Bab 2. Aku bahkan sanggup tanpamu

1338 Words
"APA? KAMU SUDAH GILA ESTY!" Teriak Genta sambil berdiri, tidak mempedulikkan tatapan orang-orang yang kini mengarah ke arah mejanya. "Apa kamu sadar dengan apa yang baru saja diucapkan?" "Sangat sadar, tentu saja." Esty menantang sambil mengangkat dagu angkuh, balik menyorot Genta tanpa rasa takut sama sekali. "Aku merasa ucapanku baik-baik saja, malah itu adalah keputusan yang terbaik." "Bagaimana bisa kamu meminta syarat yang tidak akan pernah Mas sanggup berikan? Mas hanya ingin kamu menghargai keputusan yang Mas ambil, dukung semua keputusan Mas, bukannya malah menambah pusing di kepala. Harusnya kamu sudah tahu, perceraian adalah hal yang tidak disukai Tuhan." Cukup sudah! Esty berdiri sambil menggebrak meja, menatap Genta dengan bola mata yang membulat sempurna. "Di saat kamu ingin dimengerti, ke mana kamu saat aku butuh pengertian? Apa menurutmu aku ini wanita yang tidak punya hati sehingga Apa yang menjadi keputusan kamu tentang ingin menjadikan wanita rubah ini maduku harus aku dukung? Tidak Mas. Aku bahkan sanggup hidup tanpa kamu, lalu bila mampu bertahan sendiri kenapa harus tetap diam di dalam duri yang kamu ciptakan?" "Esty, jangan bicara seperti itu. Aku tidak akan sanggup hidup dalam penyesalan bila sudah menjadi alasan retaknya rumah tangga kamu dan Mas Genta. Tolong jangan berantem lagi, kalau kamu memang tidak ingin aku menjadi istri kedua Mas Genta maka tidak apa-apa. Aku mengerti Esty, sebab perempuan mana yang rela dimadu." Sinta ikut berdiri, memohon dengan wajah memelas ke arah Esty. Air mata lagi-lagi bertumpahan seperti air yang terlalu penuh di atas gelas. "Kamu lihat Esty, wanita sebaik Sinta kini sudah menangis karena kamu." Genta benar-benar terlihat murka, wajahnya memerah menahan amarah yang siap meletus. Dirangkulnya pundak Sinta sambil mengusapnya pelan, berharap dengan begitu perempuan yang kini mengandung benihnya karena sebuah insiden ketidak sengajaan itu tenang dan berhenti menangis. Bahkan Genta sudah tidak ragu lagi merangkul Sinta di depan matanya, Esty semakin yakin dengan keputusannya yang ingin berpisah. Tidak ada lagi alasan ia harus bertahan pada laki-laki seperti Genta, bahkan seperti tidak bersalah karan sudah zina sampai pasangannya hamil laki-laki yang sayangnya masih berstatus suaminya ini terang-terangan menunjukkan kalau dia sangat menjaga perasaan Sinta tanpa mau bersusah payah menjaga perasaannya yang notaben sebagai istri sah. Esty mendengkus tak percaya melihat dua orang di depannya, bahkan tanpa ada ikatan pernikahan mereka sudah berani saling rangkul. Sekarang Esty malah curiga, jangan-jangan kejadian saat mereka melakukan hubungan itu bukan hanya sekali. Tidak menutup kemungkinan bukan kalau mereka berdua selama ini ada affair di belakangnya. Kurang ajar! Mereka mau main-main rupanya. Melihat tatapan Esty yang menajam menatap tangannya yang merangkul Sinta, baru sadar sudah berbuat salah Genta langsung melepaskan rangkulannya pada Sinta. Ia membuka bibir kemudian menutupnya lagi karena bingung harus menjelaskan bagaimana. Pada akhirnya karena tidak ada komentar apa-apa dari Esty, Genta pun diam tanpa mau menjelaskan kalau barusan ia sudah tidak sadar merangkul Sinta hanya karena ingin menenangkannya. "Munafik!" Esty menyeringai sinis pada Sinta. "Bila kamu tidak akan sanggup hidup dalam penyesalan karena sudah merusak rumah tanggaku, kamu tidak akan pernah bermain api di belakangku. Kalian berdua sama-sama tidak punya rasa malu, lihatlah suatu saat kalian akan menuai apa yang kalian tabur." "Mas sudah mencoba berbicara baik-baik sama kamu, sebab Mas menghargai kamu sebagai istriku dan memutuskan tidak akan menikahi Sinta di belakangmu. Namun, apa yang Mas dapatkan setelah kejujuran ini? Kamu malah bersikap keras dan menentang niat Mas bertanggung jawab pada Sinta. Kamu benar-benar buka istri yang baik, Esty." Genta menasihati Esty, berharap dengan begitu mata Esty akan terbuka dan dia menyadari kesalahannya. "Waw," Esty bertepuk tangan keras, menatap Genta dengan mata takjub. "Apa maksud Mas Genta aku harus berapresiasi atas kejujuran Mas itu? Seriously?" Merasa Esty kali ini tengah meledeknya, Genta mengepalkan kedua tangannya dengan kuat karena tersinggung. Napasnya memburu seiring emosi yang semakin meluap, Genta tidak terima dirinya merasa diinjak oleh perempuan yang seharusnya menghormati. "Mas Genta," panggil Sinta pelan. "Sabar, Mas." Genta langsung menghirup udara dan menghembuskannya perlahan, mencoba mengendalikan emosi yang siap meledak. Ia tidak mau kalau Sinta terkejut dan menjadi takut bila melihatnya marah, jelas hal itu akan berimbas pada bayinya. Setelah tenang kembali, Genta menatap Esty tak berdaya. "Baiklah kalau itu keputusanmu, Mas akan menceraikan kamu." Terlihat berat sekali bagi Genta mengucapkan kata cerai itu pada Esty, sebab mau bagaimanapun Genta mencintai Esty. Namun, ia juga tidak bisa membiarkan Sinta hamil dengan status masih sendiri, mau bagaimanapun anak yang ada dalam kandungan Sinta adalah anaknya. Mungkin ia harus melepas salah satunya, lagi pula dari pernikahannya dan Esty belum dikaruniai seorang anak jadi tidak ada beban. "Mulai detik ini, kamu Esty Anindita aku ceraikan, kamu bukan lagi istriku." nyessss Hati Esty rasanya sakit bagai diremas kuat, sekuat tenaga ia menahan air matanya tidak terjatuh agar tidak terlihat lemah di hadapan Genta dan Sinta. Setelah normal kembali, Esty menunduk mengambil tas jinjing miliknya. Namun, sebelum pergi, Esty menatap Genta dengan satu alis terangkat. "Mas Genta, apa Mas sudah yakin kalau anak yang ada di dalam kandungan Sinta itu benar-benar anak Mas?" "Esty, apa maksudmu?" Sinta menatap Esty marah, tersinggung dengan tuduhannya. "Apa kamu baru saja menghinaku? Jelas anak ini adalah darah daging Mas Genta, aku melakukannya hanya dengan dia." Genta hanya terdiam menatap Esty, sungguh rasa cintanya masihlah besar untuk perempuan yang banyak berjasa ini. Selama ia bekerja untuk untukenghasilkan uang, Esty lah yang mengurus sang ibu yang hanya dapat terbaring di atas ranjang. Namun, kini Genta sadar ia harus melepas Esty karena Esty tidak bisa lagi mendukung keputusannya, padahal awalnya Genta sangat yakin Esty akan setuju ia madu. Esty tertawa pelan, sedikit memiringkan kepala sambil melipat tangan di depan d**a. Menatap Sinta yang terlihat marah, Esty rasanya sangat puas. "Kalau kamu lupa, aku ini sahabatmu sebelum kamu mengaku hamil anak Mas Genta. Tentu saja aku sangat mengenal kamu luar dalam, hanya saja ternyata lamanya kita berteman masih belum bisa membuatku mengenal kamu sepenuhnya. Entah alasan apa yang membuat kamu hingga menusukku dari belakang, tapi yang jelas dengan adanya kejadian ini aku bersyukur karena kini mataku terbuka mengenai siapa kamu sebenarnya." "Esty, jangan membuat masalah!" Peringat Genta, ia malu saat kini banyak orang yang menatap ke arah mejanya. "Sebaiknya kamu pergi, urusan kita di sini sudah selesai." "Tanpa kamu perintah, aku juga akan pergi. Tempat ini tidak cocok untukku, sebab terlalu banyak pengkhianat berkeliaran. Oh ya, satu lagi." Esty menatap Genta dan Sinta bergantian, mengerling nakal dengan senyum genit. "Selamat ya untuk kehamilan di luar nikah sahabat oleh suamiku sendiri, jangan lupa beri aku surat undangan kalian." Sinta dan Genta otomatis menatap sekeliling begitu terdengar dengungan orang-orang yang membucarakannya, mereka teramat malu karena banyak mata memandang mencela. Tanpa kata, Genta langsung menarik Sinta dan pergi dari hadapan Esty. "Harusnya dulu aku tidak menerima lamaran Mas Genta," gumam Esty saat melihat Genta yang pergi dengan menggemgam tangan Sinta. "Bahkan wanita yang bukan mahram saja ia pegang seenaknya, bukan imam yang baik." Esty menutup mata sejenak, lalu pergi ke luar dari Cafe. Ia tidak memesan taksi online atau mencoba menghentikan kendaraan umum, Esty berjalan menyusuri jalan dengan langkah lunglai. Ia tertawa, tapi anehnya mata dia malah mengeluarkan air mata. bruk "Aww," Esty mengaduh sakit saat kedua lutut dan telapak tangannya membentur aspal jalan karena ia tersandung dan jatuh, pandangannya walau buram oleh air mata tetap melihat semua barangnya ke luar berhaburan. Bukannya memungut kembali sua barangnya, Esty malah duduk dan menangis semakin kencang. "Apa sesakit itu? Ini barangmu," Seorang gadis SMA membantu mengumpulkan barang-barang milik Esty, lalu menyimpannya di dekat lutut Esty. "A-aku juga mengira enggak akan sesakit ini, tapi rupanya sangat sakit." Esty menimpali sambil menekan dadanya sendiri, menunduk tidak mempedulikan gadis SMA yang kini hanya menatapnya bingung. Mungkin karena bingung melihat dirinya yang malah menangis semakin kencang, gadis SMA itu pergi. Kini hanya tinggal Esty seorang, menangis untuk mengeluarkan beban dalam hatinya. "Aku kira Icetea hanya minuman, ternyata dia bisa menangis juga." Mendengar suara yang terasa familliar, perlahan Esty mendongak. Matanya membulat saat menemukan laki-laki berwajah semakin dewasa yang dulu saat SMA selalu mengganggunya. "LINGGA?" "Hallo minuman kesukaanku, setelah beberapa tahun tidak bertemu kamu makin jelek saja." Ucap Lingga sambil berjongkok, tangannya melambai di depan wajah Esty dengan menampilkan senyuman meledek. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD