Ruu mendekat pada ayahnya yang kali ini dia tumbalkan untuk bisa bertemu dengan Lamia.
Selama ini, Ruu nyaris tidak pernah menghadiri pesta pernikahan siapapun. Biasanya dia hanya akan meminta sekretarisnya untuk mengirimkan hadiah dan ucapan selamat. Apalagi, sekali lihat saja dia tahu bahwa undangan yang dikirimkan padanya semacam uji peruntungan dari pemilik hajat, entah Ruu datang atau tidak. Karena jika Ruu datang, pamor Varo akan langsung naik dan bisnisnya mulai dilirik banyak orang. Apalagi dalam kasus ini, ayahnya juga ikut serta. Dimana nyaris tidak ada yang tidak kenal dengan Parven Ansel, seorang yang berhasil menjadi kaya raya sejak muda.
"Saya enggak nyangka kalau Bapak dan Pak Ruu kenal dengan Elvaro," cetus salah seorang yang sedang berbicara dengan papanya, saat Ruu mendekat.
Ruu memperhatikan wajah kebingungan ayahnya yang kentara sekali. "Elvaro itu siapa?"
Hampir saja Ruu menyemburkan tawanya mendengar pertanyaan polos dari papanya. Sedangkan lelaki yang mengajak ayahnya mengobrol itu tampak kebingungan.
"Elvaro itu..pengantin lelakinya, Pak," katanya sambil menunjuk ke arah pengantin yang ada di depan.
Yang lucu adalah karena Varo langsung memasang senyum jumawa melihat Parven dan dua bapak-bapak yang menoleh ke arahnya.
Parven mengangguk. "Sejujurnya, saya enggak kenal sama pengantinnya. Saya datang kesini karena tadinya diajakin anak saya ini buat makan siang."
Ruu mengulum senyum, dia mengangguk sopan pada kedua lelaki yang berhadapan dengan ayahnya. "Saja juga datang karena kenal dengan seseorang yang jadi tamu di acara ini. Makanya saya menerima undangannya." Dengan ini, Ruu menarik batas agar Varo tidak mengambil keuntungan dari kehadirannya. Satu-satunya keuntungan yang bisa diambil oleh Varo adalah uang yang Ruu masukkan ke dalam kotak brankas besar yang ada di bagian depan.
Mungkin jika hubungan Lamia dan kakaknya, juga dengan lelaki yang kini jadi kakak iparnya memang baik, Ruu akan dengan hati membiarkan dirinya dimanfaatkan. Sayangnya, di butik hari itu, Ruu justru melihat yang sebaliknya.
"Loh? Saya kira Varo punya hubungan kerja dengan Pacific Era. Ternyata bukan ya?"
Kali ini Ruu meminta agar papanya tidak menjawab, sebagai gantinya dia kemudian menarik atensi papanya dari sana.
"Pa, Papa sudah makan?" tanya Ruu.
Yang langsung dijawab dengan tatapan 'yang benar saja!' versi papanya. "Kita kan baru sampai tadi, mana sempat Papa makan kalau dari tadi dihadang sama orang-orang terus."
Ruu tersenyum penuh rasa bersalah. "Mau tetap makan disini? Kalau iya, Kale temenin sampai Papa selesai makan. Tapi habis itu nanti Papa pulang bareng Fandi ya! Aku masih ada urusan, soalnya."
Parven menghela napas pelan, "Papa enggak bisa nelen makanan dengan baik kalau terus diikutin sama orang-orang, jadi mending Papa cari rumah makan dekat sini aja deh."
Karena keputusan papanya adalah langsung pergi dari sana, maka Ruu tidak memiliki kesempatan untuk memanggil Sekretaris pribadinya. Maka dari itu dia memutuskan untuk lebih dulu mengantar papanya mencari rumah makan yang tidak jauh dari gedung ini, sambil dirinya mengirimkan pesan pada Lamia agar wanita itu menunggunya hingga Ruu kembali ke sini.
Ada banyak hal yang ingin Ruu bicarakan, terutama tentang dirinya yang merindukan wanita itu. Lamia tampak sangat cantik mengenakan kebaya berwana maroon. Riasan yang dipakainya tidak terlalu mencolok tetapi rambut pendeknya itu sangat menarik perhatian Ruu.
Sejujurnya, Ruu merasa khawatir. Karena di acara ini, banyak sekali pengusaha muda yang datang sebagai tamu. Dengan kecantikan Lamia yang seperti itu, Ruu yakin tidak hanya satu dua orang lelaki yang diam-diam mencuri pandang ke arah Lamia. Hanya wanita itu sendiri saja yang tidak akan pernah menyadarinya.
Dan semuanya terbukti saat Ruu baru saja kembali setelah mengantarkan papanya. Ketika dia kembali masuk ke dalam gedung setelah mengatakan bahwa dia kenalan Lamia pada orang yang berjaga di depan, dia malah melihat wanita cantik itu sedang berbicara dengan dua orang lelaki berpenampilan rapi. Kedua lelaki itu tampak sangat riang, sedangkan Lamia memasang wajah datarnya seperti biasa.
Walaupun begitu, hati pria mana yang akan tenang melihat wanita incarannya diincar oleh lelaki lain?
"Lamia.." Dengan kurang ajarnya, Ruu menanggalkan panggilan 'mbak' yang selalu dia pakai untuk memanggil Lamia.
Lamia dan kedua orang itu menoleh padanya.
"Kamu udah balik lagi," kata Lamia. Dengan gerakan natural, Lamia mundur dan kini sejajar dengan Ruu. Lalu tatapannya beralih pada dua orang yang ada di hadapannya. "Kalau memang mau cari baju untuk acara, bisa langsung datang ke butik ya! Kalau begitu, saya permisi dulu!"
Ruu mengernyit mendengar ucapan dari Lamia. Sudah jelas bahwa kedua pria itu hanya akal-akalannya saja berbicara tentang pakaian, tujuan utamanya adalah untuk melakukan pendekatan dengan Lamia. Dan seperti yang sudah Ruu duga, seperti yang biasa terjadi bahwa Lamia tidak akan sadar.
"Papa kamu kemana? Pulang?" tanya Lamia ketika mereka resmi meninggalkan gedung pernikahan Venus.
Tangan Ruu lebih dulu membukakan pintu untuk Lamia masuk ke dalam mobilnya. "Papa makan di La'Miere yang ada di ujung blok."
Padahal Lamia sudah akan masuk ke dalam mobil, tapi wanita itu berhenti dan menengok ke arah Ruu dengan tatapan yang sulit Ruu artikan.
"Papa kamu makan siang di sana?"
Ruu mengangguk sebagai jawaban. Dan kemudian Lamia menghela napas berat sebelum kemudian masuk dan duduk dengan tenang.
Kini giliran Ruu yang harus berputar untuk sampai ke tempat duduknya sendiri.
"Memangnya kenapa, Mbak? La'Miere pakai pesugihan?" tanya Ruu tidak paham. Karena ekspresi yang ditunjukkan oleh Lamia tadi seolah tidak seharusnya Parven, papanya, makan siang di sana.
Lamia melirik padanya, "Enggak pakai pesugihan juga udah sugih pemilik La'Miere itu."
Ruu tertawa. Dia paham maksud perkataan Lamia. Kini dia mulai menjalankan mobilnya meninggalkan halaman gedung.
"Mbak udah makan ya tadi di sana?" tanyanya. Dia kebingungan ingin mengajak Lamia kemana.
"Cuma malan dessert. Enggak ketelen makanan di sana, karena aku dituding kapan nikah mulu."
Kini giliran Ruu yang melirik ke arah Lamia. Wanita itu sedang menyandarkan kepalanya ke tepi jendela, dengan tatapan nyaris kosong ke arah jalanan.
"Mbak maunya kapan? Besok?"
"Hah? Apanya?"
"Nikahnya. Saya siap kapan aja."
Sontak Lamia langsung berdecak. Bahkan wanita itu memiliki waktu untuk memukul lengan Ruu cukup keras.
"Ini kamu kenapa sih? Kenapa malah kamu yang ngebet nikah?" tanya Lamia tidak paham.
Sedangkan Ruu hanya mengangkat bahunya acuh. "Bukan ngebet," sangkalnya. "Tapi kalau sama Mbak, saya beneran siap kapan aja."
Lamia kembali mengalihkan pandangan. "Kamu terlalu anggap enteng soal itu. Padahal kamu juga belum kenal betul aku gimana. Menururku, kamu belum bisa lepasin perasaan kamu ke aku karena kamu enggak bergaul sama perempuan lain. Kamu harus nyoba buka diri biar kamu bisa ketemu sama yang lain, Ruu. Di dunia ini, atau bahkan di sirkel kamu, banyak yang jauh lebih baik dari aku."
"Mbak, saya lebih suka ditolak tegas kayak dulu karena Mbak enggak suka sama saya, bukan dengan cara yang seperti ini. Saya enggak melepaskan perasaan saya ke Mbak karena keinginan saya sendiri. Saya ini pebisnis, Mbak. Sekalipun saya enggak mau, saya harus bertemu dengan banyak orang. Bahkan bukan sekali dua kali saya tiba-tiba dijodohkan dengan anak pengusaha lainnya. Jadi, perasaan saya ke Mbak yang masih bertahan sampai sekarang, itu bukan karena saya kurang bergaul. Tapi karena saya memang udah menentukan perempuan mana yang nantinya mau saya nikahi."
Ada jeda yang cukup lama dan canggung di dalam mobil, hingga kemudian suara pelan Lamia terdengar di telinga Ruu.
"Kalau aku tetap nolak sampai akhir, gimana?"
Ruu tidak langsung menjawab. Saat ini bukan dirinya tidak memiliki jawaban, karena jawaban itu bahkan sudah pernah dia nyatakan di depan Paris, sepupunya. Hanya saja dia merasa harus berhati-hati, karena tidak ingin kalau sampai dianggap tidak serius oleh Lamia.
"Saya akan berusaha semaksimal yang saya bisa, tanpa memaksakan kehendak saya ke Mbak. Tapi kalau sampai akhir Mbak tetap enggak suka sama saya, kayaknya..saya akan kesulitan menikah."
Lamia mengesah berat. "Ruu, ini yang jadi masalahnya! Kamu terlalu tinggi menilai aku. Sedangkan aku ini banyak kurangnya. Daripada takut menikah sama kamu, yang aku pikirin justru sebaliknya. Aku takut kalau nantinya perasaan kamu jadi hambar setelah kamu dapetin aku. Aku takut kamu menyesal."
Ruu menoleh, walau hanya untuk beberapa detik saja. "Jadi, buat Mbak, perasaan saya ini lebih keliatan kayak perasaan penasaran ya? Yang langsung hambar begitu saya berhasil dapetin Mbak?"
Entah bagaimana cara meyakinkan Lamia, karena Ruu sendiri kehabisan akal. Lamia tidak bisa diyakinkan hanya dengan ucapan, tapi perbuatan juga akan terlalu membebaninya.
"Mbak, kalau memang Mbak belum percaya sama saya walaupun saya sudah bertahun-tahun suka sama Mbak, maka ini giliran Mbak buat buka mata dan hati Mbak dan perhatikan baik-baik, apa tindakan dan ucapan saya ini tulus atau enggak. Karena saya rasa, penilaian Mbak ke saya jadi sesempit ini karena Mbak belum buka hati Mbak buat saya. Seiring berjalannya waktu, dimana Mbak mulai punya rasa sama saya, penilaian Mbak ke saya pasti akan berubah. Maka dari itu, ayo kita jalanin sama-sama! Rulesnya adalah, jangan pernah dorong saya menjauh, jangan menghindar, dan terima semua yang akan saya lakuin buat buktiin perasaan saya ke Mbak. Saya janji kalau saya akan menyesuaikan dengan apa yang masih bisa ditoleransi sama Mbak."
Ketika mobil Ruu sudah akan berbelok, jawaban yang dia nantikan terdengar dari wanita yang ada di sampingnya.
"Oke. Ayo kita coba jalanin! Jangan buru-buru kasih nama ke hubungan kita, karena aku masih butuh waktu buat yakinin diri aku dan kenal kamu lebih dekat. Bukan sebagai adik tingkat aku, tapi sebagai lelaki yang berniat serius sama aku."
Senyum sumringah Ruu langsung terbit begitu mendengar apa yang dikatakan oleh Lamia. Dia lalu menambahkan rules dalam hubungan tanpa nama mereka ini, "Dan selama kita pendekatan, jangan biarin lelaki lain deketin Mbak. Deal?"
**