Pada hari itu

1226 Words
Berdansa bersama pasangan bagi sebagian orang adalah hal yang romantis, ditambah lagi dengan suasana dan musik yang baik. Tapi bagi Arsen, itu tidak sama sekali karena pemuda kaku itu paling tidak suka dengan kegiatan yang menurutnya sangat tidak perlu itu. Dibandingkan berdansa, Arsen lebih suka duduk diam sambil menikmati hidangan yang tersaji. Malam ini, pemuda itu dipaksa untuk berdansa oleh seorang gadis cantik dengan gaun merah membara. Di tengah-tengah aula, Arsen dan gadis itu ikut berdansa bersama sang tokoh utama malam hari ini. Tangan pemuda itu bertengger manis di pinggang ramping gadis manis bernama Gladys Permatasari. Cincin ruby di jari manisnya itu adalah tanda bahwa keduanya telah lebih dulu bertunangan. Gladys tersenyum manis, tapi tidak dengan Arsen. Sekeras apapun ia menolak, tapi Gladys terlanjur memegang kartu As miliknya. Yaitu Galih dan Wulandari Darsono. "Senyum dong, sayang." pinta Gladys, suara khas yang tidak Arsen dengar selama lima bulan belakangan. "Jangan panggil gue sayang!" desis Arsen. "Terus apa?" "Terserah." "Emmm, mau dipanggil honey aja?" tawar gadis jelita itu. Kedua tangannya bertengger mesra di leher Arsen, ia bergerak ke kanan dan kiri mengikuti alunan musik. Arsen tersenyum miring, ia menatap dingin sang tunangan guna mengisyaratkan seberapa benci ia dengan pertunangan ini. "Sebaiknya jangan terlalu berharap." Galdys hanya bisa menghela napas mendengarnya, ia menyandarkan kepalanya di bahu Arsen. Gadis itu memejamkan mata, sambil terus berdansa seirama dengan musik. Wangi musk yang lembut namun maskulin ini amat ia rindukan, selama lima bulan ia menjalani pengobatan di negeri orang, wangi pemuda itu selalu ia harapkan untuk datang. Gladys tersenyum masam mengingat kembali bahwa Arsen tak pernah datang, pemuda itu tak pernah menemaninya melawan penyakit yang ia derita. "Aku akan terus berharap." ujar Gladys, "Sekalipun pada akhirnya nanti harapanku tidak terwujud." "Bodoh!" Gladys mengangguk, "Ya, aku emang bodoh, Sen. Aku bodoh karena terlalu cinta sama kamu." "Tapi, gue ga cinta sama lo, Dys." tekan Arsen. "Apa aku peduli?" "Apa lo sanggup bertahan dengan orang yang ga cinta sama lo?" "Kamu pasti akan mencintai aku, Sen." jawab gadis itu, "Aku yakin." "Dys! Gue ga bisa memaksakan hati." "Kamu udah coba belum? Jangan langsung nyerah." "Dys!" "Cukup, Sen!" desis Gladys. "Aku ga peduli dengan itu, dan apapun ga akan bisa membatalkan pertunangan ini." Arsen memutar bola matanya malas, percuma saja ia bicara dengan gadis itu. Gladys tidak pernah mau mendengar dan selalu minta untuk dituruti. Ia pun tidak mengerti bagaimana putri tunggal keluarga kaya raya itu bisa menyukainya, bahkan terobsesi kepadanya. Gladys bukan teman masa kecilnya dan bukan pula teman di sekolah. Jika dilihat kembali, tidak ada yang kurang dari Gladys, ia cantik, loyal, dan kaya raya. Masa depan gadis itu sudah terjamin, sekalipun ia tidak menikah dengan putra mahkota seorang pengusaha. Anehnya, Arsen sama sekali tidak tertarik dan malah berbalik membencinya. Arsen membenci dirinya yang tidak bisa menolak kemauan sang ayah, dan Arsen membenci dirinya yang terus berkhianat pada Kania. Lampu utama kembali diredupkan, seolah memberi isyarat bahwa dansa ini tidak akan ada habisnya. Arsen melirik ke kanan dan menemukan kedua orang tuanya tengah berdansa, di sisi kiri pun diisi oleh orang tua Gladys. Pemuda itu berdecak sebal karena tidak memiliki celah untuk lari. Satu saja pertanyaan yang ingin Arsen tanyakan kepada Tuhan, yaitu mengapa gadis itu harus kembali? Beberapa hari lalu saat ia mengantar Kania ke cafe Brian, secara tidak terduga gadis itu datang dan memeluknya dari belakang. Gladys juga mengecup pipinya sambil tersenyum manis, beruntung Kania tidak menyaksikan hal itu. Arsen hanya bisa membulatkan mata kala itu, ia terpaku dan masih tidak menyangka akan bertemu dengan orang yang paling ia hindari disaat seperti itu. "Surprise!" ujar Gladys penuh semangat. "Gimana kamu kaget gak?" "Lo...lo kok..." "Aku udah pulang sayang, kamu senang gak ketemu aku lagi?" tanya Gladys dengan mata yang penuh binar bahagia. Tadi gadis itu sudah menunggu Arsen di depan sekolahnya, tapi karena tidak menemukan pemuda itu, akhirnya Gladys melipir untuk membeli segelas kopi. Dan, yaa, ia malah bertemu sang pujaan hati disana. Gladys memeluk Arsen guna menyalurkan rasa rindu yang terus menyeruak membuat dadanya sesak, dan kini rasa rindu itu telah terobati. "Aku kangen kamu." ujarnya. "Sen?" panggil Gladys. "Sen, hallo?!" "Arsen!" "Eh!" pekik Arsen, pemuda itu seperti masih kebingungan dengan kembalinya gadis cantik berambut panjang itu. Gladys melambaikan tangannya di depan wajah Arsen, ia mengerutkan keningnya ikut bingung. "Kamu kenapa, Sen?" "Gapapa." "Kok ngelamun?" "Enggak." "Yaudah, iya." balas gadis itu. "Jadi, gimana?" "Apanya?" "Oke aku ulangi lagi, kamu kangen ga sama aku?" Arsen menunjuk dirinya sendiri, lalu sedetik.kemudian ia menggeleng. Gladys mencebih, "Kok gitu sih, kita ga ketemu udah lama loh." Gadis itu baru saja kembali sejak lima bulan yang lalu, tepatnya saat dokter mendiagnosis bahwa sang putri tunggal terkena gagal ginjal. Tanpa berpikir lagi, sang ayah segera membawa Gladys untuk berobat ke Jerman, sebagai negeri asal sang ayah dan juga pengobatan dirasa lebih baik disana. Setelah menjalani serangkaian pengobatan yang panjang, Gladys akhirnya boleh kembali ke Indonesia dalam pengawasan ketat. Gadis itu pun masih harus kembali ke Jerman untuk pengobatan lanjutan. "Sen! Bobanya siap!" teriak Brian, pemuda itu memberikan pesanan boba milik Arsen yang dimasukkan ke dalam kantung plastik putih. "Eh, ada... Gladys ya?" Brian sedikit lupa karena pertemuan pertama mereka adalah saat pertunangan Gladys dengan sang sepupu, yaitu Arsen. "Apa kabar, Dys?" Gladys tersenyum manis, "Baik, kak." "Lhoo,.." Brian tampak berpikir, "Ini bukannya tunanganmu ya, Sen?" "Terus Kan----" Arsen segera membungkam mulut lemes Brian, ia mengambil pesanannya sambil menarik tangan Gladys untuk keluar dari cafe. Hampir saja Brian mengucapkan sebuah nama yang tidak boleh Gladys dengar, atau semuanya akan tidak baik-baik saja. Gladys hanya menurut saat tangannya ditarik paksa, ia tergopoh-gopoh mengimbangi langkah Arsen. "Sen, pelan-pelan!" "Arsen, aku habis operasi." Arsen menghentikan langkahnya seketika, ia berbalik dan melihat Gladys memegangi perutnya. Pemuda itu merasa bersalah, tapi ia mencoba untuk tidak peduli. Pasti semua itu adalah trik Gladys untuk mengelabuinya. Sambil menunggu Gladys menenangkan diri, Arasen celingukan mencari tempat yang cocok untuk berbicara empat mata. "Ayo, ikut." pemuda itu kembali menarik tangan Gladys, tapi kali ini ia berjalan lebih pelan. Sudut kecil di parkiran mobil menjadi tempat pilihan si sulung, "Lo kok disini?!" tanyanya marah. "Emangnya salah aku kembali ke Indonesia?" "Bukan... maksudnya..." "Aku udah sembuh sekarang, udah boleh ke Indonesia, Sen." jawab gadis itu. "Kamu ga seneng aku balik?" Arsen menghembuskan napas kasar, masih antara percaya dan tidak percaya. Gladys telah kembali dan apa yang akan ia lakukan sekarang? Bagaimana dengan Kania? Arsen mengusap wajahnya kasar, "Kenapa lo.harus balik sih!" kesalnya. "Kenapa lo ga pindah ke Jerman aja, dan batalin pertunangan sialan ini." "Sen, maksudmu apa?" "Masih ga paham juga? Dari awal, kan gue ga pernah setuju sama pertunangan ini, Dys." ujarnya, sorot mata Gladys meredup sejalan dengan pemuda dihadapannya yang tampak sangat kesal bertemu dengannya. "Dys, mending lo batalin pertunangan ini dan lupain gue. Lo terlalu baik untuk b******n kayak gue." ujar Arsen memohon. "Sen.." "Dys, pliss, sekali ini aja gue mohon, batalin pertunangan ini. Gue udah punya pacar!" Mata gadis itu yang tadinya sendu, kini menajam setelah mendengar kalimat terakhir dari Arsen. Pacar? Yang benar saja. Gladys mengepalkan kedua telapak tangannya, ia terdiam menahan marah yang bercampur sesak di hatinya. Tidak ada yang boleh mengambil Arsen darinya, tidak boleh, kecuali gadis itu sudah tak bernyawa. Gladys menatap tajam Arsen, "Pacar?!" "Maksudnya apa, Sen?! Kamu udah tunangan sama aku!" Gladys menunjukkan cincin ruby yang tersemat di jari manisnya. "Dys..." "Dengar Sen!" sentak Gladys, "Siapa pun dia, dia ga akan bisa dapatkan kamu selama aku masih hidup!!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD