Mobil tua

1886 Words
Rumah keluarga Darsono yang biasanya sepi kini lebih berwarna, setelah totalnya ada lima belas orang yang menginap disana. Ruang keluarga pun sudah terisi penuh dengan canda dan tawa yang membuat rumah besar itu kian hidup. Bahkan khusus hari ini tuan dan nyonya rumah itu meliburkan diri dari segala pekerjaan mereka. Demi menghargai tamu yang sangat istimewa itu, karena jika tidak ada acara pertemuan keluarga dengan calon Bibi Sandra, dijamin kakek dan nenek tidak ada datang ke Jakarta. Sandra Saraswati, putri bungsu dari keluarga besar Notoatmojo, wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu adalah seorang design interior yang terkenal di Jogja, kecintaan Sandra pada pekerjaan yang digelutinya membuatnya melajang cukup lama. Sang ayah, Wirawan Notoatmojo, terus saja mendesaknya untuk segera menemukan pendamping hidup dan menikah. Belum lagi sang ibu yang selalu mengomel tentang anak perempuan yang tidak boleh terlambat menikah. Akhirnya, untuk menjadi solusi dari semua permasalahan yang ia hadapi, Sandra memberanikan diri untuk ikut serta dalam aplikasi kencan dan bertemu dengan Bagas. Pemuda asal Kota Jakarta yang berhasil memikat hatinya dengan serius. Arsen menepuk keningnya sendiri, untuk sesaat tadi ia bingung mengapa rumah mereka sangat berisik. Baru setelah menuruni tangga, ia ingat jika keluarga dari Yogyakarta berkunjung ke rumah. Pemuda dengan seragam putih abu-abu itu melipir menuju garasi setelah menyapa beberapa orang yang tak sengaja ia temui. "Baru berangkat, Sen?" tanya sang kakek. Arsen mengangguk, tak urung ia mencium tangan pria tua itu. "Jam berapa ini? Apa tidak macet, anak jaman sekarang sangat tidak menghargai waktu." "Hehe, tadi showernya rusak. Jadi Arsen keteteran, maaf kakek." Sang kakek hanya menggelengkan kepala mendengar alasan dari cucu kebanggaannya itu, "Yaudah cepetan turun, ditungguin adik-adikmu itu. Awas kalo nanti mobilmu dibakar sama mereka." "Iya, kek." Persis seperti yang dikatakan oleh kakeknya tadi, Arsen mendapati ketiga adiknya sudah menunggu disana, dengan wajah masam yang sengaja tidak disembunyikan. Shower air di kamar mandi pemuda itu mendadak rusak pagi ini, dan ia terpaksa bergantian dengan Aldo, biarpun kamar mandi si bungsu itu berantakan. Daripada harus menunggu Shena dan Aldi yang sangat lama kalau soal mandi, ia memilih opsi pertama. Belum lagi, alarm yang biasanya berbunyi  ikut rusak karena terjatuh dari meja. "Time is money!" seru Aldo, pemuda itu sudah siap sejak sepuluh menit yang lalu. "Money is duit." Tambah Aldi. "I can be drop some money, dropping all my money." "Hey! I wanna know know know know…" "Beda!!" sentak Aldi saat si bungsu yang melanjutkan nyanyiannya salah lirik, "Lo pasti ga nonton FYP sampe selesai, kan." "Slebew!" Arsen meraih sepatu hitam yang tertata rapi di rak sepatu garasi. Pemuda itu mengeluarkan kaos kaki dari kantung celananya. "Loh, mobilku mana?" tanya Arsen pada Shena. Yang ditanya hanya memutar bola matanya jengah, "Kebiasaan deh, ga baca grub whatapps keluarga ya?" "Emangnya ada apa?" "Papa kasih pengumuman pagi ini kalo kita berangkat sekolah naik mobil yang lama dulu, mobilmu mau dipinjem buat ke rumah calonnya Bibi Sandra." Jelas Shena sambil menampilkan chat dari sang ayah di layar ponselnya, grub dengan nama ‘The D’ itu isinya adalah anggota keluarga inti tanpa terkecuali. Sekalipun Aldi sering keluar masuk grub. "Kenapa harus mobil gue sih!" kesalnya. "Yaa, kan, yang terlihat mahal dan bagus." Balas Aldo, "Lagian, papa yang mau pake mobilmu. Kita pake mobil papa hari ini." Mobil sedan hitam milik sang ayah itu sering rewel, padahal sudah berkali-kali menginap di bengkel berlisensi tapi tetap sama saja. Yang Arsen khawatirkan adalah waktu mereka sudah mepet dan mobil itu tidak bisa diajak ngebut di jalanan Kota Jakarta yang padat. "Yaudah, ayo." "Tunggu, bang!" tahan Aldo. "Apa?" "Belum ngisi amunisi." Jawab si bungsu, perutnya terasa keroncongan karena kemarin malam ia tidak melahap sepiring nasi pun. Ia menunjuk perut ratanya sambil menatap melas pada sang kakak. Shena menggelengkan kepalanya, gadis itu segera menarik handle pintu mobil dan masuk. "Nanti aja di kantin." Jawabnya. "Hari ini senin, kalo harus nunggu kamu ngisi amunisi nanti kita keburu mati ketembak hukuman bersih-bersih toilet, mau?" "Tapi kalo berdasarkan estimasi keberangkatan kita hari ini, butuh waktu dua puluh menit mengingat perjalanan yang pasti macet. Ga cukup buat pesen makan di kantin, mbak." Jelas Aldo di kursi belakang. "Buset dah! Mendadak pinter lo." Puji Aldi. "Gue emang pinter." "Berdasarkan rencana yang sudah kita sepakati bersama di grub chat pagi tadi, kita makan di kantin aja. Sekalipun udah ngiler banget tadi lihat masakan di meja makan, tapi apa mau dikata. Abang pake telat sih." "Sudah bisa dimulai perjalanannya kak? Sesuai aplikasi yah." Balas Arsen. Arsen menancap gas dengan tidak santai, beruntung ketiga adiknya sudah memakai sabut pengaman guna menghindari kebrutalan si sulung saat pagi. Dari keempat anak Darsono, dialah yang paling ugal-ugalan saat menyetir, tapi meskipun begitu dia tetap andalannya. Alasan yang tepat untuk itu adalah karena Arsen yang paling tua, jadi harus melindungi dan mengayomi adik-adik lucu nan menggemaskan itu. Perjalanan membelah Kota Jakarta sangat padat hari ini, awal minggu yang sibuk akan dimulai dan semua orang telah bersiap. Banyak pekerja kantoran dan anak sekolah menunggu bus di halte, angkutan umum yang penuh sesak, dan asap kendaraan bermotor mengepul di jalanan. Shena membuka kaca mobil di sampingnya saat mobil berhenti di lampu merah, ia memberikan uang dua puluh ribu rupiah kepada anak kecil penjual koran, anak itu mungkin berusia sekitar delapan tahun. "Majalahnya juga kak?" tanya anak itu. "Gak, korannya aja." "Oh, ini." Anak itu menyerahkan selembar koran yang ia bawa di tangannya. "Kembaliannya, kak." "Ga usah, ambil aja." "Makasih, kak." Ucap anak itu penuh ketulusan. "Sama-sama." Shena segera menutup kembali kaca jendela mobil karena Arsen sudah menancap gas, ia bisa melihat anak tadi berjalan menepi saat mobil lain mulai bergerak. Ada banyak anak-anak di lampu merah itu, berjualan koran dan makanan ringan untuk pengguna jalan yang lewat. Selalu merasa miris melihat mereka harus terbata-bata mengeja kehidupan yang keras ini, di usia yang masih sangat belia untuk bekerja mencari penghidupan. Tapi apa mau dikata kalau itu adalah bukti dari kerasnya hidup yang harus tetap berjalan di tengah keterbatasan. "Gimana kalau seandainya kita jadi mereka?" guman Aldi. "Yaa, mungkin sama ceritanya." Balas Arsen. "Maksudnya?" "Ya gitu, jualan koran." Aldi menyandarkan punggungnya pada dinding, "Miris melihat mereka se---." "Lebih miris lagi kita yang ga bisa berbuat apa-apa padahal udah dikasih segala kelebihan." Potong Aldo, pemuda itu menatap keluar jendela, dan lagi-lagi pemandangan itu yang ia lihat, anak-anak penjual koran. "Iya ya." Aldi menoleh pada sang adik, "Kita kayak mobil tua ini ga sih?" "Kenapa?" "Mahal, berkelas, tapi ga ada gunanya selain bisa nampung empat orang." Jawab Aldi, "Mendingan jadi truck ga sih? Biarpun murah tapi bisa menampung apa aja, lebih berguna buat kehidupan." "Mungkin." Arsen melirik ke arah sang adik perempuan yang sibuk membolak-balik koran yang tengah ia baca, Arsen tahu Shena tidak pernah membaca koran dengan serius, semua informasi selalu gadis itu dapatkan dari internet. Tapi anehnya Shena selalu membeli koran. "Nyari apaan dek?" "Ini..." Yang ia cari akhirnya ketemu, ada di halaman tengah bersama berita terkini lainnya. Kotak informasi yang dimuat lumayan besar. Shen’s Collection, New Collection of Summer. Headline berita yang tengah dibaca oleh Shena, menampilkan rumah mode tiga lantai di Jakarta Selatan yang baru saja membuka cabang ke tiga. Shen’s Collection sendiri adalah sebuah produk pakaian yang didirikan oleh gadis itu berkat bantuan dari sang ibu, di dalamnya menjual berbagai produk fashion seperti baju, celana, rok, topi dan masih banyak lagi. Bakat Shena dalam fashion memang sudah terlihat sejak kecil karena anak itu suka bergaya dan menggambar design pakaian yang sedang menjadi trend saat itu. Wulandari yang pertama kali menyadari bakat sang putri, hingga akhirnya ia banyak mengenalkan Shena pada teman-temannya untuk mendapatkan banyak ilmu dan bimbingan. "Whussss! Ada yang baru buka cabang nih." Aldi memajukan duduknya guna melihat berita yang dibaca sang kakak perempuan. "Makan, makan!" "Wah, bisa lah mbak, traktir makan." Tambah Aldo. Shena tidak bisa menahan senyumnya untuk mengembang, apa yang mati-matian ia usahakan mulai membuahkan hasil. "Ini cuma outlet kecil di pinggiran kota, baru merintis." "Peresmiannya kapan?" "Mungkin minggu depan." "Ikut dongg!!!!" rengek Aldo, "Disana ada tumpeng, kan?" "Ya iyalah, namanya juga peresmian." "Harus dateng yang ini, di JakPus kan? Cabang kedua dulu ga diundang, padahal kita itu saudara loh. Ku pikir hubungan kita spesial." Gerutu Aldi. Shena terkekeh mendengarnya, "Iya, iya, nanti kalian dateng aja." "Abang dateng, kan?" tanya Shena. Arsen mengangguk, "Ya, nanti da----" "AWAS!!!" Mobil sedan itu berhenti mendadak di gerbang masuk SMA Nasional, Arsen menginjak rem mobil itu dengan keras sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Pemuda itu membuka kaca mobilnya, "Woy! Hati-hati dong!" teriaknya marah. Shena mengambil napas setelah sepersekian detik tertahan, yang tadi itu nyaris saja, padahal mobil mereka melaju cukup lambat tapi seorang gadis berseragam sama seperti mereka tiba-tiba memotong jalan. Terima kasih kepada sabuk pengaman yang menyelamatkan Shena dari benturan dashboard mobil hari ini. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangan, masih setia berdiri di posisinya menghalangi mobil anak-anak Darsono itu, ia pun sama terkejutnya. Gadis berkepang dengan kacamata kuda itu gemetar hebat karena semua orang memperhatikannya, belum lagi tatapan marah orang-orang di dalam mobil itu. Mai, namanya Maisari Ambarwati. Siswi kelas sepuluh MIPA, satu angkatan dengan Aldi dan Aldo. Awalnya Mai tengah berjalan di pinggir gerbang sambil memeluk buku pelajaran yang tidak muat di tas lusuhnya, Mai memang sering dibuli sejak masih sekolah dasar, karena kepribadian dan penampilannya yang kuno tidak seperti anak-anak lain yang sibuk bergaya. "Lo ngapain masih disitu sih!!" teriak Aldo dari dalam mobil, "Minggir!" Mai mengepalkan kedua tangannya menahan takut, ia melihat teman-temannya sibuk tertawa menertawakan dirinya. Mereka lah yang mendorong Mai hingga nyaris tertabrak mobil sedan berwarna hitam itu, dan sialnya itu adalah milik anak-anak Darsono, anak-anak kelas atas yang sudah tersohor namanya di sekolah. Sedangkan Mai hanya siswi biasa yang sering menjadi objek buli tanpa bisa melawan. "Woooooooooooooo!!" sorak beberapa siswa yang melihat kejadian itu, terutama teman-teman Mai. "Hoooooooo!! Dasar cupu!" "Minggir woy, cupu minggir sana!" "Hahahhaha." Mai ingin sekali menggerakkan kakinya untuk menyingkir sebelum lebih banyak lagi pasang mata yang melihatnya, tapi apa daya karena tubuhnya serasa membeku di tempat. Gadis berkepang itu hanya bisa menangis tersedu. "Lah, kok malah nangis?" tanya Aldi. "Itu bumper perasaan ga kena deh." "Nih cewek apaan deh, caper banget!" kesal Aldo. "Minggir woy!" teriak Arsen. "Lo denger ga sih?" Tiiinnnn…..Tinnn……Tiiiiinnnnnnnnn………. Shena akhirnya mengalah, ia membuka seatbeltnya dan turun dari mobil. Gadis cantik itu berjalan pelan dengan senyum ramah menuju Mai, ia berjongkok untuk mengumpulkan buku-buku yang berserakan di tanah. Shena menyerahkan buku itu pada Mai, tapi tak kunjung diterima. "Gapapa, jangan takut." Ujarnya ramah. "Ma..ma..maaf." "Iya gapapa." Jawab Shena, "Tapi, sekarang kamu minggir dulu ya. Itu saudara saya udah mencak-mencak di dalam mobil." Guraunya. Mai menatap uluran tangan dari gadis cantik nan wangi dihadapannya itu, jujur, ia mengagumi Shena sejak hari pertama masa pengenalan lingkungan sekolah. Di lihat dari dekat seperti ini, Shena jauh lebih cantik daripada saat ia mencuri pandang di kantin. Tubuhnya tinggi dan langsing, kulitnya seputih s**u, rambutnya panjang dan wangi hingga tercium samar. Wajah sang kakak kelas itu bulat, pipinya tembam, bibirnya tipis tapi berisi, hidung mancung, dan matanya tajam. Jika tidak sedang tersenyum, Shena itu terlihat dingin dan ketus. "Ayo…. Mai!" Shena mengeja nama yang tertera di baju seragam gadis berkepang itu. Mai menyeka air matanya kasar, ia memeluk erat buku-bukunya dan berlari pergi tanpa mengucap apapun lagi. Gadis berkepang itu terus berlari sekalipun menabrak siswa-siswi yang lalu-lalang, hingga akhirnya menghilang di persimpangan koridor. "Aneh banget sih!" "Mana freak parah lagi." Tambah Aldo. "Culun gitu dandanannya, ga banget!" "Siapa tadi namanya?" tanya Arsen. "Mai."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD