Pertandingan basket

1831 Words
Pukul sembilan pagi lapangan basket yang letaknya di tengah-tengah gedung sekolah itu sudah ramai, sinar matahari yang menyinari seolah tak menjadi hambatan untuk mendukung tim kesayangan berlaga. Hari ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh semua siswa, pertandingan basket babak final antara SMA Nasional dengan sekolah tetangga yang sudah terkenal sama kuat. Ini adalah pertandingan akhir sebagai penentu SMA mana yang menjadi juara di seantero Kota Jakarta. Sorak riuh para pendukung SMA Nasional memenuhi pinggiran lapangan basket yang cukup luas, tak hanya itu, ratusan siswa yang menonton dari balkon kelas pun ikut menyumbang dukungan. Pendukung dari tim lawan tak kalah banyak, mereka sengaja menyambangi kandang lawan guna mendukung tim basket sekolah mereka. Beruntung kedua sekolah yang akan bertanding hari ini adalah sahabat dekat, jadi sudah tidak canggung lagi bagi para siswa berbeda sekolah itu untuk bertemu. Pertandingan dibuka dengan marching band dan cheerleaders yang semakin memeriahkan laga final. Seluruh atensi tentu saja tertuju pada Shena, sang mayoret utama. Kali ini gadis cantik itu tampil mempesona dengan balutan segaram marching band sekolah dan tongkat mayoret yang sangat indah seperti pemiliknya. Shena memainkan dengan lihai tongkatnya, sesekali ia lempar beberapa meter ke udara mengikuti alunan musik yang begitu meriah. Senyum cerah terpatri di wajahnya sebagai pelengkap keanggunan sang putri Darsono. "Baiklah teman-teman, setelah penampilan pembuka dari marching band dan cheerleaders sekolah. Mari kita sambut…….." MC sengaja memberi jeda, membuat suara sorakan seolah tertahan. "SMA CENDRAWASIH!" tim tamu segera memasuki lapangan dan sorak riuh kembali terdengar, tim dengan seragam berwarna jingga dan hitam itu memasuki lapangan dengan santai. Mereka sudah terbiasa karena sering berlatih bersama, pertandingan hari ini pun lebih terasa seperti sedang latihan saja. "SMA NASIONAL!" sambut MC dengan lantang. Tim tuan rumah pun segera bergabung dengan akselerasi yang sedikit berlebihan, disambut sorakan yang dua kali lebih riuh dari yang pertama. Tim tuan rumah mengenakan seragam berwarna navy dan hitam. Disana, di tengah lapangan, Arsen berdiri gagah bersama Wasit dan Kapten SMA Cendrawasih. Pemuda dengan badge kapten di lengan kanan itu tampak sedang berdiskusi dengan wasit, tidak terdengar jelas apa yang mereka diskusikan karena ramainya lapangan saat itu. "ARSENIO!" "ARSENIO!" "ARSENIO!" Permainan dimulai, kedua tim saling beradu strategi penyerangan, beberapa point Arsen dan kawan-kawan sumbangkan untuk sekolah. Mengingat ini adalah pertandingan final, kedua tim melakukan yang terbaik guna memenangkan permainan. Di menit-menit awal, tim tuan rumah memimpin jalannya pertanding. Namun, kini mereka tertinggal. Meskipun tak cukup jauh, ini akan sangat merugikan tim. Arsen dengan cermat memandu kawan-kawannya membuat formasi permainan yang lebih efektif. "HEEYYYYYYYY!!!!!! SMANAS!! SMANAS!! SMANAS!!" sorak penonton setelah Arsen berhasil mencetak point lagi. "Masih jauh Sen." ujar Dio. Melihat papan skor dan mereka tertinggal delapan angka. Dio mengambil napas, pemuda itu mengusap wajahnya yang penuh keringat dengan lengan bajunya. "Sabar, bentar lagi kita unggul." "Yakin? Mau ganti pemain ga?" Arsen menggeleng, "Nanti aja, ini masih semangat kok." "Yoshh!! Semangat." Sambung Dewa. Arsen melihat papan skor, "Wa, lo maju kiri" cowok itu mulai mengatur serangan kembali, ia berlari menuju bola sambil terus memberi aba-aba. Tim lawan tak mau mengalah, beberapa serangan dari tuan rumah terus saja berhasil digagalkan. Namun, mereka tetap dalam posisi bertahan. Menunggu hingga waktu istirahat karena fisiknya sudah sangat lelah. Priiiiiiiiiiiiiiitttttttttt!!! Bunyi peluit akhirnya terdengar, masing-masing tim menepi guna berdiskusi dengan pelatihnya dan istirahat. Sinar matahari siang ini sangat terik, ditambah udara ibukota yang penuh polusi. Beberapa tenggak air mineral pun tak cukup membantu mendinginkan gerah body. "Bang, ga bisa nih gini terus nih bang. Ketinggal jauh kita." keluh Dewa. Cowok itu meluruskan kakinya dan menenggak air mineral kembali. Babak pertama tim SMA Cendrawasih berhasil unggul lima point, sekalipun terdengar berselisih kecil, tapi babak pertama benar-benar menguras tenaga. Tak terhitung berapa kali serangan gagal sehingga sangat sulit mengejar point, dan itu karena kedua tim sama-sama kuat.   "Iya bang!" "Kak Erlang gantiin gue deh Bang!" tawar Dio. "Kaki gue ga kuat lagi, kalo dipaksa bisa bahaya ini." Memang sedari tadi Dio sempat beberapa kali terjatuh karena bloking tim lawan. Dan lagi, cowok itu punya riwayat patah tulang kering untuk kaki kanannya. Bang Ben nampak berpikir sejenak, sebenarnya Erlang ada dan mau mau saja untuk tanding. "Gimana, Sen?" "Tim sebelah juga pake pemain lama kok Bang!" seru Arsen. "Gitu ya." "Oke oke, Lang!! Ganti baju Lang." panggil Bang Ben. "Serius, bang? Siap!" Yang dipanggil sudah semangat 45 untuk bermain, karena Erlangga Ardiwangsa mantan kapten tim basket itu, sudah menunggu sejak tadi. Tak butuh waktu lama, Erlangga siap dengan nomor punggu tujuh belasnya.   "Merdeka Bang Erlang!!" seru Affan. Karena nomor punggung Erlang memang terinspirasi dari tanggal kemerdekaan Indonesia. Peluit babak kedua ditiup dengan lantang, permainan SMA Nasional mulai terkendali dengan hadirnya Erlang. Erlangga dan Arsen adalah kolaborasi yang cemerlang. Berulang kali point keduanya sumbangkan, dan perlahan permainan kembali dikuasai tuan rumah. "ERLANGGA!! ARSEN!! DEWA!! AFFAN!! DEKA!!" sorak penonton. Bahkan di bawah terik matahari pun, para siswa itu tak menyerah melawan matahari. Sebenarnya, SMA Nasional punya lapangan basket indoor, tapi kedua tim kompak menolak karena menghargai para pendukung mereka. Lapangan indoor memang tidak seluas halaman tengah. Karena ajakan dari Sonia dan Vanya, Shena terpaksa menapaki halaman tengah yang sangat ramai. Isudah berganti seragam olahraga saat ini, karena untuk penutupan nanti tidak ada tim marching band. Sepatu putih, jam tangan putih, ikat rambut putih. Gadis yang sangat menyukai warna putih itu bergabung di lapangan, sambil celingukan mencari tempat yang teduh dan strategis untuk menonton. Shena menunjuk sebuah tempat di dekat pohon cemara, "Nonton disana aja gimana? Di tengah panas banget." "Jangan cupu, Na. Udah kita nonton di barisan paling depan aja." Balas Sonia. "Lo kalo malas kena matahari, nonton dari balkon aja." Tunjuk Vanya pada balkon kelas yang mengelilingi halaman tengah, Shena ikut melihat sekeliling, ia lalu memutar bola matanya malas, tak ada tempat tersisa. "Gue balik aja deh." Putusnya. Belum genap berbalik, lengannya sudah dicekal dengan erat oleh Sonia, "Udah disini aja, lo ga mau nonton Arsen apa?" "Enggak." "Kembaran lucknut lo!" Sonia dan Vanya akhirnya mengantar Shena untuk berteduh di tenda panitia, karena mereka ingin melihat tepat di pinggi lapangan dan Shena menolak keras. Jadi lah, Sonia menitipkan sahabatnya itu pada panitia OSIS yang ada disana. Jangan sampai hilang dan lecet, pesan Sonia. "Hei!" sentak Shena pada pemuda yang sedang duduk manis di tribun panitia itu, tangan kanannya sibuk mengipasi lehernya yang gerah dengan selembar kertas yang ditekuk jadi dua. Pemuda dengan kaos olahraga itu mendelik melihat siapa yang datang,   "Ngagetin aja sih mbak." kesalnya. Shena ikut duduk di kursi menggeser pemuda itu. "Kenapa lo bisa jadi MC dek?" tanyanya penasaran. Sejak pembukaan tadi, ia sangat penasaran dengan suara MC karena terasa familiar. Dan benar saja karena ia tahu betul siapa orangnya, pemuda dengan topi dibalik itu. Aldi itu mengendikkan bahu, "Ga ngerti, orang disuruh gitu aja." jawabnya. "Terus lo mau?" "Yaa maju tak gentar!" ujar Aldi yakin, "Coba review dong mbak, giman tadi penampilan adikmu?" "Lah, emang tadi tampil apa? Kan, cuma kedengaran suaranya aja."   Aldi ditunjuk menjadi MC tadi pagi, karena yang seharusnya bertugas sakit. Aldi pun bingung siapa yang merekomendasikan dirinya untuk menjadi pembawa acara. Sebenarnya, di SMP dulu ia sering menjadi pemandu pertandingan olahraga, tapi hanya untuk hiburan saja, bukan MC yang serius. Sekalipun awalnya ia takut salah dan merasa kurang pantas, tapi Aldi tetap membawakan acara ini dengan baik. "Not bad!" Shena menepuk-nepuk puncak kepala Aldi yang bersandar di kakinya, sang adik terpaksa selonjoran di tanah karena Shena menggusurnya dari kursi.  "Beneran nih?" "Ya bener lah, masa settingan." "Makasih mbak." Aldi tersenyum penuh arti. Shena tak membalas, ia menoleh ke kanan dan ke kiri mencari Sonia atau Vanya, tapi kedua gadis muda itu tidak ada di sekitarnya. "Aldo mana?" tanya Shena pada sang adik. "Sekalipun kita kembar, kita ga selalu nempel kayak perangko." Ujar Aldi, "Tau lah! Palingan juga bolos, sama gengnya yang ugal-ugalan itu." Pertandingan yang sangat melelahkan jiwa dan raga, akhirnya tiba di babak penentuan. Dan tim tuan rumah kembali keluar menjadi juara. Para pemain, termasuk Arsen, melakukan selebrasi dengan berkeliling lapangan setelah berjabat tangan dan berfoto bersama tim SMA Cendrawasih. Piala kejuaraan diberikan langsung oleh walikota dan juga kepala dinas pendidikan yang hadir saat itu. Disana, Arsen tersenyum bangga bersama timnya saat karena kembali membidik mereka bersama piala besar yang dipersembahkan untuk sekolah. "Bang!" panggilnya pada Erlangga. "Makasih Bang, kalo lo ga masuk kita ga akan menang." ucap cowok berbadge kapten itu. "Yoi, sama-sama! Kalian juga ga kalah keren lagi, kalo bukan lo ga ada yang bisa baca serangan gue dan eksekusinya sebagus tadi, Sen. " Erlangga menjabat tangan Arsen, lalu teman-temannya bergantian. "Ini bakalan jadi laga terakhir gue di SMA, dan gue seneng karena ini kemenangan." "Yah, kenapa?" "Biasa lah, udah kelas tiga. Harus fokus buat UN, biar masuk univ keren." Terdapat setitik sendu dalam tatapan Erlang. Pemuda itu sangat mencintai olahraga, terutama basket, dan mengikuti ekskul basket adalah sebuah anugerah baginya. Karena bisa bertemu dengan orang-orang hebat yang selalu penuh semangat. Semua pertandingan baik itu menang ataupun kalah adalah pelajaran besar dalam hidup seorang Erlangga, putra tunggal pengusaha properti kaya raya. Dewa terkejut, "Maksud lo apa Bang? Kan kita masih bisa main bareng, jangan sedih menye-menye gitu ah, gak lakik banget!!" "Iya lah Bang, lo tetep anggota terbaik tim ini kok." tambah Deka.   Erlang mengulas senyum, menatap Arsen yang masih terdiam. "Gue kan udah kelas tiga juga, gue mau fokus. Lagian, ini udah waktunya kalian buat nerusin semangat gue." ujarnya penuh ketulusan, sebagai kakak kelas yang baik dan rajin menabung, Erlangga harus memberikan semangat dan dukungan penuh kepada generasi penerus selanjutnya. Jangan sampai ekskul basket yang mati-mati ia buat bersinar harus meredupkan sinarnya, banyak anak-anak berbakat yang akan bergabung khusunya kelas sepuluh. "Merdeka Bang!!" sorak Arsen. Turut mengobarkan semangat Erlangga. "MERDEKA!!!" sorak kelimanya bersama. Arsen menepuk bahu kakak kelas itu, suasana lumayan lengang dibanding saat pertandingan masih berjalan. Erlangga menoleh ia mengerutkan keningnya melihat senyum tengil si sulung, "Kenapa?" "Dapat salam." bisik Arsen. "Dari bidadari cuantik ga maen-maen, mau dikenalin ga?" "Diem lo!" ketus Erlangga, ia bersedekap sambil sesekali tersenyum ke arah kamera. Memang sudah nasibnya jadi cogan, dia dan Arsen dikerumuni banyak penggemar yang didominasi kaum hawa. Tak hanya dari sekolah sendiri, tapi juga sekolah tetangga. "Apa mau gue panggil kesini aja orangnya." Tawar Arsen dengan jenaka. "Lagian kenapa sih lo ga suka sama dia? Kurang apa sih adek gue, bang? Kaya, cantik, bohay?" Erlangga meraih botol air mineral yang tersisa setengah dan menenggaknya hingga tandas, pemuda itu menelan tegukan terakhir dengan keras. "Bukan ga suka dalam artian itu, Sen. Kan lo tahu gue udah--- " "ARSENIO!!" Kedua pemuda jangkung itu sontak menoleh, dari tenda penonton ada dua orang sedarahnya yang tampak sangat tengil. Kedua orang itu bersedekap sambil mengangkat dagu menatap ke arah Arsen, tepat di depan tenda panitia ada lima kardus air mineral, tujuh kardus mie instan, dan belasan kardus snack makanan ringan. Beberapa kardus lagi masih menyusul di belakang, diangkut satu-persatu oleh sang penjual. Arsen menghela napas sejenak, ia lupa jika ia telah menantang kedua adiknya itu sebelum pertandingan. Bahwa jika ia menang, Shena dan Aldi harus memberikan sesuatu yang sangat banyak dan besar jumlahnya. Si sulung menepuk keningnya mendengar kekehan dari Erlangga, "Ga ada obat adek lo!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD