Pesta dansa

1754 Words
Cincin perak dengan permata dan batu rubi di tengahnya itu, melekat indah di jari manis Shena. Gadis itu sendiri yang membuat designnya lewat butik sang mama. Dulu, ia juga membuat cincin yang serupa, namun cincin itu diberikan untuk pertunangan Arsen dengan Gladys, jadilaah Shena membuat yang baru. Riuh tepuk tangan bersahutan, dan binar bahagia terpancar dari kedua remaja yang sedang beranjak dewasa. Erlangga tersenyum tipis pada Shena, namun tulus. Pemuda itu sudah mempersiapkan hati dan mental untuk tampil bahagia malam ini. Erlangga tentu tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya yang sudah amat sangat menyayangi Shena, terutama sang ibu. Meskipun di dalam hatinya, ada perasaan sedih kecewa dan marah pada keadaan yang tidak bisa ia kembalikan. Ia juga merasa bersalah telah berkhianat kepada sang kekasih, sekalipun Erlangga tidak mencintainya. Shena menautkan tangannya pada lengan pemuda di hadapannya itu, mereka beralih menghadap ke depan dan tersenyum cerah untuk di foto. "Hadap sini ya, senyum, iyak tahan, satu dua tiga!" instruksi sang fotografer. "Satu... dua... tiga..." "Yak, sekali lagi ya." "Oke, lagi, mbak sama masnya hadap-hadapan ya, terus tatap-tatapan yang mesra." Shena pun menurut, ia mengganti posisinya dengan berhadapan kepada Erlangga. Selalu saja ada debar tak biasa saat berdekatan dengan pemuda itu, padahal Shena sudah mati-matian menahan debaran jantungnya tapi malah disuruh berpose dekat. Shena gugup bukan main saat ini. Sejenak bertatapan, kedua insan itu saling mengungkapkan rasa lewat sorot mata. Erlangga mengumpat dalam hati saat otaknya justru terpaku pada bibir mungil Shena, pemuda itu lalu mengalihkan tatapannya pada mata indah gadis itu. Bohong jika ia tidak terpesona pada Shena malam ini, karena hanya omong kosong yang mengatakan Shena tidak cantik. Cantik, ia sangat cantik, Erlangga berani bersumpah. Wajah dingin dan seringkali terkesan galak itu sangat manis saat tersenyum. Cekrekk..... "Sipp!" fotografer itu memberikan jempol pada mereka. Cukup puas melihat hasil cepretannya yang selalu bagus. Keluarga Ardiwangsa membayarnya dengan harga tinggi untuk mengabadikan pertunangan putra tunggal mereka malam ini. Jadi, fotografer itu pun merasa sangat bertanggung jawab. Kedua pasangan muda itu, selanjutnya berfoto dengan keluarga dan tamu undangan, tak lupa juga teman-teman yang hadir untuk memeriahkan. "Naaaaaaaa!" suara melengking Sonia membuat Shena berjingkit, dan Erlangga sudah menutup telingannya. "Ssttttt, suaranya dikecilin dong Son." tegur gadis cantik itu dengan lembut, sengaja ia menahan keinginan untuk mendamprat Sonia karena ada Erlangga di sampingnya. "Ciee, yang udan pake cincin mah beda." canda Vanya. "Selamat yaa!" tambahnya. "Selamat ya Na, kak Erlang." ucap Sonia. "Terima kasih, sahabatku." ucap Shena, Erlangga hanya mengangguk sambil tersenyum. Kedua sahabat Shena itu lalu berfoto dengan Shena dan Erlangga dengan berbagai pose, tidak ketinggalan mereka juga membuat video bumerang bersama. Sonia dan Vanya berdiri mengapit Shena, membuat Erlangga tersisihkan dan memilih mundur. Pemuda itu geleng-geleng dengan tingkah teman tunangannya itu. "Kakak, bentar dulu ya!" ujar Vanya. "Ini bestie mau foto dulu." "Maaf ya, Kak Erlang!" ucap Sonia. Arsen, Aldi, dan Aldo mendekat. Ketampanan mereka terpancar dengan balutan jas hitam, terutama Arsen. "Selamat ya Bang." ucap Arsen menyalami Erlangga. "Gue bilang juga apa, lo pasti tunangan sama adek gue." bisik Arsen tepat di telinga Erlangga. Erlangga hanya menepuk bahunya sebagai jawaban. "Weee, Bang Erlang, selamat selamat!" tambah Aldo. "Selamat menjadi bagian dalam keluarga kita." "Samawa Bang!" Aldi menyalami paling akhir. Dan mereka langsung mendelik ke arahnya. "Baru tunangan, belom nikah!" balas Shena, gadis itu menyuruh Aldi dan Aldo mencium tangannya. Arsen segera memposisikan diri dan mengode fotografer, "Udah udah, foto yuk!" Mereka berpose bersama, Erlangga memang cukup dekat dengan anak-anak keluarga Darsono karena berteman sejak kecil. Terutama Arsen, kesamaan hobi menjadi hal utama dalam keakraban mereka. Selesai berfoto, Arsen menyalami sang adik, namun Shena malah memeluknya. "Udah gede sekarang, udah tunangan." Arsen terkekeh membalas pelukan Shena, semakin menenggelamkan sang adik di d**a bidangnya. Shena menggeleng, "Engga, aku tetep adik kecilnya abang." "Hadiahnya?" tanya Shena jenaka. "Mau apa?" "Emmm..... yang bermanfaat." "Kacang? Kuaci? Permen?" Shena berdecak, ia mencubit pinggang sang kakak. "Abang!" "Mau apa?" "Saham." jawab Shena dan langsung dihadiahi sentilan kecil di dahinya. "Jangan ngadi-ngadi!" Shena terkekeh pelan, ia lalu merentangkan tangannya, mengode kedua adiknya untuk ikut berpelukan. "Sini!" ujarnya. Aldi dan Aldo menggeleng, "Ga mau ah." Shena mengurai pelukannya dengan sang kakak, "Kenapa? Ga sayang sama mbak?" "Bukan gitu." "Terus?" "Malu lah." jawab Aldi. "Masa peluk-pelukan kayak Teletubis aja. Kesannya ga sangar banget mbak!" Shena memutar bola matanya sambil menghela napas, kalau kedua adiknya itu memang tidak ada manis-manis. Ia hanya bisa tersenyum saat ketiganya meninggalkan dirinya bersama Erlangga, mereka langsung.menuju ke barisan hidangan untuk berpesta ayam goreng. Keduanya pun hanya saling diam, bingung dan canggung. Beruntung ada orang tua masing-masing yang menghampiri dan mengisi kekosongan. Dansa dipilih sebagai penutup acara pertunangan malam hari ini, beberapa pasangan berdansa mengikuti alunan lagu. Para orang tua, tamu undangan, Arsen dan Gladys, dan tak terkecuali Erlangga dan Shena. Mereka yang tak punya pasangan, hanya menonton sembari menghabiskan kue-kue dan makanan yang tersaji di meja. Contohnya si kembar Aldi dan Aldo, yang kembali mengisi piring mereka dengan puding. Alunan musik klasik mengiringi dengan baik, kedua insan yang telah bertunangan itu berdansa di tengah seolah sebagai pusatnya. Mereka gugup, namun mencoba bersikap biasa saja. Shena berulang kali mengalihkan pandangannya, tatapan Erlangga terasa begitu menusuk hatinya, tatapan kosong dan sendu. Gadis itu kagum dengan Erlangga yang sangat pandai menyembunyikan perasaannya, tadi pemuda itu tampak bahagia, lalu kembali dingin, tersenyum dan tertawa, lalu kembali nelangsa. Bersalah tentu saja ada, mengingat Shena telah egois memaksakan pemuda itu untuk menjadi tunangannya. Tapi, rasa cintanya terlalu dalam hingga tak mampu melihat Erlangga bersanding dengan orang lain. Gadis itu memajukan tubuhnya, "Udahan aja ya kak, dansanya." bisiknya tepat di telinga Erlangga, membuat gadis itu sedikit berjinjit, padahal sudah memakai high heels. Erlangga menahan nafasnya, kedua tangannya yang sedari tadi bertengger di pinggang Shena semakin erat. Dan saat gadis itu ingin menjauhkan diri, Erlangga menahannya. Kini, mereka terlihat seperti sedang berpelukan. "Capek?" tanya Erlangga. Shena menggeleng, "Enggak, tapi..", ucapnya, gadis itu kembali mengalihkan pandangannya. "Kelihatannya kakak ga nyaman dansa sama aku." "Bukan dansanya tapi pertunangannya." jawab Erlangga. Shena terdiam mendengar jawab sarkasme dari sang tunangan, ia mencelos tapi mencoba tetap tenang. "I don't care." "Sure, selfish girl!" Shena tersenyum miring, ia mengangkat tangannya yang tersemat cincin di jari manisnya. "Cincin ini bukti kalau kakak udah jadi milikku." "Oh ya?" tantang Erlangga. "Yakin?" "Yang kamu punya cuma raga, bukan hati." ujar Erlangga tepat di telinga Shena. Sedari tadi keduanya berbincang sangat lirih sehingga hanya terdengar untuk keduanya. Erlangga meletakkan dagunya di bahu Shena, pemuda itu memejamkan mata. Sedari tadi, ia sibuk mengumpat dalam hati saat pikiran kotor di otaknya datang, kala melihat bibir mungil Shena. Suasana malam yang dingin, alunan musik, dan cahaya yang remang-remang membuat kedua remaja itu tak terlalu mencolok. Padahal, Erlangga sudah menanamkan kebencian pada gadis itu di otaknya, tapi hatinya justru berkata lain. Shena gusar sendiri, debaran jantung yang ia rasakan ini, entah miliknya atau Erlangga. "K..kak?" panggilnya lirih. "Hmm." balas Erlangga. "Jangan gini." cicit Shena. Seringai muncul di bibir tipis Erlangga, "Gini gimana?" "Ya ini..." "Ya ini apa?" Shena menghela napas, "Kakaaak!" kesal gadis itu. "Deg-degan ya, jantungnya mau copot Na?" goda Erlang. "Kan, udah tunangan, masa gugup sih." ujarnya dengan sarkas. "Makanya jangan gini posisinya." kesal gadis itu. "Oh, jadi mau ganti posisi. Emang lagi ngapain?" Shena mengumpat dalam hati, bisa-bisanya otaknya malah berpikir yang aneh-aneh. Baru dipancing sedikit saja, sudah traveling kemana-mana. "Kak, ga paham deh!" "Ga paham, masih polos." Gadis itu kembali dibuat membeku, saat tangan nakal Erlangga sengaja mengelus punggungnya. Membuat jarak mereka semakin hilang. Gerakan tangan pemuda itu membuat darahnya berdesir hebat. "Jangan tahan napas, nanti pingsan!" sindirnya. "Katanya tadi aku milikmu, berarti kamu juga milikku." Erlangga kembali mendekatkan bibirnya ke telinga sang gadis putri Darsono. "Boleh dong, lakuin apa aja sama milikku sendiri." Mengerti jika dirinya tengah dijahili, Shena menyunggingkan senyum miring, Erlangga salah telah menantang gadis pemberani seperti dirinya. Sekali lagi Shena tekankan, bahwa dia bukan gadis baik yang lugu dan polos. Shena mulai membalas pelukan Erlangga, pemuda itu mengumpat pelan saat sesuatu yang empuk dan kenyal mengganjal di antara keduanya. Shena mengelus pelan tengkuk leher Erlangga, "Aku juga bisa beringas kak." bisiknya sensual di telinga pemuda itu. Lampu sengaja diredupkan lagi, semakin malam semakin banyak pasangan yang ikut berdansa bersama sang tokoh utama. Lantai dansa kian penuh dengan musik yang semakin menghanyutkan, terlalu sibuk dengan pasangan masing-masing, hingga para tamu tidak sadar jika kedua tokoh utama malam ini telah menghilang dari lantai dansa. Dengan gerakan yang masih mengikuti alunan lagu, Shena menggiring Erlangga untuk melipir ke salah satu sudut aula itu. Kabut gairah yang tadinya dimainkan, sekarang berbalik mempermainkan mereka. Langkah keduanya semakin tergesa, Shena meraih handel pintu dengan satu tangannya. Tangan yang lain masih bertengger di tengkuk Erlangga, menahan pemuda itu untuk mendusel di leher putihnya. Ceklekk ........ Pintu berhasil terbuka, keduanya masuk ke salah satu ruangan kosong yang menempel dengan aula. Ruangan itu gelap karena lampunya sengaja dimatikan, hanya ada seberkas cahaya dari jendela yang tirainya tidak ditutup. Erlangga mendorong bahu sang tunangan ke dinding di dekat jendela itu, dari cahaya remang-remang ini, wajah cantik Shena semakin menggairahkan. Erlangga mengelus wajah itu lembut, dari kening, mata, hidung, dan bibir ranum Shena. Tangannya berakhir di dagu gadis itu yang dipaksa mendongak menatapnya. "Let me take my mine." ujarnya "Sure!" Erlangga menutup tirai jendela di sampingnya, menjadikan ruangan itu sepenuhnya gelap. Satu tangannya meraih tengkuk Shena untuk ia arahkah lebih dekat padanya, tanpa cahaya, ia dapat merasakan dengan nyata manis bibir gadis itu. Rasanya seperti melayang, tidak bisa berhenti untuk melakukannya. Saling terpaut dengan perasaan membuncah yang tak bisa dilukiskan. Erlangga menahan tengkuk Shena untuk memperdalam ciuman mereka, dengan gadis itu yang berusaha mengimbangi Erlangga. Ini pertama kali untuk keduanya, dan rasanya seperti candu hingga terasa sayang untuk diakhiri. Tapi, hasrat yang membara itu harus berakhir karena keduanya telah kehabisan napas. Mereka menyatukan kening satu sama lain, napas masih tersengal dan memburu. "It's wrong!" ujar Erlangga. "No, it's not." "I should be hate you!" Shena tersenyum mendengarnya, "But, you enjoyed it." "One more time?" tawar Shena. Erlangga bungkam, sepertinya pemuda itu masih bergelut dengan pikirannya. Bukankah sudah Shena katakan bahwa pemuda itu cepat sekali berganti suasana hati, dan sekarang contohnya. Shena tak mau memaksa, mereka sudah lama meninggalkan pesta, pasti ada yang tengah mencari mereka sekarang. Shena meraba dinding di sampingnya guna mencari saklar lampu, dan ketemu. Saat lampu di ruangan itu menyala, Shena dapat melihat dengan jelas wajah tampan Erlangga yang berkali-kali lipat lebih tampan saat sedang b*******h. Tatapan mata keduanya bertemu, manik hitam itu kian menggelap seperti tengah memerangkap segala emosi dari pemiliknya. Gadis cantik itu ingin beranjak, tapi bahunya kembali ditahan. Ia mengeryit dan detik selanjutnya lampu dipadamkan. "Let's get one more time!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD