Bab 4. Terima kasih karena sudah menceraikanku

1483 Words
4 bulan kemudian. "Kabarnya hari ini cucu eyang Saminta akan datang, belum dikabarkan kapan sih. Namun, kabar yang aku dengar, dia tampan dan mempesona. Badannya tinggi, pintar, tapi minusnya galak, tidak suka pada orang yang telat." Sinta yang tengah mengetik memasang telinga tertarik begitu mendengar pembicaraan dua orang perempuan di kubikel sebelah. Mulutnya sedikit terbuka begitu mendapati ternyata bos kantornya bekerja ternyata memiliki cucu yang keren, tapi ia tidak akan terburu tergiur sebab sekarang ia sudah memiliki Genta yang tentunya selain tampan juga menduduki jabatan cukup tinggi di kantor. "Dia sudah menikah atau masih single?" Tanya teman perempuan di sebelahnya, tatapan genit langsung menguar begitu melihat temannya menggelengkan kepala. "Semoga masih sendiri, siapa tahu naksir aku kayak di drama-drama korea gitu." "Kalau ternyata sudah punya istri, gimana?" Tanya jahil sang teman. "Rela deh jadi yang kedua, ha ha--," "Sttt, jangan banyak mengobrol, cepat bekerja!" Ucap galak salah satu temannya yang lain, membuat kedua perempuan yang tadinya tengah asyik menggosip langsung tutup mulut dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Diam-diam Sinta mengirimkan pesan pada Genta, ia bertanya mengenai kebenaran tentang cucu pemilik perusahaan yang katanya akan datang. Setelah menunggu beberapa saat, Sinta melebarkan matanya begitu Genta menjawab iya. "Sial, kenapa aku tidak pernah tahu kalau nenek-nenek itu punya seorang cucu?" Gumam Sinta dengan kekesalan yang kentara, ia memegang perutnya yang mulai membuncit. "Terlanjur hamil lagi, jadi mana bisa mencoba menggaet dia nantinya." Diam sebentar, Sinta mengedikkan bahu tak acuh. "Mas Genta itu laki-laki paling tampan di kantor, dia juga berpenghasilan cukup besar, kalau cuma mengandalkan harta warisan tentunya mas Genta juga banyak. Palingan cucunya eyang Saminta tidak apa-apanya dibandingkan mas Genta." "Sin, kamu bicara apa? Kenapa pakai bisik-bisik gitu?" Dino--laki-laki yang duduk di sebelah Sinta bertanya, ia menatap geli Sinta yang terlihat menggumamkan sesuatu. "Bukan baca mantra kan?" "Mantra apaan sih?" Sinta merengut kesal. "Pelet lah." Jawab Dino spontan. "Buktinya pak Genta yang alim saja bisa dekat dengan kamu, padahal pak Genta sudah punya istri yang sangat cantik. Kalau pak Genta tidak kamu pelet, mana mau dia sama kamu. " "Jaga mulut kamu! Kamu tidak tahu apa-apa, jadi sebaiknya tahu batasan." Sinta langsung menyentak kasar, napasnya sedikit memburu karena terbawa emosi. Ia melirik teman-temannya yang sepertinya tidak mendengar percakapan barusan dengan Dino, ia sedikit menghembuskan napas lega. Dino hanya terkekeh kecil, melanjutkan kembali pekerjaannya. Ia sendiri sebenarnya hanya asal cakap saja, tidak benar-benar menuduh Sinta main pelet. Namun, siapa yang tahu Sinta akan bereaksi berlebihan begitu, membuat otak suntuknya sedikit jreng. Jam istirahat tiba, Sinta tersenyum manis menunggui Genta ke luar dari ruangannya. Saat pintu terbuka, Sinta langsung bergelayut di tangan Genta. "Mas, hari ini aku ingin makan soto ayam, antar ya." "Iya," Genta tersenyum, lebih tepatnya senyum palsu dan tampak dipaksakan. Kalau bukan karena ia mengenal Sinta yang cukup baik di kantor, apa lagi dia adalah sahabat Esty dulu, plus kini Sinta hamil anaknya Genta tidak akan mau menuruti semua keinginannya Sinta. Mau bagaimanapun dihatinya sekarang tetap hanya nama Esty yang tertulis, ia sungguh menyayangkan kejadian yang telah membuat dirinya menghamili Sinta hingga Esty pergi. Sinta dengan semangat menarik tangan Genta, mengajaknya ke luar dengan bangga. Ia diam-diam tersenyum angkuh pada setiap mata yang memandang ke arahnya, sebab mereka terlihat iri dan cemburu melihat dirinya yang bisa mendapatkan Genta--sang most wanted di kantor oleh para wanita. Genta ini memiliki visual yang menarik, dia tampan, pintar, dan tentu saja ramah pada siapapun. Sinta sudah memendam perasaan iri dari dulu, saat ia baru tahu kalau Esty akan menikah dengan laki-laki perfect seperti Genta. Sampai di kedai yang cukup ramai karena jam makan siang, Sinta memilih tempat agak pojok dekat kipas angin. Dia menunggu Genta yang tengah memesan, tersenyum senang karena sejauh ini Genta masih memperlakukannya dengan baik. Saat Sinta memindai kedai, matanya menyipit tatkala melihat Esty yang tengah berdiri di depan pinggir jalan. Ia menoleh ke arah Genta yang masih antri, merasa mendapat kesempatan untuk ke luar menemui Esty dia menyelinap terlebih dahulu. "Esty, akhirnya kita bertemu." Esty yang tengah kesal menunggu seseorang menoleh, moodnya makin anjlok saat mendapati mantan sahabatnya ada di belakang memasang wajah sedih mengarah teraniaya yang padahal Esty tidak melakukan apa-apa. Melihat Esty yang acuh padanya, hal itu membuat Sinta tidak puas. Ia melirik Genta yang sudah ada di barisan pertama, lalu kembali menatap ke arah Esty dengan seringai yang tersembunyi. Sinta melangkah hingga kini berdiri di samping Esty. "Esty, aku mau minta maaf atas kandasnya pernikahan kamu dan mas Genta. Sungguh bila tahu pada akhirnya akan begini, aku bahkan rela menyembunyikan kehamilan ini demi agar kamu dan mas Genta tetap bersama." Bagi Rsty semua ungkapan Sinta barusan adalah angin lalu, melirikpun tidak sudi apa lagi sampai bersimpati. Esty berdecak kesal, sebab orang yang katanya akan datang 5 menit yang lalu itu nyatanya tidak muncul juga. Kurang ajar! Esty pasti sengaja mengabaikanku, ucap Sinta dalam hatinya. Melirik Genta yang kini melihat ke arahnya dan Esty, Sinta yang kesal karena tidak diacuhkan oleh Esty merencanakan sesuatu dalam hatinya. Akan Sinta buat Genta semakin membenci Esty, lihat saja nanti. Perlahan Sinta mengangkat tangan, lalu menggemgam telapak tangan Esty. Tentu saja Esty yang merasa tangannya disentuh Sinta langsung mengibaskannya karena risih, tapi yang ia tidak menyangka perasaan Esty tidak sekencang itu menggoyangkan tangan hingga membuat Sinta terjatuh ke aspal. bruk "Aww." "SINTA," teriak Genta sambil berlari menghampiri Sinta. Dengan segera Genta membantu Sinta agar lekas berdiri, memeriksa kondisi Sinta takut terjadi sesuatu pada bayinya. "Kamu tidak apa-apa bukan?" "Perutku agak sakit, Mas." Aku Sinta dengan mengeluh sakit, mengeluarkan jurus tak berdaya ala wanita lemah yang teraniaya. "Mungkin akibat tadi aku jatuh dan membentur ke bawah." Genta memejamkan mata sekejap yang tampak menahan emosi, lalu membuka dengan pandangan menatap Esty marah. "Esty, Mas tahu Sinta ini pernah menorehkan luka padamu, tapi tidak seperti ini cara kamu membalas rasa sakit hati itu. Saat ini Sinta tengah hamil, kalau ada apa-apa dengan bayinya kamu yang akan Mas salahkan." "Mas, Esty tidak mungkin sengaja, jangan marah sama dia." Sinta memegang tangan Genta, menatap laki-laki tampan tersebut dengan pandangan memohon. "Tadi hanya saja aku kurang hati-hati, jadi bisa sampai terjatuh." Genta langsung menoleh ke arah Sinta dengan pandangantak percaya, "Sinta, tidak perlu kamu melindungi Esty. Cukup kamu selalu membersihkan nama dia di depanku, sebab jelas-jelas tadi aku melihatnya mendorong kamu hingga terjatuh. Sekarang kamu diam saja, jangan berani membela Esty lagi!" "Ke mana si bodoh itu, kenapa lama sekali." Gumam Esty sambil melihat jam di ponsel, bibirnya mencibir karena kesal. Ia melirik Genta dan Sinta yang menawarkan sajian drama di depannya, tapi maaf saja ia tidak tertarik masuk ke dalam drama ciptaan mereka itu. "Jangan menggangguku, pergi kalian para pengkhianat!" "Tidak tahu malu!" Genta yang malah mendapat pengusiran, bukannya maaf dari Esty jelas amarahnya semakin tersulut. Merasa tidak ada lagi harga dirinya di depan Esty setelah diperlakukan seolah tidak ada? Tentu saja, mau bagaimanapun selama ini ia terbiasa mendapat hormat dari Esty sewaktu jadi suaminya. "Merasa tinggi kamu setelah berpisah denganku, ingat dulu bahkan kamu makan dari uangku." "Ya, aku lupa berterima kasih pada Mas Genta karena sudah menceraikanku, sebab dengan begitu aku dapat menikmati lagi hidupku yang bebas setelah merasa terkekang selama menikah dengan Mas. Asal Mas tahu saja," Esty mengedipkan sebelah matanya. "Selama menjadi istrimu, aku bahkan tidak pernah punya waktu untuk hanya sekedar ke salon." "Esty," Genta menggertakan gigi marah, semakin tersinggung mendengar satu kata demi kata yang terucap dari bibir mantan istrinya. "Kamu benar-benar sudah berubah, tidak seperti Esty yang Mas kenal dulu." "Maksud Mas Genta Esty yang polos dan bodoh? Jelas saja berubah dong Mas, jadi dengan begitu aku bisa menjadi yang sekarang. Lihat!" Esty menyuruh Genta dan Sinta melihat penampilannya. "Tas mahal, stayl pakainku berkelas, jauh banget lah saat aku menjadi istrimu yang keseharian hampir tidak punya waktu untuk mempercantik diri." Genta akui Esty memang jauh lebih cantik sekarang dari pada saat menjadi istrinya dulu, hal itu membuatnya semakin terinjak seolah tidak ada bagusnya saat menjadi suami Esty. "Kamu mengatakan begitu apa karena ingin menunjukkan kalau menyesal sudah pernah menjadi istriku, begitu?" Esty tersenyum guyon, pandangan matanya main-main saat balas menatap Genta. "Aku gak bilang begitu loh Mas, Mas sendiri yang mengatakannya." "Kamu memang benar-benar--," tin tin tiiinnn Bunyi klason mobil langsung memotong perkataan Genta, kini perhatian semua orang teralihkan pada seseorang yang baru saja turun dari dalam mobil mewah dengan gaya angkuh. Seorang laki-laki tampan dengan setelah necis dan mahal ke luar dari dalam mobil, menatap Esty yang kini tengah cemberut lantaran ia datang telat. Ada senyum geli yang terpampang di bibir tipisnya, merasa lucu melihat wanita itu begitu kesal atas keterlambatannya. "Sayang, maaf aku telat datang, kamu pasti menunggu cukup lama di sini." "Sa-sayang?" Genta mengulang perkataan laki-laki itu dengan nada gagap, menatap bergantian antara laki-laki yang baru ke luar dari dalam mobil dan Esty. Berapa banyak pun ia memperjelas penglihatannya, ia tetap menukan kalau tatapan laki-laki itu memang mengarah pada Esty. Berarti yang dipanggil sayang oleh laki-laki itu adalah Esty. Kenapa bisa dalam waktu 4 bulan ini Esty sudah menemukan penggantinya? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD