The next berandal sekolah

1585 Words
Apakah ini memang sering terjadi? Mengapa matahari selalu menyombongkan sinarnya saat upacara bendera? Terik matahari yang terasa membakar kulit, membuat pemuda yang baru saja masuk SMA itu mengumpat berulang kali, di dalam hati tentunya. Aldo mendongak, mencoba menantang matahari tapi apalah daya, telapak tangan bergerak untuk menghalau silau yang memaksa masuk ke retinanya. Aldo menunduk dan mengaku kalah pada kehebatan sang matahari, sinarnya tidak ada lawan lagi. Si bungsu itu mengipasi lehernya dengan tangan berulang-kali. Entah kesialan darimana hari ini, saat ia dan teman-temannya berniat bolos, jutru ketahuan oleh anak-anak OSIS yang sedang berpatroli. Padahal, kata salah satu senior mereka, tembok belakang dekat TPA adalah spot paling ciamik untuk membolos. Tadi itu hanya tinggal sedikit saja, yang membuatnya semuanya gagal adalah sepatu Leon terjatuh dan mereka berakhir ketahuan. Sepatu Nike Jordan seri terbaru kesayangan Leon itu, sudah tahu jika mereka akan membolos tapi pemuda itu malah menggunakan sepatu yang tidak sesuai. Membolos itu membutuhkan sepatu yang bisa membuat mereka lincah bermanuver sana-sini. Dasar Leon! Anak tunggal kaya raya itu pastilah sudah mendapatkan jitakan bergilir dari teman-temannya. Tembok belakang itu kabarnya cukup rendah dibanding tembok yang lain, tapi kenyataannya tembok itu cukup tinggi. Leon selalu kesulitan untuk panjat-memanjat, padahal tubuh pemuda itu ramping dan terlihat gesit. Alhasil, disinilah ia berada bersama teman-temannya yang lain, dibawah terik matahari, dan diceramahi habis-habisan oleh anggota OSIS. Yang lebih parah lagi, sosok yang menceramahinya adalah dua wajah yang ia kenal betul. Kedua kakaknya sendiri. Reynaldo, atau sering dipanggil Aldo, menatap melas pada kedua kakaknya. Berharap dalam hati, ada rasa iba barang sedikit saja melihat sang adik melepuh tersengat matahari. Tapi yang ia dapat sebaliknya, Arsen dan Shena justru memasang wajah dingin dan kejam kepada siswa baru pembelot macam mereka. Dari laman berita yang dibaca sang ayah kemarin, tahun ini perpeloncoan resmi dihapuskan, tapi sepertinya berdirinya mereka disini akan menjadi sasaran empuk anak OSIS. Aldo dan teman-teman menghela napas jengah saat disuruh bernyanyi, berjoget dan bercerita di depan para siswa baru yang jumlahnya seribu lebih. Lengkap sudah penderitaan Aldo pada siang hari yang terik ini.   Dari segi perawakan, Aldo tak jauh beda dengan kembarannya, Aldi. Bedanya, Aldo sedikit lebih berisi, bukan gemuk yang terlalu berlebihan. Hanya meleset beberapa kilo dari BMI. Ya, Body Mass Index, anak-anak Darsono ini begitu terpaku padanya. Nilai BMI mereka harus kurang sepersekian dari itu, aneh memang, tidak mau ideal malah mau kurang. Dan si bungsu Aldo, jelas menjadi bahan bullyan dalam persaudaraan Darsono karena berat badannya melebihi BMI. Moto hidup Aldo adalah hidup untuk makan, tapi sayangnya ia terlalu malas untuk memasak. Ya, pergi ke dapur saja ia sangat jarang apalagi memasak. Dalam sejarah hidupnya, ia hanya beberapa kali saja memegang penggorengan. Itu karena Aldo adalah si bungsu yang selalu dimanja oleh kedua orang tuanya, terutama sang ibu, Bu Wulandari selalu memberikan apa yang Aldo inginkan tanpa pikir panjang.     Aldo adalah tipe anak yang suka berulah, banyak tingkah dan senang membuat keributan. Setiap hari baginya adalah jadwal bolos sekolah, nongkrong, balapan liar dan tawuran. Si bungsu inilah yang paling susah diatur di dalam keluarga. Kedua orang tuanya sampai kewalahan mengurus Aldo, karena setiap bulan pasti ada catatan merah dari guru BK untuknya. Catatan kepolisian? Ah, itu sudah ada yang mengatur. Bu Wulandari tinggal mengeluarkan nominal yang diminta dan kasus Aldo terhapuskan, anak kesayangan mama itu semakin menjadi-jadi karena begitu dimanjakan oleh Wulandari Darsono. Pernah terbesit sebuah rencana untuk memindahkan Aldo ke Jogja guna melatih sikapnya agar lebih baik. Karena disana ada Kakek Bima, ayah dari Wulandari yang masih memegang teguh budaya keraton dan mantan tentara. Harapannya adalah Aldo bisa berubah sedikit lebih baik, tapi sebelum rencana itu terwujud, si bungsu sudah lebih dulu menyusun rencana untuk menggagalkannya, yaitu berpura-pura hendak meminum racun tikus jika ia dipindahkan ke Yogyakarta. "Waduhh, panas banget, ini kulit rasanya mau kebakar!" ujar Aldo lirih, namun masih didengar oleh Roy dan Leon. Teman seperjuangan Aldo yang berbaris di samping kanan dan kirinya. Keduanya sudah seperti sayap bagi Aldo, karena kemanapun ia pergi pasti ada mereka. Jika Aldi bertemu temannya di sekolah dasar, Aldo justru bertemu Roy dan Leon saat akan membolos di sekolah menengah pertama. Berawal dari teman nongkrong, sampai akhirnya menjadi sahabat tak terpisahkan. "Haus gila gue, ini kapan selesainya sih? Bilang dong sama Mbak Shena, suruh udahan ceramahnya katanya mau jajanin Es Doger seberang sekolah, gimana sih lo ga konsisten dengan ucapan!" gerutu Roy. "Mbak Shena jangan kebanyakan ceramah, ntar cantiknya ilang loh, eh, tapi Mbak Shena mana pernah jelek sih. Asli kalo bukan kakak lo udah gue sikat tuh." Aldo melotot mendengar ucapan omong kosong dari Roy, ia mengarahkan telunjuknya untuk memotong lehernya sendiri, "Cari mati lo?!" tanyanya garang. "Mbak gue ga mau sama lo, udah gosah mimpi! Sama Bang Arsen aja noh." Aldo mengarahkan dagunya pada pemuda jangkung yang tengah asik berbincang dengan temannya itu. Roy bergidik ngeri, "Abang lo oke sih, tapi gue masih cukup waras buat ga main pedang-pedangan." "Lo tanya gih, Yon!" suruh Aldo iseng. "Tanya apa?" "Tanya aja, mbak ini kapan selesai ceramahnya, kuping Leon udah sakit tau, gitu." Kelakar Aldo disertai kekehan karena candaan garing yang ia buat.   Dengan cepat Leon mengangkat tangan, seluruh pandangan pun otomatis mengarah pada Leon. Aldo dan Roy hanya bisa menunduk sambil memejamkan mata. Rupanya, Leon memang tidak bisa diajak bercanda. "Ya?" Shena berjalan mendekati Leon, pemuda berdarah China itu hanya cengengesan tidak jelas. "Kenapa Leon?" tanya Shena lagi. "Kak Shena yang cantik, ini kapan selesainya ya?" tanya Leon. "Kuping Leon udah sakit ini." "Apanya?" "Ceramahnya." Jawab Leon kelewat polos. Shena menoleh pada barisan anak OSIS, beberapa dari mereka terkekeh sambil ikut mendekati Leon. "Emangnya ada yang salah sama ceramah Kak Shena, Leon?" Leon menggeleng keras, "Ga ada sih kak, orang aku cuma disuruh nanya sama Aldo tadi." Aldo mendongak seketika sambil membulatkan mata, ia menggeleng tak percaya menatap Leon yang dengan santainya membawa namanya. Memang dasar si Leon, niat awal hanya bercanda, tapi malah jadi urusan yang panjang. Dari jarak sekitar dua meter, Aldo dapat mengartikan perubahan mimik Shena. Yang tadinya sang kakak ramah penuh senyum, sekarang menjadi datar. Sudah bertahun-tahun tumbuh bersama wajah itu, Aldo jelas sangat memahami tabiat Shena yang keras kepala dan sangat benci dibantah. Kakak perempuannya itu memang berhati lembut dan penyayang, tapi jangan salah karena Shena juga bisa berubah seratus delapan puluh derajat dalam sekejap. "Memangnya kenapa, Leon Pratama Wijaya?" Salah satu anak OSIS mendekat ke arah Leon, pemuda bertubuh jangkung dengan nametag Dino. "Ceramahnya Kak Shena ga menarik? Kurang memotivasi? Bikin ngantuk? Bikin sakit kuping?"   "Cuma disuruh Aldo tanya kak!" tunjuk pemuda itu pada Aldo tanpa dosa. Arsen yang awalnya diam kini tertarik untuk mendekat, ada nama Aldo, jadi ia tak ingin melewatkan kesempatan emas untuk membalas dendam kesumatnya pada si bungsu yang sering rewel. "Oh, jadi disuruh Aldo?" "Benar, Do?" tanya Arsen pada sang adik. Arsen bersedekap dan berdiri tepat di depan Aldo. Aldo sendiri hanya bisa memamerkan deretan giginya yang rapi. "Itu….emm….anu…." "Anu apa?" desak Arsen. "Anu apa ya?" "Apa, Do?!" Arsen terkekeh melihat refleks Aldo yang menghibur baginya, jika situasi sedang tidak tepat. Aldo bisa kikuk dan latah, sangat lucu melihat pemuda garang itu terbata.   Aldo menggeleng, "Nggak kak, ga jadi." "Yaudah, gimana kalo untuk mempersingkat waktu kita sudahi saja ceramahnya, Kak Shena yang cantik." Ujar seorang pemuda yang menjadi angin segar bagi Aldo dkk, pemuda itu adalah Wicaksana, atau akrabnya Icak. Ketua OSIS periode ini. "Karena adik kita tersayang ini sudah sakit kuping." Aldo dkk pun membalas dengan senyum semringah, mereka tidak sabar untuk segera berteduh di kantin. Tentu saja kantin obat untuk dahaga yang tak tertahankan. Roy bahkan sudah berulang kali menelan salivanya karena kehausan. Dari lapangan yang panas ini, minuman dingin di kulkas kantin seolah memanggil-manggil minta ditenggak hingga tandas. "Tapi sebelum itu, kita harus melakukan sebuah tindakan yang berbakti." Ujarlah lagi, "Berbakti untuk lingkungan contohnya. Karena lingkungan sudah sangat berjasa untuk kita semua, jadi kita juga harus membalas jasa tersebut dengan sebaik mungkin. Bukan begitu, Leon?" Leon mengangguk dua kali, "Benar, kak." Icak tersenyum cerah, "Lingkungan telah memberikan kita udara yang bersih, pohon rindang untuk berteduh, dan masih banyak lagi yang tidak terkira kebaikannya. Baiklah kalau begitu, kalian tahu kan apa yang harus kalian lakukan?" Beberapa anak OSIS datang sambil membawa perlengkapan kebersihan, mereka lalu menyerahkan satu persatu peralatan itu kepada Aldo dkk. Leon mengerutkan keningnya karena ia hanya mendapatkan pengki, ia menatap Ica"Buat apa kak? Ini dirumah Leon ada banyak." Ujarnya.   "Rumah kamu jualan pengki?" tanya Icak, detik selanjutnya pemuda dengan jas OSIS itu menepuk keningnya sendiri. Ia lalu tertawa terpingkal-pingkal. "Kamu kan Cindo yaa, wajar sih kamu punya banyak pengki. Papamu pasti punya Toko Klontong besar, kan? Iya, kan?" Leon menyipitkan kedua matanya yang sudah sipit, paling malas saat ia sebut ‘Anak Cindo’ alias Cina Indonesia. "Punya Toko Klontong besar bener sih sampai tingkat dua dan semuanya isinya Klontong, tapi Leon bukan anak Cindo. Cuma papa sama mama aja yang Cindo, Leon mah seratus persen buatan dalam negeri, cintailah produk-produk Indonesia." Ujar Leon. Semua yang mendengar itu sontak saja tertawa, pasalnya Leon ini dilihat dari sisi manapun, nuansa Cina dalam dirinya sangat kental. Terutama kedua matanya yang sipit, sangat khas. "Kenapa pada ketawa sih?!" Leon menggeplak Aldo agar berhenti cekikikan di sampingnya, tawa Aldo sangat tidak baik untuk kesehatan telinganya. "Udah woy!! Diam napa lo." "Iya…iya…maaf!" balas Aldo, masih mencoba menenangkan diri. Ia jadi teringat kembali dengan memori jaman dulu saat pertama kali mengenal Leon. Pemuda itu pun masih selalu marah ketika disebut Cindo, karena Leon pernah bilang bahwa ia tak suka dipanggil Cindo. Aldo dan Roy bisa memahami itu, tapi orang lain mungkin tidak, mereka menganggap itu sebagai candaan belaka. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD