Part 3

1158 Words
Anindya masih tersungkur di atas lantai depan kamarnya, gadis itu mengusap air mata yang kini membasahi kedua pipinya. "Anin?" Ibunya datang tergopoh-gopoh mendapati putrinya masih menekuk wajahnya duduk di lantai. Wanita paruh baya tersebut sudah menunjukkan garis keriput wajahnya. Dia memeluk Anindya dalam pelukan. "Nggak apa-apa ma, Anin baik-baik saja." Ujar gadis itu seraya tersenyum menatap wajah sedih ibunya. Dia mengusap air mata yang kini meleleh membasahi kedua pipi ibunya. Tatapan Kartika kemudian beralih ke arah putri tirinya, yang masih berdiri di ambang pintu Anindya. Dia menatap mereka berdua dengan tatapan mencemooh, merendahkan! Dia tidak bisa berbuat apa-apa melihat Anindya diperlakukan seperti itu oleh, saudara tirinya tersebut. Pernah sekali dia menegurnya tapi Rini mengadu kepada ayahnya, yang kini menjadi suaminya. Rini melukai pipinya sendiri hingga pipinya lebam, gadis itu membuat hal yang tidak terjadi menjadi terjadi. Menuduhnya memukulinya, dan karena itu Roy sempat ingin menceraikannya. "Rini!" Teriak Kartika karena tidak bisa menahan perasaannya lagi. "Ada apa kok ribut-ribut?" Roy datang dengan tas kerjanya, pria paruh baya itu terlihat lesu dan lelah. "Gak apa-apa pa, Anin hanya terpeleset." Ucapnya pada ayahnya. Lalu bangkit berdiri dan menuju ke kamar mandi. Kartika ikut berdiri untuk membawakan tas suaminya ke dalam kamar. Setelah Anin menyelesaikan mandinya, dia berjalan melewati pintu kamar ibunya yang sedikit terbuka. Dia mendengar sesuatu yang tak harusnya dia dengar. Suara ibunya bersama ayah tirinya di dalam kamar, pekikan Kartika, deritan tempat tidur tersebut terdengar nyaring mengusik pendengaran anak yang telah menginjak dewasa tersebut, walaupun pelan tapi cukup membuat bulu tengkuknya meremang. Lalu dia melanjutkan langkahnya menuju meja makan. Dia tahu jika itu sedang berlangsung pasti akan makan waktu berjam-jam. Dia berusaha keras untuk menelan makanannya walaupun terasa mengganjal di tenggorokan. Lantaran suara dari dalam kamar semakin terdengar keras. Dia melihat Rini tersenyum dengan earphone pada kedua telinganya. "Dia selalu saja sempurna bertahan dalam situasi menegangkan seperti ini!" Keluh Anindya saat Rini menjulurkan lidahnya ke arahnya. Anindya mengambil gelasnya dan mulai meneguk air dari dalam gelasnya sedikit demi sedikit. Setelah menyelesaikan makanannya gadis itu bergegas mencuci perabotan di dapur. Anindya melihat pintu samping dapur yang masih terbuka, dia sengaja mengabaikannya. Pikirnya toh di luar sudah gelap, nanti saja setelah selesai mencuci baru dia kunci. Setelah selesai Anindya mengunci pintu dapur, lalu masuk ke dalam kamarnya menutup pintu dan mulai membuka buku-buku tugasnya untuk belajar. "Tok! Tok! Tok!" Terdengar ketukan jendela kamarnya dari luar. Dia segera membukanya, jika tidak tetangganya itu pasti akan terus mengetuknya hingga semua orang di dalam rumah tersebut terbangun. "Apa?" Tanya Anindya melotot ke arah Raka yang masih berdiri di luar jendela. "Gue gak bisa ngerjain tugas di rumah, Aldi berisik main PlayStation!" Keluhnya sambil nyengir lalu melompat masuk ke dalam kamar. "Apa-apaan ini! Cowok sinting ini selalu saja berulah!" Keluhnya pelan, karena takut Rini mendengar suara berisik dari dalam kamar tersebut. Anindya menatap punggung Raka yang kini sudah tengkurap di atas tempat tidurnya, pria itu mulai mengerjakan tugas tersebut dengan wajah serius. Sedang Anindya melangkah ke kursi belajarnya, dia juga mengerjakan tugas sekolahnya sendiri di meja belajarnya. Keduanya tampak sibuk menyelesaikan pekerjaannya masing-masing. Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam, Anindya masih terpekur pada soal di meja belajarnya. "Susah amat! Gimana cara nyelesain ini sih?" Keluhnya pada diri sendiri. Dia diam-diam menoleh ke arah Raka, tetangganya itu sudah menyelesaikan tugas-tugasnya. Raka tertidur, suara nafasnya terdengar teratur. "Nyontek punya dia aja!" Ujarnya sambil mengendap-endap untuk mengambil buku Raka. Anindya segera menyalin soal yang dirasanya sulit. Kemudian dia meregangkan otot-otot tubuhnya setelah selesai. "Ah akhirnya selesai juga!" Ucapnya sambil tersenyum riang. "Udah selesai nyonteknya?!" Raka tersenyum sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya, melihat wajah merah padam Anindya. Dia berdiri di belakang punggungnya. Anindya terpaku menatap wajah tetangganya itu, sekaligus teman sekelasnya. Raka dengan sangat santai mengambil bukunya dari atas meja, dimana Anindya masih meletakkan kedua tangannya di atas sampul buku Raka. Raka berhenti sejenak di depan wajah Anindya menatap kedua bola mata bulat bening di depannya. Anindya terdiam merasakan hembusan nafasnya sedekat itu. Dia ingin beranjak berdiri dari kursinya tapi itu akan menimbulkan suara berisik di tengah keheningan malam itu. "Dasar tukang nyontek! Cup! Gue benci banget sama elo!" Mendaratkan ciuman di bibir tipisnya. Raka menyeringai lebar, kemudian melompat keluar jendela kamar gadis itu, dari dalam kamarnya. Anindya masih duduk terpaku di kursi belajarnya, gadis itu masih tertegun dengan kejadian yang baru saja dialami olehnya. Raka bersiul-siul santai setelah melewati pagar samping rumah Anindya. Pria muda itu masuk ke dalam kamarnya, dia melihat Aldi sudah terlelap di atas tempat tidurnya. Dia masih menimang-nimang buku matematika di dalam genggaman tangannya. Raka sudah lama mengenal Anindya sejak di bangku TK, dia tahu gadis itu paling bodoh pada pelajaran matematika. Sedang dirinya adalah siswa jenius di segala mata pelajaran. Pemenang olimpiade matematika, dan juga mata pelajaran yang lain. "Elo masih saja bodoh!" Ujarnya sambil tersenyum sendiri mengingat wajah bengong Anindya ketika dia mencium bibirnya. Apalagi Anindya sering dihukum gara-gara tidak bisa menyelesaikan tugas-tugas matematikanya. "Dasar! Dia ngapain sih? Selalu saja aneh!" Keluh Anindya saat menutup kembali jendela kamarnya. Gadis itu kemudian merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Pandangan matanya menerawang jauh ke langit-langit kamarnya. "Kok gue ngerasa dia sengaja banget ya, masuk tiba-tiba kemari? Apa mungkin dia lakuin itu buat bantuin gue yang paling bego soal matematika?!" Ujarnya pada dirinya sendiri. Anindya ingat saat dia dihukum gara-gara tidak bisa mengerjakan tugas matematika di papan tulis. Setiap pelajaran itu dia selalu dihukum. Dan pada hari berikutnya Raka sengaja mengancungkan jari telunjuknya ke atas, saat guru killer itu memanggil nama Anindya. Tapi gara-gara itu juga Raka mendapatkan pujian dari seluruh kelas, sedang dirinya tetap diusir keluar kelas. "Ah mana mungkin dia niat bantuin gue! Kalau niat kenapa pas melihat gue di luar kelas dihukum malah bilang 'Dasar bodoh! Dasar culun! Dasar lemah! Tahu ah pusing! Itu sih bully namanya!" Keluhnya lagi. Anindya tertidur setelah beberapa lama melamun, gadis itu terlelap pulas. Keesokan harinya... Anindya sengaja menuntun sepedanya saat melalui rumah megah Raka. Dia takut pria itu mengerjainya lagi. Tapi alangkah terkejutnya dia melihat ban sepeda miliknya kempes depan belakang. "Bocor?! Kemarin baik-baik saja! Apa mungkin dia juga yang bikin ban sepedaku begini?" Keluhnya saat dia sampai di depan rumah Raka, matanya masih menatap ban kempes pada sepeda miliknya. Dia kemudian menatap mobil yang sedang menekan pedal gas di depannya, "Bruuuumm! Diin! Diin! Kenapa kempes ya? Buruan naik! Ntar dihukum lagi loh sama guru killer botak itu! Hahhahahaha!" Ejek Raka seraya melongokkan kepalanya keluar jendela mobilnya. Anindya masih terdiam, dia ragu-ragu untuk ikut Raka, bisa saja cowok itu nurunin dirinya tanpa belas kasihan di pinggir jalan! "Ini ulah elu kan? Lo sengaja bikin ban gue kempes! Braakkk!" Teriak Anindya seraya melempar sepedanya ke samping jalan. Lalu melangkah cepat mencekik leher Raka dari luar jendela mobilnya, dengan lengan kanannya. "Aaduh! Serius bukan gue! Sudah naik ayo buruan kita bakalan dihukum kalau telat!" Seru Raka seraya mencoba melepaskan genggaman tangan Anindya dari lehernya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD