Hobi dan profesi

1739 Words
Aldi merasa terusik saat ponsel yang ia letakkan di nakas terus berdering, pemuda dengan mata setengah tertutup itu meraba nakas guna mengambil ponselnya. Ia menyipitkan matanya, sebuah panggilan telepon dari Malik. Dengan malas pemuda itu bangkit dari kasurnya sambil menekan tombol hijau. "Apa sih, Mal?" tanyanya. "Lo ganggu tidur gue!" kesal pemuda itu, ia menguap lebar dan kembali berbaring. "Ini jam berapa woy, diganggu setan lo tidur jam segini." "Iya, setannya lo!" "Setann!!" umpat Malik dari seberang panggilan telepon, Aldi hanya terkekeh menanggapinya. Ia melihat jam di dinding, dan waktu menunjuk pukul lima sore. Aldi merasa sangat lelah sepulang sekolah tadi, ada latihan ekstrakurikuler Pramuka yang melibatkan jiwa dan raga. Sudah dasarnya ia adalah pemalas, dan latihan hari ini adalah baris-berbaris di tengah lapangan yang terik. Jika saja ia tidak terus melakukan kesalahan mungkin tak akan selelah ini, jadilah Aldi jadi ia memutuskan untuk tidur sepulang sekolah. "Ada apa?" tanyanya lagi. "Ada balapan." "Motornya apa?" "Motor gede katanya." "Lah, ga punya moge. Cuma punya Don Juan." ujar pemuda itu. Memang satu-satunya aset yang pemuda itu miliki untuk balapan hanyalah Don Juan, Kawasaki KLX 101 fanta black kesayangannya. "Gue absen dulu deh." "Yang nantangi si Candra loh, yakin ga ikutan?" tanya Malik lagi. "Jovan, Dimas sama Ega juga udah konfirmasi ikutan. Lo siap dicap cupu sama Candra? Tuh anak songong banget." "Biarin aja lah." ujar Aldi tak mau ambil pusing. "Yaa, terserah juga sih. Kalo ga mau, ikutan nonton aja nanti malem, jam sembilan." Aldi berpikir lagi, sebenarnya bukan masalah motor karena ia bisa meminjam motor kesayangan Rando. Motor itu juga punya spek bagus ditambah modifikasi yang juara, hanya saja Rando tidak berniat untuk ikut balapan. Tapi, ia terlalu malas untuk hari ini. Balapan tidak ada dalam listnya di sabtu sore yang hangat itu. Aldi menoleh ke arah balkon kamarnya, samar, ia melihat matahari mulai beranjak dari cakrawala. Aldi selalu menyukai senja yang fana itu, keindahan yang hadirnya hanya sekejap saja. Pasti menyenangkan menikmati senja sambil ngopi santai di gazebo belakang rumah. Setelahnya, ia akan mengajak ketiga saudaranya untuk pesta barbeque. "Hadiahnya berapa?" "20jeti." "Yakin lo?" "Iyalah, kenapa? Tertarik?" "Tertarik sih." jawab Aldi jujur, pasalnya baru pertengahan bulan uang sakunya sudah menipis. Minggu lalu, Don Juan mendadak rewel dan harus menginap tiga hari dua malam di bengkel. Aldi pun terpaksa mengeluarkan banyak rupiah untuk itu. Dari seberang panggilan telepon, Malik terkekeh. "Makanya ikutan aja, kalah juga ga masalah, kan." "Lihat nanti deh." jawab pemuda itu. Ia segera memutuskan panggilan teleponnya karena dirasa cukup. Sebuah pesan dari Malik pun masuk, isinya adalah lokasi tempat balapan diselenggarakan. Aldi melihat kembali tempat itu, cukup jauh dari pemukiman, tapi punya kualitas aspal yang bagus. Tempat itu sudah sering digunakan sebagai tempat balapan liar. Yaa, pantas saja balapan kali ini di mulai lebih pagi, biasanya balapan liar dimulai pukul dua belas ke atas. Aldi beranjak dari kasurnya, melangkah keluar kamar dan turun menuju meja makan. Perutnya keroncongan karena belum terisi sejak pulang sekolah. Pemuda itu celingukan karena tidak ada siapapun, apakah semua orang merencanakan untuk meninggalkan sendirian di rumah. Kalau ya, sebaiknya jangan, Aldi itu sangat pandai membuat berantakan dan merusak barang. Tudung saji di meja itu terbuka, disana ada nasi, sayur bayam, dan ayam goreng. Memang hanya tersisa sedikit, karena ketiga saudaranya pasti sudah makan. Tapi, itu cukup untuk Aldi yang sedang diet karbo. Dua hari lalu saat ia iseng berkunjung ke gym mengikuti Arsen, pemuda itu melakukan konsultasi untuk membentuk otot-otot tubunya agar terlihat indah seperti milik sang kakak. Aldi merasa tubuhnya kurus dan lempeng-lempeng saja. "Dooor!!" Aldi berjingkit kaget, hingga sendok yang tengah ia pegang meluncur dari tanganya. Syukurlah hanya terjatuh di meja bukan di lantai. Rupanya sang kakak perempuan ada di rumah, ia mendelik tajam ke arah Shena yang asik memakan buah apel tanpa merasa bersalah telah membuat Aldi spot jantung, "Kebiasaan deh." kesalnya. "Yang lain kemana?" tanya Aldi. "Abang dan Aldo main futsal sama anak kompleks." jawab Shena. "Kalau papa mama?" Shena memutar bola matanya malas, "Mama ikut papa ke Bali, ada proyek penginapan yang harus ditinjau disana. Katanya sih bakal dua hari disana." jelas Shena, sebenarnya informasi itu sudah ada di grub Whatapps keluarga, tapi pasti Aldi tidak membacanya. Notifikasi untuk grub itu sengaja dimute dan diarsipkan saja olehnya. Jika kedua orang tuanya pergi, maka Aldi bisa lebih leluasa. Pemuda itu bersorak dalam hati karena tidak perlu repot izin dan berbohong kepada sang mama untuk pergi balapan. Wulandari selalu melarang Aldi untuk ikut balapan liar, Aldo pun demikian, tapi dasarnya kedua anak itu tidak mau memdengar dan tetap mencuri-curi kesempatan untuk ikut balapan. "Kenapa senyum-senyum?" "Gapapa." jawab Aldi. "Emh, aku tau nih." ujar sang kakak, ia kembali mengambil sebuah apel utuh dan melahapnya. "Apa?" "Mau balapan, kan?" Aldi menjentikkan jarinya, ia juga memberikan jempol untuk tebakan lurus dari sang kakak. Pemuda itu kemudian bangkit untuk mencuci piring kotornya sendiri. "Balapan teross! Bilangin mama nih." Aldi berbalik, "Jangan cepu! Balapan adalah hobi dan profesi saya." ujarnya. Shena berdecih, kedua adiknya itu memang sangat tergila-gila dengan balapan liar. Padahal bahaya yang bisa ditimbulkan tidak main-main, masih untung jika hanya berurusan dengan polisi, bagaimana jika urusannya dengan nyawa. Shena punya teman satu kelas bernama Dion alias Dondon, saat kenaikan kelas kemarin, Dondon harus meregang nyawa karena menabrak pembatas jalan dan jatuh ke jurang berbatu setinggi hampir sepuluh meter. Alasannya adalah karena mengikuti balapan liar. Gadis itu pun sudah berulang kali menasehati mereka berdua untuk berhenti saja melakukan hobi yang sia-sia itu, menurutnya tidak ada keuntungan yang didapat dari balapan liar selain kesenangan untuk berkumpul bersama teman. "Udahan Di, bahaya tau! Kalo kecelakaan gimana, nanti kamu kenapa-napa." "Mbak tenang aja, Aldi kan udah biasa. Percaya deh!" "Mau biasa kayak apa juga, kalo lagi apes ga akan lolos, Di. Nasib dan takdir ga ada yang tau, dek." Jika sudah begini, Aldi tak akan snaggup membalas tatapan sang kakak untuknya. Aldi tahu seberapa besar rasa sayang Shena padanya, dan ia juga tahu bagaimana gadis itu sangat menjaganya sejak kecil. Tumbuh bersama sejak kecil membuat ikatan di antara keempat anak Darsono itu sangat kuat, di saat kedua orang tuanya sibuk bekerja dan mereka harus menjaga satu sama lain. Bahkan, dibanding sang ibu, Shena jauh lebih mengerti Aldi. Dalam hidup Aldi, salah satu yang tidak bisa ia tolak adalah permintaan Shena. Aldi mengelap tangannya yang basah, ia berjalan pelan menghampiri sang kakak yang duduk manis di meja makan. Aldi memeluk Shena dari belakang, "Mbak tenang aja, aku pasti hati-hati kok. Mbak doain aja aku selalu dilindungi Tuhan." "Mau sampai kapan? Mending kamu fokus fotografi deh, jauh lebih menguntungkan." "Iya mbak, nanti juga aku bakal berhenti kok." Shena mengelus lengan Aldi yang melingkar di lehernya, lalu mencubit tangan itu kuat. "Awhhh!!!" pekik Aldi. Ia pun melepaskan pelukannya pada sang kakak, memang Shena itu tidak ada manis-manisnya. "Kok dicubit sih, sakit tau mbak." gerutunya. "Awas ya kalo sampai kenapa kenapa, mbak ga akan maafin kamu." Gadis itu berjalan meninggalkan Aldi, ia menatap galak sang adik sebelum benar-benar menghilang di balik tangga. Sedangkan, Aldi hanya bisa menatap tangannya yang memerah karena cubitan Shena yang tak main-main. Shena itu sangat galak dan pemarah. Aldo bermanuver menggiring bola menuju ke arah gawang, dua pemain lawan menghadangnya, dan Aldo segera mengoper bola itu pada Bagas. Sayangnya meleset, bola itu lebih dulu dicegat oleh Arsen. Sang kakak dan satu temannya lagi saling bekerja sama membawa bola menuju ke arah gawang tim Aldo. Tak mau kembali dibobol, Aldo pun mengode teman-teman satu timnya untuk membuat formasi bertahan. "Bang Yan, kiri bang!" teriaknya. "Awas Go, jangan lengah Go." "Kanan, kanan, Bang Yan. Hadang Bang Arsen!" Tapi tak semudah itu, soal skill futsal, Arsen boleh diadu. Pemuda itu percaya diri menggiring bola menuju gawang lawan, ia mengoper pada Ando dan dioper kembali padanya. Tinggal satu langkah lagi, jaraknya sudah sangat dekat dengan gawang lawan. Arsen memperhitungkan sudut yang baik untuk tendangan pamungkasnya. "Bang Iyan, jangan sampe lolos bang!" teriak Aldo. "Sen, tendang Sen!" "Goooollllllll!!!!" sorak tim Arsen, mereka segera menghampiri Arsenio yang telah kembali menyumbangkan poin untuk tim mereka. Memang tidak sia-sia latihan mereka tiap sore. Tim Arsen berselebrasi, berlari bersama-sama memutari lapangan futsal padahal tidak ada yang sedang menonton pertandingan mereka. Dengan bangga si sulung menghampiri Aldo yang tengah memasang wajah masam, timnya kalah tiga point dari tim Arsen. "We are the campions my friends!" Arsen melambaikan tangan sambil menyanyikan penggalan lagu legendaris dari Queens. Ia mengangkat dagunya tinggi-tinggi dengan wajah bangga. "Satu juta nya mana?" Aldo memasang wajah memelas, "Ga ada, bang. Niatnya aja mau morotin tadi, eh, malah kalah." "Halah, alesan, buruan kan udah sepakat. Gue udah janji mau traktir anak-anak makan bakso di pertigaan depan." ujar Arsen. "Ga ada duit, beneran, sumpah deh!" Aldo menyatukan kedua tanganya untuk memohon kepada sang kakak, "Sumpah! Ga ada." Arsen pun berkacak pinggang, Aldo selalu saja menyebalkan. Sore tadi saat berangkat ke lapangan futsal, mereka memasang taruhan satu juta rupiah untuk pemenangnya. Karena kali ini, untuk pertama kali si bungsu telah berani menantang sang kakak. Dan tentu saja disambut dengan baik, tapi apa sekarang, si bungsu itu malah mengatakan sedang tidak ada uang. Niat awal Aldo adalah untuk meminta suntikan dana dari Arsen, mengingat kantungnya sedang kering sejak dua hari lalu. Aldo baru saja membeli onderdil untuk motornya yang mendadak jadi rewel dan kurang oke untuk diajak kebut-kebutan. Jadilah ia kalap membeli banyak barang di toko online, meskipun sudah mengikuti diskon, tapi tetap saja itu tidak murah. Aldo memegangi perutnya, "Aduhh duhh, aku mules bang!" ujarnya. "Ga mempan, Do. Buruan, utang dibawa mati." "Aduh bang, ini beneran kebelet." "Do!" "Maaf ya bang, aku pulang duluan yaa." ujar si bungsu sambil berlari keluar lapangan futsal. Ia masih berakting memegangi perutnya yang baik-baik saja, demi mengelabuhi Arsen. Arsen mengumpat dalam hati saat menatap kepergian sang adik, sial, hari ini ia terkena tipu daya Aldo lagi. Memang seharusnya ia tak boleh langsung mempercayai Aldo. Arsen pun berbalik, dan teman-temannya sudah menunggu di belakang, mereka menunggu si sulung untuk merealisasikan janjinya sebelum tanding tadi. "Jadi, kan, Sen?" tanya Iyan antusias. "Eh?" "Ayo-ayo, ajakin semua anak-anak Go, Arsen hari ini mau traktir bakso Bu Sumi di pertigaan." ujar teman Arsen yang lain. Si sulung itu hanya bisa menggaruk lehernya sambil menyengir, sialnya, ia tak membawa uang sepeserpun hari ini. Nanti lah, Arsen menghubungi Shena untuk meminjaminya uang. Lagi pula, letak rumah dan pertigaan bakso Bu Sumi tidak terlalu jauh, jika harus, ia akan berhutang dulu dan berlari ke rumah untuk mengambil uang. Anak-anak kompleks itu ada sekitar lima belas orang, belum lagi anak lain yang kemungkinan ikut nimbrung. "Ayo deh!" ajak Arsen.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD