, Dio minta sepatu seri yang itu dong." sambung Affan. "Emh tante, Dio boleh minta dibeliin penthouse ga? Yang di JakSel." "Atau yang di BSD, yhaaaaaaaa!" Dio menggeleng keras, "Ga mau, gue masih suci! Jangan kotorin otak gue." Ketiga sahabatnya itu hanya bisa tertawa untuk menanggapinya, mereka tahu Dio itu pemuda yang taat sekalipun pernah nakal beberapa kali, itupun hanya karena penasaran. Sisanya pemuda itu sangat taat pada agamanya karena didikan keras sang ayah yang merupakan anggota ormas ternama. "Emang syukuran apa?" tanya Dewa. "Syukuran lahiran kucingnya mama." Satu… Dua… Tiga… Krriiiiingggggggggg………….. Bel yang ditunggu-tunggu akhirnya berbunyi, tanpa ba-bi-bu, Arsen melenggang pergi meninggalkan ketiga temannya. Tujuannya adalah kelas Shena, karena Arsen sendiri mendapatkan mandat dari sang ayah untuk mengangkut pulang adik-adiknya tanpa tertinggal satu pun. Ajakan makan bersama dari Affan pun hanya ia tanggapi dengan lambaian tangan, mungkin terdengar menggiurkan mengingat masakan Tante Kinasih, mama Affan sangat lezat. Tapi untuk kali ia harus melewatkan kesempatan emas untuk makan gratis. Langkah Arsen membawa pemuda jangkung itu menapaki kelas yang berjarak dua blok dari kelasnya, kali ini ia dan Shena berpisah kelas. Syukur bagi Shena tapi tidak bagi Arsen, karena kelas yang berbeda ia jadi tidak bisa lagi memanfaatkan kecerdasan sang adik untuk setiap tugasnya. Yaa, apa mau dikata. "Ayo pulang dek!" ajak Arsen yang baru tiba sembari menenteng tas kosongnya. Pemuda itu celingukan mendapati kelas sang adik yang sudah kosong. "Yang lain kemana? Jangan bilang yang di kelas ini cuma lo aja." Shena memutar bola matanya malas, "Udah pulang." "Terus kenapa lo gak pulang?" "Ini masih nulis." "Difoto ajalah, tulis di rumah." "Hpku mati, low bate! Kemarin aku lupa charge." Arsen berdecih, "Bukannya hp baru tuh, tiga belas kan? Hp bagus tapi mati ya buat apa. Lihat nih hp gue, biasa aja tapi tahan lama daya nya. Kalo beli hp tuh diperhatikan juga dong aspek pendukungnya nya, jangan cuma beli karena gengsi." Ceramah Arsen. "Hp lo dan hp gue itu sama, cuma beda warna." "Oh ya?" Shena memutar bola matanya malas, "Iyalah." Shena menyelesaikan catatannya secepat kilat, tulisannya yang rapi sampai berubah menjadi tulisan dokter karena dipaksa untuk ngebut. Kalau tidak Arsen akan meninggalkan kali ini, lihatlah pemuda itu yang bahkan sudah melenggang pergi meninggalkannya. Shena menghela napas lelah, ia memasukkan asal buku dan pulpennya ke dalam tas. "Gini banget punya abang, ga bisa pengertian dikit apa." Gerutu gadis itu. Shena terpaksa berlari untuk menyusul langkah panjang Arsen, tujuannya sudah jelas barisan kelas sepuluh guna menjemput dua adik kesayangan mereka. Sampai dua langkah di dekat Arsen, pemuda itu berhenti mendadak, Shena yang tidak siap sampai menabrak punggung tegap pemuda itu. Gadis itu mengaduh sambil mengusap-usap keningnya, punggung Arsen seperti batu saja karena pemuda itu rajin berolahraga. "Aww! Kira-kira dong kalo mau berhenti." Kesal gadis itu. "Ya lo ngapain lari." "Kan gue nyusul lo, bang!" Arsen mengendikkan bahunya acuh dan kembali melanjutkan langkahnya, bersama Shena yang asik menggerutu di sampingnya. Barisan gedung kelas sepuluh letaknya cukup jauh karena di area belakang sekolah, gedungnya gedungnya pun gedung lama dan belum banyak direnovasi. Dengar-dengar gedung kelas sepuluh banyak yang angker, karena berdekatan dengan pohon beringin tua yang konon tidak bisa untuk ditebang. Ada satu yang cukup mengganggu bagi Shena saat berjalan berdampingan dengan sang kakak, yaitu tatapan orang-orang pada mereka. Anak-anak kelas sepuluh itu tampaknya belum tahu jika ia dan Arsen kembar, mereka terang-terangan membicarakan kecocokan mereka sebagai sepasang kekasih. "Kita emang ga mirip ya?" "Hm?" Arsen menaikkan satu alisnya. "Mirip kok, dikit tapi. Ya kalo sekilas ga kelihatan mirip." "Masaa sih, kok mereka bilang kita cocoknya jadi pacar." Shena menunjuk barisan siswi perempuan dengan dagunya. "Apa kita pacaran aja ya, bang." "Jangan gila lo, gue masih waras." Arsen bergidik ngeri membayangkan ia dan Shena punya hubungan lebih, selain melanggar norma yang ada. Arsen juga sangsi dengan hubungan mereka karena karakter keduanya yang bertolak belakang, Shena itu cantik, sangat cantik, tapi galaknya bukan main. "Nanti kalo ga ada yang mau sama abang, Shena mau." canda gadis itu. "Enak aja! Banyak yang mau sama abang tau!" "Ya ya yaa." Pandangan keduanya tertuju pada seorang pemuda yang tengah cekikikan sambil bersandar di tembok, pemuda itu terlalu asik menggulir layar ponselnya ke atas dan ke bawah tanpa peduli keadaan di sekitarnya. Dia adalah Aldi, adik tersayang mereka yang pertama. Sebuah ide licik muncul dengan spontan tanpa diminta, Shena yang memberi kode, gadis itu berjalan mengendap menghampiri sang adik yang asik sendiri. "ALDI!!!" tepuk Shena. Sontak membuat Aldi berjingkit kaget, ponsel yang digenggamnya pun hampir saja menyapa ubin, jika tidak dengan sigap ia tangkap kembali. Aldi mengusap-usap dadanya karena detak jantungnya masih berdetak dua kali lebih cepat. Ia mendelik tajam pada gadis cantik yang berdiri di sampingnya, sedangkan Shena hanya menatap Aldi tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Ngagetin aja sih mbak, coba tadi kalo aku kena serangan jantung gimana? Untung aja jantungku buatan Tuhan Yang Maha Esa, coba kalo made in China, udah copot." gerutunya. "Nanti kalau copot, ya dipasang lagi." Jawab Shena enteng. Cowok dengan setelah yang masih bersih, rapi dan wangi itu mencebik. "Salah dong, yang bener apa hayo?" Arsen dan Shena saling tatap, kemudian beralih pada sang adik. "Apa?" tanya mereka datar. "Kalo copot ya teriak, Eh! Copot copot!" Aldi bergaya latah dan mengangkat tangannya ke udara. Sejurus kemudian, cowok itu segera bernyanyi. "EH COPOT, EH COPOT COPOT. EH, COPOT, EH COPOT COPOT!!" Tingkah Aldi itu sukses membuat banyak perhatian terarah pada mereka. Ada yang menatap aneh, ada pula yang tertawa melihat tingkah konyol cowok ganteng seantero kelas sepuluh. Aldi itu kadang bisa menjadi sangat unik dan beda dari yang lain. Shena hanya bisa tersenyum kikuk pada beberapa guru yang lewat. Gadis itu pun mengambil jarak dari Aldi, lebih memilih menyusul Arsen yang sudah berlari menjauh sebelum aksi konyol sang casanova terjadi. Aldi melotot menatap kedua kakak tak percaya, "Hmm, gini nih punya kakak kakak lucknut." ujarnya pelan dan segera menyusul kedua kakaknya. Sesampainya di kelas si bungsu Aldo, mereka belum melihat tanda-tanda kelas akan usai. Maklum saja, guru yang mengajar saat ini adalah guru matematika terkiller di sekolah, terkenal akan donasi jamnya yang dirasa tidak perlu oleh para murid. Guru berdedikasi tinggi memang patut untuk diacungi jempol, tapi bel pulang sudah berbunyi lama dan kelas belum selesai itu sangat menjengkelkan. "Lama banget yak." keluh Aldi. "Suttttt." Arsen segera memerintah adiknya untuk diam. Kalau sampai didengar oleh guru yang mengajar, kan tidak lucu. "Tungguin aja lah, paling sebentar lagi juga selesai." "Iya iya." "Nah itu tuh udah selesai." ucap Shena bersemangat, jujur saja dari tadi perutnya sudah keroncongan minta diisi. Cepat sampai rumah, akan cepat juga ia mengisi kembali amunisi untuk menjalani hari ini. Aldo keluar paling akhir, dengan wajah lesuh dan penampilan yang berbanding terbalik dengan para kakak. Sudah tidak heran lagi, Aldo adalah anak yang aktif. Mereka berempat berjalan beriringan dengan Shena dan Arsen yang memimpin di depan, dan para adik di belakang. Urutan seperti ini adalah keharusan bagi para kakak, kalau adik-adik, ya ikut maunya kakak saja. Beruntung, jarak parkiran dengan kelas sepuluh tidak terlalu jauh. Mobil hitam milik si sulung pun sudah terlihat sendirian di bawah pohon seri, mobil-mobil yang lain kebanyakan sudah pergi bersama pemiliknya. "Bang, mampir warung nasi padang dulu gak? Laper nih? Ada warung nasi padang yang enak di perempatan depan. Kemarin aku kesana, dendengnya bwehhh, ga ada obat." Ujar Aldo, dia tahu kalo Arsen paling tidak bisa menolak dendeng. "Wihh, enak tuh, dibungkus aja biar nasinya dapet banyak." Tambah Aldi. "Ide bagus tuh." Arsen berpikir sejenak karena ia baru saja memulai diet untuk mengurangi lemak jenuh di dalam tubuh. Beberapa minggu terakhir, pemuda itu merasa berat badannya mulai naik. "Gimana dek?" tanyanya pada Shena. Dan gadis itu tentu saja mengangguk setuju, menambah asupan lemah jenuh tidak masalah untuk hari ini. "Ayo deh!" putus Arsen "Yeay! Finnaly makan nasi padang. Abang yang bayar kan!" sorak Aldi. Pemuda itu segera menarik handel pintu mobil dan duduk dengan tenang di jok belakang. "Makan, makan!" "Aku mau makan ayam pop banyak-banyak!" sorak Aldo. Arsen hanya merotasikan bola matanya, urusan bayar membayar tentu saja tugas Shena.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD