Permintaan

1963 Words
Galih Darsono sedang duduk santai di ruang kerjanya, ia memutar kursinya menghadap dinding kaca yang menampil pemandangan Kota Jakarta. Dari gedung lantai dua puluh, pemandangan hiruk pikuk ibukota tampak sangat sibuk. Ia kembali mengangkat secangkir kopi untuk ia nikmati sore ini. Aroma kopi dan hangat semburat senja selalu menjadi kombinasi yang pas untuk melepas penat setelah seharian bekerja. Dua jam lalu, pria paruh baya itu baru saja menandatangani sebuah kontrak kerja untuk membangun penginapan mewah di Bali. Bekerja sama dengan banyak perusahaan lain, ini proyek besar bulan ini yang berhasil tercapai. Senang tentu saja, Galih Darsono sudah menyiapkan proyek ini agar dipandu oleh Arsen, sang putra sulung kebanggaanya. Sebuah pesan sudah ia kirimkan untuk Arsen agar segera datang menemuinya, ia tak sabar untuk menceritakan betapa bahagianya ia mendapatkan proyek baru untuk sang putra. Memandu sebuah proyek besar sudah tidak baru lagi untuk Arsen, ia sudah diasah sedemikian tajam untuk menjadi penerus tahta kerajaan bisnis sang ayah kelak. Hanya tinggal menunggu usia Arsen cukup dewasa, dan ia akan memindahkan semua saham yang ia punya untuk sang putra. Tokk.......tokkk......tok........ Galih segera berbalik mendengar pintu ruang kerjanya di ketuk, senyum cerah terpatri untuk menyambut siapa yang datang secepat ini. Tapi, detik selanjutnya pria itu mengerjap pelan dengan wajah kecewa. "Papa pikir abang ya? Bukan, Arsen masih di sekolah." ujar gadis cantik berambut panjang yang melenggang masuk menghampiri sang ayah, Shena melempar tasnya ke sofa yang tertata rapi disana. "Kenapa kamu datang? Ada apa?" tanya sang ayah. "Kenapa ga seneng sih aku dateng, jarang-jarang loh aku kesini." "Langsung aja, Na!" ujar sang ayah, pria paruh baya itu memutar kursinya untuk menghadap putri kecil pembangkang yang sedang duduk di sofa. Salahnya juga terlalu memanjakan Shena karena ia adalah putri satu-satunya, dan sekarang ia terkena batunya. Shena tumbuh menjadi gadis keras kepala dan berkemauan kuat, hingga rasanya sangat sulit untuk mengatur Shena. Sudah sejak awal ia menentang keinginan Shena untuk membangun bisnisnya sendiri, baginya wanita yang baik harus selalu di rumah untuk melayani suami dan mengurus anak-anak. Lagi pula ia sudah punya pandangan yang cocok untuk dipasangkan dengan sang putri. Shena adalah Shena yang keras kepala, keinginannya harus terwujud dengan cara apapun. Wulandari, sang ibu menjadi pengaruh yang sangat tinggi dalam keberhasilan Shena saat ini. Pria dengan jas hitam itu tahu jika sang putri baru saja membuka outlet cabang ketiganya, dan ia sangsi jika kedatangan Shena kali ini tanpa ada maksud tersembunyi. "Kalau kamu masih ingin jadi pengganti papa di perusahaan ini, kamu ga bisa!" "Kenapa?" tanya gadis itu, "Aku berkompeten, aku bertanggung jawab, aku mampu memimpin sebuah tim, aku cerdas dan kreatif, aku juga bisa diandalkan papa." "Kamu tahu jawabannya." "Oh." Shena mengangguk-angguk, "Karena papa udah kasih perusahaan ke Arsen, ya? Gitu ya?" "Laki-laki sudah hakikatnya menjadi pemimpin." jawab sang ayah. "Wanita itu hakikatnya di rumah, Na. Ngurus suami dan anak-anak, buat apa kamu kerja keras kalau ujung-ujungnya, kan di rumah. Biar suamimu aja yang kerja." "Tapi, Shena beda papa. Shena ga mau milih jalan hidup kayak gitu, Shena mau jadi pebisnis hebat seperti mama." "Jangan contoh mama mu, dia tidak bisa diatur." "Kalau gitu Shena juga akan jadi ga bisa diatur." "Na!!!" Shena menghela napas kasar, memang tidak ada jalan untuk mengusir pikiran kolot sang papa soal perempuan dan bisnis. Shena menegakkan tubuhnya, berdebat dengan sang ayah butuh nyali yang tinggi. "Pa, papa lihat diluar sana banyak wanita yang berhasil menjadi pebisnis, punya omset miliyaran dan cabangnya dimana-mana. Kurang apa lagi sih Shena pah, kurang bukti apa lagi kalau Shena juga mampu jadi pemimpin." "Kamu pulang aja kalo cuma ngajakin papa debat." "Aku bukan maksud gitu, pah." "Terus apa?" Sangat menyebalkan jika setiap kali ia berkunjung hanya akan berakhir dengan perdebatan panjang, ruang kerja sang ayah dengan ayahnya saat di rumah itu berbeda. Di ruang kerja ini, ayahnya selalu menentang keinginannya untuk jadi Business Women yang hebat, ayahnya selalu menyepelekan dan menganggap remeh bisnis yang sedang dikelola Shena. Gadis itu sudah mati-matian membangung usaha sejak sekolah menengah pertama. Shena pernah mendirikan toko kue dan berakhir gulung tikar karena administrasi toko yang berantakan. Begitu pula dengan toko makanan cepat saji, toko boneka, toko bunga, dan toko buku yang dulu ia bangun. Semuanya tidak bisa bertahan lenih dari tiga bulan, menyadari kesalahan itu, Shena muda berguru pada sang ibu dan teman-teman sang ibu yang rata-rata dari kalangan pengusaha. Mereka banyak mengajarkan gadis itu tentang cara membangun bisnis yang baik. Barulah pada akhir sekolah menengah pertama, Shena kembali membuka toko baju dan sablon. Berkat kegigihan dan ilmu yang ia dapat dari banyak orang, Shen's Collection berhasil menjadi pencapaian yang terbaik dalam hidup Shena. "Oke, fine, mungkin emang aku masih kurang meyakinkan untuk ini." "Tapi aku ga akan menyerah untuk yakinkan papa, kalau perempuan juga bisa menjadi pemimpin yang baik." ujar Shena, gadis itu meraih tasnya dan beranjak dari sofa. Shena mengamati dengan seksama ruangan besar yang menjadi ruang kerja sang ayah. Ruangan itu hanya terdiri dari meja kerja dan kursi, satu set sofa berukuran besar dan lemari-lemari kecil berisi dokumen. Disana juga ada foto keluarga yang dibingkai indah, berukuran cukup besar. "Aku mau minta sesuatu untuk ulang tahunku ke-17 nanti." ujar Shena. "Ulang tahun?" "Iya pah, bulan depan kan aku ulang tahun." jelas Shena. "Masa iya papa lupa sama ulang tahun anak sendiri." gadis itu bersedekap sambil memasang wajah cemberut. Galih Darsono memeriksa kembali kalender yang ada di meja kerjanya, ia membalik lembar kalender itu pada bulan berikutnya. Dan benar saja, tanggal sepuluh bulan depan adalah ulang tahun Arsen dan Shena yang ke-17. "Papa janji mau kabulin permintaan aku?" Gadis itu mendekat, menatap lekat sang ayah. "Permintaan apa? Buat apa?" Shena merotasikan bola matanya, "Kalo ulang tahun, kan. Boleh minta sesuatu papa, gimana sih." "Oke oke, kamu minta apa?" Shena tersenyum cerah mendengarnya, gadis itu memberikan jari kelingkingnya kepada sang ayah. "Janji dulu." "Tapi jangan aneh-aneh!" ancam sang ayah. Shena mengangguk lugu, "Iya." Tak mau memperpanjang, Galih segera menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingking sang putri. Putri kecilnya itu memang jagonya mencari keuntungan, pria itu pun was-was dengan permintaan Shena. Kalau diingat lagi, ini juga merupakan kali pertama sang putri meminta sesuatu di hari ulang tahunnya. "Kalo aku minta separuh saham----" "Na!!" "Oke oke, canda papa, aku ga akan minta separuh saham kok, bercanda!" cengir gadis itu. Sang ayah merotasikan bola matanya, "Cepat katakan, Na, jangan bertele-tele." Shena terdiam sejenak, ia mengambil napas dan mengatakan keinginannya dengan tegas. "Aku ingin bertunangan dengan seseorang." Mobil porche hitam itu terparkir rapi di parkiran sebuah gedung pencakar langit di pusat Kota Jakarta yang padat, bersanding dengan gedung-gedung lain yang tak kalah tinggi. Ban mobil itu sampai berdecit karena rem yang dipaksa untuk menghenti. Pemuda jangkung keluar dari mobil itu, wajah tampannya disoroti cahaya matahari sore berwarna kekuningan. Tapi tak menjadikan wajah dingin itu lebih cerah, kantor ini, tempat yang paling ia hindari tapi sangat sering ia kunjungi. "Selamat sore." sapa petugas parkir yang menghampiri Arsen, pria tua dengan rompi berwarna jingga cerah itu tersenyum. "Aden, baru datang?" "Iya, pak." jawab Arsen. "Shena disini?" tanyanya, melihat mobil putih yang ia kenali, plat nomor polisinya pun sangat khas. Petugas parkir itu mengangguk, "Iya, sudah dari tadi. Langsung masuk saja, den." "Mari pak." Arsen segera memasuki lobi yang lengang, karena beberapa karyawannya sudah kembali ke rumah masing-masing. Pukul lima sore saat ia melihat jam tangan di pergelangannya. Ia melihat banyak kendaraan berlalu-lalang dari dinding kaca kantor itu, jalanan memang sepadat itu saat jam pulang kantor seperti ini. Sambil menunggu lift, pemuda itu memainkan ponselnya. Membalas pesan dari Dewa yang mengajaknya ke club, malam ini. Tiiiingggggg ........ Pintu lift terbuka, pemandangan yang ia lihat pertama kali saat mendongak adalah seorang gadis, sama dengannya, gadis itu tampak acuh sambil memainkan ponsel dan sepasang AirPods terselip di telinganya. Rupanya ia tak menyadari jika yang akan bergabung bersamanya adalah Arsen. Gadis itu berambut panjang dan tubuhnya langsing tapi berisi. Lumayan cantik, batin Arsen. Ia menyimpan kembali ponselnya, lalu melangkah masuk dengan seringai menyeramkan seperti predator yang ingin memangsa makanannya. Pemuda ia memencet tombol lantai dua puluh. Arsen maju selangkah demi selangkah, ia berdiri satu jengkal di hadapan gadis itu. "Wanna play, babe?" tanyanya dengan suara parau. Si gadis berdecih, awalnya ia tampak terkejut, tapi setelah mendongak gadis itu hanya memutar bola matanya dan kembali fokus pada layar ponsel. Bahkan, saat kedua lengan Arsen mengurungnya sejurus dengan pintu lift yang tertutup. Ia tampak tak terpengaruh. "Sorry, I have a boyfriend." "Really?" "Yeah." jawab gadis itu acuh. "Hahahhaha." tawa Arsen mengudara, ia menepuk-nepuk puncak kepala gadis itu. "In your dream, heh?" "Pergi lo!" usir Shena, gadis itu mendorong tubuh jangkung sang kakak agar menyingkir dari hadapannya. Arsen memang segila itu, di balik wajah dingin dan tatanan hidup yang terlihat baik-baik saja. Pemuda itu sesungguhnya bukan cowok baik-baik. Arsen terkekeh, ia tahu kedatangan Shena ke kantor sang ayah untuk apa. Pasti untuk meminta sesuatu sebagai hadiah ulang tahun mereka ke tujuh belas. Itu juga yang akan ia lakukan saat ini. "Minta apa sama papa?" "Rahasia." balas Shena. "Halah, paling juga minta saham." celetuk Arsen. Sang adik menutup layar ponselnya, lalu kembali di simpan di dalam saku. "Kalo boleh minta saham udah dari dulu aku minta." "Terus lo minta apa?" tanya Arsen sangat penasaran. "Nanti juga tahu sendiri." Shena bersedekap menatap kesal kakaknya. "Aku ga minta aneh-aneh kok, aku cuma minta seseorang." "Jangan gila!" sentak Arsen, tangan pemuda itu terulur untuk menyentil kening sang adik. Permintaan Shena memang selalu aneh, jika bukan tentang uang, pasti tentang kekuasaan, jika bukan keduanya, pasti sesuatu yang akan menguntungkannya. Shena hanya tertawa menanggapinya, sambil memegangi keningnya, gadis itu tertawa tak henti-henti malah semakin keras dan menyeramkan. Di dalam lift ini memang hanya ada mereka berdua, tapi yang Arsen takutkan adalah para petugas CCTV yang lari kocar-kacir mendengar Shena tertawa. "Ahahahahha." "Hahahahahha." "Hahaha....hahaha...." "Udah diem woy!" ujar Arsen frustasi. Si sulung mengusap kasar wajahnya, kadang ia berpikir jika Shena itu kerasukan atau malah setelah gila. Ada saja tingkah aneh yang membuatnya geleng-geleng kepala. Pintu lift terbuka, barulah Shena menghentikan tawanya. Gadis cantik yang berdiri di hadapan sang kakak itu tersenyum licik, tangannya terangkat untuk membelai rahang tegas Arsen. "Don't forget to call me, babe!" ujarnya dengan nada suara nakal. "Crazy girl!" umpat Arsen. Shena mendorong sang kakak untuk keluar dari lift, setelahnya ia kembali memencet tombol lift menuju lantai dasar tempat mobilnya terparkir. Setelah pintu lift tertutup, Arsen segera berbalik, tujuannya adalah pintu kayu dengan ukiran yang indah di sudut ruangan. Arsen membuka kenop pintu tanpa mengetuk, sudah biasa baginya keluar masuk ruangan itu seenaknya, lagi pula ayahnya tidak pernah marah padanya. Menjadi anak yang paling disayang oleh ayahnya, kadang membuat Arsen lupa diri. "Kenapa baru datang, kamu?" tanya sang ayah. Arsen membanting tubuhnya di sofa mahal nan empuk milik kantor sang ayah, dari wangi yang tertinggal disana, sepertinya Shena juga duduk disana tadi. "Iya, masih ada ekskul tadi." "Basket?" "Hm." jawab Arsen singkat. "Kan papa udah bilang kamu ga usah main basket lagi, mending kamu belajar cara mengelola bisnis, itu akan jauh lebih berguna untuk masa depan kamu, Sen. Kamu harusnya tahu apa yang harus kamu lakukan." Si sulung hanya diam, jika menjawab pun ia akan berakhir dengan kalah. Kemauan sang ayah sangat kuat untuk menjadikannya penerus perusahaan, tapi kemauan Arsen juga sama kuatnya untuk menjalani hidup yang ia inginkan. Arsen merasa sudah banyak mengalah untuk hidupnya dan segala yang ia sukai. Arsen bangkit, ia mengambil kunci mobil yang ia letakkan di meja sofa. "Omong-omong, soal ulang tahun ke-17, aku juga mau minta sesuatu pah." "Sen, papa panggil kamu kesini untuk berdiskusi masalah proyek di Bali." ujar sang ayah. "Iya, aku tahu, lagi pula untuk proyek itu aku tahu apa yang harusnya aku lakukan." balas Arsen, "Aku denger Shena minta sesuatu, kan? Aku juga mau minta sesuatu papa." Sang ayah mengerutkan keningnya, rupanya kedua anak itu sudah bersekongkol dari awal. Permintaan Shena tadi saja sudah membuat pria paruh baya itu pusing, sekarang ditambah Arsen."Apa?" "Aku ingin membatalkan pertunangan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD