Bab 3. Aku pergi, urus ibumu!

1394 Words
Esty langsung menghapus air mata di pipinya, terburu memasukkan semua barang miliknya yang sebagian sudah terkumpul. Tanpa kata ia berlari, jelas menghindar dari hadapan Lingga. Bertemu Lingga adalah musibah baginya, sebab selain minus hampir tidak ada positifnya Lingga di mata Esty. Begitu Esty berlari pergi, Lingga menggeser telapak kakinya. Ia mengambil sebuah gantungan kunci dan tersenyum kecil, ia berdiri tidak lupa memasukkan gantungan kunci di tanganya ke dalam saku. Kenapa laki-laki itu ada di Indonesia?" Rutuk Esty saat ia berjalan, mencoba menghentikan kendaraan umum yang lewat. Saat bus berhenti, Esty langsung masuk dan mencari tempat duduk. Langkah Lingga terhenti saat melihat Esty masuk ke dalam bus, ia tersenyum jahil sambil mengeluarkan gantungan kunci dari sakunya dan mengangkat ke atas agar Esty yang kebetulan melewatinya menatap gantungan kunci di tangannya. Lingga mengedikkan bahu acuh tatkala melihat mata Esty membulat, sebelum Esty sempat menghentikan bus dengan cepat Lingga masuk ke dalam mobil dan melaju cepat. Di dalam bus Esty mengepalkan kedua telapak tangannya, kesal karena barang berharganya ada di tangan Lingga. Memberhentikan bus untuk menyusul Lingga pun tak mungkin, jadi pada akhirnya Esty hanya dapat terduduk dengan lesu di dalam bus. "Ck, di mana aku harus menemukan laki-laki menyebalkan itu?" Esty mengeluh sambil membenturkan jidat pada kursi di depannya. Sampai di rumah, tidak, maksudnya bukan rumah dirinya melainkan rumah Genta, Esty langsung menuju kamar. Ia membereskan semua barang-barang miliknya, tapi saat tangannya meraba sebuah sertifikat rumah ide licik langsung hadir. Katakan Esty jahat, tapi tidak ada kejahatan kecuali tumbuh dari orang yang tersakiti. Mumpung Genta belum pulang, juga sejujurnya ia sudah tidak peduli Genta mau pulang atau tidak usai menceraikannya demi dapat menikahi Sinta, Esty akan memberikan kejutan yang teramat spesial untuk laki-laki yang belum lama menjadi mantan itu. "Jangan katakan aku jahat Mas, sebab kamu sendiri yang merubahku menjadi orang jahat." Esty bergumma sambil mengetikkan sesuatu pada ponselnya, menunggu sebentar dan langsung tersenyum sumringah begitu mendapat balasan notifikasi dari orang yang ia hubungi. Selesai dengan urusannya Esty lanjut memasukkan semua barangnya ke dalam koper, juga tak lupa berupa sertifikat rumah ia bawa. Ia sakit hati, jadi Genta dan Sinta juga tidak akan ia biarkan bahagia. Esty adalah seorang pedendam, bila hatinya sakit Esty terbiasa memanjakannya dengan membalas langsung rasa sakit hatinya. Esty turun dari atas tangga, kebetulan hal itu juga dengan masuknya Genta ke dalam rumah. Ada tatpan tak rela pada sorot mata Genta saat melihat Esty benar-benar akan pergi, padahal ia tadinya punya niat ingin mencoba memperbaiki lagi hubungannya dengan Esty. Mau bagaimanapun ia masih membutuhkan Esty, karena Sinta hamil jadi ia tidak mungkin mengandalkan Sinta untuk menggantikan Esty mengurusi ibunya yang sakit. "Esty, apa kamu benar-benar akan meninggalkan rumah ini?" Tanya Genta dengan suara rendah, tampak berat membiarkan istri yang sudah menemaninya dalam duka dan suka selama satu tahun ini. "Ya, tentu saja, tidak ada apa-apa lagi yang dapat menahanku untuk tetap tinggal di rumah ini," timpal Esty dengan mata menatap Genta datar. "Surat cerai akan segera datang dari pengadilan, aku akan mengurusnya setelah ini." Genta tidak pernah menyangka sebelumnya ternyata Esty adalah perempuan tegas. Selama pernikahannya ia hanya dapat menukan Esty yang penurut dan lembut, tidak pernah ia temukan sorot setajam ini. "Setidaknya kamu memikirkan ibu, bagaimana dengannya kalau kamu pergi?" Ucap Genta dengan membuang wajah sembarangan, tampak bingung saat ia mengucapkan tentang ibunya yang pasti masih membutuhkan Esty. Esty menaikan salah satu alisnya, tertawa tak percaya dengan apa yang baru saja Genta katakan. Genta pikir Esty akan kasihan dan memilih diam di rumah demi menjaga ibunya? Begitu? Sepertinya laki-laki yang sayangnya masihada sisa rasa dihatinya ini begitu polos. "Memangnya kenapa kalau aku pergi?" Esty memilih mempermainkan Genta. "Ibu masih membutuhkanmu," Genta langsung menatap kembali Esty, sebab seolah baru saja Esty memberikan sinyal positif atas perkataannya yang tadi. Ada secercah harapan pada mata Genta, ia berharap Esty merubah keputusannya untuk pergi dari rumah ini. "Ibu bukan membutuhkanku, tapi membutuhkan kamu Mas Genta. Stop bikin alesan apapun, sebab apapun yang akan kamu katakan aku tetap akan meninggalkan rumah ini. Juga ....," Esty tertawa guyon penuh ejekan. "Kamu pikir aku ini apa yang harus mengurusi ibumu yang tidak dapat melakukan apapun tapi rewelnya minta ampun sepanjang hari? Aku bahkan tidak punya waktu walau hanya untuk mengistirahatkan diri, itu semua aku lakukan demi untuk menjadi istri yang baik bagimu." Genta terdiam setelah mendengar semua perkataan Esty yang langsung menohoknya, ia menelan ludah begitu melihat sorot terluka yang terancam jelas pada mata Esty. Genta tahu dirinya sudah melakukan kesalahan besar dengan menyakiti isyri yang begitu baik seperti Esty, tapi ia tidak bisa memperbaikinya atau mempertahankan Esty karena perempuan ini sendiri yang memilih pergi. Mendapati Genta terdiam, Esty melanjutkan perkataannya. "Namun, di saat aku mencoba menjadi yang terbaik, kamu malah enak-enakan selingkuh dengan sahabatku sendiri. Sekarang aku malah berterima kasih pada Sinta, sebab karena dia kini aku punya alasan untuk lepas dari kamu dan babysitter gratis ibu kamu." "Esty," Genta menatap Esty penuh rasa bersalah. "Maaf untuk itu, sebab Mas pasti menorehkan luka dalam di hatimu. Sungguh Mas tidak pernah sengaja melakukan itu pada Sinta." "Maafmu tidak akan membalikan keadaan menjadi semula, sekarang terima kasih untuk lukanya. Masalah ibu, kamu akan memiliki penggantiku yaitu Sinta. Semoga dia gak jijik saat nanti membersihkan pup ibu kamu, Mas. Oh satu lagi, tadi saat aku lihat sepertinya wajah ibu terlihat tidak nyaman. Dia pasti pup, jadi silahkan bersihkan sendiri sebelum babysitter penggantinya yang tak lain adalah Sinta itu datang." Esty melambaikan tangan, menyeringai sekilas saat melihat wajah terkejut Genta. Dengan santai Esty melangkah, meninggalkan Genta yang kini berlari masuk ke dalam kamar sang ibu. Benar saja saat Genta membuka pintu bau menyengat langsung menguar, ia menutup hidung sembari membuka pintu kamar lebar-lebar. Ia masuk, memeriksa keadaan ibunya. "Uh, ternyata Esty benar, Ibu buang air besar." Suryani--ibu Genta hanya menatap sang anak dengan pandangan heran, sebab yang datang kali ini untuk membersihkan dirinya bukan Esty sang mennatu. Melihat tatapan sang ibu, Genta yang mengerti langsung meringis sedih. Ia menghembuskan napas perlahan, balas menatap sang ibu. "Esty dan aku sudah bercerai Bu, jadi dia tidak akan lagi mengurus ibu." Genta tahu ibunya kecewa, tapi mau bagaiamana lagi ia tidak bisa mempertahankan Esty. Genta mencoba tersenyum, menenangkan kerisauan sang ibu. "Ibu tenang saja, nanti akan ada kok yang mengurus ibu. Aku pastikan dia lebih baik dari Esty, jadi ibu tidak perlu mengkhawatirkan apapun." Tanpa menunggu lama lagi Genta segera membantu sang ibu membersihkan kotoran. Sekuat tenaga ia menahan rasa mual yang ingin muntah, kepalanya bahkan pusing sakit tidak tahunnya menahan bau. Kini Genta sadar, ternyata ini yang Esty lakukan setiap hari hingga hampir satu tahun ini. Hanya dengan sekali mengganti saja, Genta sudah tidak tahan dengan ia berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya. Selesai membersihkan mulut Genta, menatap pantulan dirinya di depan cermin. Genta melihat dirinya yang bodoh, sebab sudah membuat perempuan sebaik Esty meninggalkannya. Ternyata tidak mudah mengurus ibunya yang selama ini ia sangka mudah. "Esty, maaf." Gumam Genta dengan suara serak. Penyesalan begitu besar dari sorot matanya, Genta tahu dirinya benar-benar b******k. Setelah merasa lebih baik, Genta ke luar dari kamar mandi dan mendapati ibunya kini terlihat sudah tidur. Ia sampai heran, berapa lama di kamar mandi hingga ke luar-luar ibunya sudah tidur? Sedangkan di tempat lain. Esty yang baru sampai di rumah kedua orangtunya disambut bingung oleh sang ibu. Ibunya yang tengah duduk santai di ruang tamu berdiri, menatap ke belakang Esty untuk mencari keberadaan sang menantu. "Genta ... mana?" Tanya Santi--ibu Esty, dia menatap bingung koper yang digeret sang putri. "Aku dan mas Genta--," "Pasti dia dan suaminya itu sudah bercerai, makanya pulang dengan koper besar begitu. Dari awal Papa tidak punya feeling baik mengenai laki-laki lembek itu, buktinya sekarang kan?" Alexander--pria kebangsaan Amerika itu memotong perkataan Esty, tertawa guyon penuh main-main. "A-apa?" Santi terkejut, apa lagi saat tidak mendapati penolakan dari sang putri. Santi memasang wajah sedih, langsung mendekap sang putri. "Kasihan sekali kamu, Nak." "Setelah masa idahmu habis, jangan menolak keinginan Papa nantinya. Mau tidak mau sesuai kesepakatan dulu, kalau sampai pernikahan dengan Genta putus kamu akan rela Papa jodohkan dengan laki-laki pilihan Papa." "Papa, apa tidak bisa membicarakan itu nanti saja?" Santi menimpali kesal, ia kasihan pada putrinya yang pastinya masih sedih. Namun, begitu mendengar jawaban sang putri. "Baiklah aku mengaku kalah, jadi terserah Papa saja." Esty berkata sambil berlalu, masuk ke dalam kamarnya. Ia menjatuhkan diri, merenung tentang ia yang dulu menerima tantangan dari sang papa demi mendapat restu menikah dengan Genta. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD