Arisan

1900 Words
"Aldi! Itu pot bunganya jangan ditaruh di situ." larang Wulandari, saat anak laki-lakinya itu mengangkat pot bunga dan memindahkannya ke dekat pintu. Pemuda itu pun bingung, pasalnya sang ibu yang menyuruhnya tadi. Wulandari melihat sekilas dari ekor matanya, "Kamu ini gimana sih Do, tadi kan mama suruh mindahin kursinya lebih ke tengah!" gerutu wanita itu, ia pun bersama si bungsu menata ulang susunan meja dan kursi di taman belakang. "Aduhh, Arsen, itu di deket kolam renang masih ada daun jatuh." "Na, baju mama udah kamu siapin kan. Mama ga mau ya kalo jelek." "Bukan disitu Di, bawa keluar aja! Bunga itu ga cocok buat dekorasi." "Sen, itu di belakang pintu belum kamu sapu ya?" "Do, buruan ambil taplak meja!" Begitulah kamis sore ini dimulai dengan semua kerepotan yang ada. Kemarin malam, Wulandari pulang dengan raut wajah berseri, memberikan kabar gembira bahwa besok akan diadakan arisan di kediaman Darsono. Yang akan dihadiri oleh ibu-ibu komunitas pengusaha wanita sang mama. Awalnya keempat anak Darsono ikut senang mendapati sang mama begitu antusias, namun petaka seolah terjadi. Mereka berpikir bahwa untuk dekorasi dan penataan rumah akan diserahkan kepada WO. Tapi kenyataannya tidak, justru mereka yang harus bahu membahu membantu sang ibu. Halaman belakang dekat kolam renang di sulap menjadi tempat arisan itu digelar. Sebuah meja panjang di tata di bagian tengah, dengan kursi-kursi berwarna putih yang menjadi pelengkapnya. Bik Yun dan Ningsih sibuk menyiapkan hidangan untuk malam nanti. Pak Tono, sopir pribadi di rumah itu, sedang sibuk memasang lampu-lampu hias bersama Yayan dan Joko, tukang kebun di rumah itu. "Ma, ini bajunya ditaruh dimana?" tanya Shena, gadis itu membawa sebuah dress berwarna putih yang baru selesai ia percantik kembali karena kata sang ibu terlalu sederhana. Wulandari pun menerima dress lamanya, ia mengamati baju itu dengan seksama. Dress polos itu kini sudah jauh lebih mewah dan elegan, berkat tambahan manik-manik mutiara dan payet yang Shena pasang. "Taruh di kamarmu aja, nanti mama dandannya di kamarmu." jawabnya lalu menyerahkan kembali baju itu. Dress code untuk arisan pada malam hari ini adalah putih, dan sebagai tuan rumah tentu sang nyonya tidak mau kalah bersinar terang dibanding para tamunya. Wulandari tengah asik berbincang di grub Whatapps bersama teman-temannya, salah satunya untuk membicarakan acara malam ini. Wanita itu sesekali tertawa dan cekikikan sendiri. Suara klakson mobil di depan rumah mencuri perhatian, rupanya mobil itu mengantarkan beberapa bunga hias yang dipesan sang nyonya rumah kemarin. Banyak sekali bunga yang diantarkan, dan ada sepuluh pot bunga besar yang ditanami hibiscus, salah satu bunga kesukaan sang ibu. Wulandari pun bergegas keluar, ia menemui pengirim bunga itu lalu menandatangai surat terima. "Shena, mama serahin bunga yang belum dirangkai sama kamu ya." tunjuk sang ibu, Shena mengerjap pelan. Gadis itu menunjuk dirinya sendiri dengan bingung. Tapi saat ia hendak protes, sang ibu segera memberi kode untuk diam dan menurut saja. "Sisanya, pindahin ke halaman belakang Di!" perintahnya. Aldi menggeleng, "Kalo cuma sendirian ga sanggup mah." "Yaa sama Arsen Aldo, ajak mereka bawa semua bunga ini ke halaman belakang." Keempat anak Darsono itu melongo keheranan, sebenarnya arisan semacam apa yang akan dilaksanakan di rumah mereka malam nanti. Hingga sang ibu sangat repot mempersiapkan segalanya. Jika dilihat kembali, taman belakang sudah seperti hiasan untuk lamaran atau pertunangan. Lampu hias berwarna warm, semua ornamen diberi sarung berwarna putih, dan dekorasi bunga berwarna-warni. Arsen menggaruk pelipisnya sambil menatap satu persatu pot bunga hibiskus di hadapannya. Pot besar ini, apakah ia dan Aldi sanggup mengangkatnya. "Mah, ini kok heboh banget sih?" tanya Arsen. "Arisan emang harus segininya ya mah?" tambah Shena. "Yaa, namanya juga arisan ibu-ibu." jawab sang ibu sekenanya, wanita itu kembali melangkah menuju taman belakang yang sudah hampir delapan puluh persen siap. Wulandari tampak puas dengan hasil yang ada di depan matanya, hanya perlu sedikit sentuhan pemanis dan tempat itu akan siap. Acara yang katanya 'Arisan ibu-ibu' itu, akan dimulai pukul tujuh malam nanti. Berdasarkan penuturan sang mama, ibu-ibu yang datang bukan sembarangan orang. Mereka semua tergabung ke dalam komunitas pengusaha wanita se-Indonesia, akan ada banyak orang-orang berpengaruh dalam dunia bisnis sore nanti. Seorang wanita paruh baya yang masih tampak sangat cantik itu berdiri dengan anggun di depan pintu besar rumahnya. Tubuh rampingnya dibalut dress panjang berwarna putih dan rambutnay digelung dengan indah. Sekali lagi wanita itu melihat layar ponselnya, jam tujuh kurang sepuluh menit. Wanita itu sudah tidak sabar menunggu kehadiran teman-temannya. Wulandari Darsono tersenyum semringah saat rombongan mobil mewah memasuki pelataran rumahnya, para tamu sudah datang. Ibu-ibu bergaun senada dengannya, satu persatu turun dari mobil mewah yang mengantarnya. "Wahhh, rumah kita udah kaya showrooms mobil mewah." Aldi berdecak kagum, pemuda itu geleng-geleng kepala menyaksikan apa yang terparkir rapi di pelataran rumahnya. Tanganya bergerak untuk merekam pemandangan yang ia lihat, lumayan bisa dijadikan stories di ** pribadinya. Aldo yang tertarik pun melangkah menuju balkon untuk ikut melihat. "Bukan kaleng-kaleng itu mobil mahal semua!" kagumnya. "Gela gela gelaaa!! Itu SUV keluaran paling baru, Do!" tunjuk Aldi antusias, ia sampai menepuk-nepuk punggung Aldo dengan keras, itu salah satu refleks Aldi jika sedang antusias. "Iya iya, biasa aja dong, untung badan gue besar. Sakit tau!" keluhnya. "Ya maap." "Ehh!! Mampus!! Itu Aventador yang gue pengenin, Di!!", kini giliran si bungsu yang antusias. Ia pun melakukan hal yang sama pada sang kakak, menepuk-nepuk punggungnya dengan keras. Tubuh kerempeng Aldi sampai terpental-pental tidak karuhan, syukur jika tulangnya tidak ada yang meleset. Aldo bertepuk tangan, tatapannya terkunci pada Lamborghini Aventador berwarna hijau yang sangat mempesona. Salah satu cita-citanya dalah membeli mobil mewah itu suatu saat nanti. "Viks! Ini mah, bukan arisan biasa!" "Jangan-jangan mama arisan berlian lagi, kayak gengnya Nia Ramadhani." tebak Aldo. "Arisan saham mungkin? Berlian buat apaan. Itu tante-tante udah kayak toko berlian dari atas sampe bawah." "Wahh, oke juga nih kalo jadi peliharaan tante-tante." guman Aldo yang masih bisa didengar sang kakak. Ia menggosok dagunya dengan telunjuk, di otak minimalisnya ada banyak bayangan menyenangkan seperti yang sering Roy ceritakan kepadanya. Kata Roy, jadi peliharaan tante-tante itu enak dan menyenangkan. Semua yang ia mau pasti diberikan dengan cuma-cuma. Sebuah jitakan keras di kepalanya menyadarkan si bungsu dari lamunan, ia mengaduh karenanya. "Jangan mikir yang iya-iya!" ketus Aldi. "Lah, kayak tahu aja." "Tau lah." "Apa?!" "Rahasia." Melihat kedua adiknya begitu heboh mengamati mobil-mobil mewah dari atas balkon, Arsen hanya melirik sekilas. Pemuda itu lebih memilih merebahkan tubuhnya yang lelah di kasur empuk nan wangi milik sang adik perempuan. Kasur ini sangat nyaman dibanding kasur miliknya sendiri, memang rumput tetangga selalu lebih hijau. Mereka berempat sedang berkumpul di kamar Shena malam ini, karena kamar putri tunggal Darsono itu berhadapan langsung dengan parkiran. Mereka sudah sepakat untuk tidak menampakkan diri di pesta berkedok arisan sang ibu. Percayalah keempat saudara itu sudah membawa semua yang mereka perlukan, seperti memboyong tv dan ps dari ruang tengah, mengangkut habis semua makanan ringan dan beberapa soda dari kulkas, dan yang terakhir mengatur jaringan wifi rumah agar terpusat pada mereka. "Ngapain mereka?" tanya Shena pada Arsen yang sedang memainkan ponsel. Gadis itu duduk di tepi ranjang sambil mengamati kedua adiknya yang sibuk merekam pemandangan dari balkon. Arsen hanya mengendikkan bahu, pemuda itu beralih membaringkan kepalanya di pangkuan sang adik. "Biasa, ga pernah lihat mobil bagus." Shena menjauhkan ponsel sang kakak dari wajahnya, "Tiga puluh senti!" ujarnya. "Bukannya minus matamu naik lagi ya." "Iya, yang kiri jadi satu koma lima." jawab Arsen. Karena tidak ada yang menarik dengan ponselnya, pemuda itu melempar asal ponsel boba itu ke samping. Ia membimbing tangan Shena untuk memijat pelipisnya, kepalanya sering terasa pening akhir-akhir ini. Sang adik pun menurut, Arsen dan sakit kepala adalah teman lama, si sulung memang seringkali mengeluh pening atau pun sakit kepala. Keheningan keduanya terinterupsi oleh sebuah pesan yang masuk di ponsel sang kakak, walau sekilas, Shena bisa melihat pengirim pesan itu adalah Kania. Gadis itu sepertinya menjawab pesan yang tadi dikirmkan oleh Arsen. Ia mengatakan bahwa dirinya sudah makan, dan pamit untuk kembali bekerja. Shena tersenyum miris melihat satu pesan lagi masuk, isi pesan itu menanyakan apakah sang kakak sudah mengisi perutnya atau belum. Tapi dari pengirim yang berbeda, tidak ada nama yang tertera disana, tapi Shena sudah hafal siapa pemilik nomor itu. "Abang?" panggil Shena, Arsen hanya berdehem tanpa berniat untuk membuka mata. Ia menikmati pijatan halus yang mulai meredakan pening di kapalanya. Ada banyak hal yang ingin sekali Shena tanyakan kepada sang kakak, tapi gadis itu bingung harus memulai dari mana. Ia pun takut jika hal itu akan menyinggung Arsen, karena sang kakak terlihat sangat menyembunyikan hal itu. "Tentang Kania?" Shena bisa merasakan perubahan ekspresi wajah Arsen sekalipun mata tajamnya masih tertutup, "Kenapa?" "Sejak kapan?" "Apa itu penting?" Shena menggeleng, sekalipun Arsen tidak melihatnya. "Ga penting sih, cuma penasaran aja." "Omong-omong, bukannya Gladys mau kembali ke Indonesia ya?" tambah Shena. Sang kakak membuka matanya, ia menatap lurus ke arah Shena. "Lalu?" Shena hanya mengendikkan bahu, ia menggeser duduknya saat sang kakak berangsur bangkit. Laki-laki itu masih menatapnya lurus dan datar, tatapan yang tak sanggup ia balas. Shena memang gadis pemberani dan keras kepala, tapi ia cukup segan dengan sang kakak. Arsen masuk ke dalam laki-laki yang ia hormati dalam hidupnya, setelah ayah dan kakeknya. Jika Arsen sudah marah, Shena akan menuruti pemuda itu tanpa membantah lagi, apapun itu. "Apa yang akan terjadi nanti? Gladys pulang, dan Kania?" tanya Shena hati-hati. "Ga akan ada yang berubah sekalipun Gladys pulang." tegas Arsen. Topik seputar Kania belum sepenuhnya siap ia bahas dengan orang lain, termasuk Shena, adiknya sendiri. Menutup rapat tentang hubungannya dengan Kania pada awal pacaran, bukan tanpa alasan. Arsen juga sedang mencari cara untuk berdamai dengan dunianya, ia ingin membawa Kania masuk tapi sudah ada seseorang yang mengambil tempat itu dengan sengaja. Masih banyak yang harus ia hadapi, salah satunya adalah kembalinya Gladys dan posisi Kania dalam hidupnya. Shena boleh jadi bisa ia jadikan tempat untuk bertukar pikiran, tapi setelah rencana pertunangan sang adik dengan Erlangga. Menurut Arsen, posisi Shena dan Gladys itu sama, yaitu sama-sama menghancurkan kebahagiaan wanita lain hanya untuk mendapatkan kebahagiaan dirinya sendiri. "Kania itu siapa dan apa?" tanya Shena lagi. "Kania pacarku." "Tapi, Gladys tunanganmu. Apa abang ga mikirin perasaan Gladys?" "Buat apa?" "Buat apa?!" ulang Shena tidak percaya. Arsen terdiam sejenak, ia melirik sebuah cincin perak yang terpasang di jari manisnya. Pemuda itu mengepalkan telapak tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Jika mengingat fakta itu rasanya selalu menyesakkan dan menyedihkan di waktu yang bersamaan. Gladys Permatasari, adalah putri tunggal pengusaha kaya raya kolega bisnis sang ayah. Mereka resmi bertunangan setahun yang lalu, sebelum Gladys pergi ke Perancis untuk menjalani terapi. "Apa bedanya kamu sama Gladys, Na?" Shena mengerjap, ia menghela napasnya pelan. "Maksud abang?" "Kalian sama-sama menghancurkan hubungan orang lain, kan?" ujar Arsen tajam, "Bang Erlang juga sama di posisi aku, udah punya pacar dan kamu datang buat menghancurkannya." "Jadi, abang mau nyalahin aku?" "Kamu ga ngerasa salah?" Arsen mengerutkan keningnya, apa yang aada di pikiran Shena hingga adik kecilnya itu ikut berpikiran seperti Gladys. "Ini akibatnya kamu terlalu sering temenan sama Gladys, Na. Otak kalian jadi sama aja!" tudingnya. "Kamu bayangin gimana perasaan pacarnya Bang Erlang, saat tahu kalau pacarnya mau tunangan sama cewek lain bulan depan. Hancur ga?" Gadis itu hanya bisa terdiam, ia meresapi ucapan sang kakak. Tapi sifat keras kepalanya membenarkan apa yang ia lakukan, lagipula Erlangga hanya memiliki seorang pacar, bukan istri. Jadi Shena tidak merasa menghancurkan hubungan siapapun. "Fine! Kalau abang emang berpikir seperti itu, aku pun akan jadi seperti Gladys untuk mendapatkan apa yang aku mau." "Aku mau Kak Angga jadi milikku dan itu mutlak, ga akan ada yang berubah sekalipun dia punya pacar." tegas Shena.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD