Unexpected

1555 Words
Shena sedang berada di kantin bersama kedua sahabat baiknya, saat peristiwa cukup dramatis itu berlansung. Semua orang terbengong, tapi gadis itu tampak acuh dengan apa yang baru saja ia saksikannya. Beberapa saat lalu, Kania pingsan karena kepalanya terbentur bola basket. Dan adegan dramatis itu dimulai. Arsen yang melihat kekasihnya tak sadarkan diri, langsung berlari menghampirinya setelah sebelumnya sempat beradu jotos dengan sang pelaku. Si sulung marah bukan main pada kejadian tak sengaja itu, beberapa teman satu kelas Kania yang meminta maaf tidak ia hiraukan. Siang ini adalah jadwal mata pelajaran olahraga di kelas Kania, dan materinya bola basket. Letak lapangan yang berada tepat di samping kantin sekolah, membuat Shena bisa merekam dengan jelas kejadian itu. Melihat raut wajah khawatir sang kakak, membuatnya sedikit merasa iri. Jujur saja, sejak lahir ke dunia bersamanya, Arsen tak pernah menunjukkan raut wajah khawatir hingga seperti tadi kepadanya atau kepada kedua adiknya. Pemuda itu selalu datar atau tanpa ekspresi sedikit pun, alias lempeng-lempeng saja. Aldi dan Aldo yang kebetulan berada di meja tak jauh dari tempat Shena hanya menatap jengah sikap sang kakak sulung, menurut mereka Arsen terlalu berlebihan. "Yaelah, cuma kena bola aja sih." celetuk Aldi sambil asik memainkan ponselnya. Aldo terkekeh, "Kita ga bisa menilai orang sembarang, siapa tahu bagi dia itu sakit. Coba kalo kena bola basket, pasti sakit kan." "Ya.. ya... ya.." jawab Aldi, "Bisa jadi juga sih." "Tapi, gue enek!" timpal Aldo. "Kenapa?" "Ga tahu." si bungsu menggeleng tak yakin, "Ga biasa aja lihat abang ngebucin." "Cuma perasaan gue aja, atau lo emang ga suka sama pacarnya Arsen?" tanya Sonia yang sedang mengaplikasikan bedak tabur di wajahnya. Gadis itu menatap pantulan wajahnya di cermin kecil, cukup cantik pikirnya. Vanya mengangguk, "Dari ekspresi lo bertiga, udah kebaca!" tunjuk gadis itu pada Shena, Aldi, dan Aldo bergantian. Shena mengalihkan pandangannya pada lapangan yang kini sudah kosong, karena Arsen sudah membawa Kania secepat kilat menuju UKS. "Gue bukan ga suka, cuma, yaa! Gimana ya ngomongnya", pikir Shena. "Abang ga pernah kenalin dia, dan Kania sendiri juga ga berniat dekat sama gue. Jadi, gimana bisa akrab atau seenggaknya berhubungan baik." "Tahu mereka pacaran aja juga baru-baru ini, kan." Sonia dan Vanya mengangguk paham, "Iya juga sih kalo dipikir-pikir, Kania juga orangnya pemalu gitu." "Ini bukan masalah suka atau ga suka sih." tambah Aldi, "Tapi, kalau misalnya kita pernah kenalan, mungkin ga akan secanggung itu." Aldo mengangguk membenarkan, si bungsu itu memberikan jempolnya pada sang kakak. "Bentar deh." tahan Vanya, "Kayaknya kita harus melihat dari sudut pandang Kania ga sih?" tanyanya. Shena mengerutkan keningnya, "Maksudnya?" "Yaa, maksud gue, mungkin Kania ga bisa deket sama adik-adiknya Arsen a.k.a lo, Aldi, dan Aldo karena dia pemalu. Dia mungkin bingung harus memulai dari mana, karena yaa, kalian terlalu populer di sekolah ini." jelas Vanya. Itu yang sedari tadi menganggu di pikirannya, sudah bukan rahasia lagi jika Kania adalah tipe softgirl yang pendiam dan lugu. Saat berbicara saja, Kania lebih senang menunduk daripada menatap lawan bicaranya. "Beda sama dia yang kalo ketemu orang baru langsung nunduk." tambah Sonia. Pribadi Kania yang tertutup dan pemalu memang membuatnya sulit bergaul dengan Shena yang populer dan dari kalangan serba berkecukupan. Wajar saja jika Kania sendiri merasa minder dan tidak bisa memulai percakapan dengan gadis cantik itu, karena ada tembok tak kasat mata diantaranya. Perihal Arsen yang tak pernah mengenalkan Kania, mereka berpacaran pun Shena baru mengetahuinya akhir-akhir ini. Arsen begitu penuh dengan misteri, sejak lahir mereka bersama tapi tetap saja Shena tak bisa memahami sang kakak. "Emangnya salah kita kalau terlalu populer?" tanya Aldi sarkas. "Sejak awal harusnya tahu dong, siapa orang yang dia pacarin." "Di, udahlah!" tegur Shena. "Tapi Aldi ada benarnya loh mbak." Shena memutar bola matanya saat Aldo malah membela opini Aldi. "Ga kenal juga gapapa sih, santai aja." "Bukannya Galdys pulang, ya?" ujar Sonia, ia tak sengaja bertemu tunangan Arsen saat menghadiri pertunangan Shena minggu lalu. Meskipun tak yakin karena gadis itu banyak berubah, tapi dari fitur wajahnya masih jelas terlihat jika dia adalah Gladys Permatasari. Vanya tampak memutar otaknya, "Oh!" ia menjentikkan jari. "Cewek pake dress warna merah membara itu, ya?" "Iya." "Jadi, dia tunangan Arsen?" "Iya, Vanya." "Cantik banget emang, cocok, cocok sama Arsen." ujarnya. "Terus Kani......." Shena mengendikkan bahunya, "Itu urusan abang, gue ga ikut campur." Menyadari jika dirinya senasib dengan Gladys, Shena memilih diam. Dilihat dari sudut mana saja, ujungnya tetap sama. Shena dan Gladys bertunangan dengan orang yang sudah punya kekasih. Mereka sama-sama menjalani pertunangan dalam rangka memperkuat perusahaan masih-masig. Di UKS, Arsen setia berada di samping Kania, menggenggam tangan gadis itu dengan erat. Tadinya, pemuda itu ingin membawa kekasihnya ke rumah sakit, namun dokter UKS mengatakan Kania akan pulih sebentar lagi. Pemuda itu sudah gusar sendiri, pasalnya, sang kekasih tak sadarkan diri cukup lama. Sampai bel pulang berbunyi pun, Kania tak kunjung membuka mata. Arsen menggenggam telapak tangan yang terasa dingin itu, "Bangun, Nia." Aldi, Aldo dan Shena melihat sepasang sejoli itu dari balik jendela UKS. Tubuh mereka yang semampai dapat menjangkau jendela UKS tanpa kesulitan. Masing-masing dari mereka sudah menggendong tas sebagau tanda untuk bersiap pulang. Sebenarnya mereka punya kendaraan pribadi untuk mobilitas sehari-hari, tapi jika bisa duduk dengan nyaman di SUV untuk apa repot membawa kendaraan sendiri. "Kita ngapain sih disini?" tanya Aldo keheranan dengan tingkah mereka. "Kita mau pulang nyet, ini masih nunggu sinetronnya bersambung." tutur Aldi. "Mo sampe kapan mbak, kita nonton ini, lo bilangin abang gih mbak!" suruhnya. Shena langsung menggeleng, "Ga mau ah, males banget!" "Lo aja, Do!" "Kok Aldo!" kesal Aldo, "Aldi tuh." "Yahh, jangan bawa nama gue." sanggah Aldi, "Mbak aja, yang jauh lebih pemberani." Shena menggeleng tegas, "Ga mau ah!" "Ya terus ini kita kapan pulangnya?" Aldi menghela napas lelah, ia melihat jam di tangannya dan hari sudah menjelang sore. Sepuluh menit berlalu, Kania akhirnya sadar. Gadis itu mengerjap pelan sambil mencoba merangkai ingatan bagaimana ia bisa berakhir di UKS. Seingatnya, ia sedang berjalan menghampiri teman-temannya dan sesuatu yang keras membentur kepalanya. "Tiduran aja kalo masih pusing." ucap Arsen lembut, pemuda itu menahan bahu Kania, tapi gadis itu tetap duduk dan menyandarkan punggungnya. "Udah mendingan?" tanya Arsen lembut, tangannya menggenggam erat jemari dingin Kania. Gadis itu mengangguk, kepalanya masih sedikit pening dan wajahnya pucat. "Jam berapa sekarang?" tanya Kania. "Jam tiga sore." "Berarti udah pulang sekolah yaa, duhh aku terlambat kerja." gadis itu gusar dan memaksakan tubuhnya untuk berdiri. "Tapi kamu masih sakit." tegur Arsen. "Gapapa, nanti juga sembuh sendiri, aku bisa beli obat aja di warung. Kepala cuma kebentur sedikit kok, ga akan sakit juga." Kania mengambil tasnya dan berjalan keluar, Arsen terus membujuknya untuk istirahat saja di rumah, namun Kania tidak mendengarkan. Tujuan gadis itu adalah cafe Brian, tentu saja, Kania harus bekerja karena beras dan bahan lauk di rumahnya sudah habis. Sepertinya, penyebab Kania pingsan bukanlah terkena bola, melainkan ia belum mengisi perutnya sejak kemarin. "KANIA!" bentak Arsen, barulah gadis itu terdiam. Mereka saling bertatapan dengan arti yang berbeda di depan pintu UKS. "Kamu masih sakit, istirahat dulu sehari ini aja bisa?! Ini juga untuk kesehatan kamu." Arsen berucap tajam. "Tapi aku harus kerja untuk penuhin kebutuhan aku Sen," "Aku bisa penuhi kebutuhan kamu, kenapa kamu ga mau terima aja uang dari aku?" Arsen benar-benar dibuat gusar dan frustasi. Tadi, ia sudah dibuat khawatir setengah mati akan terjadi hal buruk pada Kania, dan kini gadis itu malah ingin bekerja padahal kondisinya sedang tidak sehat. Arsen mengeluarkan dompet dari saku celananya, lalu pemuda itu mengambil sebuah kartu ATM berwarna hitam dengan logo bank ternama. Pemuda itu memberikannya kepada Kania, "Pakai ini aja." "Aku..... aku... ga bisa terima ini." jawabnya lirih. "Gapapa, Nia." Arsen meraih tangan Kania untuk menerima kartu ATM miliknya. "Aku yang kasih ini buat kamu, kamu pakai dulu buat keperluan kamu." "Sen, aku ga akan bisa bayar ini." "Ga perlu!" Arsen menggeleng tegas, "Aku pacar kamu, udah jadi kewajiban aku membantu kamu." "Sen, tapi.." "Ambil! Atau aku marah." ancam Arsen. Kania tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis, inilah kenyataan yang harus diterimanya saat gadis miskin sepertinya bermimpi bersanding dengan pangeran. Bangunlah Kania, karena ini bukan cerita Cinderella. Ini kenyataan yang harus gadis itu terima. Ada bagian dari hatinya yang merasa tidak pantas dan tersakiti saat menerima kartu itu, jika saja ia tidak sedang membutuhkan uang pasti Kania sudah menolaknya. Masalah bagaimana ia membayar hutangnya nanti, biar Kania pikirkan nanti saja. "Makasih, Sen." ucap Kania nyaris berbisik, air matanya terus keluar tanpa henti. Gadis itu sesenggukkan sambil memilin jari-jarinya. Arsen menarik tangan gadis itu pergi, mengabaikan tiga orang yang sejak tadi melihat mereka dengan seksama. "What the hell!" umpat Aldi, mereka melihat Arsen tanpa ba-bi-bu pergi begitu saja meninggalkan mereka. Si sulung itu mengantar Kania pulang dengan mobilnya. "Apa-apaan si abang, terus kita pulang gimana mbak?" tanya Aldo. "Kita udah nungguin satu jam lebih loh." "Tahu gitu, kan, tadi aku pulang sama Roy aja." "Dasar bucin!" kesal Aldi. Adalah sebuah kebohongan jika Arsen beralasan, dengantidak melihat mereka bertiga berdiri di depan UKS tadi. Pemuda itu melewati mereka begitu saja tanpa sepatah kata pun. Bukan marah, mungkin sedikit kecewa. Belum pernah dalam sepanjang sejarah persaudaraan mereka, Arsen mengacuhkan ketiga adiknya. Memang mereka sudah dewasa, tapi sikap perlindungan yang Arsen berikan selalu membuat adik-adiknya merasa bergantung dengan pemuda itu. Anggaplah mereka belum terbiasa, saat poros hidup Arsen beralih secara tiba-tiba. Dari yang tadinya seluruh hidup pemuda itu berpusat pada keluarga, kini perlahan berpindah pada Kania. "Mbak udah pesen taxi online, hayuk!" ajak Shena pada kedua adiknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD