Cinderella

1825 Words
Lonceng di atas pintu cafe itu berdenting, menandakan ada seseorang yang masuk. Kania segera menuntaskan pekerjaannya untuk menata kopi di lemari khusus untuk penyimpanan bahan baku. Gadis itu mengelap tangannya pada celemek yang tengah ia kenakan, "Selamat datang, mau pesan apa kak?" Kania tercekat saat netranya bertemu dengan mata hitam setajam elang yang selalu membuat hatinya berdebar, "A..Arsen?" ucapnya terbata. Pemuda berkaos abu-abu itu pun tersenyum tipis, lucu karena setiap kali ia bertemu dengan Kania, gadis itu akan selalu bersemu dan salah tingkah. Padahal ia tidak melakukan apa-apa, hanya sebatas menatapnya. Kata Dewa, itu gestur biasa bagi perempuan saat bertemu dengan orang yang ia sukai. Sejujurnya, Arsen pun banyak belajar dari Dewa sang pujangga cinta, alih-alih bertanya pada Aldi. Pengalaman pemuda itu jauh lebih meyakinkan daripada sang adik, Dewa, jagonya gonta-ganti pacar di antara mereka berempat. "Ice Americano, satu." "I..iya." Kania mengangguk kaku, untuk sejenak tadi ia lupa jika masih berada di tempat kerjanya. Gadis itu melirik jam yang menempel di dinding, pukul delapan lewat lima puluh, dan itu artinya jam kerjanya di cafe milik Brian habis sepuluh menit lagi. Kania dengan telaten membuatkan satu gelas kopi yang diminta oleh Arsen, sambil sesekali melayani pelanggan lain yang hilir mudik memenuhi cafenya. Cafe itu adalah tempat dimana Kania menyambung hidup selama setahun belakangan, bekerja di cafe milik Brian setiap hari setelah pulang sekolah, gadis itu nyaris tidak ada waktu untuk sekedar main dan nongkrong seperti teman sebayanya. Nanti, saat waktu menunjuk pukul sembilan malam, Kania harus cepat-cepat sampai di rumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan tugas sekolahnya. Neneknya sudah tua dan sakit-sakitan, sehingga ia tidak sampai hati jika harus melihat sang nenek melakukan pekerjaan rumah. Satu gelas kopi tiba di mejanya, Arsen mendongak dan menatap gadis cantik yang mengantarkannya dengan senyuman hangat. Arsen bukan penikmat kopi seperti Dio, tapi bukan berarti ia tidak punya selera untuk kopinya. Americano punya rasa pahit yang candu bagi Arsen, pemuda itu tidak terlalu menyukai minuman manis, jadi kopi ini adalah pilihan terbaiknya. "Terima kasih." ucapnya. Kania mengangguk, "Sama-sama." "Nanti pulang jam berapa?" "Jam sembilan." "Oke, aku tungguin." ujar Arsen, pemuda itu duduk santai di kursi dekat jendela sambil memainkan ponselnya. Memang tidak ada ucapan yang manis dari pemuda kaku itu, tapi Kania lebih menyukainya. Gadis itu pun pamit untuk kembali menjalankan pekerjaannya. Ia harus menunggu beberapa orang lagi yang akan menggantikan shiftnya malam ini, barulah setelah itu ia bisa pulang. Sepuluh menit bukanlah waktu yang lama, Arsen hanya perlu membuka ponselnya dan memainkan game online bersama teman-temannya, maka menunggu bukan hal yang membosankan. Segelas kopi yang menjadi temannya malam ini pun telah tandas, kopi dingin di sambut hujan ringan yang mengguyur kota malam ini. Arsen menyimpan kembali ponselnya saat seseorang yang ia tunggu datang, Kania menghampirinya dengan wajah lelah tak berseri, tapi gadis itu tetap mencoba untuk tersenyum. "Udah?" tanya Arsen. Kania mengangguk. Lalu, pemuda itu memberikan tangannya kepada sang kekasih, tapi bukannya disambut Kania justru menatapnya aneh. "Apa?" tanya gadis lugu itu. Tak mau repot menjelaskan, Arsen segera meraih telapak tangan Kania dan menggenggamnya. Ia membimbing Kania untuk keluar dari cafe. Semakin malam, tamu yang datang pun semakin banyak dan isinya adalah anak-anak muda yang sibuk nongkrong. Hujan pun mereda, seolah tahu jika sepasang kekasih itu tidak lagi membutuhkannya untuk memerangkap waktu. Kania harus segera pulang, dan Arsen tahu itu, pemuda itu pun tidak meminta waktu gadis itu sama sekali. Hanya berniat untuk mengantarnya pulang. Arsen memencet tombol kunci pada mobilnya, mobil SUV berwarna hitam yang baru dipoles itu pun merespon dengan baik. Tampilan mobil mewah itu menjadi semakin mempesona berkat tetesan hujan yang membasahinya, memantulkan gemerlap lampu yang membuatnya kian bersinar. Kania tahu mobil itu, minggu lalu Arsen baru saja meresmikannya dengan membawanya ke sekolah untuk pertama kali. Mobil itu adalah hadiah ulang tahun yang diberikan sang ayah untuk si sulung. Padahal hari ulang tahunnya masih bulan depan, tapi mobil itu sudah diberikan saat ini. Saat itu teman-teman Arsen menjadi sangat heboh, beritanya pun menyebar luas di akun gossip sekolah. Kania pun masih mengingat postingan Shena yang berfoto dengan mobil itu. "Ayo naik!" Arsen membuyarkan lamunan Kania, pemuda itu sudah membukakan pintu mobil dan menunggu kekasihnya untuk masuk. "Heh?" "Masuk!" Arsen memberi kode dengan dagunya, "Aku anter kamu pulang." "Tapi, rumahku di dekat sini. Mobilmu ga akan bisa masuk di gang kecil rumahku, Sen." ujar Kania dan memang benar adanya, rumah gadis itu berada di pemukiman yang padat penduduk. Mobil hanya bisa sampai di gang depan dan sisanya berjalan kaki, tapi itu pun jalan yang memutar. Jika ingin mempersingkat waktu, Kania hanya perlu pulang lewat gang kecil di persimpangan depan. Arsen terdiam sejenak, ini pertama kalinya bagi pemuda itu mengantar sang kekasih pulang ke rumahnya. Biasanya Kania hanya meminta untuk turun di cafe Brian karena harus bekerja, dan malam ini Arsen lupa jika seharusnya ia meminjam Don Juan atau Afrodit saja. Kedua motor kesayangan adiknya itu pasti jauh lebih berguna. "Gitu yaa." Arsen pun menutup kembali mobilnya. "Gapapa, kamu pulang aja. Aku bisa pulang sendiri kok, udah biasa juga." "Lah, kok gitu?" Kania mengeryit, "Gitu gimana?" "Aku niatnya kesini mau anterin kamu pulang." jujur Arsen. "Gimana lagi dong, maaf ya, rumahku di pemukiman padat dan mobil ga sampe depan rumah." ujar Kania penuh rasa bersalah, ia menghargai niat baik Arsen untuk mengantarkan pulang. Arsen pun mengunci kembali mobilnya, menciptakan bunyi yang khas disertai kedip lampu di mobil itu. "Yaudah, jalan kaki aja." ujar pemuda itu. "Kamu yakin?" "Yakin." Kania hanya bisa mengangguk saat tangannya kembali digenggam dan tenggelam ke dalam hangat tangan Arsen. Pemuda itu menatap lurus ke depan, pada jalanan yang biasanya ramai tapi sudah sepi karena tutup. Dari sudut sedekat ini, Kania begitu mengagumi ciptaan Tuhan yang ada di sampingnya itu. Rasanya seperti mimpi bisa menjadi kekasih hati seorang pangeran dari negeri dongeng seperti Arsen, karena hampir mustahil memikirkan bagaimana pemuda sesempurna itu bisa menjatuhkan hati pada gadis biasa sepertinya. Kania bukan si pintar Bell atau si suara merdu Ariel, ia juga bukan ksatria seperti Mulan apalagi putri raja seperti Aurora. Dia bagai Cinderella tanpa sepatu kaca. Lama mengagumi Arsen, Kania tidak sadar jika pemberhentian mereka ternyata bukan rumah, melainkan sebuah warung nasi padang yang terkenal. Kania mengerjap, "Kok kesini?" "Kamu belum makan, kan?" Gadis itu menggeleng dengan polos, ia juga baru ingat jika belum mengisi perutnya sejak pulang sekolah. Mungkin hanya segelas air dan sepotong roti yang Brian berikan kepadanya tadi. Tapi satu hal yang membuatnya ragu untuk memasuki warung itu adalah ia tak punya uang sepeser pun, gajinya baru ia dapat awla bulan depan, dan semua tabungannya sudah habis untuk membeli buku sekolah dan obat untuk sang nenek. "Ayo!" ajak Arsen. "Ga deh, Sen. Aku makan di rumah aja sama nenek." tolak Kania dengan halus, gadis itu menunjuk jam di dinding warung itu, sudah pukul sembilan lewat sepuluh menit. "Udah malem juga, nenek pasti nungguin aku." bohong Kania. "Oke, kalo gitu aku pesenin buat dibungkus aja ya." Arsen segera pergi untuk memesan, meninggalkan Kania yang belum sempat untuk kembali protes. Gadis itu pun memilih untuk mengalah dan menunggu sang kekasih, membantah Arsen rasanya tidak mungkin apalagi hanya karena makanan. Si sulung itu paling tidak suka dibantah, apapun yang ia mau harus selalu terlaksana dengan baik. Arsen datang sambil membawa dua kantung plastik berwarna putih dengan logo rumah makan padang itu, bukan kantung kecil karena Arsen memborong semua hidangan yang tersisa disana. Pemuda itu memberikan salah satunya kepada Kania, "Sen, ini apa banyak banget?" tanya gadis itu kebingungan. "Makanan." "Kenapa sebanyak ini?" Kania menatap gamang kantung plastik yang Arsen berikan, ia hanya tinggal bersama sang nenek di rumah. Tapi Arsen membelikan banyak seklai makanan yang entah bisa habis atau tidak. Pemuda itu hanya tersenyum simpul, "Gapapa, sekalian buat besok." Kania hanya menggelengkan kepalanya, ingin protes pun juga percuma. Semua lauk yang Arsen belikan ini mungkin cukup uuntuk dimakan lebih dari seminggu. Warung nasi padang itu pun segera tutup karena semua lauknya sudah diborong oleh si sulung. Kania berlari kecil menyusul Arsen yang sudah lebih dulu melangkah. Pemandangan dua sejoli itu pun tak lepas dari kacamata seorang wanita berpenampilan modis di dalam mobil berwarna putih yang minimalis, telunjukkan mengetuk stir mobil berulang kali. Ia sudah mengenakan kacamata jadi tidak mungkin salah mengenali orang, wanita itu melepas dan menyimpan kembali kacamatanya. "Mama, tolongin!" pintu mobil diketuk oleh seorang gadis dengan kalung kupu-kupu yang indah, gadis itu membawa dua gelas brown sugar dan kantung plastik berisi crepe cake red velvet. Ia baru saja selesai membeli hidangan manis di cafe milik Brian, sepupunya. Wanita di dalam mobil itu langsung membukakan pintu untuk sang putri sambil menerima segelas boba itu. "Na, cake pesenan mama ga lupa, kan?" "Red velvet, kan?" tanya Shena guna memastikan pesanan sang ibu, ia meletakkan cake itu di dashboard mobil. "Na, mama tadi kayak lihat Arsen deh." ujar Wulandari, ia menatap anak gadisnya yang tengah menikmati minumannya. Shena bilang ia membutuhkan asupan gula untuk malam ini, jadi lah mereka mampir ke cafe milik Brian yang kebetulan searah dengan tujuan mereka. Shena mengerutkan keningnya, "Mana?" tanyanya. "It---- eh." Wulandari tak lagi melihat sepasang remaja itu di jalanan depannya, mungkin mereka sudah menghilang di persimpangan. Tapi, ia yakin sekali jika ia baru saja melihat Arsen dengan seorang wanita. "Tadi ada di depan warung nasi padang itu, Na." "Mama salah lihat kali." "Ga mungkin salah ih, anak sendiri juga. Mama yakin banget tadi lihat abangmu sama cewek." Shena mematung, ia melirik ke kanan dan ke kiri sambil asik menyesap minumannya. Arsen memang disini, terbukti dari mobil baru pemuda itu yang terparkir agak jauh dari cafe Brian. Mungkin sang ibu tak menyadari mobil itu, tapi justru melihat orangnya langsung. "Biarin aja lah, mah. Mungkin sama temennya." "Temen apa?!" Sang mama mengeryit keheranan, sejauh yang ia tahu teman Arsen hanya Dio, Dewa dan Affan. Arsen tidak pernah memiliki teman perempuan yang sampai membuatnya rela keluar malam hanya demi menemuinya. Wulandari hafal betul perangai si sulung yang tidak mau repot jika tidak penting atau tidak bermanfaat untuk dirinya. "Ga mungkin Sonia jalan kaki." "Bukan Sonia mama, yang lain, kan temen abang yang cewek bukan Sonia aja." jawab Shena. "Udahlah biarin aja, mending mama makan kuenya deh, enak banget loh." Shena mencoba mengalihkan perhatian sang ibu dari Arsen, tapi sepertinya tidak berhasil, sang ibu jika sudah fokus pada satu hal tidak akan mudah goyah. "Apa dia pacar Arsen?" tebak Wulandari. Shena sampai terbatuk karena tidak siap mendengarnya, gadis itu meraih beberapa lembar tissu guna mengelap mulutnya. "Jorok ih, Na!" "Yaa habisnya mama ada-ada aja deh." rajuk Shena. "Aku kan jadi kaget mah, mana mungkin sih abang punya pacar, Gladys gimana?" "Siapa tahu, Na." Wulandari mengendikkan bahunya, ia hanya asal menebak saja. Sangat disayangkan karena ia tidak bisa melihat dengan jelas wajah si gadis tadi, yang ia tahu hanya tas ransel polos berwarna biru yang dikenakan gadis itu. Wulandari dibuat penasaran dan ingin mencari tahu, tapi ia mengurungkan niatnya demi menghargai privasy anak-anaknya. Rasa sayang seorang ibu itu sangat mendalam hingga terkadang berubah menjadi belenggu dan menjerat leher anak-anaknya sendiri, tapi semua itu dilakukan hanya untuk melindungi buah hatinya dari dunia yang kejam ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD