Makan malam

1829 Words
Gadis itu kembali membuka isi lemarinya, ada banyak sekali baju yang bisa ia pakai. Shena memilih sebuah blus berwarna putih dan rok flared tiga perempat di bawah lutut berwarna rosegold. Setelah proses pemilihan yang panjang hingga hampir semua isi lemari itu berhamburan di ranjangnya. Gadis itu ingin tampil santai namun tetap terlihat formal dan elegan, Shena memutar tubuhnya di depan cermin, memastikan tidak ada yang salah dengan penampilannya. Ia menyelipkan jepit berbentuk bunga sebagai penghias kepangan rambutnya kali ini. Sebuah kalung emas dengan liontin kupu-kupu terpasang indah di lehernya.   Sesuai dengan yang dijanjikan kemarin, hari ini ia dan kedua orang tuanya tengah bersiap untuk makan malam dengan keluarga Ardiwangsa. Tujuannya tentu membahas soal pertunangan anak-anak mereka secara lebih mendalam. "Sudah siap Na?" Wulandari muncul dari balik pintu kamar sang putri. Wanita itu tampil penuh pesona dengan dress panjang berwarna biru dan tas mahal yang senada.   Shena tersenyum, setelah memoles wajah cantiknya dengan riasan ringan. "Udah mah." jawab Shena, gadis itu bangkit lalu menghampiri sang ibu. "Cantik banget yang mau ketemu calon tunangan." "Mamaa ih." Shena tersipu. Galih Darsono menunggu di depan pintu sambil melihat dua wanita berbeda usia itu bercengkrama saling memuji penampilan, memang seperti itulah wanita, sangat silau dengan kemewahan. "Semua sudah siap kan? Ayo." ajaknya. "Iya."   Shena ikut melangkah bersama kedua orang tuanya menuruni tangga, sambil sibuk berdikusi tentang kalung yang tengah ia kenakan. Kalung itu terdiri dari dua rantai halus dan salah satunya punya liontin berbentuk kupu-kupu. Kalung itu adalah hadiah ulang tahun dari sang ibu, dan Shena bebas mendesign kalungnya sendiri. Awalnya, ia ingin sebuah liontin bertahtakan berlian atau mutiara laut, tapi setelah dipikir kembali perhiasan seperti itu sudah sangat pasaran. Shena secara khusus mendesign seri perhiasan untuk bulan depan di toko perhiasan sang ibu, sebagai hadiah ulang tahu ke-17. Dan nama seri itu adalah Fly with Butterfly. Akan ada dua kalung, tiga gelang, lima cincin, dan dua model anting yang akan diluncurkan bulan depan.   "Bwehh, yang mau kondangan emang beda." celetuk Aldi. Pemuda itu merebahkan tubuhnya di sofa panjang depan televisi, satu tangannya menopang kepala, dan satu tangan lagi ia gunakan untuk menyuap kacang mede ke mulutnya secara berkala. "Bukan kondangan!" koreksi Shena begitu sampai di anak tangga terakhir.  "Terus apa?" "Rahasia, anak kecil ga boleh tau." Shena menjulurkan lidahnya tanda mengejek. Aldi mendelik, "Main rahasia rahasiaan segala." "Iyalah, kamu belum cukup gede buat tahu." "Ish, sembarangan, udah gede punyak---" Aldi segera membungkam mulutnya dengan bantal sofa, lupa kalau masih ada orangtuanya disini.  "Apa yang gede, Di?" tanya Wulandari sambil mengerutkan keningnya. Aldi langsung gelagapan sendiri, "Emm, anu mah, itu." "Anu apa sih?" desak sang nyonya Darsono.  Aldi menggaruk kepala belakangnya, tersenyum kikuk pada sang mama. "Eee, itu loh ma, masa ga tau sih." "Mimpi!!" Aldi berseru sambil menjentikkan jarinya. "Mimpi aku gede mah, mau jadi pembalap." ucapnya. Wulandari membulatkan matanya, ia berjalan menghampiri sang putra di sofa dan menjewer telinganya. "Mama udah bilang buat berhenti balapan, kamu masih ngeyel balapan ya?!" "Aduhh, aw, sakit mah." "Mama kan udah bilang, balapan liar itu bahaya. Nanti aja kalo kamu udah selesai kuliah baru boleh jadi pembalap. Itu pun harus latihan sama yang profesional, bukan balapan liar buat dapat uang ga seberapa tapi taruhannya nyawa, Di." "Itu, kan masih lama mama." gerutu Aldi, sama seperti Shena sang ibu paling tidak setuju jika dirinya ikut balapan liar di jalanan. Padahal Aldi sudah menutup-nutupi keikut-sertaanya tapi sang ibu selalu tahu. Wulandari menatap Aldi galak, ingin lebih banyak memberikan wejangan tapi ia masih mengingat waktu. Akan sangat memalukan jika keluarganya datang terlambat di pertemuan pertama mereka dengan calon besan. "Awas ya kalo kamu masih ikut balapan liar!" ancamnya. Shena tertawa jahat melihat Aldi dimarahi, ia menampilkan wajah mengejek sebelum berlari mengikuti kedua orang tuanya menuju parkiran, dimana mobil sang ayah terparkir. Mereka berlalu meninggalkan Aldi yang sendirian menjaga rumah, Arsen masih berada di rumah Affan dengan alasan mengerjakan tugas sekolah, dan Aldo tak tahu pergi kemana. Sebenarnya di rumah itu ada Bik Yun dan beberapa ART lain, juga tukang kebun dan sopir pribadi sang ayah. Tapi, Aldi hanya sendirian menjaga rumah utama. Terkadang, pemuda tampan menawan itu bergidik ngeri saat sendirian. Ditambah lagi pesan bergambar yang kerap kali dikirim oleh kedua kakaknya. Sudah tahu Aldi cukup penakut, malah dikirimi gambar berbagai macam hantu lokal Indonesia. Mobil sedang hitam itu tida di parkiran sebuah hotel mewah berbintang di ibukota, Janji temu mereka ada di restoran yang letaknya di dalam hotel milik keluarga Ardiwangsa ini. Dari kabar yang tersira, restoran itu dikelola langsung oleh Dahlia, ibunda Erlangga. Shena dan kedua orang tuanya melangkah masuk, rupanya mereka sudah ditunggu jadi ada seorang pelayan yang bertugas mengantarkan mereka menuju salah satu ruangan VIP di restoran itu. "Selamat malam, Pak Ardi." sapa Galih Darsono. "Selamat malam, Pak Galih." Kedua keluarga itu saling bersalaman dan menanyakan kabar sambil menunggu hidangan mereka disajika. Dahlia Ardiwangsa memilihkan menu terbaik di restoran miliknya untuk tamu spesial mereka malam ini. "Wah, Shena cantik sekali sayang." puji Dahlia kepada putri tunggal Darsono yang sudah tersohor kecantikannya itu.   "Terimakasih, Tante Lia." Keluarga Darsono duduk berhadapan dengan sang tuan rumah, mereka asik bercengkrama dan menceritakan keberhasilan masing-masing. Satu persatu hidangan mulai masuk, ditata dengan cantik dan tampak lezat. Kedua keluarga itu menyantap hidangan dengan tenang, dan sedikit percakapan ringan mewarnai malam itu. Pembahasan seputar bisnis dan perusahaan, serta ekonomi dan politik. Tapi, ada satu yang menjadikan makan malam itu terasa hambar, yaitu ketidak-hadiran sang putra tunggal Ardiwanga. "Emm, jeng?" panggil Wulandari pada Dahlia. "Dimana Angga? Kok belum datang?" Dahlia pun langsung melirik sang suami, dan mereka sama-sama tersenyum kikuk. "Sepertinya Erlangga berhalangan hadir malam ini, saya mohon maaf untuk ketidak-sopanan putra saya." ujar Ardi, ia sudah puluhan kali menghubungi Erlangga tapi tidak mendapat balasan apapun. "Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya untuk Shena."   Shena bisa melihat dari ekor matanya, bahwa kedua orang tuanya saling tatap sejenak. Mereka tentu merasa sedikit tersinggung dengan ketidak-hadiran tokoh utama dalam makan malam kali ini. Apalagi, rencana makan malam ini sudah direncanakan jauh-jauh hari. Tapi mengingat hubungan baik yang telah mereka jalin, orang tua Shena bisa memakluminya. "Apa..... kalau begitu artinya pertunangan ini tidak jadi dilaksanakan?" tanya Wulandari dengan hati-hati. Shena pun langsung menoleh ke arah sang mama, ia ingin protes tapi Wulandari memberinya kode untuk diam. "Bukannya Erlangga sudah menerima keputusan ini ya?" Dahlia mengangguk tegas, "Iya, iya Bu Wulandari. Tidak ada yang berubah, pertunangan akan tertap terlaksana." "Kehadiran Erlangga tidak penting sama sekali, pertunangan akan tetap dilaksanakan." ulang Ardiwangsa mempertegas. "Anak itu masih sibuk mengurus sesuatu di sekolahnya, sehingga berhalangan hadir. Hanya itu, bukan bermaksud untuk membatalkan pertunangan Pak Galih, Bu Wulandari." Galih Darsono mengangguk, "Ya, baiklah kami mengerti." "Kalau begitu, apakah bisa kita mulai saja rencana pertunangan Shena dan Angga nanti?" tawarnya. "Tentu saja." Pembicaraan mereka berlangsung dengan baik, mulai dari busana, tamu undangan, tempat penyelenggaraan, dan lain sebagainya. Karena dasar dari pertunangan ini juga merupakan perjodohan untuk mempererat hubungan dua perusahaan, banyak kolega bisnis keduanya akan diundang. Erlangga Ardiwangsa adalah anak semata wayang keluarga itu, dan sudah sepantasnya pemuda itu mendapatkan tunangan gadis baik-baik dari keluarga terpandang. Di tempat lain, Erlangga juga tengah menatap gamang ponselnya. Ponsel berwarna hitam itu sengaja dimatikan agar ia tidak menerima panggilan telepon dari kedua orang tuanya. Erlangga sengaja tidak datang ke acara makan malam bersama keluarga Shena, dengan alasan ia harus mengurus satu dan lain hal yang sangat penting di sekolah. Meskipun pada kenyataannya, dia tengah menghabiskan waktu bersama Putri di salah satu mall di Jakarta. Bersama beberapa orang lagi, mereka menghabiskan sore hingga malam untuk menjelajah seisi mall, mulai dari time zone, bioskop dan masih banyak lagi. Putri menarik tangan Erlangga untuk berdiri, "Sayang, lihat perhiasan yuk." ajaknya. "Kamu aja." "Ayo dong, nanti kamu pilihin mana yang bagus buat aku." rayu Putri sambil bergelayut manja di lengan Erlangga. Putriana Margareta, teman satu angkatan Erlangga yang kini menjabat sebagai pacar pemuda itu. Sebenarnya bukan terpaksa, tapi Erlangga sendiri memang tidak pernah menyatakan cinta pada Putri, justru sebaliknya gadis itu yang menembaknya. Ingin menolak, tapi Putri mengancam untuk loncat dari rooftop sekolah. Kebetulan gadis itu juga menyatakan perasaannya disana. Erlangga mendengus sebal, tangannya bergerak mengambil dompet di saku celananya. "Nih, beli sendiri aja." ujarnya sambil menyerahkan sebuah kartu kredit berwarna hitam. "Aku maunya sama kamu, sayang." rajuk Putri. "Ayo lah, cuma sebentar kok. Ke situ!" tunjuk Putri pada salah satu toko perhiasan terkenal di mall itu. Masalahnya bukan tidak mau mengantar, tapi Erlangga tahu toko itu milik siapa. "Udahlah Lang, anterin aja!" suruh Bayu, ia geram sendiri mendengar rengekan Putri. Bayu, Yudistira, Gio dan Dimas adalah teman sejawat Erlangga. Mereka kembali dipersatukan di kelas yang sama sehingga sangat sering menghambiskan waktu bersama sebelum sibuk belajar. Awalnya, Erlangga dkk berencana menghabiskan malam di club, tapi Putri datang dan merengek meminta jalan-jalan di mall. Kali ini pun, para pemuda itu ikut karena paksaan dari Erlangga. Bayu bersedekap sambil bersandar di pagar pembatas mall, di sampingnya Gio tengah asik melihat para gadis di lantai bawah. Yudistira dan Dimas pamit untuk mengisi perut di foodcourt. "Ayo dong, sayang. Sebentar aja!" Putri menguncang lengan Erlangga agar pemuda itu mau menurutinya. "Sama Sasti aja." "Enak aja, ga mau gue, ga ada duit." jujur gadis itu, yang langsung diangguki oleh Raya. Mereka adalah sahabat baik Putri yang hari ini turut hadir di mall. Mau tak mau, Erlangga melangkah disertai dengusan keras sebagai tanda kesal. Tapi itu tidak berlaku untuk Putri, ia justru bersorak senang karena sang kekasih mau menuruti permintaannya. Langkah kaki kedua menuju ke salah satu toko perhiasan yang berada di sudut mall, toko itu cukup ramai dan diisi oleh orang-orang yang terlihat berkantung tebal. Saat keduanya masuk pun, penjaga toko itu melihat mereka aneh. Pasalnya keduanya masih mengenakan seragam sekolah putih abu-abu. "Selamat datang, ada yang bisa saya bantu kak?" seorang pramuniaga menyambut mereka dengan ramah. "Cuma mau lihat-lihat aja kok, kak." jawab Putri. "Ada koleksi baru ya?" tanyanya, melihat beberapa orang sibuk menata dekorasi di kaca depan. Pramuniaga itu mengangguk, "Iya kak, ini baru dilaunching bulan depan, bertepatan dengan ulang tahun anak pemilik toko ini." "Wahh, boleh lihat-lihat ga kak?" "Silahkah." Pramuniaga itu membimbing Putri untuk menuju ke salah satu stand khusus yang berada di bagian belakang toko, belum di display karena masih menunggu waktu peluncuran. Putri dibuat terkesima dengan koleksi perhiasan terbaru toko itu, kupu-kupu adalah hewan kesukaan Putri dan kalung berliontin kupu-kupu itu terlihat sangat mempesona. Erlangga yang mengikuti di belakangnya pun hanya acuh, hingga matanya tak sengaja menangkap papan nama di stand itu. Sepertinya itu adalah judul untuk seri terbaru yang hendak mereka luncurkan, tapi yang membuatnya terhenyak adalah tulisan yang tertera disana. Fly with Butterfly X Shena Darsono. Membaca nama itu membuat hati Erlangga sedikit mencelos, ia merasa bersalah dengan sikap pengecutnya yang mangkir dari pertemuan kedua keluarga. Ia tak hanya mengecewakan kedua orang tuanya, tapi juga membuat mereka menahan malu di hadapan Shena dan orang tuanya. Erlangga sudah mempersiapkan diri jika nantinya ia akan dimaki habis-habisan. Apa boleh buat? Erlangga sejujurnya sangat menentang pertunangan ini, tapi kedua orang tuanya sudah setuju. Rasanya kehadirannya pun tak begitu berarti, ia tetap tak punya hak untuk mengatakan yang sebenarnya ia rasakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD