Siapa dia?

1744 Words
Arsen menghela napas dalam sambil berkacak pinggang, sesaat setelah pemuda nomor punggung sebelas itu sampai di tenda panitia. Ia menatap satu-persatu kardus yang tertata rapi di hadapannya, lalu beralih pada kedua adiknya. Arsen dibuat tak habis pikir dengan guyonan dua hari lalu yang dianggap serius oleh Shena dan Aldi. Saat itu mereka dalam perjalanan pulang dan untuk mengisi kekosongan obrolan, Arsen berinisiatif untuk memberitahukan perihal pertandingan basket yang akan diselenggarakan di sekolah mereka. Tak lupa, pemuda itu juga dengan bangga menambahkan bahwa dirinya akan menjadi kapten tim. Siang menjelang sore saat sekolah telah usai itu, mereka bertiga pulang bersama tanpa Aldo. Si bungsu lebih memilih pulang bersama dengan teman satu gengnya, Leon, katanya ada tugas yang harus dikerjakan bersama. "Lusa bakalan ada pertandingan, Na." ujar Arsen. "Oh ya?" "Iya." "Pertandingan apa?" sahut Aldi dari jok belakang, "Jangan bilang lomba balap karung, duhh kalo sampe abang kalah cupu banget." tambahnya, pemuda itu asik bermain game online di ponsel boba milik Arsen karena ponselnya kehabisan daya. "Apalagi lomba makan kerupuk, bwehh! Jangan, itu terlalu cupu buat abang yang sangar." "Mending sih lomba sumpit kelereng!" sarannya. "Lebih lakik, butuh skill, harus pake spek yang bagus biar bisa menang. Ya kali sih, kelereng yang bulet itu diambil pake sumpit." "Eh, tapi ini kan bukan Bulan Agustus ya? Emang ada lomba apa?" Di sebuah tikungan yang lengang lima ratus meter dari rumahnya, si sulung sengaja bermanuver sedikit berlebihan hingga Aldi yang sedang duduk manis terjungkal ke samping. Pemuda tanpa sabuk pengaman itu kesulitan menyeimbangkan diri, untung saja ponsel sang kakak masih aman sejahtera. Aldi memungut tasnya yang terjatuh, isinya berupa satu bolpoint dan sebuah buku kosong berhamburan. "Santai aja dong, gan." kesalnya. "Ya lo kebanyakan omong!" "Kan, aku tanya." balas Aldi. "Emang pertandingan apa sih?" "Basket." jawab Arsen. Shena melirik sang kakak datar, tidak adakah info yang lebih menarik selain itu. Pasalnya tanpa diberitahu pun, satu sekolah bahkan seantero SMA di Jakarta tahu jika lusa akan ada pertandingan basket. Pertandingan final antara SMA Nasional dengan SMA Cendrawasih, papan pengumuman dan grub kelas juga sudah ramai membicarakan itu. "Ada info yang lebih biasa aja ga?" "Itu satu sekolah juga udah pada tau." tambah Aldi. Ia menunggu-nunggu pertandingan itu juga dalam hatinya, karena lomba yang besar di awal tahun. Pasti kegiatan belajar mengajar ditiadakan pada hari itu. "Baca mading dong, biar tahu kalo foto timnya situ udah ditempel di semua mading yang ada di sekolah, tanpa terkecuali mading mushola." Arsen terkekeh pelan menanggapinya, "Taruhan yuks!" "Taruhan apa?" tanya Shena, masalah taruhan gadis itu tidak pernah mau mengalah. "Kalo gue menang kasih apa gitu." "Dan kalo gue kalah, gantian gue yang kasih." Aldi dan Shena saling tatap, dari ekspresi wajah mereka yang sangat natural. Terlihat seperti ada ide buruk yang sedang mereka pikirkan. Keduanya terdiam dan kembali pada posisi masing-masing. "Dih! Ga asik." seru Arsen. "Kek kentang banget, cupu! ga berani taruhan." Shena memutar bola matanya, ini bukan soal berani atau tidak, tapi untuk apa gunanya taruhan itu jika hanya akan menguntungkan Arsen saja. Arsen itu sudah bermain basket sejak kelas tiga sekolah dasar, pemuda itu sampai mengikuti les olahraga bola basket setiap dua kali seminggu, sampai sekarang pun masih terus bergabung. Banyak piagam dan piala yang si sulung dapatkan dari kepiawaiannya bermain basket, semua penghargaan itu ia simpan di dalam lemari khusus di kamarnya. Shena menatap sang kakak, "Apa gunanya sih taruhan?" tanyanya sore itu. "Yaa, buat seneng-seneng lah." "Emang taruhannya apa?" tantang sang adik, masalah uang, jangan remehkan Shena. Arsen mengusap-usap dagunya dengan telunjuk, mobil hitam miliknya sudah terparkir rapi di halaman rumah. Tapi ketiga anak remaja itu tidak kunjung keluar dari mobil, bagaimana mau keluar kalo Arsen bahkan belum membuka lock pintu. "Buruan bang, elah." "Sabar dong!" karena tantangan kali ini masih belum bisa ia pastikan lebih dari lima puluh persen akan menang, Arsen juga tak ingin meminta sesuatu yang berlebihan. Apa jadinya nanti kalau dirinya kalah, ia yang termakan umpannya sendiri. Pemuda itu melirik tumpukan kardus yang berserakan di garasi rumah, sepertinya Bik Yun sedang membersihkan rumah jadi membawa barang-barang yang tidak berguna ke dalam kardus. Arsen menjentikkan jarinya, "Aku abang menang, kalian harus kasih hadiah yang banyak dan besar jumlahnya." "Maksudnya apa?" tanya Shena. "Ya, pokoknya gitu." Lamunan pemuda bernomor punggung sebelas itu sirna setelah Aldi menjabat tangannya dengan brutal, menariknya dari ingatan tentang dua hari lalu yang bernostalgia di kepalnya. Terasa jelas kalau si adik melampiaskan seluruh emosinya pada jabatan tangan itu. Tapi tenang saja, Arsen tak kalah kuat membalas Aldi, "Selamat ya, bang. Lo menang kali ini!" "Makasih, Di." ucap Arsen dengan senyum lebar. "Selamat, bang!" Shena tersenyum manis, Arsen lalu menarik sang adik ke dalam pelukannya begitu pula Aldi. Tapi bukannya membalas, keduanya justru meronta dengan keras. Si sulung yang masih bersimbah keringat kini menularkan keringat wanginya pada Shena dan Aldi. Di halaman tengah yang masih sangat ramai, tingkah anak Darsono itu mengundang tawa orang-orang yang melihatnya. Dio dan Dewa datang menghampiri mereka, melerai pelukan hangat yang tidak diinginkan itu. Affan juga datang setelahnya, pemuda dengan hoodie berwarna mocca itu menatap heran pada semua kardus dengan isi yang mereka kenali itu. Affan membolak-balikkan satu kardus mie instan, "Ini aslikan kan ya?" "Ya asli, lah." jawab Aldi. "Bukan zonk kan isinya?" "Bukan, bang!" Affan mengangguk-angguk sambil mengulas senyum cerah, "Oke, gue bawa yang ini. Ini kesukaan gue soalnya, lumayan lah buat stock satu minggu ke depan." ujarnya sambil memeluk kardus mie instan itu. "Lo makan mie satu dus buat seminggu? Kriting ntar usus lo." sahut Dio. "Lagian, semua ini punya Arsen." tambah Dewa. "Lo kan udah tajir, Fan." Affan memutar bola matanya malas, lagi-lagi harta orang tuanya dibawa-bawa. Orang tuanya memang pengusaha yang tidak kekurangan soal uang. Bahkan sang ibu baru saja membuka rumah makan baru di Gading Serpong atas nama dirinya. Tapi sekalipun begitu, Affan tak bangga dengan semua harta yang diberikan oleh orang tuanya, itu karena ia tak pernah dibiarkan bekerja keras sendiri dan merasakan hasil keringatnya sendiri. Affan memang seharusnya bangga atas privilege atau hak istimewa yang diberikan tuhan kepadanya. Mungkin karena terlalu dimanja oleh orang tuanya, Affan jadi tak tahu harus memulai darimana untuk menata hidupnya. Arsen merebut paksa kardus itu dari tangan Affan, "Ini semua punya gue." "Buset! Lo mau buka warung, dimana?" "Bukan buka warung, lebih tepatnya menggunakan semua hadiah ini dengan bijak." jawab Arsen, ia pun bingung harus diapakan semua kardus ini. "Ada ide gak?" Mereka semua sama-sama menatap kardus-kardus itu dan berpikir, bagaimana baiknya semua ini. Kalau hanya untuk dimakan saja, itu sangat tidak perlu, mereka bisa membeli sendiri lain waktu. Shena menjentikkan jarinya, gadis cantik itu tersenyum cerah berkat ide cemerlang yang tiba-tiba melintas di otaknya. "Gimana kalo kita bagi ini semua ke anak-anak jalanan dan tunawisma di sekitaran sekolah. Nanti kita kemas merata di kantung plastik, terus kita bagi-bagiin sebagai syukuran atas kemenangan tim basket sekolah kita." "SETUJU!" teriak Affan paling kencang. "Ya ampun, Na. Lo tuh emang cerdas banget ya, lagi free kan, nanti malam jalan yuk?" goda pemuda itu. Arsen langsung menghadiahi sahabatnya itu jitakan keras di kepalanya, ia paling tidak suka jika Shena digoda salah satu dari mereka. Arsen pun tidak akan membolehkan mereka dekat dengan sang adik lebih dari sekedar teman, bukannya apa, Arsen tahu seberapa buruknya teman-teman tersayangnya itu, Sekalipun Shena juga bukan gadis baik-baik yang selalu menurut. "Ya kali kita jalan, gue ga mau dibenci Sonia, Fan." "Masih aja tuh cewek." kesal Affan. "Lo sih pake php segala, kena batunya kan lo sekarang." "Udah-udah!" lerai Dio. "Mending sekarang kita segera merealisasikan sebuah ide yang sangat brilian dari Shena. Mumpung masih ada banyak waktu, semakin cepat dikemas semakin cepat semua ini didistribusikan." Dewa pergi bersama Affan untuk membeli kantung plastik, yang lainnya bahu-membahu membuka kardus dan menata isinya. Banyak anak lain yang tergerak ikut membantu saat tak sengaja lewat, karena mereka pun tak ada kegiatan jadi lah ikut saja. Saat sedang menyapukan pandangannya ke sekeliling halaman tengah, Arsen tak sengaja melihat seseorang yang sedang duduk di bangku depan kelas sambil membawa air minum yang belum dibuka. Si sulung menepuk keningnya saat ia lupa akan janji temunya pada seorang gadis, gadis cantik nan lugu pemikat hatinya sejak beberapa minggu lalu. "Guys! Gue pergi bentar ya, ga lama, nanti balik lagi." ujar Arsen sebelum berlari pada salah satu sudut kelas yang tidak terlalu terlihat dari tenda panitia. Melihat arah pergi sang kakak, kedua adiknya saling tatap sejenak. Sejauh yang mereka tahu, Arsen tidak pernah dekat dengan seorang wanita sebelumnya. Bahkan ia terkesan acuh dan tidak tertarik. Tapi, yang baru saja mereka lihat tadi, Arsen menghampiri seorang gadis yang duduk di depan kelas, tidak terlihat jelas wajah gadis itu karena tertutup tubuh tinggi Arsen. Aldi berkacak pinggang melihatnya, melihat sang kakak menggandeng lengan seorang gadis yang sedang menunduk. "Siapa dia?" tanya Aldi. "Pacarnya abang kali." jawab Shena. "Lah, emang abang suka sama cewek. Aku pikir abang ga normal loh karena selalu nolak dideketin cewek." ujar Aldi. "Abang tuh juga cowok, wajar lah kalo dia suka sama cewek." Shena meneruskan kembali kegiatannya mengemas bersama Dio dan anak-anak lain. Plastik yang dibeli telah datang, bersama pembelinya sekalian. Affan menghitung dengan jarinya, "Loh, Arsen mana?" "Ga tau." Aldi menggeleng, "Lari kesana ngejar cewek." tunjuk Aldi pada tempat dimana sang kakak terakhir kali terlihat. Sebuah persimpangan koridor kelas dan masuk menuju kantin sekolah bagian belakang yang cukup sering sepi. Affan dan Dewa pun saling tatap, mendengar cerita soal Arsen mengejar seorang gadis sangat asing di telinga mereka. Teman-temannya saja tidak tahu kalau si sulung punya pacra, sungguh sangat rahasia. Dewa terkekeh pelan, "Udah gede si Arsen, gue pikir awalnya dia gay." Affan menyambung dengan tawa yang keras, Dio juga ikut tertawa mendengar itu. Sejak pertemanan mereka dengan Arsen, tak pernah mereka melihat ARsen tampak suka dengan seorang gadis. Wanita dalam prioritas hidupnya hanya sang ibu dan Shena, banyak yang mencoba mendekati sang pewaris tahta Darsono itu tapi selalu berakhir penolakan. Mereka tahu dan sangat tahu, jangan berpikir kalau mereka tidak pernah berusaha menjodohkan Arsen dengan teman atau sepupu mereka, tapi selalu ditolak oleh Arsen. "Emang, spek kayak gimana yang dicari abang gue?" tanya Aldi penasaran, pemuda itu duduk melingkar dengan yang lainnya sambil mengemas snack. "Yang kayak bidadari kali." jawab Dio asal. "Yang jelas ga kayak Shena." timpal Dewa. Shena yang mendengar namanya disebut langsung mendongak, "Lah, kenapa gue?" "Kenapa gimana sih, Na." ulang Dewa, "Arsen pasti cari yang lemah lembut, lugu, polos, dan pasif." jelas Dewa tentang kriteria gadis yang disukai Arsen, dulu pernah ia iseng bertanya tentang kriteria pasangan hidup yang dicari oleh Arsen, salah satunya adalah gadis itu harus tidak mendominasi dan keras kepala.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD