bc

Kau Rebut Suamiku Kudapatkan Bosmu

book_age18+
48.6K
FOLLOW
238.5K
READ
love after marriage
dominant
powerful
CEO
boss
drama
bxg
office/work place
affair
Neglected
like
intro-logo
Blurb

Selama satu tahun pernikahannya dengan Genta, tidak ada pertengkaran besar yang mengacu pada perceraian. Esty bahagia dengan pernikahannya walau waktu dan kebebasannya terenggut, sebab menikah dengan Genta sama artinya dengan harus mengurusi ibu mertua yang hanya dapat terbaring di atas ranjang.

Hingga suatu hari satu kalimat perkataan Genta menghancurkan segalanya, tiba-tiba saja Genta meminta izin ingin menikah lagi dengan alasan yang diberikan karena telah menghamili wanita lain, yang mana wanita itu adalah sahabat Esty selama ini.

Dari pada menelan duri, Esty lebih baik memuntahkannya. Esty tidak mau dimadu, jadi ia membuat Genta harus memilih antara dirinya atau Sinta.

Mana yang akan Genta pilih? Mempertahankan istri yang ia cintai dan sudah banyak berjasa untuknya, atau menceraikan sang istri dan menikahi Sinta demi pertanggung jawabannya atas apa yang ia perbuat pada perempuan itu?

chap-preview
Free preview
Bab 1. Tolong izinkan Mas menikah lagi!
"Maaf Esty, Sinta hamil anak Mas." deg Jantung Esty terasa berhenti berdetak sesaat setelah mendengar Genta--suaminya mengatakan telah menghamili Sinta--sahabatnya sendiri. Esty yang semula tengah membalas chat ibunya langsung menghentikan gerakan jari, perlahan mendongak menatap Genta. Posisi ketiganya kini berada di Cafe, Genta sengaja mengajak Esty dan Sinta untuk bertemu. Dia ingin mengatakan apa yang sudah dua bulan ini menjadi beban hatinya. Genta menarik napas dan menghembuskannya perlahan, tampak berat setelah mengatakan sebuah pengakuan yang ia jelas tahu siapapun wanita di dunia ini pasti akan hancur saat mengetahui suaminya sendiri telah menghamili wanita lain. Genta sepenuhnya sadar Esty pasti terluka, tapi ia hanya ingin jujur dengan apa yang menjadi kesalahannya dan berharap Esty akan memaafkan karena ia sudah berterus terang. "Mas tahu pengakuan ini akan membuat kamu terluka, tapi semua sudah terlanjur dan Mas bukan Tuhan yang dapat memutar waktu untuk mencegah kejadian itu tidak terjadi. Mas harap kamu mau mengerti Esty, Mas harus bertanggung jawab atas bayi yang dikandung Sinta. Jadi, izinkan Mas menikahi Sinta." Ucap Genta dengan suara dalam, tampak serba salah apa lagi belum ada tanda-tanda dari Esty menunjukan riak apa-apa pada wajahnya. Sinta yang duduk di antara Esty dan Genta menunduk, memasang raut wajah bersalah. Diusapnya perut rata dia, menunjukkan pada Esty kalau ucapan Genta itu tidak salah dan ia benar-benar hamil anak dari suami sahabatnya itu. "Kapan?" Setelah dari tadi terdiam, akhirnya Esty membuka suara. Melihat wajah kebingungan dua orang di depannya, Esty memperjelas pertanyaan. "Kapan kalian melakukan hubungan terlarang itu?" "I-itu," Genta menelan ludah gugup. Entah kenapa mendapati Esty masih memasang wajah datar, membuat nyalinya sedikit menciut. Ada aura mendominasi yang dikeluarkan Esty, padahal Genta tahu Esty hanyalah orang biasa yang keseharaiannya mengurus rumah dan ibunya yang sakit. "Dua bulan lalu saat kebetulan Mas dan Sinta dinas bareng ke luar kota." "Kenapa kalian berdua sampai melakukan itu?" Esty kembali bertanya, raut wajahnya masih sama tetap datar. "Mas tidak sadar, mungkin begitu pun Sinta. Sepertinya ada yang menjebak kami berdua di dalam satu ruangan dengan sebelumnya sudah lebih dulu memasukan obat atau apalah itu ke dalam minuman kami, hingga tanpa sadar kami berdua melakukannya." Genta menjelaskan sambil berusaha mengingat kejadian di mana ia dan Sinta ada di dalam satu ruangan, hingga ia tanpa bisa mencegah diri untuk tidak menyerang Sinta. Esty mengambil gelas berisi air putih di atas meja, memainkannya sebentar sebelum kemudian menyeruput pelan sambil melirik Sinta dengan pandangan penuh penilaian. Dari gerak-gerik Sinta, Esty menyadari sesuatu. Esty menatap Genta, "Kalau aku tidak mengizinkan Mas untuk menikahi Sinta, apa yang akan Mas lakukan?" "ESTY," tanpa sadar Genta langsung membentak Esty. Begitu kesadarannya pulih, ia langsung mengusap kasar wajahnya. "Maaf bukan maksud Mas membentak kamu barusan, tapi tolong dukung keputusan Mas untuk bertanggung jawab atas apa yang sudah Mas lakukan." "Maksud Mas Genta mendukung kalian yang sudah berkhianat untuk bersatu?" Esty meralat ucapan Genta, membenarkan apa yang menurutnya salah. Ia menyimpan gelas kembali ke tempatnya semula, berdecak tidak habis pikir dengan kebodohan dua orang di depannya. Genta berkata seolah keputusannya untuk bertanggung jawab atas bayi yang dikandung Sinta adalah hal yang harus dijadikan kebanggaan oleh Esty, sebab ia berani berkata jujur dan memutuskan untuk menikahi Sinta. Tanpa sadar, Genta sudah menyakiti Esty terlalu dalam hingga timbul kebencian sama dalamnya di hati sang istri. "Mas tidak pernah mengkhianati kamu, Esty." Bantah Genta tidak terima di cap sebagai pengkhianat. "Dari awal Mas sudah mengatakan dengan jelas, apa yang terjadi pada Mas dan Sinta itu cuma sebuah kecelakaan." "Dan Mas Genta berharap aku harus percaya? Bisa saja kan kalian berdua memang melakukannya dengan kesadaran penuh dan suka saling suka." Esty menimpali santai dan tenang, sama sekali tidak ikut emosi atau terprovokasi atas ucapan Genta. "Jangan mengatakan seolah aku sangat jahat di sini karena tidak mau mengizinkan kalian berdua menikah! Karena sebenarnya korban yang sesungguhnya di sini adalah aku yang kalian berdua khianati." Tidak sakit hati? Bohong sekali kalau Esty mengatakan hatinya baik-baik saja. Esty mencintai Genta tentu saja, mau bagaimanapun Genta adalah suami yang baik sebelum ia mengaku menghamili sahabatnya sendiri. "Esty--," "Diam!" Esty langsung membentak memotong perkataan Sinta, membuat Sinta langsung mengatupkan kembali bibirnya. "Esty, jangan membentak Sinta, dia lagi hamil. Kalau Sinta terkejut bagaimana? Ada bayi Mas dalam perutnya." Melihat Sinta yang terkena marah Esty, Genta langsung membelanya dan balik memarahi Esty. "Mas, tolong jangan terlalu keras pada Esty, mau bagaimanapun aku memang bersalah di sini." Sinta menimpali perkataan Genta dengan raut wajah setengah menangis, jelas tengah menarik simpati Genta agar semakin berpihak padanya. "Sin," Genta memanggil pelan, membuat perempuan berwajah oval itu menoleh. "Semua bukan salah kamu, aku juga bersalah dalam hal ini. Jadi jangan berkata seolah kamu adalah w************n!" Sinta menggelengkan kepala sambil terisak pelan. "Andai aku bisa menahan diri saat itu, pasti kejadiannya gak akan berakhir seperti ini. Maaf Mas Gen." "Bukan kamu yang tidak bisa menahan diri, tapi Mas juga saat itu entah kenapa terus menginginkan kamu. Mungkin kita sama-sama salah, tapi yang paling banyak bersalah tentunya Mas sebagai laki-laki." Genta membantah ucapan Sinta, mau bagaimanapjmun kalau memang saat itu ia tidak terus-menerus menginginkan Sinta kejadiannya tidak akan berakhir begini. Genta tampak frustasi menghadapi dua perempuan di depannya. Yang satu tetap memasang wajah datar seolah apa yang ia ucapkan tidak membekas apa-apa dalam hatinya, sedangkan satu lagi terus menangis karena memang ia sudah merusak masa depannya. Esty menatap datar Genta dan Sinta yang menyajikan drama di depannya. Pagi yang Esty harapkan akan mengawali hari ini dengan indah, nyatanya pupus dan malah berakhir penuh emosi. "Dari sini saja aku sudah lihat Mas tidak akan pernah bisa adil, masih punya muka mau meminta menikahi Sinta? Masalah kehamilan Sinta, kalau memang benar kalian berdua melakukannya karena sebuah kecelakaan bukankah Mas hanya cukup membiayai bayi itu sampai lahir dan mengambilnya, kenapa harus sampai menikah?" "Esty, aku kira kita sudah jadi sahabat--," "Aku juga mengiranya begitu," potong Esty dengan cepat, tapi masih menyimpan jejak ketenangan dalam suaranya. "Ternyata selama ini aku sudah salah menilai, kamu bukan sahabatku. Sahabat tidak mungkin menusuk dari belakang, kamu adalah musuh dalam selimut yang diam-diam ingin menghancurkan dan merebut semua yang aku punya." Maaf saja, Esty bukan wanita lemah yang akan legowo dan hanya menangisi keadaan saat mendapati pengkhianatan di depan mata. Selama ini ia sudah sabar menjadi istri seorang Gentala Abadi yang bila menikah dengannya itu sama artinya dengan mengurus ibunya yang hanya dapat tergeletak di atas kasur. Sepertinya kalau begini keadaan, seharusnya Esty tidak perlu sungkan lagi untuk mengambil sebuah keputusan. "Mas gak nyangka kamu bisa berucap begitu," Genta berkata dengan suara rendah, menatap tajam Esty yang jelas menolak mengizinkan ia menikahi Sinta. "Terserah apa katamu, Mas tetap akan menikahi Sinta dengan atau tanpa seizin kamu. Toh laki-laki tetap bisa menikahi perempuan lain tanpa ada izin dari istri pertama." "Boleh saja Mas menikahi Sinta," Esty menimpali sambil menampilkan senyuman teramat manis, tapi kalau diperhatikan lagi ada jejak licik pada sorot matanya. "Tapi ...." Esty sengaja menggantung ucapannya, ingin membaca reaksi yang ditampilkan dua pengkhianat di depannya. Diam-diam Esty mengepalkan kedua telapak tangannya yang ada di atas paha untuk menahan emosi begitu melihat tatapan penuh harap pada sorot mata Genta, juga tatapan puas penuh maksud dari sorot mata Sinta. Dua orang di depannya ini sepertinya benar-benar ingin bersatu, Esty tentu tahu dirinya tidak boleh sejahat itu untuk menjadi penghalang dua orang yang ingin bersatu 'kan? Esty menatap sepenuhnya ke arah Genta, melanjutkan ucapannya yang sempat terhenti. "Tentu saja tanpa ada aku di antara kalian berdua, dalam artian Mas Genta boleh menikahi Sinta dengan syarat ceraikan aku terlebih dulu!" Di madu karena sebuah pengkhianatan? Sorry, dari pada harus menelan duri Esty lebih memilih memuntahkannya. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
11.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
92.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.3K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook