Lena sakit

1728 Words
Siapa yang tidak kaget dengan ulangan dadakan, apalagi jika mata pelajaran yang diujikan adalah mata pelajaran yang sulit. Seperti matematika contohnya, hari ini ulangan matematika dadakan dari Bu Fitria di kelas Aldo. Sontak semua murid di kelas itu mengeluh karena tidak adanya informasi sebelumnya, setidaknya ada persiapan walau sedikit. Bu Fitria pun hanya memberika kesempatan untuk belajar selama lima menit, dan Aldo mana bisa menyerap ilmu secepat itu. Saat lembar ulangan dibagikan, Aldo sama sekali tak paham dengan soal di hadapannya, cowok itu hanya duduk di bangkunya dengan nyaman dan memainkan pulpen hasil merampas dari Leon. Ia membaca berulang kali beberapa soal yang penuh dengan angka itu, tapi tidak ada gambaran apapun dalam otaknya. "Ini gimana sih? Ini soal apa?" desis Leon. Leon mengacak kasar rambut lurusnya sambil mendengus kesal. "Diem Yon, Bu Fitria nengok sini tuh!" tunjuk Aldo memberi kode dengan dagunya, pemuda berdarah Cina yang duduk di sampingnya itu tampak sangat frustasi. Rou yang duduk di kursi depan bersama Bayu melirik sekilas, "Udah, kerjain yang bisa-bisa aja." "Lah, ga ada yang bisa." Aldo menepuk punggung pemuda itu sambil sesekali melirik ke arah Bu Fitria. "Udah selesai nomor berapa?" tanyanya. "Bagi contekan dong." "Nomor satu dan tiga." jawab Roy, pemuda itu melihat lembar jawabannya. "Nomor duanya mana?" "Maaf ya, gue ga suka diduain." ujar Roy yang langsung mendapat tampolan gratis dari Leon, Roy pun mengaduh sambil mengusap-usap kepalanya. "Santai, macan!" "Ngadi-ngadi lu! Cepetan." "Jangan maen-maen!" tambah Aldo.   Roy terkikik, sedikit iba dengan dirinya sendiri. Dia yang akan memberikan contekan, tapi yang mencontek justru lebih galak. Maklum saja karena waktu mengerjakan pun tinggal lima belas menit lagi, ini adalah waktu yang sangat rawan jika belum mendapatkan satu nomor pun. Pemuda berambut ikal itu mengusap dadanya, "Sabar atuh, ini masih nulis kawan-kawan." "Buruan!" "Iya iya." Satu persatu soal matematika milik Aldo berangsur terisi, meskipun harus pontang-panting bisik sana bisik sini untuk mencari jawaban. Tapi tidak masalah, yang penting soal itu terisi. Aldo sangat bersyukur duduk di dekat Nina, murid pintar yang mau ia mintai contekan. Belum lagi Roy yang mendapat contekan dari Fifi, yang pernah juara olimpiade matematika di sekolah menengah pertama. Hanya tinggal tersisa soal terakhir dan si bungsu Darsono itu kini tengah menulisnya, dengan berbekal kertas kecil yang kusut hasil contekan dari Fifi. "Waktunya tinggal lima menit lagi, anak-anak!" ujar Bu Fitria membuat para murid heboh sendiri untuk menyelesaikan ulangan harian.  "Maaf bu, Lena sepertinya sedang sakit." salah satu siswi mengangkat tangannya, menyita perhatian seisi kelas. Termasuk Aldo yang kini telah menyelesaikan ulangannya, ia menoleh ke belakang, dimana siswi bernama Lena itu duduk. Bu Fitria bangkit dari kursinya, menghampiri siswi tadi dan seseorang dengan rambut pendek yang bernama Lena, terlihat pucat dan lemas. "Kamu baik-baik saja Len?" Lena itu menggeleng lemah.  "Kamu tolong antar Lena ke UKS ya!" ujar Bu Fitria.  "Bendahara galak kok bisa sakit sih." celetuk Leon, seisi kelas pun tertawa mendengarnya. "Wahh, berarti hari ini kita ga bayar kas dong, asik asik!" tambah Roy. Lena adalah bendahara di kelas itu, dia adalah gadis berambut pendek yang sangat galak. Tapi hanya kepada beberapa orang saja, salah satunya yang sering terlambat membayar uang kas kelas. Hari ini adalah hari dimana tamu bulanan Lena datang, dan seperti biasa ia akan pucat dan lemas. Lena memang punya riwayat anemia parah. Lena mencoba berdiri meskipun seluruh tubuhnya terasa lemas, dibantu Dhea, teman sebangkunya. Kepalanya terasa pening, untuk menanggapi gurauan Leon dan Roy saja ia tak berminat membuang energinya yang menipis. Gadis itu melangkah sambil memgangi kepalanya yang terasa semakin berat, satu tanganya bertumpu pada meja. Namun, baru satu langkah, gadis berambut pendek itu ambruk, membuat beberapa siswi memekik. Aldo yang kebetulan berdekatan tempat duduk dengan gadis itu, sigap menangkap Lena sebelum menyapa ubin. "Eh! Aduh, Len, Lena." Dhea menepuk pelan pipi Lena yang masih setengah sadar. "Dia pingsan, Dhe." ujar Aldo. Ia menyisihkan anak rambut yang menghalangi wajah pucat Lena. "Iya ya? Aduh gimana dong?" panik Dhea. "Bawa ke UKS aja, Do!" ujar Bu Fitria. Gadis yang berada dalam dekapan si bungsu itu tampak sangat lemas, suhu tubuhnya juga tinggi. Aldo mengangguk dan segera membopong Lena dibantu oleh Leon dan Dhea, "Yakin bisa, Do?" tanya Dhea, pasalnya jarak UKS dan kelas mereka itu cukup jauh. "Minta tandu ke UKS aja kali ya?" tawar Leon. Aldo menggeleng, "Ga usah, kelamaan Yon. Tolong nanti ulangan gue kumpulin ya, lo ikut gue Dhe." "Oke oke." jawab Dhea. Aldo pun berjalan cepat dan hati-hati menuju ke UKS, sambil membawa Lena yang sudah sepenuhnya pingsan. Diikuti dengan Dhea di belakangnya, mereka menuju ke UKS yang letaknya cukup jauh dari gedung kelas sepuluh. Syukurlah Lena tidak terlaluu berat, jadi Aldo kuat-kuat saja membawanya. Di sisi lain gedung sekolah itu, Arsen dan Shena sedang duduk di kantin bersama teman-temannya. Mereka duduk di meja yang berbeda tapi berdekatan, ditemani dengan cireng balado Mbak Iin. Entah kebetulan atau memang takdir, kelas mereka sama-sama jam kosong karena guru yang mengajar berhalangan untuk hadir. Hal itu dimanfaatkan dengan baik oleh mereka, siapa yang tidak mau berlama-lama nongkrong di kantin. Saat semua murid sibuk belajar, dan mereka malah santai-santai di kantin. Jam menunjukkan pukul sepuluh kurang lima menit, itu artinya bel istirahat akan berbunyi lima menit lagi. Tapi melihat tanda-tanda di sekolah saat ini. Rupanya guru yang sedang mengajar saat ini adalah para guru teladan yang sangat tepat waktu, hingga tidak membiarkan murid mereka keluar sebelum waktunya. "Sepi banget sekolah!" keluh Affan.  "Yaa kan masih banyak yang belajar, kita aja yang lagi jamkos." balas Dio, ia kembali mencomot cireng balado di hadapannya. Cireng itu rasanya sederhana tapi bikin ketagihan, apalagi kalau makannya sambil melihat ke arah Mbak Iin. Affan melempar Dio dengan kacang, "Bukan itu!" "Lalu?" "Van, ga ada gosip apa gitu ga?" tanya pemuda itu pada Vanya. Jika kebanyakan cowok tidak peduli dengan gosip, maka Affan berbeda. Mungkin bisa dimaklumi karena ia anak jurnalistik. Affan punya bagian khusus di mading, yang isinya seputar gosip yang beredar di sekolah. Vanya menggeleng, "Ga ada, basi banget emang akhir-akhir ini." jawabnya.   "Bukannya bagus ya kalo ga ada masalah gini?" Sonia sibuk merapikan kembali riasannya, "Kan jadi adem." tambah gadis itu.  "Iya adem, kayak senyummu!" gombal Dewa. Affan menoyor kepala Dewa, "Yee, malah ngelawak nih orang, bilang aja lo suka sama Sonia." ledeknya. "Tapi kan Sonia nya ga mau, hiyaaaaa." tambah Dio. "Sonia masih cinta sama Affan, hiyaaaa." Yang lainnya tertawa keras mendengar ucapan Dio yang tidak meleset sama sekali, kecuali Affan dan Sonia tentunya. Affan menjambak rambut gimbal Dio. "Gue udah ada." "Siapa?!" tanya Vanya cepat. "Rahasia." ujar Affan, membuat hati Sonia sedikit mencelos. "Udah, sama Dewa aja Son. Iya gak, Wa?" Dewa hanya bisa tersenyum kecut, sudah bukan rahasia lagi kalau cowok itu menyukai Sonia, bahkan secara terang-terangan. Namun entahlah apa yang membuat Sonia tak terpikat dengan pesona Dewa Mahendra yang tersohor ketampanannya. "Sonia belum mau buka hati sih." keluhnya, membuat Sonia gelagapan sendiri.  "Bu...bu...bukan gitu maksudnya." ucap Sonia terbata.   "Cie cie, Soniee gugup ciee." Vanya menoel hidung mancung Sonia. Menggoda Sonia itu paling menyenangkan, gadis itu akan memerah seperti tomat jika malu. "Jadian aja lah!" ucap Arsen.   "Iya nih Son, kasihan temen gue jadi sadboy." tambah Dio. Pemuda itu merangkul bahu lebar Dewa dengan sayang, Dewa itu playboy tapi sebenarnya sadboy. "Gini deh Son, kenapa ga lo coba aja, jalan sama Dewa besok. Siapa tau tiba-tiba cinta datang kepadaku saat ku mulai mencari cinta!" Shena memberi usulan dengan setengah bernyanyi.  Dewa mendelik, "Enak aja coba-coba, lo pikir gue apaan, Na!" ketus Dewa, melempar beberapa kacang mengenai Shena. Tak tinggal diam, gadis itu juga melakukan hal yang sama.  "Udah-udah hei tayoo, mubazir itu kacangnya." lerai Affan sambil mengambil kacang yang berceceran di meja. Vanya menggaruk pelipisnya bingung, sejauh yang ia tahu, Sonia itu bukan gadis yang sulit untuk keluar malam dan nongkrong sana-sini. "Tapi ada benernya juga loh Son, kenapa ga lo coba aja." "Tenang aja Son, lo ga akan menderita pacaran sama Dewa." timpal Arsen. Teman-teman Dewa yang lain mengangguk, "Masalah duit, ga usah takut bokek. Om Mahendra kaya raya." Affan menepuk bahu bidang Dewa dengan bangga, "Kalo kita ga punya uang, Dewa tuh selalu ngasih tanpa diminta." "Lo minta apa Son? Mobil? Rumah? Besok sama Dewa dicicilin." "Cash ga mampu ya?" celetuk Vanya.  "Sembarangan lo! Jiwa sama raga lo aja bisa dibeli sama Om Mahendra tau ga." bela Affan.   Bukan sebuah rahasia lagi jika Dewa memang terlahir dari kalangan atas. Seluruh keturunan keluarganya tajir melintir tujuh turunan, karena memang rata-rata dari mereka meneruskan bisnis dari orangtuanya. Membuat jaringan bisnis keluarga Mahendra begitu banyak dimana-mana, salah satunya adalah mall dan apartment.  Tak ingin menanggapi kegilaan teman-temannya, Sonia hanya memutar bola matanya malas dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Bukan masalah siapa Dewa, tapi ini masalah hatinya yang belum mau membuka lembaran baru. Jangan salahkan Sonia jika ia masih mengharapkan seseorang untuk kembali kepadanya. Terkadang, hati memang serumit itu untuk coba dipahami. Menjebak kenangan harusnya sudah dilupakan dan berganti dengan kenangan baru. "Eh! Lihat tuh" tunjuk Sonia kaget. Semua yang berada di meja itu mengarah pada satu objek yang baru saja melewati mereka dengan cepat. Seorang pemuda yang mereka kenal dengan baik. Bahkan Arsen dan Shena sampai berdiri guna memastikan apa yang mereka lihat. "Itu kan si Aldo, bukan?" tanya Dewa.  "Iya." jawab Arsen. "Kenapa ya?" tanya Dio.  "Yang digendong itu lagi sakit kali, makanya dibawa ke UKS." tebak Sonia.  Vanya masih ternganga, "Manly banget adik lo." gadis itu bertepuk tangan. Arsen dan Shena sama-sama mengangguk, cukup mengejutkan bagi mereka menyaksikan Aldo menggendong seorang siswi dengan raut begitu khawatir. Mereka bahkan tidak menduga jika adiknya itu mau repot-repot berlari tergopoh-gopoh menuju UKS, sangat jauh berbeda dengan tabiat si bungsu yang acuh pada sekitarnya. "Tumben?" Arsen menatap Shena dengan tatapan bingung.  Shena hanya mengendikkan bahu. "Ga tau." "Lumayan, bahan mading baru buat Affan." celetuk Vanya. "Lahh, iya lo bener." Affan menepuk dahinya, langsung berlari menyusul Aldo dengan ponsel mode kamera. "Ikutan dong, pengen lihat!" Ujar Vanya langsung berlari menyusul Affan. Jika ada berita terbaru, maka Vanya tidak boleh ketinggalan. Siapa yang tidak mau mendengar gosip tentang Aldo, si bungsu Darsono yang mempesona karena aura badboy yang sangat kental. Dibanding Aldi yang suka haha-hihi, Aldo jauh lebih bikin meleyot, begitulah kata beberapa siswi yang tergila-gila pada si bungsu. Si kembar pun saling tatap, pasti yang ada di otak mereka sama. Yaitu ingin melihat bungsu kesayangan mereka menuntaskan kebajikan yang ia lakukan hari ini. Karena sangat jarang terjadi, maka mereka harus memberikan apresiasi tentunya. Arsen dan Shena pun melangkah menuju ke UKS untuk menemui Aldo
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD