Pernikahan Bibi Sandra

1857 Words
Minggu siang yang terik dan menyengat, keluarga Darsono sudah dibuat sangat sibuk. Namun, lebih tepatnya sang nyonya saja yang sibuk. Hari ini akan menjadi hari yang sangat sakral bagi keluarga besar Yogyakarta, terutama bagi wanita dewasa yang akan segera melepas masa lajangnya itu. Hari pernikahan Sandra, jatuh pada hari ini. Akad nikah sudah diselenggarakan pagi tadi, dan nanti jam satu siang akan diadakan resepsi mewah. Bertempat di salah satu hotel ternama ibukota, pesta pernikahan Bibi Sandra akan digelar dalam nuansa putih dan perak, seperti warna kegemaran sang mempelai wanita. Pihak keluarga keduanya sepakat untuk mengambil tema baju yang sama, yaitu putih gading dan batik dengan corak Sidomukti. Batik itu melambangkan kemuliaan, kebahagiaan, dan kesejahteraan khususnya untuk kedua mempelai. Tak meninggalkan adat Yogyakarta, kebaya dipilih untuk menjadi busana wajib hari ini. Kain batiknya pun dibawa langsung dari Yogyakarta, dari sentra batik tulis terbaik yang ada di kota istimewa itu. Jika berkaitan dengan busana, itu artinya Shena yang mengambil kendali. Gadis itu sudah bekerja keras dengan baik selama sebulan ini, untuk membuat busana yang istimewa. Dibantu dengan para designer Shen's Collection terbaiknya. Arsen baru saja pulang dari lapangan setelah menghabiskan dua jam dengan bermain futsal, bersama teman-temannya satu kompleks. Pemuda itu masuk ke dalam rumah sambil banjir keringat, saat bertemu sang mama si sulung itu hanya menyengir menampilkan susunan gigi rapinya. "Hehew." "Arsen, buruan mandi! Kita harus cepetan ke pernikahan Sandra loh, kamu ini gimana sih." ujar sang ibu, wanita itu berkacak pinggang melihat putra sulungnya. "Ini Aldi Aldo kemana lagi, kebiasaan banget ga tepat waktu." "Resepsinya jam berapa sih, mah?" tanya Arsen, pemuda itu berdiri di dekat kipas angin guna mengeringkan tubuhnya. "Jam satu." "Yahh, masih lama juga." balas Arsen, ia melihat jam dinding, pukul sebelas kurang sepuluh menit. Wulandari Darsono memutar bola matanya, "Kita ini pihak keluarga, masa iya kita berangkat jam satu juga. Ga enak dong sama kakek nenek. Udah buruan kamu mandi, bau banget!" Arsen mencium lengan dan bajunya, tidak ada sejarahnya Arsen itu bau. Tubuhnya wangi dan semakin mewangi jika berkeringat, jika ia masih bau, apa gunanya membeli perfume jutaan rupiah. Tapi tak urung, pemuda itu melangkah memasuki kamarnya dan bersiap untuk mandi. "Mama?" panggil Shena. "Ya?" "Bajunya mau ditaruh dimana?" tanya gadis itu, sang ibu pun menghampiri anak gadisnya yang tengah rebahan di kasur. Wulandari menggelengkan kepalanya tak habis pikir, ia menepuk p****t sang putri hingga mengaduh. "Awh! Mama ih." "Kamu ini rebahan aja, mandi saja Na, udah tahu kalo dandan lama, ga siap-siap dari sekarang." ujar sang itu. Shena pun bangkit dengan wajah kesal, padahal masih jam sebelas. Shena bisa berdandan secepat kilat. Gadis itu pun masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri, sesuai perintah sang ibu. Kepalanya menyembul ke luar sebelum Wulandari pergi dari kamarnya, "Mama, bajunya mau dianterin sekarang. Mama tungguin di luar yaa." "Iya, udah sana mandi." Arsen selesai, Shena selesai, kini giliran Aldi dan Aldo yang masih berada di antah-berantah. Wulandari sudah meminta suaminya untuk mencari mereka, pasti kedua anak itu bermain di sekitaran kompleks perumahan. "Hahahah." "Diem lo!" "Muka lo kek taikk, hahahah." "Ishhh, hapus ga?! Hapus sekarang!!" Kedua saudara kembar itu memasuki rumah sambil memperdebatkan sebuah foto yang mereka ambil bersamaan tadi. Si bungsu kesal bukan main karena foto dirinya sangat jelek, belum siap untuk berpose, Aldi sudah menjepret. Alhasil foto itu jadi bahan olokan dari Aldi untuknya. Dengan wajah kesal, Aldo berlari mengejar Aldi untuk meraih ponselnya. "Eits.. Ga kena, wleeee." ejek Aldi. "Sini lo!" "Wleee." "Sini ga?!" "Ga mau, wleeee." "Di!!" Brakkk...... Kedua remaja sehat yang tengah bermain kejar-kejaran itu berhenti, mereka menoleh ke satu titik, dimana Aldi baru saja menabrak sebuah meja yang berisi banyak bingkisan. Tapi, fokusnya bukan pada meja itu, melainkan seorang wanita cantik yang berdiri di dekatnya. Wanita itu memasang wajah galak sambil berkacak pinggang. "Eh, mama." "MANDI!!!" teriak Wulandari pada kedua anaknya, Aldi dan Aldo pun berjingkit sambil memegangi telinga mereka, dan detik selanjutnya saat sang ibu mengangkat remote tv untuk dilemparkan, mereka lari tunggang-langgang menuju kamar masing-masing. Satu setengah jam berlalu dengan cepat, dan jam dinding di garasi rumah besar itu telah menunjuk pukul setengah satu siang. Semua anggota keluarga Darsono sudah bersiap di samping mobil, kecuali satu orang, yaitu sang nyonya. Yang masih sibuk berdandan, memoles wajah cantiknya dengan make up. Wulandari sengaja mendatangkan rias khusus untuk menata rambutnya, karena kali ini ia berdandan dengan sanggul khas keraton.   "Mama ini kebiasaan deh, kita disuruh cepet-cepet. Eh sendirinya malah belum siap." gerutu Aldi. Pemuda itu tampil semi formal dengan kemeja batik lengan pendek dan celana bahan berwarna hitam. Untuk sepatunya, pemuda itu tak mau meninggalkan sneakers putih kesayangannya. Aldo pun demikian, ia memilih mengenakan sneakers yang lebih santai. Berbeda dengan pada adik, Arsen hari ini serupa dengan sang ayah. Tampil formal dengan kemeja lengan panjang dan celana bahan berwarna hitam, Arsen juga mengenakan sepatu pantofel hitam mengkilap. "Udah lewat sepuluh menit ini, macet loh pah." adunya kepada sang ayah. Galih Darsono menoleh, "nanti juga mama mu keluar, kan emang biasa ngaret dia." "Finnaly!" sorak Aldo melihat sang mama keluar dengan balutan kebaya model klasik yang sangat khas dengan kota asalnya. Berbeda dengan Shena yang mengenakan kebaya yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa. "Ayo berangkat, kita udah telat ini." ucap Wulandari tergesa-gesa. Ia berjalan cepat menuju mobil. Kedua mobil hitam itu beriringan memasuki salah satu pelataran hotel megah bintang lima, tempat diselenggarakannya pesta penikahan Bibi Sandra. Tamu undangan yang datang mulai memasuki ballroom hotel di lantai delapan, setelah sebelumnya menyerah undangan sebagai tanda tamu undangan.   Galih berjalan santai dengan sang istri yang memeluk erat lengannya, atau lebih tepatnya berpegangan karena sepatu high heels tujuh sentimeter yang wanita itu kenakan. Diikuti Arsen dan Shena, gadis itu menautkan tangan pada lengan sang kakak, dan si kembar Aldi Aldo yang mengikuti di belakang dengan malas. "Selamat malam Tuan dan Nyonya Darsono." sapa Bibi Sandra.  Wulandari langsung menghambur pelukan pada sang adik, "Aaaa, kamu kok udah nikah aja. Kamu kan masih kecil." ucapnya sambil menyerahkan bingkisan untuk sang adik. Wulandari menemui Sandra yang masih sibuk dirias, karena resepsi kali ini dengan adat Yogyakarta jadi Sandra dan suami akan mengenakan Paes Ageng, riasan sakral khas pengantin Jawa. "Mbak ih, malu aku. Aku udah gede loh udah nikah juga." gerutu Sandra.  "Tapi, belum kawin, kan?" tanya sang kakak sambil mengerling nakal. Sandra hanya tertawa menanggapinya, sang kakak itu ada-ada saja. Baru tadi pagi mengucap akad, bagaimana bisa sudah kawin. "Hei, kembar!" sapa Sandra. Keempat anak Darsono itu langsung menyalami sang bibi seraya mengucap selamat.  "Selamat ya, bibi." ucap Shena mewakili para saudaranya. Sandra tersenyum manis, "Aku harusnya bilang makasih dulu, Na. Nikahanku ini, bajunya sponsorin semua." Shena hanya tersenyum lembut sambil mengangguk. Yaa, bukan sponsor cuma-cuma karena suami sang bibi juga membayar mahal untuk butiknya. Tentunya dengan harga keluarga. Melipir dari ruangan rias, keempat anak Darsono itu memilih untuk mengikuti sang ayah menuju ballroom hotel. Dekorasi dan segalanya sudah dipersiapkan, termasuk hidangan. Aldo merasa silau melihat semua makanan yang tersaji di meja, sangat beragam dan banyak, jiwa bar-barnya langsung melonjak naik, ditambah lagi ia belum makan. Tapi, apakah boleh mengambil makanan sebelum acara dimulai? Aldo mengurungkan niatnya yang ingin mengambil piring. Tak tahan dengan aroma menggoda atam goreng di sisi kirinya. Aldo beranjak untuk menghampiri Aldi dan Shena. Keduanya tengah mengobrol santai sambil meminum segelas jus jeruk. "Udah boleh makan belum sih?" tanya Aldo setengah berbisik. Aldi memutar bola matanya malas, "Acaranya aja belum di mulai, Do." "Laper." jawab Aldo melas. "Makan appetizer dulu, nanti baru main course." ujar sang kakak perempuan, gadis cantik itu mengode dengan dagunya agar Aldo mengambil kue-kue yang tersedia di meja. Kue-kue sangat cantik, Aldo tidak tega untuk melahapnya, "Kasihan mbak, yang bikin udah susah-susah cuma dimakan satu hap. Ga kenyang." "Yaudah diem aja." ketus Aldi. Siluet seseorang yang ia kenal tertangkap netra Shena, seorang pemuda dengan kemeja batik berwarna putih. Dia menuju ke arah balkon hotel yang tertutup tirai, rupanya ada pintu rahasia di baliknya. Shena meletakkan gelasnya, pandangannya tertuju pada pintu itu, memastikan tidak ada orang yang masuk kesana selain pemuda itu. Aldi mengerutkan keningnya menyadari gerak-gerik sang kakak, ia mengikuti arah pandang gadis itu. "Mau ke balkon, mbak?" "Eh?" "Kalo mau ke balkon, lewat pintu itu aja." sarannya. Shena mengangguk kaku, "O..okey." Gadis cantik itu melangkah dengan anggun membelah kerumunan, ia berjalan santai sambil sesekali tersenyum kepada beberapa orang yang menyapanya. Dibanding dengan saudaranya yang lain, Shena jauh lebih terkenal sebagai putri satu-satunya keluarga Darsono, dan juga karena berbagai bisnis yang ia tekuni telah mengantarkan namanya lebih cemerlang. Shena pernah hadir di sampul majalah bisnis sebagai pengusaha muda kreatif edisi bulan lalu. Pintu berderit, mengundang atensi dari seorang pemuda tampan yang sedang menikmati udara terik nan polusi ibu kota. Dari lantai delapan hotel ini, angin berhembus bukan membawa sejuk yang ia inginkan. Pemuda itu bernama Erlangga Ardiwangsa, anak tunggal dari pengusaha tambang, ayahnya adalah salah satu rekan bisnis Galih Darsono. Erlangga atau akrabnya disapa Erlang, beberapa juga memanggilnya Angga, seperti gadis denga kebaya berwarna putih gadis itu. Saat Erlangga menoleh, tatapannya langsung beraduk dengan manik cerah milik Shena. Gadis itu tampak terkejut, ia terdiam sesaat, sepertinya berpikir apakah ia harus pergi atau tidak. "Kalo mau kesini, masuk aja." ujar Erlangga. "Apa ga ganggu?" tanya gadis itu. "Gak kok." balasnya sambil kembali menatap lurus ke luar hotel, pemandangan yang ia lihat adalah gedung-gedung tinggi serupa dengan tempat berdiri sekarang. Di bawah, jalanan cukup padat dan ramai dengan kendaraan. Dari ekor matanya, Erlangga bisa melihat bahwa Shena berdiri sekitar tiga meter darinya. Sepertinya gadis itu sengaja mengambil jarak agar tidak menganggunya, helaian rambut Shena ikut terbawa angin yang berhembus cukup kuat untuk sesaat. "Aduhh....." "Kenapa?" Erlangga menoleh cepat, ia menghampiri Shena yang tengah disibuknya dengan matanya. "Ini...." gadis itu menjeda kalimatnya sambil terus mengucek kelopak matanya. "Kelilipan, tadi ada angin aku ga sempet merem." jawab gadis itu. Pemuda itu terkekeh, mendengar jawaban yang lugu dari gadis cantik di hadapannya itu. Tangannya terangkat untuk menahan tangan Shena yang hendak mengucek matanya lagi. Ia menarik Shena untuk lebih mendekat ke arahnya,"Sini!" ujarnya. "Heh?" Shena terdiam, mencoba mengatur detak jantungnya yang menggila. Saat pemuda itu meniup matanya yang tersapu debu, rasanya ia ingin terbang melayang ke langit ke tujuh. Berada di jarak sedekat ini, membuat napasnya otomatis tercekat. Aroma woody yang dipadukan dengan mint menyengat indra penciumannya, aroma yang tenang seperti hujan dan maskulinitas. Untuk sesaat, Shena kembali terbius dengan rahang tegas dan dekapan hangat Erlangga padanya. Biarlah matanya terus tersapu hembusan napas pemuda itu, bahkan Shena rela jika harus kelilipan lagi asal Erlangga juga bersedia menyembuhkannya. Shena memberanikan diri untuk menyentuh lengan Erlangga yang menahan pipinya, tapi urung karena pemuda itu segera menjauhkan diri. "Udah baikkan?" tanyanya. Shena mengangguk kaku. "Matamu sampai merah, sakit ga?" Shena menggeleng. "Lain kali jangan dikucek ya, takutnya iritasi." saran Erlangga. Apakah ini yang dinamakan tenggelam di dalam manik mata? Kalau iya, itulah yang tengah Shena rasakan saat ini. Ia tak bisa lepas dari mata hitam kecoklatan milik Erlangga, alisnya tegas dan membius siapa saja yang melihatnya. Shena merasakan perasaan tenang saat netra hitam itu membalas tatapannya, solah terkunci, untuk sepersekian detik rasanya ia ingin menghentikan dunia berputar. Detik selanjutnya, Erlangga yang pertama kali memutuskan kontak mata, pemuda itu sontak melepaskan kedua tangannya yang memegangi pipi Shena. Mengambil jarak satu langkah, keduanya sama-sama kikuk dan canggung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD