De casanova

1728 Words
Pemuda berseragam putih abu-abu itu sedang asik menata rambutnya, ia kembali mengambil sejumput gel untuk membuat dandanannya semakin klimis. Hari ini, semua yang melekat pada pemuda itu terlihat baru. Mulai dari seragam, sepatu, kaos kaki, ikat pinggang, sampai jam tangan yang bertengger manis di pergelangan tangannya juga baru. Maklum saja lah, karena ia harus tampil necis untuk debut perdananya di sekolah menengah atas. Orang-orang bilang, masa SMA itu adalah masa yang paling indah, masa dari segala masa. Maka dari itu, masa SMAnya tidak boleh gagal, sekolah harus mengenalnya sebagai siswa yang tampan dan menawan. Reynaldi, panggil saja Aldi. Putra kedua keluarga Darsono, atau anak ketiga lebih tepatnya. Bisa dibilang Aldi ini adalah sang casanova, mengapa demikian? Nanti juga akan tahu. Aldi tak kalah rupawan dari sang kakak, tinggi 180 cm dan body atletis, sudah cukup membuat Aldi dicintai para wanita. Jika tersenyum adalah moto sang kakak perempuan, maka bagi Reynaldi, tebar pesona adalah jalan hidupnya. Putra Darsono yang satu ini sudah terkenal sebagai playboy dari kelas enam sekolah dasar. Maklum saja, modal utamanya adalah wajah tampan dan gigi gingsul. Yang jika ia tersenyum, maka manisnya gula pun tak ada apa-apanya, begitu kata sederet gadis remaja yang pernah dekat dengannya. Setelah merasa cukup dengan model rambut barunya, Aldi melangkah mengambil ponsel yang tergeletak di nakas, ponsel itu belum tersentuh sejak bangun tidur karena sedang mengisi daya. Sebuah ponsel boba keluaran terbaru dari salah satu brand ternama, Aldi mendapatkannya setelah berhasil merayu habis-habisan sang ibu. Belum ada satu menit ponsel mahal itu hidup, sudah adalah puluhan pesan dan panggilan yang masuk. Jangan tanya siapa yang mengirimnya, karena ponsel Aldi sudah selayaknya asrama putri. Cowok itu tersenyum geli melihat para gebetan yang sibuk mencarinya. "Ahh, ini nih resiko jadi orang ganteng." ujarnya mantap dan penuh percaya diri. Aldi menatap ke arah cermin full body di kamarnya, penampilannya sudah sangat menawan. Yaa, wajar saja gadis-gadis muda itu tergila-gila padanya. Omong-omong, cermin full body itu adalah cermin yang ia angkut paksa dari kamar sang kakak perempuan, Shena. Syukurlah Shena sendiri tidak terlalu mempermasalahkannya, gadis itu justru senang karena bisa membeli yang baru. Kata Shena, model cermin itu tidak cocok dengan konsep kamarnya yang elegan dan klasik. Baiklah tuan putri, Aldi berterima kasih untuk cermin hibahnya. Aldi memutar tubuhnya, ia lalu mengarahkan telunjuknya ke cermin. "Are you ready, handsome boy?" tanyanya pada diri sendiri. Detik selanjutnya, pemuda itu mengepalkan tangannya ke udara, "Let’s fight!!" Pemuda itu segera keluar dari kamarnya sambil menenteng tas kosong yang fungsinya hanya untuk formalitas. Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah menengah atas, ia tidak boleh memberikan kesan pertama yang buruk, terlebih bagi kaum hawa di sekolah itu. Seperti rencana awal yang kemarin sudah dibicarakan, ia akan pergi bersama Pak Darsono dan Aldo. Yaa, sang ayah pasti ingin berbasa-basi dengan kepala sekolah tentunya. Aldo berdecak melihat kembarannya melenggang santai menuju mobil sang papa. "Buruan elahh Di, lelet banget dah. Udah nunggu dari ayam jantan belum bertelur tau!" "Terus? Sekarang sudah bertelur?" tanya Aldi enteng, ia membuka pintu mobil sang ayah dan mencari posisi duduk yang nyaman. "Ya kali ayam jantan bertelur." "Kan, tadi lo yang bilang borr. Gimana sih." Balas Aldi. Pemuda itu terpaksa bergeser saat Aldo masuk dengan cara sedikit brutal, ia pun mengambil jarak karena tidak mau terkontaminasi oleh aura negatif sang adik. Rambut acak-acakan dan seragamnya asal-asalan, satu-satunya penyelamat bagi Aldo adalah ia selalu wangi dan punya wajah yang cukup enak dipandang. Mungkin saat lahir, ia terkena cipratan ketampanan dari Aldi. "Nanti kalian pulang bareng Arsen, jadi sama-sama pulangnya. Jangan mencar-mencar." Galih Darsono menginstruksi anak kembarnya, setelah Aldo mengisi kursi belakang bersama Aldi. "Iya pah." jawab mereka malas. "Kenapa ga boleh bawa motor sendiri aja sih, pah?" protes si bungsu, ia merasa tidak tega meninggalkan motor ninja berwarna hitam kesayangannya sendirian di garasi. Motor itu sudah menjadi separuh jiwanya, kurang lengkap rasanya melewatkan hari tanpa mengendarai motor hitam itu. "Harusnya kan kalo bawa Afrodit, Aldo bisa sampe ke sekolah lebih cepet. Naik mobil itu rentan macet, pah. Lagian pulangnya juga ga selalu bareng, kan." Aldi mendelik, ia bergidik ngeri dengan nama dari motor kesayangan si bungsu itu. "Afrodit tuh dewi kecantikan di Yunani Kuno tau, ga jelas lo namain motor." "Yaah, daripada lo!" sewot Aldo. "Kenapa?" Aldo menunjuk Kawasaki KLX 150 berwarna fanta black yang terparkir di garasi, bersebelahan dengan motor miliknya. "Motor lawak banget, namanya Don Juan, jiahhhh." "Eh, sembarangan! Bagus tau nama Don Juan tuh." Balas Aldi tak terima. "Don Juan itu salah satu orang yang paling berpengaruh karena berhasil menaklukan ribuan wanita, sama kayak gue." "Dih, playboy aja bangga!" "Daripada lo, ga laku." "Wahh, sembarangan!" Aldo mendelik tidak terima, pemuda itu menggulung lengan seragamnya, ia mengepalkan tangan dan meniupnya dua kali. "Nih, kalo kena jambul lo gimana?" Aldi siap siaga, ia menjauh dari sang adik. "Awas aja ya! Ini jambul udah susah-susah dibikin tau, kalo sampe rusak, lihat aja entar." Balas Aldi sambil mendelik galak. "Lihat apa?" "Apa! Berani? Gini-gini gue abang lo ya, mau jadi kuwalat." "Berani, ayo sini!" Pak Darsono menghela napas jengah, ia melihat perdebatan kedua bujangnya dari kaca mobil. Kalau tidak dihentikan secara paksa, mereka akan terus bertengkar. "Udah ya! Afrodit, Don Juan. Mau berangkat ini, kalo kalian berantem terus papa mana bisa fokus! Apa mau keluar dulu terus cakar-cakaran di halaman. Gapapa nih, papa tungguin." "Aldi duluan yang mulai pah." Tunjuk Aldo. "Kok jadi gu---" Mendengar deheman dari sang ayah, Aldi pun tak melanjutkan kalimatnya. Ia lebih memilih diam dan menatap ke luar jendela mobil, memang Aldo itu sangat menyebalkan dan suka mengadu. Awas saja nanti kalau tertangkap, Aldi pasti akan dengan senang hati memberinya jitakan berkali-kali. Mobil mulai melaju meninggalkan rumah megah kediaman Darsono, mobil sedan berwarna hitam dengan logo ternama itu membelah jalanan kota yang cukup padat, senin memang hari yang sibuk. Aldi melihat ke luar jendela, banyak anak-anak berseragam sama seperti mereka berlarian mengejar bus atau angkot yang sudah penuh. Beberapa bus bahkan nekat berjalan padahal muatannya sudah sangat penuh. Selama perjalanan tak ada komunikasi dari ketiganya, sang papa sibuk menyetir, Aldo bermain game di ponsel, dan Aldi sendiri sibuk menatap jalanan. Mobil akhirnya memasuki area sekolah, Pak Darsono sengaja memarkirkan mobil mahalnya di bawah pohon seri yang rindang. Sebenarnya, Aldi sudah pernah menjelajahi sekolah ini saat ia mengikuti sang kakak berlatih basket, Arsen pun sedikit banyak menjelaskan tata ruangnya. Tapi sampai sekarang, design sekolah ini masih membuat Aldi terkesima. SMA Nasional, sekolah menengah yang bergengsi, sekolah ini memiliki konsep modern klasik dan industrial. Cukup relevan untuk gaya bangunan jaman sekarang, dan spot foto yang estetik tentu saja. Sekolah ini tampak nyaman dan berkelas. "Kalian duluan aja, Papa mau ke ruang kepala sekolah dulu." Ujar Galih Darsono saat mereka sudah keluar dari mobil. Pria paruh bawa itu merapikan kembali kemeja batiknya, ia harus terlihat formal hari ini. Aldi dan Aldo bergegas mencium tangan sang ayah dan melangkah bersama-sama memasuki area sekolah. Ada satu hal yang membuat mereka malas untuk berjalan berdampingan, yaitu tatapan orang-orang saat melihat mereka. Sekalipun tidak semirip Nakula-Sadewa, tapi tetap saja ada kemiripan dalam fitur wajah mereka. "Eh! Mau kemana?" tanya Aldi saat sang adik melenggang santai menuju salah satu sudut sekolah, sepertinya si bungsu itu sudah hafal betul seluk beluk sekolah ini, termasuk spot bolos tentunya. "Gabung sama temen lah, kenapa? Mau ikut gabung juga?" Aldi menggeleng, "Gak ah, gue punya temen sendiri." Keduanya berpisah di persimpangan koridor, Aldi sendiri sudah celingukan mencari keberadaan teman-temannya. Pesan terakhir yang dikirim oleh Malik, katanya pemuda itu berada di halaman upacara. Suasana sekolah ramai dengan murid baru yang berkumpul di halaman upacara menantikan penyambutan dan masa pengenalan sekolah mereka. Anak-anak berjas OSIS sibuk berlalu-lalang mempersiapkan acara hari ini. Dari sekian banyak anak OSIS, Aldi mencebih melihat Arsen dan Shena, sang kakak, yang turut sibuk mempersiapkan upacara. Padahal sejauh yang ia tahu, kedua kakaknya itu tipe pemalas dan suka memerintah seenaknya. "Hoe, Di!" Malik melambaikan tangannya sambil meneriaki nama Aldi, pemuda itu berdiri bersama Rando di sisi kiri lapangan. Aldi melangkah penuh percaya diri menghampiri kedua sahabatnya, berusaha acuh pada tatapan dan decak kagum para wanita di sekelilingnya. Dalam hati, pemuda itu tentu bersorak kegirangan. Mengangkat dagu dengan yakin dan sesekali menyugar rambut lebatnya ke belakang, perangai Aldi itu sukses membuat para gadis memekik. "Udah lama lo pada?" tanya cowok penebar pesona itu. Yang ditanya hanya mengangguk bersamaan. Rando dan Malik adalah teman baik Aldi sejak sekolah dasar, tapi kedua pemuda itu justru tidak terlalu dekat dengan Aldo. Maklum saja lah, teman Aldo itu bukan teman Aldi, dan begitupun sebaliknya. Mereka hanya saling mengenal, kadang menjadi akrab kadang juga tidak. "Udah pake banget, lo kesiangan tau." cerca Malik. Pemuda itu menghalau sinar matahari yang menyorot ganas dengan tasnya. "Kesiangan gimana? Orang belum mulai gini." protes Aldi. Rando memutar bola matanya malas, "Tuh lihat tuh!" tunjuk cowok itu. Aldi menoleh ke tengah lapangan dan mendapati kakak perempuannya sedang berdiri di depan microphone, bersiap mengucap sesuatu. Dirasa semua siap, ditambah kode dari Arsen yang berdiri tepat di tengah lapangan, membelakangi tiang bendera. Aldi merotasikan bola matanya malas, kedua kakaknya itu bukan anggota OSIS, tapi tahun ini mereka malah hadir sebagai panitia. Entah ini akan menjadi keuntungan atau kesialan bagi Aldi. "MOHON PERHATIAN, UPACARA BENDERA AKAN SEGERA DIMULAI. UNTUK SEMUA SISWA BARU, SEGERA BERBARIS SESUAI REGU YANG TELAH DITENTUKAN PADA SAAT PENDAFTARAN KEMARIN! SILAHKAN BERBARIS MENGIKUTI INSTRUKSI PANITIA DI SISI KIRI LAPANGAN." Shena, sang kakak berbicara dengan suara lantang menginstruksi para siswa baru. Di tengah lapangan, Arsen berdiri tegap menunggu para siswa baru berbaris dengan tenang. Dalam upacara kali ini, pemuda itu ditunjuk sebagai komandan upacara. Keberadaan Arsen disana benar-benar menjadi pusat perhatian. Aldi lagi-lagi menghela napas, firasatnya kuat mengatakan hal buruk akan terjadi padanya. Jika kedua kakaknya itu sudah memasang wajah serius seperti ini, maka sudah dapat dipastikan mereka akan menjadi senior killer. Terutama untuk Aldi. Pemuda itu berbaris bersama kedua temannya mengikuti instruksi dari panitia yang super sibuk. Tepat saat mereka mulai berbaris, upacara segera dimulai. Aldi celingukan mencari keberadaan kembarannya, wajah Aldo itu tidak pasaran tapi si bungsu itu tidak ditemukan oleh radarnya. "Kenapa celingukan, lehernya sakit?!" sentak salah satu anak OSIS, membuat Aldi menatap ke depan. "Kenapa lo?" bisik Malik yang berbaris tepat di samping kirinya, sementara Rando di sayap kanan. "Nyari si Aldo." balas Aldi. Malik hanya mengendikkan bahu tanda tak tahu, sedang Rando menggeleng pelan. Bahkan saat upacara dimulai pun, kembarannya itu tidak terlihat batang hidungnya. Yang pasti, Aldo sedang membolos entah kemana bersama teman-temannya. Ah dasar kembarannya itu, selalu cari masalah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD