Taruhan

1812 Words
Suara bising kendaraan bermotor semakin riuh menyambut kehadiran seseorang dengan motor ninja merahnya, pemuda dengan jaket kulit berwarna coklat itu membonceng seorang wanita muda yang tampak menor. Saat ban depan motor itu berdecit hingga menciptakan bekas di aspal yang masih baru itu, semua orang langsung berkumpul di sekitarnya. Kecuali beberapa pemuda yang memilih menepikan diri mereka di sisi kiri jalanan. Ada yang acuh, ada yang sibuk memperbaiki motornya, ada pula yang bersedekap dengan wajah masam. Malik contohnya, pemuda berambut ikal itu paling kesal melihat tingkah Candra yang dinilainya terlalu berlebihan. Minggu lalu, Candra juga menantang beberapa pembalap andalan di perkumpulan itu untuk beradu cepat sampai di garis finish. Dan, Aldi keluar sebagai pemenang, Jovan di peringkat kedua. "Gileee, songong batt dah!" kesal Malik, ia bersedekap menatap kesal ke arah kerumunan. "Padahal minggu lalu udah kalah, masih aja nekat." tambah Jovan yang sedang mengelap motor kesayangannya. Dimas pun mengangguk, "Emang perlu dikasih paham tuh anak." "Btw, motor lo mana, Di?" tanya pemuda itu lagi. Aldi yang sibuk menatap layar ponselnya pun mendongak, ia menggeleng dan beranjak dari atas motor Ega. "Ga tau." jawab pemuda itu pasrah. "Lah?" "Rando ga bisa dihubungin, kayaknya gue ga ikutan deh." "Masih di jalan kali, tunggu dulu lah." balas Malik, ia pun turut memeriksa ponselnya barangkali Rando memberinya kabar. Rando sudah mengonfirmasi bahwa motornya akan ikut balapan malam ini, tentunya joki andalan adalah Aldi. Rando mana mau ikutan balap motor, di bonceng kebut-kebutan Malik saja pemuda itu takutnya setengah mati. Bruummm......Bruummm...... Aldi dan yang lainnya menoleh, Candra datang dengan motor ninja berwarna merah yang sudah dimodifiikasi dengan banyak stiker. Jauh lebih banyak dari terakhir motor itu dibawa berlaga. Candra turun dari motornya setelah gadis muda yang berada di jok belakang turun, gadis itu merangkul lengan Candra dengan manja. "Hai, guys!" sapanya. "Gimana? Udah siap?" Jovan memutra bola matanya malas, ia menghidupkan motornya sambil melihat ke arah Candra. "Kalo masalah siap sih, siap-siap aja. Lo siap kalah lagi ga?" Candra pun tersenyum miring, "Yaa, lihat aja nanti siapa yang menang." "Okey, let's see!" "Gue kayaknya ga ikutan deh." celetuk Aldi tiba-tiba, pemuda itu terlihat gusar sambil terus menatap layar ponselnya menunggu kabar dari Rando. Candra mendengus, ia menatap teman-temannya lalu tertawa mengejek Aldi. "Bilang aja takut." "Bukan takut, ga ada motor." jawabnya santai, ia menekan tombol panggilan untuk Rando tapi tidak ada jawaban. Hari ini adalah jumat malam yang tenang, biasanya di masjid depan rumah Rando diadakan pengajian yang dihadiri oleh banyak orang. Jamaah yang datang pun tak main-main, mungkin Rando dan motor birunya tidak dapat hadir malam ini. "Sama aja." "Cupu lo!" ejek Candra. "Enak aja." Malik tidak terima, pemuda itu menendang ban depan motor Candra pelan, "Tong ngadi-ngadi siah teh." "Huuuu.... Cupu!" ejek Candra lagi. "Gue ga cupu! Ga motor mau gimana lagi, maksain pake Don Juan nih?" ketus Aldi. "Udah ah, gue ga ikutan." "Berempat aja ga asik dong, Di." keluh Dimas, sekalipun sering kalah dari saat balapan, tapi Dimas selalu berusaha untuk menikmati setiap balapan yang ia ikuti sebagai sebuah kenangan masa muda. Dimas berpikir jika nanti mereka sudah dewasa dan membina rumah tangga, maka balapan seperti ini mustahil mereka lakukan lagi. Aldi pun tidak bisa melakukan apa-apa selain menggaruk lehernya yang tidak gatal, apalah daya karena ia tidak punya motor yang sama seperti milik teman-temannya. Jika hari ini ia mengendarai Don Juan, tidak adil rasanya karena spesifikasi motor itu berbeda. Don juan bukan untuk balapan di aspal yang halus, dia sudah disetel sedemikian rupa untuk tampil garang di track tanah, lumpur, dan berbatu. Malik pun memutar otaknya, ia melihat sekeliling dan tidak mendapati motor yang cocok menjadi pasangan Aldi malam hari ini. Motor kawasaki ninja berwarna biru itu pun akhirnya menampakkan diri, bersama pemiliknya, motor itu melaju membelah kerumunan masa dengan percaya diri. Aldi pun bisa bernapas lega saat ini, ia tidak dicap cupu lagi oleh Candra dan kawan-kawannya. Aldi melakukan pemanasan singkat sambil menunggu motor itu tiba di hadapannya. Brummmmm......... Suara khasnya masih sama, tapi yang membuat orang-orang terdiam adalah warna dari motor itu saat ini. "Sorry guys! Gue telat, ada pengajian di depan rumah sampe penuh." ujar Rando. Pemuda itu segera turun dari motornya dan menyerahkan kunci pada Aldi yang menatapnya cengo. Rando pun menoleh ke kanan dan ke kiri guna memastikan tidak ada yang salah dengan dirinya, "Kenapa, Di?" "Ndo? Ini motor siapa?" tanya Aldi. "Motor siapa gimana? Ya motorku lah." "Kok warnanya gini, kek jamet Ndo!" bisik Aldi, ia ngeri sendiri melihat tampilan pasangannya malam ini. Biasanya motor itu tampil menawan dengan warna midnight blue yang semakin estetik saat disorot cahaya lampu. Tapi malam ini tampak sangat berbeda, Rando sepertinya salah membawa motor atau mungkin salah memilih warna. Rando pun melihat kembali motornya dan ia merasa tidak ada yang salah, Rando sangat menyukai warna kuning dan hijau, jadi ia coba mengaplikasikannya pada motor kesayangannya. "Gapapa, yang penting kan performa." "Tapi mirip jamet, Ndo!" ujar Malik. "Anggep aja ini warna bendera Brasil, bukan warna jamet." Rando mencoba meyakinkan kedua temannya kembali, selain warna tidak ada lagi yang berubah dari motor itu. Masih sangat baik jika digunakan untuk balapan di aspal yang halus seperti saat ini. Rando pun heran bagaimana Candra bisa menemukan arena baru yang cukup jauh dari pemukiman, bahkan untuk kesini tadi harus melewatri pemakaman dan jalanan sepi. Jika Rando tidak punya cukup nyali, pasti ia sudah putar balik tadi. Mau tak mau, Aldi pun menerima kunci motor dari Rando. Daripada ia tidak punya pasangan dan dicap cupu, sebaiknya ia menurunkan ego untuk malam ini saja. "Udah siap belum nih?" tanya Candra, anak pengusaha kelapa sawit itu duduk dengan angkuh di atas motornya. Teman-temannya sibuk memijat bahu dan tangannya, Candra butuh kondisi tubuh yang baik agar bisa menang kali ini. Aldi pun mengangguk, Jovan, Dimas dan Ega mengikuti. "Pasang taruhan?" tawar Candra. "Berapa jeti kali ini?" canda Jovan. "Harusnya lebih dari dua puluh sih." tambah Dimas. "Kalo kurang mending pulang aja deh." Ega menambahkan. Candra pun memutar bola matanya malas, kali ini ia tidak akan mengeluarkan rupiah lagi. Ia ingin sesuatu yang lebih berharga daripada itu, contohnya seperti keinginan. "Ga ada jeti jeti malam ini." "Lahh." "Huuuuuuu, pulang pulang!" "Ga jadi tanding ah!" Jika tidak ada taruhan uang tunai lalu untuk apa mereka balapan malam ini, ini bukan pertandingan persahabatan. Tidak ada sparing di dalam kamus balapan liar. Menang ya menang, kalah ya kalah. Candra pun hanya diam sambil menunggu riuh penonton mereda, ia belum mengatakan taruhannya malam ini. "Taruhan gak nih?" "Buruan!" ketus Aldi. "Okey." Candra menghela napas sejenak. "Yang kalah harus nurutin semua maunya yang menang." "Dihh, apaan nih!" sentak Ega tidak terima. "Ogah, kayak bocil aja deh. Yang lebih futuristik lah, uang misalnya." Candra pun menjentikkan jarinya, "Salah satunya itu, yang menang boleh minta apa aja dari yang kalah. Kalo emang lo semata-duitan itu, lo harusnya senang sama taruhan kali, kan?" "Maksud lo apa semata-duitan?" Ega melangkah mendekati Candra dengan garang, beruntung ada Jovan dan Aldi yang menahan pemuda itu untuk tidak adu jotos disini. Ega paling sulit mengontrol emosi, sama seperti Aldo yang grusak-grusuk. Aldi, Jovan dan Dimas pun saling tatap, mereka terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Akan sangat menyenangkan jika berada di pihak pemenang, tapi bagaimana jika mereka berada di pihak yang kalah. Balapan adalah sebuah ketidakpastian, hari ini menang pun boleh jadi besok kalah. "CUPU!" maki Candra. Ketiga pemuda itu pun meliriknya tajam, "Oke! Kita siap." jawab Jovan. "Apapun permintaan yang menang ya?" Balapan pun dimulai, kelima pembalap bersiap di podium masing-masing. Lengkap dengan tim yang bertugas mempersiapkan segalanya, Aldi dibantu oleh Malik dan Rando. Tidak ada wanita cantik di sampingnya, Aldi sedang mode jomblo kali ini. Malik menyerahkan sebotol air mineral untuk Aldi. "Udah woy, kebelet ntar lo!" ujar Malik saat Aldi terus menenggak air mineral yang ia berikan. "Mau permen ga?" tawar Rando, ia merasa saku celananya dan menemukan tiga buah permen yang masih utuh dengan bungkusnya. Ia menawarkan permen itu pada Aldi dan Malik yang tampak tegang dan antusias. Malik menggeleng keras, ia pun melarang Aldi untuk mengambil permen. "Nanti aja, Di. Keselek tahu rasa lo!" Motor Candra yang paling heboh, knalpotnya sampai mengeluarkan asap yang mengepul ke udara, belum lagi suara bising yang diciptakan motor itu sangat mengganggu telinga. Bersyukur karena area mereka jauh dari pemukiman atau pun keramaian, jadi tidak terlalu mengganggu masyarakat yang lewat. Seorang wanita berpakaian minim pun maju ke depan, membawa sebuah sapu tangan berwarna merah. Wanita itu yang tadi dibonceng Candra, ia cantik tapi caranya berdandan terlalu berlebihan. Riuh sorakan penonton yang lebih dari lima puluh orang itu pun memenuhi area balapan, tidak jauh, hanya memutar sejauh dua kilo meter dan kembali ke garis finish. "Satu." "Dua." Brummmmm............... Deru motor saling bersahutan mengadu kecepatan di garis finish, sesaat setelah satu tangan itu menyentuh tanah. Kelima motor itu bak pembalap profesional yang melaju dengan yakin, saling menyalip dan mendahului guna sampai di garis finish terlebiih dahulu. Aldi pun demikian, ia menggeber motor kesayangan Rando seperti biasanya. Padahal berulang kali ia memimpin, tapi Candra bisa menyusulnya. Aldi pu terheran melihat performa motor pemuda itu yang sangat garang malam ini, bisa-bisa ia kalah kali ini. Aldi dan Candra tak mau mengalah, di belakangnya disusul Jovan dan terakhir ada Dimas dan Ega. Garis finish tinggal lima ratus meter lagi, para penonton pun mulai memberi jarak dengan menepi ke samping. Gas di tangan sudah mentok, Aldi tidak bisa lagi menambah kecepatan karena ia juga paham benar dengan performa motor Rando. Aldi hanya bisa berharap keberuntungan berpihak kepadanya. Sayangnya tidak, Candra memenangkan balapan kali ini dengan sangat mengejutkan. Sang penantang itu belum pernah menang sebelumnya jadi sangat aneh melihatnya sampai di garis finish terlebih dahulu. Aldi mengerem motornya hingga jejaknya tertinggal di aspal. Ia menoleh pada Candra yang asik melakukan selebrasi untuk kemenangan perdananya setelah sekian lama selalu tertinggal di belakang. Jovan pun menghentikan motornya tepat di samping Aldi, "Gimana bisa?" tanya pemuda itu sambil melepas helmnya. "Dikasih minum apaan tuh motor, biasanya juga loyo." ujar Dimas masih tak percaya dengan kemenangan tiba-tiba seorang Candra Adigunandi. "CANDRA!!! "CANDRA!!!" "CANDRA!!!" Candra tersenyum puas malam ini, di bawah cahaya bulan yang luar biasa terang. Dewi keberuntungan sedang berpihak kepadanya dan ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Pemuda denga jaket coklat itu berjalan angkuh menghampiri Aldi dan kawan-kawan. Ia bertepuk tangan dengan keras, "Selamat ya, selamat, selamat atas kemenangan perdananya Candra!" sanjung Candra pada dirinya sendiri. Aldi pun hanya memutar bola matanya malas. "Gue mau nagih taruhannya, kan gue yang menang. Iya, kan?" "Cepetan!" ketus Ega. "Sabar dong, ma bro." Candra memberikan sebuah kertas berbentuk persegi untuk keempatnya, kertas itu seperti undangan namun tidak jelas maknanya. Berwarna hitam dan dipenuhi dengan simbol-simbol aneh. "Apaan nih?" tanya Dimas. "Datang aja, gue tunggu kalian tepatin janji." ujar Candra sambil menunjuk keterangan hari dan tempat diselenggarakan acara itu. Aldi dan yang lainnya tidak terlalu menanggapi karena cahaya remang yang membuat mereka kesulitan membaca dengan jelas, mereka lalu menyimpan kertas itu di saku jaket masing-masing. "Dateng ya! Jangan Cupu!" ujar Candra sebelum memutar kembali gas motornya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD