Balkon hotel

1890 Words
Setelahnya, sepasang remaja itu sama-sama terdiam. Bingung dan canggung, atmosfer yang melingkupi mereka pun kian terasa gerah. Hening dipilih untuk mengisi kekosongan di antara keduanya. Shena melirik ke kanan dan ke kiri, apalagi setelah ini? Jantungnya masih berdetak cepat dengan perasaan membuncah, ia merasa harus segera pergi guna menenangkan jantungnya. Berdekatan dengan Erlangga selalu membuatnya gugup. Lain kali ia harus lebih mempersiapkan diri jika bertemu dengan sang pujaan hati. Erlangga dan sejuta pesonanya telah membius Shena di pertemuan pertama mereka pada perayaan ulang tahun gadis itu ke-15. Kala itu, Erlangga datang dengan sang ayah dan memberikan sebuah hadiah untuk Arsen dan Shena. Masing-masing mendapat sebuah jam tangan dari merek terkenal yang indah. Jam bermotif bunga itu masih tersimpan dengan baik dan berdetak sesuai dengan waktu yang berlaku. Di percakapan pertama mereka, saat itu juga Shena merasakan ada yang berbeda ketika ia mendengar suara pemuda itu dan manis senyumnya. "Makasih, kak." ucapnya sambil tersenyum kikuk. Erlangga pun menggaruk lehernya, masih sama-sama menghindari tatapan mata satu sama lain. "Eh, iya." "Em...." "Yaudah, kalo gitu aku masuk dulu." ujar Shena, gadis itu berbalik dan berjalan pelan menuju pintu masuk ke ballroom hotal. "Ya." Erlangga menatap kepergian Shena dengan gamang, seperti ada yang mengganjal di hatinya. Satu hal akhirnya terbesit di dalam benak Erlangga, pemuda itu lupa jika ada hal yang ingin ia bicarakan dengan gadis itu. Awalnya, Erlangga ingin meminta waktu Shena sepulang dari acara ini, tapi berhubung gadis itu sudah ada dihadapannya, ia tak mau membuang kesempatan. "Shena!" Panggilan dari suara di belakangnya menghentikan Shena untuk membuka pintu, gadis itu lalu menoleh perlahan. Dahinya berkerut sebagai bertanya. "Ya?" Shena memutar tubuhnya saat pemuda itu menghampirinya, pemuda dengan perfume beraroma hujan itu mendekat membuat Shena kian tercekat. Shena bisa membaca kebimbangan pemuda itu lewat gerak-geriknya, "Boleh bicara sebentar?" tanya pemuda itu. Bicara? Shena merasa was-was dengan apa yang ingin Erlangga bicarakan, hatinya merasa tak nyaman dan enggan untuk mendengarnya. Tapi tak urung, gadis itu mengangguk dan sedikit menjauh dari pintu. "Mau bicara apa kak?" "Ini...tentang pertunangan kita." "Ada apa sama pertunangan kita?" Erlangga membasahi bibirnya, tak mampu membalas tatapan mata Shena kepadanya. Pemuda itu terus menunduk sambil merangkai sebuah kalimat baik yang tak menyinggung gadis itu nantinya. "Pertunangan itu..... tolong batalin aja." "Kenapa?" "Ada alasannya, Shen." "Tapi, itu permintaan papa, aku ga bisa menolak, kak." jawab Shena. "Tolong, Shen. Cuma kamu yang bisa batalin pertunangan ini." ujar Erlangga bersungguh-sungguuh. "Aku.....punya pacar." Rasanya seperti tersengat sesuatu yang menyakiti hati perlahan namun kian perih, Shena mengerjap masih mencoba mencerna kalimat Erlangga. Punya pacar? Sejak kapan pemuda itu punya kekasih, padahal tak pernah sekalipun ia terlihat dekat dengan seorang wanita. Bahkan, ibunda pemuda itu, wanita cantik yang biasa disapa Shena dengan Tante Dahlia, Dahlia mengatakan putra semata wayangnya tidak punya kekasih sama sekali. "Pacar?" tanya Shena lirih. Pemuda di hadapannya itu mengangguk, "Iya." "Siapa? Sejak kapan?" Erlangga bungkam, ia memilih untuk mengalihkan pandangannya. Hati Shena mencelos seketika, sang pangeran yang sudah ia kagumi dua tahun lamanya telah memiliki seorang tambatan hati. "Maaf." ucap Shena. "Aku ga bisa kak, itu satu-satunya permintaan papa. Aku ga bisa kecewain papa." bohong Shena, karena faktanya dia lah yang meminta untuk bertunangan dengan Erlangga lewat sang ayah. Permintaan untuk hadiah ulang tahunnya yang ke-17 itu disetujui dengan diskusi alot yang melibatkan kesiapan jiwa dan raga untuk perdebatan panjang. Shena sendiri yang meminta sang ayah untuk merahasiakan permintaanya, dan mengatakan bahwa pertunangan itu adalah keinginan sang ayah. Pertunangan dalam rangka memperkuat jalinan bisnis itu pun telah disambut baik oleh keluarga Ardiwanga. Tapi, justru sang putra yang menolaknya secara terang-terangan, ia meminta Shena untuk membatalkannya. "Shen, lo tahu kita ga ada perasaan apa-apa." ujar Erlangga. "Gue ga suka sama lo." "Kenapa lo mau dijadiin alat bisnis buat mereka sih?" kesal Erlangga, "Papa sama Om Galih itu merencanakan pertunangan ini cuma biar kerja sama perusahaan mereka berjalan lancar, kita ini cuma dijadikan alat Shena. Buka mata lo!" "Kalo kakak ga mau, kenapa kakak ga bilang aja sama Om Ardi?!" Shena mulai terbawa alur yang kian melibatkan emosi. "Kalo gue bisa, udah dari awal gue batalin, Shen!" ujarnya penuh akan rasa kecewa, Erlangga paling tidak bisa melawan kedua orang tuanya, bukan karena segan atau apa, tapi karena ia tak diberikan kuasa untuk menolak keinginan mereka. "Lo ga ngerti apa-apa tentang hidup gue!" Kedua telapak tangan gadis itu mengepal di balik lengan kebayanya, ia diam dengan raut wajah yang sangat dingin. Shena mengumpat dalam hati saat merasakan matanya memanas hanya karena seorang laki-laki. Satu hal yang paling gadis itu benci adalah tidak bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Shena itu sangat ambisius dan gigih dalam mendapatkan apa yang ia mau, dan pemuda di hadapannya itu, adalah apa yang Shena mau. Persetan, dengan segalanya, jika pun harus, Shena sanggup melakukan cara curang demi menjadikan Erlangga miliknya sepenuhnya. "Aku ga bisa." "Kenapa?" tanya Erlangga tak percaya. "Aku ga mau, dan ga perlu ada alasannya." "Lo egois, Shen!" sentak Erlangga, pemuda itu bahkan menunjuk Shena dengan jarinya, "Lo cuma mikirin perasaan lo sendiri, lo ga mikirin perasaan gue ataupun pacar gue." Erlangga menghembuskan napas kasar, ia tak mampu mengendalikan emosinya saat ini. Dua minggu lalu, ia diminta untuk menemui sang ayah di ruang kerjanya. Dan ia mendapatkan kabar bahwa keluarganya dan keluarga Darsono sudah sepakat untuk menjodohkan dirinya dan Shena. Erlangga tentu menolak, ia tak menyukai Shena dan tak mau jalan hidupnya harus selalu diatur oleh kedua orang tuanya. Erlangga merasa sudah banyak mengorbankan perasaannya untuk memenuhi keingin kedua orang tuanya, pemuda itu tentu tahu jika dirinya lah satu-satunya harapan keluarga untuk segala hal. Tapi, sejak pemuda itu belia. Kedua orang tuanya tak pernah mau mendengarkan pendapatan dan keinginan Erlangga. Mereka yakin bahwa apa yang mereka pilih adalah yang terbaik untuk putra tunggal mereka. Dan Shena sudah dirasa sangat cocok, gadis itu berasal dari keluarga terpandang, cantik, dan mandiri. Shena juga sangat dekat dengan Dahlia Ardiwangsa, ibunda Erlangga itu menyayangi Shena seperti anaknya sendiri. Erlangga memang memiliki seorang kekasih hati, Putriana Margareta namanya, gadis periang satu angkatan dengannya. Tapi sayangnya, Erlangga tak pernah memiliki kesempatan untuk mengenalkan Putri dengan keluarganya. Ia terlalu takut mendapat penolakan dari kedua orang tuanya, dan benar saja, mereka memang sudah memilihkan seseorang untuknya. "Oke, kalo lo emang ga mau." ujar Erlangga. "Tapi jangan pernah berharap gue akan suka sama lo." "Mungkin lo emang jadi tunangan gue, tapi maaf Shena, gue juga akan cari cara sendiri untuk membatalkan pertunangan ini segera." tandasnya mantap, pemuda itu segera berlalu meninggalkan Shena yang mematung di tempat. Shena menengadah setelah mendengar pintu ditutup, ia mengipasi kedua matanya dengan tangan agar air mata itu tidak turun dan merusak riasannya, sekalipun rasanya Shena ingin menangis tersedu-sedu dengan pilu. Air mata baginya adalah sebuah kelemahan, dan ia tak boleh menunjukkannya di hadapan orang-orang. Shena sering menangis, tapi ia hanya akan menangis saat sendirian. Erlangga telah menolaknya, dan itu justru membuat gadis ambisius itu kian tertantang. Menakhlukkan hati Erlangga, ia harus bisa melakukannya dengan cara apapun. Hiingga saat ini, Erlangga adalah pertama dan satu-satunya yang sanggup mengisi ruang di hati Shena setelah keluarga. Dan, Shena sudah bertekad tak akan melepaskan Erlangga hingga titik darah penghabisan. Dimana ia sudah tidak sanggup lagi berjuang, maka saat itulah ia mengaku kalah. "Na?" Shena menoleh, "Abang." "Ngapain disini, ayo masuk." ujar sang kakak sambil berjalan menghampiri Shena. "Dicariin juga, acaranya udah mau mulai." "Oh ya?" "Iya, ayo!" Arsen menyerahkan lengannya untuk dirangkul sang adik. Semua tamu undangan sudah hadir, dan kedua mempelai sudah siap. Resepsi yang sakral dan syarat akan budaya akan segera digelar, tapi Shena malah menyendiri di balkon hotel. Kedua saudara itu berjalan bersama memasuki ballroom hotel. Paras keduanya memang sangat menarik perhatian, bagai pecahan mutiara dari laut terdalam yang sangat langka. Keduanya terlihat sangat serasi, hingga rasanya sulit membayangkan jika mereka harus bersanding dengan pasangan masih-masing nantinya. Para tamu pun lebih banyak mengira mereka sepasang kekasih daripada saudara kembara. Sama seperti para tamu yang lain, mereka pun duduk di meja melingkar yang disediakan khusus. Bersama kedua orang tuanya dan si kembar Aldi Aldo. Shena terhenyak saat sebuah telapak tangan menggenggam jemarinya, ia menoleh ke kanan, sang kakak tengah menatap ke arahnya. "Kenapa sih?" tanyanya. "Aku baik." "Yakin?" "Ya, yakin lah...." ujar Shena ragu. Tapi Arsen tak bisa dibohongi, ia bisa merasakan ada yang berbeda dari Shena. "Kalo ada masalah cerita aja." bisiknya pada sang adik. Shena hanya tersenyum sambil memberikan jempolnya. Semua tamu diam saat acara hendak dimulai, mereka memberikan kesempatan kepada MC acara untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Pernikahan dengan adat memang selalu mengesankan, terlepas dari keruwetan yang harus dipersiapkan. Sayangnya, di jaman sekarang, pernikahan dengan adat sudah banyak berganti dengan gaya klasik dan gaya eropa yang lebih mudah dan sederhana. Sebagai wanita yang lahir masih dalam garis keraton, Sandra tentu saja harus tetap berpegang pada adat seperti kemauan sang ayah. Dan wanita itu benar-benar tampil berbeda dari biasanya, paesan ageng yang ia kenakan membuat wanita karir itu lebih anggun. Shena terkekeh mengingat fakta bahwa sang bibi adalah wanita tomboi yang lebih suka memakai celana daripada dress atau rok, kini telah menjelma menjadi ratu paling cantik di pesta pernikahannya. Sesi makan pun tiba, ini merupakan sesi yang paling ditunggu oleh si bungsu. Sudah sejak tadi ia menahan diri untuk tidak mencomot semua hidangan yang tersaji di meja. Pemuda itu mencoba bersikap santai, ia meniru gaya Arsen yang santai dan penuh wibawa, bahkan ia sampai mengikutinya drai belakang. Arsen mendelik, menangkap pergerakan aneh dari ekor matanya, Pemuda itu mengambil ayam pop dan orang dibelakangnya ikut mengambil. Arsen mengambil perkedel, orang itu juga. "Ngapain sih lu!" desisnya. Aldo menyengir lebar, "Ngambil makan." "Yaa, kenapa harus ngikutin gue." "Ehhh, siapa yang ngikutin." ujar Aldo tak terima. Arsen pun menunjukkan piringnya, yang isiannya sama persis dengan milik Aldo. "Ihh, abang ngikutin aku yaaa." Arsen merotasikan bola matanya, ia melenggang pergi sambil memberi peringatan kepada Aldo untuk tak lagi membuntutinya. Si bungsu pun hanya bisa terdiam sambil menghela napas lesuh, ia ingin mengambil ayam goreng tapi sudah ada ayam pop di piringnya. Aldo menoleh ke kanan dan kirinya, sang ibu sibuk dengan para koleganya. Ketiga kakaknya kini sudah bergabung dengan sang ayah di meja makan, dan orang-orang di sekitarnya tampak acuh dengannya. Si bungsu pun mendekat ke arah ayam goreng, ia mengantre untuk mengambil ayam. "Eh!" pekik seorang anak laki-laki yang mengantre di depan Aldo, ia mengusap-usap kepalanya yang terbentur piring si bungsu. "Kakak, hati-hati dong." ujarnya. Aldo pun menunduk, "Lahh, ada kamu cil." "Masa ga kelihatan sih." kesalnya. "Kan, aku tinggi jadi kamu ga kelihatan, maaf ya cil." ucapnya sambil mengelus kepala anka itu. "Maju cil, kosong tuh." Tiba giliran anak itu mengambil ayam, tapi ia tak sampai karena tubuhnya pendek. Ia juga tidak melihat ada pelayan yang akan membantunya, anak itu mendelik melihat Aldo sudah mengambil ayam padhal itu kan gilirannya. "Kakak!" pekiknya. "Kenapa sih?" "Kan, aku belum ambil ayam, kok kakak udah ambil duluan sih." "Yaelah cil, ini kan sendoknya ada dua." tunjuk Aldo. "Aku kan ga sampai kak, aku pendek, masih kecil." Aldo menghela napas, ia menatap datar anak laki-laki yang tengah mendelik ke arahnya itu. "Bilang dong cil, kalo minta bantuan mah." Aldo mengambil satu paha ayam untuk anak itu, selanjutnya ia mengambil lagi untuk dirinya. "Loh, kok kakak ambil dua?" tanyanya tidak terima. "Biarin, kan aku sudah besar, sudah dewasa, sudah tinggi, bisa mengambil sendiri." Aldo pun berlalu, meninggalkan anak laki-laki yang kini bergabung dengan keluarganya. Sesaat mereka beradu pandang, anak itu menjulurkan lidahnya pada Aldo. Aldo pun tak mau kalah, "Wleeeeee."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD