Ikut berbelanja

1807 Words
Minggu pagi yang cerah dan ceria, dimanfaatkan dengan baik oleh anak-anak Darsono dengan bangun siang. Bahkan, rencananya mereka ingin bermalas-malasan sepanjang hari ini. Mengabaikan keluarga kakek dan nenek yang sudah ramai di ruang keluarga, sang kakek sudah tua dan tidak sanggup lagi untuk menaiki tangga menuju lantai dua yang tinggi. Menjadi satu hal yang sangat mereka syukuri hari ini. Pukul sembilan pagi, saat matahari sudah bersinar terang, suasana kamar keempatnya masih temaram. Dan sang empu masih meringkuk di ranjang masing-masing. Terima kasih kepada gorden tebal yang dipasang Bu Wulandari minggu lalu, gorden itu berhasil menghalau sinar matahari dengan sangat baik. Tapi, impian bermanja dengan kasur kesayangan masing-masing nyatanya sirna, saat Nyonya Darsono yang terhormat membuka tirai dengan paksa, membawa sinar matahari untuk membangunkan paksa keempat anaknya yang rajin. Wulandari menggelengkan kepala melihat anak-anak tersayangnya, matahari sudah setinggi ini tapi mereka masih terbuai di alam mimpi. "Ayo bangun, udah jam berapa ini!?" teriak sang mama. "Arsen bangun, Shena! Aldi! Aldo!" teriak wanita cantik itu, "Ayo bangun, lima belas menit mama tunggu!" "Mau pergi kemana sih mah?" gerutu Aldi yang masih berbaring di kasur bermotif jaring laba-laba. Kedua mata pemuda itu masih tertutup dengan rambut yang acak-acakan. Bantal dan guling berserakan di lantai, selimut yang seharusnya membungkus tubuhnya malah tergeletak tak berdaya di lantai. Aldi sangat kacau dalam tidurnya, pemuda itu juga pernah berjalan saat tidur. Beruntung ia tidak terjatuh di tangga atau menambrak benda berbahaya.   Wulandari menarik kaki putranya untuk turun dari ranjang, setelah membuka tirai dan pintu balkon agar udara dapat bersirkulasi. "Ayo bangun, kalian harus temenin mama berlanja, ada banyak tamu tuh. Bahan makanan juga udah banyak yang habis." ujar sang ibu. "Ga malu apa, jam segini masih tidur!" gerutu wanita itu, "Nanti mama harus bilang apa sama kakek nenek kalo ditanya, kan mama jadi malu, dipikirnya mama ga bisa didik anak dengan benar. Masa bangun pagi aja ga bisa." "Kalian mama kasih waktu lima belas menit buat siap-siap!" Nyonya Darsono berbicara lantang di ruang tengah, yang secara otomatis didengar oleh anak-anaknya. Jika sudah diberi ultimatum demikian, yang bisa mereka lakukan hanya menurut, atau uang saku bulanan mereka menjadi korban kesadisan sang ibu. Satu persatu dari mereka mulai beranjak dan bersiap dengan ogah-ogahan. Berbelanja memang menyenangkan, tapi berbelanja dengan sang mama kadang cukup menyebalkan. Hampir dua puluh lima menit menunggu di ruang makan sambil mengobrol dengan Sandra, Bu Wulandari mendelik tajam pada Arsen dan Shena yang sedang menuruni anak tangga dengan santai, disusul oleh Aldi sesaat kemudian. Entah harus berkata apa lagi, wanita dengan tas LV itu hanya memutar bola matanya jengah. "Lihat nih, San." tunjuknya pada Sandra. "Keponakanmu yang suka menolong dan rajin menabung." "Udah gede mereka, mbak." balas Sandra. Wanita berambut pendek itu masih ingat saat keluarga sang kakak berlibur ke Jogja bersama keempat anaknya, anak-anak itu sangat jahil satu sama lain dan sering bertengkar. Rumah akan selalu ramai jika mereka datang berkunjung. Sandra jadi merindukan keempat anak itu yang cepat sekali besar, padahal dulu ia sering menggendong Aldo yang menangis karena dijahili ketiga kakaknya. "Udah punya pacar belom nih?" "Rahasia dong, bibi mau tau aja." jawab Shena jenaka. "Iya deh iya. Yang udah gede." "Yaudah, San. Ku tinggal sebentar ya, mau belanja barang-barang dapur." pamit Wulandari pada sang adik. Sang ibu segera bangkit, membawa serta tas mahalnya. "Udah siap semua kan?" tanyanya.   Ketiga anaknya hanya mengangguk dan mengikuti sang ibu keluar rumah. Agenda resmi hari ini adalah mengikuti Nyonya Darsono belanja, untuk kebutuhan satu bulan yang akan datang. Berdasarkan penuturan para ART, beberapa bahan makanan seperti beras, gula, dan telur sudah hampir habis. Belum lagi sabun, pasta gigi, pelembut pakaian dan detergen yang semakin menipis. Wulandari membuka note booknya, menampilkan daftar kebutuhan yang harus dibeli hari ini, adalah banyak sekali list di dalamnya. Maklum saja, rumah besar ini bukan hanya dihuni oleh keluarganya saja, tapi ada juga ART, sopir, dan tukang kebun yang harus dicukupi kebutuhannya. Wajar saja jika sekali belanja bisa menghabiskan puluhan juta rupiah, itupun kadang masih kurang. Bu Wulandari bisa saja mengajak beberapa ART untuk menemaninya, tapi ia enggan mengganggu pekerjaan mereka. Jadilah ia mengajak keempat anaknya saja. "Kita mau belanja sebanyak itu mah?", tanya Shena. Gadis itu melirik dari jok belakang karena Bu Wulandari, tentu saja duduk di depan bersama Arsen.   Sang ibu mengangguk, "Iya, tapi ini kok cuma sedikit. Inget mama, belum semua deh ini." Aldi menghela napas mendengar keluh kesah sang ibu yang sibuk menggulir layar note booknya. "Udah banyak itu mah, udah lima puluh tujuh item kan" timpal pemuda berhoodie hijau itu. "Anehnya, setiap mama belanja. Pasti ada aja barang-barang lebih yang ga ada di list." "Di struk belanjanya ada, sampe rumah dicek lagi sama Bik Yun ga ada, masa iya mbak kasirnya salah." Ketiganya diam, saling melirik satu sama lain tanpa suara. Itu sudah jelas adalah ulah mereka, yang dengan sengaja membeli barang-barang yang mereka butuhkan selama satu bulan ke depan lewat belanjaan sang ibu. Padahal sudah diberikan uang bulanan yang lebih dari cukup, tapi anak-anak Darsono itu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas untuk belanja gratis. "Kita kemana mah?" tanya Arsen mengalihkan pembicaraan. "Ke mall yang biasanya aja" jawab Bu Wulandari. "Kata temen mama hari ini ada big sale untuk kebutuhan dapur." "Pasti rame banget mah, ini kan hari minggu. Kenapa mama harus belanja di hari minggu sih, kan hari lainnya bisa. Klo rame bawa trolinya susah mah, belum lagi harus antre di kasir." keluh Aldi. Ingatannya melayang pada hari minggu di bulan lalu, saat mereka menemani sang ibu belanja bulanan. Cowok itu ingat, betapa riwehnya keadaan mall saat itu yang sedang ada big sale, bahkan Aldi sempat terlibat adu mulut dengan ibu-ibu yang sedang berbelanja juga. Karena troli mereka tertukar dan tidak ada yang mau mengalah, belum lagi saat pemuda itu berebut sale setengah harga buah semangka yang hanya tersisa satu. Aldi keukeuh tak mau mengalah karena buah itu adalah buah kesukaannya, menurutnya, dia yang pertama kali menyentuh semangka itu. Tapi sayangnya, sang ibu malah memberikan semangka itu untuk ibu-ibu yang berdebat dengan Aldi. Katanya sebagai permintaan maaf karena Aldi sudah bersikap tidak sopan, padahal Aldi hanya memcoba mempertahankan apa yang menjadi miliknya. Dan ingatan itu buyar karena kikikan kecil dari perempuan di sampingnya, Aldi mendelik, "Mbak lagi ngetawain apa?" Tawa Shena meledak saat itu juga, "Mbak inget waktu kamu berantem sama ibu-ibu di mall." Jawabnya. Shena menutup wajahnya dengan kedua tangan, mengingat kembali kejadian itu membuatnya tak bisa berhenti tertawa. Shena ada disana saat itu tapi lebih memilih menjadi penonton saja, tidak berniat untuk melerai atau membela siapapun. Bu Wulandari dan Arsen pun ikut tertawa, mereka sangat ingat bagaimana ekspresi Aldi saat itu. Di tengah-tengah mall yang ramai, Aldi beradu mulut hingga mengundang beberapa satpam untuk melerai konflik, karena masing-masing tidak ada yang mau mengalah. Petugas keamanan pun sampai kesulitan melerai mereka.   "Nanti jangan berantem lagi ya Di, mama jadi ga enak loh sama ibu-ibu yang kemarin." ujar sang mama meledek. "Mana banyak banget orang lagi di dalam mall, tau gak? Semua orang itu ngelihatin kamu loh."   Arsen terkekeh, "Jangan malu-maluin." Aldi mendengus sebal dan melipat tangannya, memilih menatap jendela mobil. Siapa yang tidak malu bertengkar di muka umum dengan ibu-ibu, tapi percayalah bahwa Aldi tidak salah, ia hanya membela diri. Saat Arsen hendak menancap gas, Aldo berlari sekuat tenaga untuk masuk ke dalam mobil. Si bungsu itu bergabung paksa dengan Shena dan Aldi, membuat jok belakang terasa penuh. "Gimana sih orang belum siap, udah ditinggal aja." gerutu Aldo dengan napas terengah-engah.   Cowok itu segera memposisikan diri dengan nyaman di samping Shena, tak terusik sedikit pun pada tatapan kesal kedua kakaknya, "Apa!" Perjalanan menuju salah satu mall besar di ibukota itu memakan waktu setengah jam, dengan jalanan yang lumayan padat. Beruntung mereka tidak terjebak kemacetan yang parah. Hari Minggu dimanfaatkan oleh orang-orang untuk berlibur bersama keluarga, atau sekedar melepat penat satu minggu penuh bekerja. Sesampainya di basement mall, mereka segera keluar dari mobil dan masing-masing dari keempat anak Darsono membawa troli mereka beriringan. Dengan urutan yang pasti kalian hafal, dimulai dari yang paling tua tentunya. Dan belanja bulanan ala Ibu Wulandari Darsono dimulai, mereka terus berjalan beriringan dengan sang ibu yang memimpin sembari membawa note book, tangannya bergerak lincah untuk mengisi troli pertama yang dibawa oleh Arsen. Sang putra sulung harapan keluarga, karena Arsen adalah anak sulung maka isi trolinya pun makanan pokok.   "Beras, tepung, telur, ayam, gula, garam, bumbu dapur." gumam Nyonya Darsono. Wanita paruh baya berpenampilan modis itu menatap rak aneka beras, mengingat kembali apa yang masih kurang untuk dibeli. Dikarenakan ada kunjungan mendadak dari keluarga besar Yogyakarta, maka stock makanan harus diperbanyak. Belum pasti berapa hari mereka akan menginap, bisa jadi untuk waktu yang lama.   "Mamah?" panggil Aldo di barisan belakang. "Cepetan Mah, ini si ibu mau ngambil beras juga." serunya. Bu Wulandari dan para kakak menoleh ke belakang bersamaan. Benar saja, disana mengantre seorang wanita tua yang berdiri terhalang badan besar Aldo. Dengan wajah bingung, sang ibu turut mengantre di belakang pemuda bungsu itu sambil celingukan karena antrean tak kunjung berjalan. "Kamu yang minggir, itu kan masih lebar." tunjuk Wulandari. Aldo hanya menghela napas lelah, ia lagi yang salah kali ini. "Silakan bu, lewati saja mereka." ucap sang ibu pada wanita di belakang Aldo tadi. Aldo pun menggeser troli kosongnya menepi pada rak, memberikan jalan untuk si ibu tadi lewat. Aldo tersenyum kikuk sambil menundukkan kepala saat disapa olehnya.   "Lo tuh minggiran dong makanya", seloroh Aldi, cowok itu berdiri di depan Aldo seraya menyilangkan tangan. "Udah tau jarak raknya sempit, lo ngehalangin jalan lagi. " "Aldo tuh tetep dibarisan makanya, biar ga ngalangin jalan." suruh Shena. Sang adik kembali mendorong trolinya untuk mensejajarkan posisi dengan tiga troli yang lain. Sambil terus menggerutu dalam hati. Selalu saja begini jika dipaksa ikut berbelanja, mengingat posisi trolinya yang selalu di belakang, Aldo jadi kesulitan mensejajarkan langkah dengan yang lainnya. "Jangan main hp terus dong, Do!" tegur Arsen. "Iya, iya." Aldo memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku, merelakan game online yang kurang sebentar lagi akan meraih kemenangan. Jarak antar rak di pusat perbelanjaan ini memang cukup luas, cukup untuk dua sampai tiga troli berlalu lalang. Tapi memang dasarnya Aldo yang susah disuruh berbaris jadinya menghalangi jalan. Bayangkan saja ada empat troli berbaris membentuk garis lurus ke belakang, pasti orang-orang berpikir mereka sedang mengantre untuk mengambil barang kan. Dan, ibu-ibu tadi contohnya. Aldi berjongkok di samping sambil mengamati Aldo yang kebosanan, sejak masuk ke dalam mall pemuda itu tampak diam, karena sudah diwanti-wanti untuk tidak membuat keributan lagi. "Bosen ya?" "Hm." "Mau tau yang seru gak?" "Apaan?" "Tuh!" tunjuk Aldi pada rak berisi telur, mulai dari telur yang berwarna coklat, putih, sampai hijau kebiruan. "gimana kalo kita main lempar tangkap telur?" Aldo menyengir mendengar ide gila kembarannya, "Abis itu lo dilempar sama mama tapi ga ditangkap lagi." "Dih, ga seru lo!" "Udah diam aja." Aldo berjingkit ketika seseorang menepuk punggungnya dari belakang, kurang fokus karena ia sedang asik mabar bersama Roy dan Leon. "Maaf mas, bisa geseran dikit ya. Saya mau ambil beras." "Mamaaaaahh!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD