Gadis di perpustakaan

1830 Words
Aldi menghela napas saat tiba di ambang pintu perpustakaan, niatnya ingin membolos dengan tidur disini, tapi malah seramai ini. Pemuda itu merasa bimbang antara kembali ke kelas dan mendengarkan tausiyah guru PPKn atau tetap tinggal di perpustakaan. Jika tidak tidur, lalu apa yang akan ia lakukan selama empat puluh lima menit ke depan. Pemuda itu menoleh ke kanan dan ke kiri, ia tidak melihat seorang pun yang ia kenali lewat diarea itu. Kenapa di saat seperti ini, ia berharap dapat bertemu Aldo dan rombongan bolosnya. Hari ini Aldi tak ditemani oleh kedua sayapnya, Rando sedang sakit dan Malik tidak masuk karena harus menghadiri pernikahan sang kakak. Aldi menatap gamang papan tulisan perpustakaan, jika ia memilih kantin sebagai tempat membolos, tentu akan sangat berbahaya. Apakah sebaiknya ia tetap disini? Setidaknya pemuda itu tidak perlu mengikuti pelajaran, kan. "Kenapa ga masuk?" tanya petugas perpustakaan yang berjaga di pintu depan. Aldi celingukan mencari sumber suara, dan ia menemukan pria seusia mamanya tengah berdiri di balik pintu. "Ayo masuk! Mau ambil buku,kan?" "Eh." Aldi menggaruk telinganya sambil mengerjap pelan. "Iya." jawabnya. "Rak buku kelas sepuluh dimana ya, pak?" tanya pemuda itu basa-basi, Aldi mana mungkin mencari buku di perpustakaan, niat awalnya saja untuk santai dan rebahan. "Oh, itu kamu lurus aja terus belok kiri." Aldi mengangguk, setelah mengisi daftar hadir di perpustakaan, pemuda itu segera memasuki ruangan besar dengan banyak sekali buku di dalamnya. Perpustakaan utama memang sangat luas dan lengkap, area membacanya pun sangat nyaman. Ada barisan meja kursi yang tertata rapi, jika bosan duduk, bisa menbaca sambil rebahan di area khusus perpustakaan itu, disana juga disediakan banyak sekali bantal yang nyaman. Sayangnya, area itu kini terisi penuh dengan para kakak kelas yang sedang belajar untuk ujian sekolah. Pemuda itu berjalan pelan menuju barisan rak buku kelas sepuluh, batinnya bersorak ria saat mendapati rak itu adalah di bagian paling belakang yang sepi dan tenang. Murid-murid yang berlalu-lalang pun hanya sedikit. Area membaca di pojok ruangan menjadi destinasinya saat ini, Aldi mengambil asal sebuah buku dari dalam rak. Buku itu nantinya akan menjadi pelindung wajahnya dari para manusia yang melihatnya. Persetanlah, yang penting ia bisa tidur dengan nyaman disana. Aldi mengambil tempat, ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada guru yang lewat. Pemuda itu membuka bukunya dan dijadikan penghalang wajah tampannya, ia lalu merebahkan kepala di meja dan segera memejamkan mata. "Hey!" "Tidur ya?" "Woy!" Tuk....tuk....tukk... Meja tempat Aldi duduk di ketuk oleh seseorang, pemuda itu sampai terbangun dari tidurnya. Dengan setengah kesal, ia mendongak. "Apaan sih?!" tanyanya ketus. "Lo tidur?" "Menurut lo?!" Gadis di hadapannya itu menggeleng, "Enggak, kalo lo tidur gimana bisa nyahut." Aldi mengusap wajahnya kasar, sebenarnya apa mau gadis itu. Dia adalah siswi kelas sepuluh, sama seperti Aldi. Pemuda itu tidak mengenalnya, hanya melihat dari badge yang terpasang di seragamnya. Namanya Larasati Ayusna, gadis berambut pendek keriting dengan wajah bulat dan hidung pas-pasan. Tubuhnya ramping dan dadanya besar, oh astaga! Apa yang ia lihat, Aldi segera mengalihkan pandangannya. Ia tidak sengaja mengamati tubuh bagian atas gadis itu saat membaca namanya. "Kenapa?" tanya Aldi lagi. "Mau minta nomor WA?" Larasati menggeleng, "Enggak." "Terus?" "Gapapa." "Gapapa gimana maksudnya, lo udah ganggu tidur gue dan sekarang gapapa gitu aja?" Larasati tersenyum tipis, saat gadis itu tersenyum di pipinya membentuk lekukan kecil yang semakin mempercantik senyumnya. Ia menarik kursi di depan Aldi, lalu duduk dengan nyaman tanpa peduli tatapan tidak suka dari pemuda itu. Sang gadis membawa beberapa buku yang tebal dan membantingnya di meja Aldi. "Lo anak Mipa, kan?" "Iya." jawab Aldi ketus, pemuda itu menatap datar Larasati sambil menyandarkan punggungnya di kursi. "Kok baca buku akuntansi?" Aldi membalik buku yang tadi ia ambil secara asal, di sampul depannya memang tertulis buku akuntansi. Aldi menatap lurus gadis itu, "Emang ga boleh?" "Boleh sih." Aldi merotasikan bola matanya tanpa mau menjawab lagi. Gerakan Larasati saat membuka lembaran buku dan membaca pun tak lepas dari pengamatan pemuda itu. "Lo anak Mipa?" tanya Aldi. Sang gadis menggeleng, helaian rambut keritingnya itu terbang terbawa angin. "Bukan." "Kenapa baca buku biologi?" "Emang ga boleh?" "Ya boleh sih." Mungkin efek bangun dari tidur yang hanya sekejap, jadi akal sehat pemuda itu belum terkumpul sepenuhnya. Dari tadi, mata Aldi jelalatan melihat ke arah yang seharusnya tidak ia lihat. Fyi, Aldi sangat menyukai tokoh anime Jepang, sekalipun ia bukan Wibu. Dan yang membuatnya tertarik adalah bagian atas para gadis di anime yang besar. Kini, ia dihadapkan pada versi yang nyata. Gadis bernama Larasati ini salah satu yang membuat Aldi berdebar-debar tak karuhan, padahal tidak ada sejarahnya sang casanova gugup di hadapan seorang gadis. Yang lebih mencengangkan adalah Aldi berdebar karena melihat tubuh gadis itu. Sangat tidak sopan, Aldi merutuki dirinya dalam hati. Aldi bangkit, ia mengambil buku akuntansi itu dari meja sedikit kasar. Larasati ikut mendongak, "Kenapa?" "Gapapa." jawab Aldi. "Mau pergi?" "Iya." "Kemana?" "Toilet." bohong Aldi karena sejujurnya ia hanya ingin segera menjauh dari Larasati, berdekatan seperti ini malah semakin menambah amalan buruk pemuda itu. Aldi takut jika gadis itu terbawa imajinasi kotornya. Tapi sialnya, dari sudut ia berdiri, justru apa yang ia hindari terlihat lebih jelas. Dua kancing atas gadis itu tidak dikancingkan dengan sebenar-benarnya, padahal sudah terikat dengan dasi, tapi apa yang tersimpan di dalamnya malah tercetak jelas. Aldi pikir gadis itu harus mengganti seragamnya yang kekecilan, agar dia bisa bernapas lebih lega. "Sadar woy! Jangan gila, Di." guman pemuda itu pada dirinya sendiri. "Kenapa sih?" tanya Larasati melihat Aldi yang bergerak gelisah. "Apa?" "Katanya mau ke toilet, mau ngompol disini?" Detik selanjutnya, pemuda itu segera pergi tanpa sepatah dua patah kata. Ia meletakkan asal buku yang ia bawa di dalam rak, dan melangkah cepat menuju pintu keluar. Aldi merutuki pikiran kotornya barusan, ada-ada saja hari ini. Pertemuan tidak direncanakan itu masih sangat menbekas di ingatannya. Bagaimana kalau nanti malam ia bermimpi yang tidak-tidak dengan Larasati, bisa gila dirinya. Aldi berdecak sebal, setelah ini kemana lagi destinasi selanjutnya. Tidak ada tempat yang cocok dan ia sebatang kara tanpa kedua temannya. Pemuda itu memutuskan untuk menyusuri koridor yang membawanya menuju kantin, ia mengambil ponsel yang terselip di sakunya. Ada banyak pesan masuk dari nomor tidak dikenal, jika dilihat dari foto profilnya, mereka adalah gadis-gadis yang kemarin meminta nomor WAnya. Larasati Ayusna, Aldi mengetikkan nama itu pada kolom percarian ** pribadi miliknya, karena didorong rasa penasaran yang tinggi. Aldi iseng saja mencari nama itu disana, tapi ternyata ada banyak orang yang memiliki nama yang sama, dan tidak satu pun yang merupakan akun milik gadis itu. "Ck, kok ga ada sih?!" "Apanya yang ga ada?" Aldi menoleh seketika, wajah yang ia lihta pertama kali adalah seseorang yang mirip dengannya, hanya saja lebih berisi. "Ngapain lo disini?" tanya Aldi. "Suka-suka dong, ini kan kantin." Rupanya tapak kaki pemuda itu telah membawanya dengan selamat hingga ke kantin, padahal sepanjang perjalanan Aldi fokus pada layar ponselnya. Ia berjalan mendekat ke arah pemuda dengan headband hitam yang tengah menyeruput s**u kotak. "Temen-temen lo mana?" tanya Aldi pada si bungsu. "Di warung belakang." "Kenapa lo ga ikutan? Udah tobatkah?" Aldo menggeleng tak setuju ia menegakkan tubuhnya setelah s**u kotak berukuran sedang di hadapannya itu habis. Aldo melempar bungkusnya ke tempat sampah, "Gue ga tobat, cuma lagi males aja." "Males?" "Iya." Aldo mengangguk, "Yang lainnya bawa cewek ke tongkrongan, dan gue ga punya cewek. Jadi ga ikutan deh, lagian kasihan kalo cewek mereka oleng ke gue." ujarnya penuh percaya diri. "Dih, sok ganteng lo." Keduanya sama-sama terdiam, mereka melihat ke arah halaman tengah. Sedang ada mata pelajaran olahraga disana, guru yang mengajar pun sama dengan guru olahraga mereka. Di bawah panas terik matahari Jakarta, Aldi merasa iba dengan para murid itu, kasihan mereka karena mendapatkan jadwal olahraga di atas jam sembilan. Karena jam itu sedang sangat terik, belum lagi mereka tidak berada di lapangan indoor. Jika sudah bersama seperti ini, kedua saudara kembar itu hanya akan saling bungkam dan sibuk dengan kehidupan masing-masing. Tidak seperti Shena dan Arsen yang akan mengobrol dan bercerita banyak hal. Kalau mau dibilang pendiam, rasanya Aldi dan Aldo ini adalah anak yang aktif. "Do?" panggil Aldi. "Hm." "Lo pernah ketemu cewek terus deg-degan ga?" Aldo mendongak, mencoba mengingat kembali kehidupannya yang fana ini. Si bungsu menggeleng, "Lupa." jawabnya, ia kembali fokus pada layar ponsel yang ia letakkan di meja, Aldo senang sekali menonton acara pemburu hantu di Youtube. "Masa gue deg-degan ketemu cewek, tadi." jujur Aldi. "Katanya plaboy, the lady killer, ketemu cewek kok gemeteran sih." "Gue ga gemeteran ya!" timpal Aldi tidak terima, yang tadi ia rasakan hanya sedikit saja, sangat sedikit detak jantungnya bertambah, bukan gemetar yang sangat kacau. Aldi sangat pintar mengolah ekspresi dan menyembunyikan rasa. "Gue deg-degan lihat bodynya." Tangan Aldo terangkat, bergerak untuk menyentil kening sang kakak keras-keras. "Sadar woy!! Jangan gila lo." "Iya, gue juga mikir gue gila." "Eh, tapi gapapa kali, itu kan normal sebagai laki-laki yang tertarik sama lawan jenis." Aldo mulai berubah pikiran, terkadang ia pun merasakan hal yang sama. Tapi karena si bungsu terlalu malas untuk menjalin hubunngan, jadilah perasaan itu diabaikan saja. "Btw, bagian mana yang bikin lo tertarik, Di?" Hening sejenak, Aldi merasa bimbang apakah ia bercerita kepada orang yang tepat saat ini, pasalnya si bungsu yang tidak pernah berpacaran itu tahu apa sola wanita. Bukankah seharusnya dirinya yang jauh lebih banyak ilmu, Aldi mengusap wajahnya kasar saat bayang-bayang gadis bernama Larasati itu tidak mau hilang dari benaknya. "Bagian ini..." "Bagian apa, wajahnya? Cantik ya dia?" "Bukan.." "Terus apa?!" "TT." ucap Aldi pelan tanpa suara, tapi tentu saja dapat ditangkap dengan baik oleh sang kembaran. Mereka di kandungan yang sama, lahir di waktu yang hampir sama, dan tumbuh besar bersama. Tanpa Aldi berkaca lebih jauh, Aldo sudah paham dengan tingkah sang kakak. Aldo menggebrak meja cukup keras, menciptakan bunyi nyaring dan tatapan terkejut orang-orang di sekitarnya.Tapi tidak ia hiraukan, fokusnya tertuju pada Aldi. "Lo sih kebanyakan nonton anime, Di." "Ini ga ada hubungannya ya." sanggah Aldi. "Ya jelas ada lah, nonton anime terlalu berlebihan bikin lo jadi punya cewek yang mirip tokoh anime, kan." Tebakan Aldo tak sepenuhnya meleset, pemuda di hadapannya itu memang sangat menyukai film, kartun, dan komik yang berbau Jepang. Dulu pun, Aldi sempat berpikir jika ia ingin mencari seorang gadis yang mirip dengan tokoh di dalam anime Jepang, berwajah imut, ceria dan menyenangkan. Aldi masih tampak berpikir dengan seksama, apakah ia harus mengejar gadis itu atau tidak. "Menurut lo gue kejar atau ga usah?" "Ngapain?" "Karena gue suka sama dia." Aldo terkekeh pelan, ia membuka sebungkus kerupuk yang ada di meja kantin dan melahap satu persatu kepingnya. Pemuda itu tak percaya dengan jalan pikiran Aldi, sang casanova yang katanya telah menaklukkan banyak hati wanita. "Baru ketemu sekali, dan lo berpikir suka sama dia? Klasik banget." "Nih ya, Di, gue kasih tahu." ujar Aldo serius, pemuda itu sampai mencondongkan tubuhnya ke depan dan meminta Aldi melakukan hal yang sama. Demi menjaga kerahasiaan percakapan mereka, Aldi menurut. "Kalo misalnya lo kejar dia, gue yakin sih dia bakal mau, karena lo udah terkenal banget satu sekolah. Tapi, lo mikir ga, gimana perasaan dia saat tahu kalau lo suka sama dia hanya karena TT nya gede?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD