Bagian 2

2188 Words
"Kasihanilah kami, Hanan, kasihanilah Tasha, percayalah bahwa keputusan kami itu sangat tepat, kami melakukan ini semata agar Tasha tidak menderita karena permasalahan orangtuanya. Bimbing dia, jadikan dia perempuan yang kuat dan dewasa, tolong kami." Bibir Galih bergetar tatkala mengucapkan itu. Ia bahkan nyaris bersujud di kaki Hanan, kalau tidak lelaki itu cegah. "Kamu boleh melepaskan Tasha, kalau Tasha sudah dewasa dan bisa melindungi dirinya sendiri, kami mohon Hanan." *** Hanan tidak tahu, kalau menyetujui permintaan Galih dan Karina itu artinya pernikahan dilangsungkan satu hari kemudian, Hanan juga baru mengerti ternyata mereka sudah menyiapkan acara pernikahan ini dengan amat sangat matang, ia tak tahu pasti berapa lama mereka menyiapkan ini, tetapi ia yakin mereka sudah merencanakan ini sebelumnya. Ketika Galih meminta ia untuk datang ke rumahnya, rumah itu sudah didekorasi sedemikin rupa menjadi gaya sederhana, ditambah lagi ada beberapa orang yang akan menjadi saksi pernikahannya bersama Tasha, pun dengan penghulu yang kini tengah duduk bersila di hadapan meja, semuanya telah siap. Galih dan Karina pasti sudah tahu bahwa ia tidak akan menolak permintaan tolong mereka, jadi mereka merencanakan semuanya dengan semudah ini, Hanan benar-benar kecolongan, pantas saja beberapa bulan yang lalu Karina ingin sekali membantunya mendaftarkan kedua anaknya di bangku Taman Kanak-Kanak, ternyata tanpa sepengetahuannya ia mencuri semua data-data dirinya untuk mendaftarkan pernikahan ini. "Saya terima nikah dan kawinnya Tasha Elvira binti Galih Setiawan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Hanan bahkan hanya memberikan mas kawin seada yang ada di dompetnya saja, yaitu uang sejumlah lima ratus ribu. Ucapan sah dari para saksi terdengar, kemudian mereka melakukan doa bersama. Doa telah selesai dilantunkan, kini saatnya mempelai perempuan mencium tangan suaminya. Ini terlalu mengherankan bagi Tasha, ia tak mengerti huru-hara apa yang tengah terjadi di rumahnya. Seingatnya, tak ada yang sedang berulang tahun hari ini, tetapi mengapa rumahnya didekorasi seperti ini. Yang lebih mengherankannya lagi, ia harus duduk berdampingan dengan Paman Hanan lalu ditudungi oleh selembar kain putih di hadapan ayahnya yang juga berdampingan dengan seorang yang menurutnya cocok dipanggil kakek. Tasha benar-benar tidak mengerti dengan situasi ini. Tubuhnya terasa panas mengenakan pakaian yang dipakainya, sebuah baju panjang berwarna putih dihiasi bordir-bordir kecil yang indah juga bawahan berupa kain batik. Rambutnya digelung sedemikian rupa, wajahnya diberi riasan tipis oleh bundanya, walaupun begitu ia merasa sedikit panas di wajahnya, mungkin karena ia tidak pernah memakai make up sebelumnya. "Sayang, pasangkan cincin ini di jari Paman Hanan, terus sun tangan sama dia," ucap Karina yang duduk tepat di belakang Tasha. Walaupun bingung, Tasha tetap melakukan apa yang diperintahkan oleh bundanya. Hanan menyodorkan lengannya kepada Tasha, ia mendengar apa yang Karina petintahkan kepada Tasha. Cincin itu kini tersemat di jemarinya, ukurannya sangat pas, Karina dan Galih benar-benar sudah menyiapkan semuanya dengan matang. Setelah Tasha mencium tangannya, kini giliran ia yang memasangkan cincin di jemari Tasha, ukurannya sama pasnya kemudian ia mencium kening gadis itu. Perbuatah Hanan barusan, membuat Tasha semakin heran dibuatnya. Apakah ini yang dimaksud oleh ayahnya dengan menikah. Ialah yang akan menikah dengan Paman Hanan. Kata bundanya, menikah itu hanya akan dilakukan oleh orang dewasa dan Tasha rasa, ia belum cukup dewasa untuk menikah. Mengapa ayah dan bundanya begitu tega menikahkannya sedini ini. Namun, ketika Tasha memandang wajah kedua orangtuanyanya yang tampak bersinar, tidak muram seperti sehari yang lalu bahkan beberapa bulan yang lalu, ia ikut tersenyum. Tasha turut bahagia kalau ayah dan bundanya bahagia dengan pernikahan ini. *** "Bunda sama ayah mau ke mana?" tanya Tasha polos sembari memandang Galih dan Karina yang kini tengah berdiri berhadapan dengan putrinya. Setelah prosesi pernikahan itu selesai dilaksanakan, Galih dan Karina tanpa basa-basi menyeret sekurang-kurangnya dua koper dari kamar mereka, mereka hendak pergi, tetapi siapa pun tak ada yang diberitahu mereka akan ke mana. "Tasha enggak diajak?" Gadis itu kembali melontarkan pertanyaan walaupun pertanyaan pertamanya saja belum terjawab. Rasa cemas ayah dan bunda akan meninggalkannya menerpa hati kecilnya. Ia benar-benar takut ayah dan bundanya akan meninggalkannya. Karina melangkah lebih dekat ke arah Tasha, tangannya terulur membelai puncak kepala putrinya itu. "Bunda kan sudah bilang kalau kita mau pergi," ucap wanita itu lembut sembari tersenyum menenangkan. Namun, senyumnya kali ini tentu tidak menenangkan untuk Tasha, justru membuat perasaannya kian tak menyenangkan. "Tasha mau ikut." Rengekan keluar dari bibir mungilnya, seirama dengan air matanya yang mulai membanjiri kedua pipinya. "Kalau Ayah sama Bunda pergi, Tasha sama siapa?" Karina menarik tubuh Tasha ke dalam dekapannya, membiarkan putrinya menangis histeris di sana. "Bunda kan sudah bilang kalau Tasha akan tinggal sama Paman Hanan, Paman Hanan pasti bakal jagain Tasha," bisik wanita itu sembari mengelus punggung mungil putrinya. "Tapi Tasha maunya tinggal sama Ayah sama Bunda!" Tasha memeluk tubuh erat ibunya seakan jika ia melepaskan maka ibunya akan raib, tubuhnya bergetar hebat, tangisnya kian histeris. "Tasha kan udah janji kalau Tasha mau mandiri, itu artinya Tasha bakal tinggal jauh sama Ayah dan Bunda, kamu tenang aja ya, Paman Hanan itu baik, kok." "Tapi Bunda-" "Ingat pesan Bunda, kamu harus nurut sama Paman Hanan, turuti semua perkataannya ...." Galih yang melihat dan mendengar putrinya menangis seperti itu sudah tak kuat lagi, ia bahkan tak beranjak sedikit pun dari posisinya sedari tadi karena takut pertahanannya akan runtuh. Lelaki itu memberikan interuksi melalui tatapan matanya kepada Hanan, menyuruh Hanan mengatasi Tasha ketika ia melihat istrinya kewalahan melepaskan diri dari pelukan Tasha. Hanan sungguh tak tega melihat drama yang sedari tadi ia saksika dan kini ia harus melibatkan diri menarik tubuh gadis yang sudah resmi menjadi istrinya beberapa menit yang lalu dari jangkauan ibunya. Wanita berstatus ibu mertuanya itu seperti tak sanggup berpisah dari putrinya, terlihat ketika lelaki berstatus ayah mertuanya menarik wanita itu secara paksa, Hanan benar-benar merasa aneh, kenapa mereka harus melalukan itu kalau sebenarnya tak mau. Walau tubuhnya ditarik sedemikian rupa, tangan Karina dan tangan Tasha saling bergenggaman, mata mereka saling bertautan hingga akhirnya terpisah karena tubuh mereka sama-sama ditarik oleh seseorang. "AYAH?!" teriak Tasha melengking hebat, tubuhnya yang sedari tadi ditahan oleh Hanan memberontak hebat. Hanan merasa sangat kualahan, walaupun tubuh Tasha agak mungil bagi tubuhnya, tetapi tenaga gadis itu sangatlah kuat. "LEPASIN TASHA, TASHA MAU IKUT SAMA AYAH DAN BUNDA, LEPASIN TASHA, LEPASIN!!" Tenaganya bertambah kuat, membuat pelukan Hanan terlepas. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Tasha berlari mengejar orangtuanya yang kini sudah memasuki mobil dan lambat-laun, mobil itu bergerak menjauh dari jangkauan Tasha. "BUNDA?!" "AYAH?!" Gadis berambut panjang itu meluruh di atas aspal begitu sadar kaki jenjangnya tidak akan pernah bisa menyusul orangtuanya yang tega meninggalkannya. Tangis Tasha mulai tersendat-sendat, membisikan nama ayah dan bundanya di tengah isakannya. Terdengar sangat miris, mengiris-iris hati seorang lelaki yang berdiri di belakangnya. *** Hanan membawa Tasha ke rumahnya, gadis itu kini tengah menangis sesenggukan dalam pelukannya, tangis Tasha tak kunjung reda dari perjalanan menuju rumahnya hingga saat ini gadis itu duduk miring di atas pahanya. Hanan tak tahu lagi caranya menenangkan gadis itu agar berhenti menangis, ia sedikit tak tega merasakan napas Tasha mulai tersengal. Lelaki itu jadi ingat sewaktu kecil ia juga pernah menangis sampai seperti ini, sampai d**a bagian kirinya merasa sangat sakit akibat terlalu lama menangis. "Sudah, berhentilah menangis," bisik Hanan tepat di telinga Tasha. Lengan lelaki itu tak henti-hentinya mengelus punggu Tasha. Hanya itu kata-kata yang bisa Hanan ucapkan, ia jelas tak mempunyai ide lain supaya gadis itu berhenti menangis. Seumur hidupnya, baru kali ini Hanan kesusahan menengkan seseorang dari tangisnya, karena memang ia tak pernah sekali pun membuat seseorang menangis. Menenangkan anaknya, jelas lebih gampang karena mereka masih kecil, bisa dibujuk sedemikian rupa agar tenang, itu sangat mudah, berbeda dengan Tasha yang notabenenya sudah remaja, sudah tidak bisa ditipu lagi. "Hey-Hey, sudah!" Hanan kembali berbisik kali ini lebih tegas. Kalau boleh jujur, Hanan bukan tipe orang yang memiliki kesabaran ekstra, ia sedikit tak bisa mengendalikan emosinya kepada orang-orang yang agak mengganggu. Jelas Tasha tak mengganggunya, hanya saja Hanan tak tega mendengar tangis kesakitan Tasha. Bukannya berhenti menangis, Tasha malah menambah volume tangisnya. Siapa yang tidak akan menangis kalau ditinggalkan oleh orangtua, terlebih mereka tidak memberitahu akan ke mana, tanpa pemberitahuan dan pengertian terlebih dahulu. Tasha merasa dibuang, ia sakit hati ketika otaknya berpikir bahwa mungkin ayah dan bundanya sudah tak menyayanginya lagi. Selama ini, Tasha tak pernah jauh-jauh dari ayah dan bundanya. Ayahnya seorang pemilik sebuah pabrik makanan ringan terbesar di kotanya, setiap hari bekerja memajukan perusahaan, untuk menafkai keluarganya juga. Sedangkan ibunya seorang ibu rumah tangga biasa yang setiap hari mengurusi rumah dan mengurus keperluan keluarganya. Mereka hidup harmonis. Ayahnya bekerja, ibunya mengurusi rumah, ia bersekolah. Karena Tasha merupakan anak satu-satunya, ia begitu dimanja dan diperhatikan oleh ayah dan ibunya sehingga membentuk kepribadiannya yang sekarang, manja dan polos. Tasha meraung, tangisnya kembali pecah begitu mengingat ketika bundanya selalu menyuapinya saat ia malas makan bahkan ketika usianya sudah menginjak angka tujuh belas, bundanya selalu membatu menyisirkan serta menguncirkan rambutnya, dan ketika ia mengingat di waktu-waktu tertentu ia selalu menyusup diam-diam ke kamar ayah dan bundanya pada malam hari karena ia takut monster hingga pada akhirnya mereka tidur bersama-sama. Tasha tahu bahwa hidupnya pasti tidak akan pernah sama lagi tanpa ayah dan bundanya, ia tidak akan pernah lagi mencecap rasa manis kebersama keluarga. Tasha berharap, ayah dan bundanya sudah kembali ketika ia bangun tidur, bahkan ia berharap semua kejadian hari ini hanyalah mimpi semata. Hiks Harusnya Tasha tidak perlu menangis seperti ini, harusnya ia malu menangis di hadapan orang lain walaupun itu Paman Hanan yang sebenarnya bukan orang lain untuknya. Ia Paman Hanan, orang yang sudah dianggap keluarga oleh ayah dan bundanya, mereka akrab bagaikan keluarga, tapi Tasha sebenarnya tak begitu akrab dengan Hanan karena ia sebenarnya gadis pemalu dan tak mudah akrab. "Kalau kamu enggak berhenti nangis, ayah sama bunda kamu enggak bakal pulang!" ucap Hanan dengan nada ancaman berhasil membuat Tasha berusaha menghentikan tangisnya. Gadis itu sampai membekap mulutnya sendiri agar tidak mengeluarkan suara apa pun. Hanan sedikit takjub dengan ancaman yang dilontarkannya sendiri untuk Tasha. Ia sedikit menyesal kenapa tidak sedari tadi mengancam gadis itu. "Ta-Tasha u-udah be-berhenti na-nangis, Pa-Paman, A-Ayah sa-sama bu-bunda pa-pasti pu-pulang ka-kan?" tanya Tasha terbata karena terlalu lama menangis sembari mendongak memandang wajah Hanan. "Enggak kalau air mata kamu masih keluar!" Tasha buru-buru menyeka wajahnya dengan kedua punggung tangan agak sedikit kasar seakan ingin mengenyahkan air matanya tersebut dari pipinya. Hanan sedikit tersenyum, ia mengulurkan tangannya mengambil segelas air minum yang tersedia di hadapannya untuk Tasha agar Tasha sedikit tenang. Gadis itu tidak segera mengambil air minum yang diberikan hanya memandangnya saja, ia tak suka air putih yang tidak bersuhu, dilihat tak ada kepulan ataupun titik-titik air dingin di sana. "Minumlah." "Tasha enggak suka air biasa ...." Hanan mendengkus, gadis itu pikir di rumahnya ada air luar biasa? Hanan menempelkan bibir gelas ke bibir Tasha, kemudian meminumkan paksa air itu yang mau tak mau ditelan oleh Tasha. Perasaan Tasha agak tenang sekarang, hanya senggukan kecil dan mata sembab yang tersisa. "Mau sampai kapan kamu duduk di paha Paman?" tanya Hanan menyadarkan Tasha akan posisinya sekarang. Wajahnya yang sudah merah kini semakin memarah dibuatnya. Tasha benar-benar tidak sadar bahwa posisinya sedari tadi seperti ayahnya yang selalu menenangkannya ketika sedang menangis, mendudukannya di atas pangkuan lelaki itu. Bagaimanapun juga Paman Hanan itu bukan ayahnya, posisi ini benar-benar membuatnya malu sekarang. "Maaf, Paman," cicit gadis sembari hendak mengangkat bokongnya. Namun karena lemas, ia tak bisa bergerak sedikit pun. "Enggak bisa bangun ...." "PAPA, ARA PUL-" Suara teriakan cempreng terdengar, terpotong ketika sang empunya suara melihat ayahnya tengah memangku seseorang. Bola mata gadis kecil yang memanggil dirinya sendiri dengan sebutan Ara itu bergerak tak terima melihat tempat duduk miliknya dipakai oleh orang lain, secepat kilat tubuhnya melesat menghampiri perempuan yang samar dikenalinya, menarik rambut gadis itu sekuat tenaga. Tasha yang baru saja tenang kini kembali menangis karena rasa panas menghantam kepalanya akibat jambakan tersebut, kulit kepalanya terasa hendak copot. Hanan belum siap dengan apa yang terjadi di hadapannya hingga tubuh lelaki itu menegang beberapa detik sebelum menyentuh lengan putrinya yang tengah menarik rambut Tasha. "Astaga, Sayang, lepaskan, Nak!" ucap lelaki itu panik melihat betapa kuat tenaga putrinya hingga membuat kepala Tasha ikut tertarik. "Sakit ...." Tasha merintih membuat Hanan sedikit memaksa tangan Ara untuk melepaskan jambakannya. "Lepas, Sayang, kasihan kakaknya-" "Enggak mau, Papa!! Dia udah nyuri tempat duduk Ara!!" potong gadis cilik itu semakin menarik rambut Tasha. Hanan tidak tahu lagi cara membujuk putrinya yang memang sedikit keras kepala itu, jika sudah menyangkut dirinya Ara akan bertindak posesif seperti ini, cemburu buta bila papanya berdekatan dengan orang lain, memang sepertinya sudah menjadi sifat anak-anak. Ini salahnya juga yang tak mendengar suara deru apa pun di luar rumahnya hingga terjadilah seperti ini, ia harusnya ingat bahwa jam-jam saat ini waktunya putra dan putrinya pulang bersama neneknya dari sekolahan. Hanan mengalihkan tatapannya dari Ara ke arah pintu masuk yang sudah ia duga ada seorang wanita berusia enam puluhan berdiri di sana bersama buah hatinya yang lain. Lelaki itu menginteruksikan kepada ibunya untuk membantu menenangkan Ara. Wanita itu lantas menghampiri anak dan cucunya, tak tega juga melihat gadis remaja itu disiksa oleh Ara. Ia tahu siapa orang yang duduk di paha Hanan, tapi ia tak tahu kenapa gadis itu duduk di sana. "Ara enggak boleh gitu, Sayang, kasihan kakanya sampai nangis gitu," ucap Maya lembut. "Nenek enggak mau ajak Ara lagi, ah, kalau Aranya galak gini." Mendengar ucapan neneknya, gadis cilik itu melepaskan jambakannya, ia takut ancaman neneknya itu benar terjadi, Ara lebih menahan kekesalannya kepada si pencuri itu daripada nanti ia tinggalan oleh neneknya. Hanan dan Maya meringis ngilu melihat banyak helaian rambut Tasha di jemari Ara, beruntung kulit kepala Tasha tidak copot. "Ada yang ingin kamu katakan, Hanan?" tanya Maya membuat lelaki itu menghela napas pasrah. Kata yang terlontar dari mulut ibunya bukan sekadar ucapan biasa. Wanita itu perlu penjelasan mendetil dari dirinya dan ia rasa, ia tak perlu menutup-nutupi permasalahannya, ia ingin wanita yang telah melahirkannya itu tahu semuanya, ia tak ingin merahasiakan masalah ini yang justu akan menimbulkan masalah baru nantinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD