15. Pendekatan

1539 Words
Lamia tahu ada yang salah. Benar. Yang salah ada otaknya sendiri. Padahal dia yang sengaja menarik batas agar Ruu tidak mendekatinya, karena alasan bahwa mereka berada di dunia yang berbeda. Dunia tempat Ruu tinggal dan beraktivitas setiap hari adalah dunia yang ditinggali oleh orang-orang dengan rekening menggembung karena menyimpan banyak uang. Sedangkan Lamia hanya seorang gadis biasa yang tidak ingin hidup di bawah pemberian orang tuanya. Dia hanyalah gadis yang berharap dapat menghasilkan uang dari pekerjaan yang juga merupakan hobinya. Dirinya hanya takut kalau sampai tidak bisa beradaptasi dengan baik di dalam lingkungan Ruu. Dia takut malah harus mempermalukan lelaki itu. "Mbak, enggak mau pilih tempat makan sendiri?" Lelaki yang sejak tadi terlihat senang itu, mulai celingukan mencari tempat untuk mereka makan. Semula, sudah ada tempat yang ingin mereka tuju, tapi Lamia sedang tidak ingin berada di tempat yang mewah atau dengan makanan yang berharga mahal. Dia lebih ingin berada di tempat yang biasa saja. "Kalau foodcourt mall, kamu keberatan enggak?" tanya Lamia. Tiba-tiba saja dia ingin makan sesuatu yang manis. Mungkin dia bisa menemukan waffle atau crepes di antara makanan yang ada di mall. "Boleh," jawab Ruu cepat, tanpa keberatan sama sekali. Tanpa pertimbangan, lelaki itu langsung menuju ke arah mall yang jaraknya tidak jauh dari mereka. Lamia memperhatikan itu. Jika diingat lagi, sepertinya sejak dulu Ruu tidak pernah menolak apapun yang menjadi keinginan Lamia. "Ruu--" "Kale, Mbak." Kening Lamia berkerut. Dia terperangah menangkap ekspresi malu-malu yang ditunjukkan oleh lelaki yang ada di sampingnya. "Sebenernya dari dulu, saya mau minta Mbak panggil saya Kale. Tapi karena waktu itu kita belum terlalu dekat dan ditambah Mbak nolak saya, makanya sampai akhirnya kita lost contact, itu cuma jadi keinginan terpendam saya aja. Tapi sekarang, karena kita mutusin buat mulai lebih dekat, hal pertama yang saya mau adalah Mbak panggil saya dengan nama kecil saya." Lamia mendengus pelan. "Hal pertama, apanya? Dari tadi kamu udah banyak minta, tahu!" Ruu tertawa. "Jadi, apa yang ini bisa di-approve, Mbak?" Menghela napas pelan, Lamia kemudian mengangguk. "Okay, Kal!" Rasanya lucu melihat wajah Ruu yang langsung berbinar senang. "Ada yang mau aku tegasin sekarang," lanjutnya sambil menatap ke arah jalanan. Mereka sudah hampir sampai di tujuan. Ruu atau sekarang dipanggil Kale oleh Lamia yang memutuskan untuk membiarkan lelaki itu mendekat, mengangguk pelan, menunggu sampai Lamia mengutarakan apa yang ingin wanita itu tegaskan. "Kalau kamu berharap hubungan kita nantinya berkembang dan mulai punya nama, kamu harus jadi diri kamu sendidi." Ekspresi tidak paham yang ditunjukkan oleh Kale, membuat Lamia akhirnya memiringkan tubuhnya agar bisa menghadap Ruu. "Selama ini, yang kamu lakuin selalu mengiyakan semua yang aku minta. Entah itu pilihan tempat makan atau yang lainnya. Aku mau, ke depannya kalau dari pilihanku ada yang kamu enggak suka, kamu harus bilang. Kamu bisa mengungkapkan argumen kamu, pendapat kamu dan apa yang kamu suka. Karena apapun jenis hubungannya, akan kita jalanin berdua. Aku enggak mau cuma kamu yang selalu ngasih ini itu ke aku. Seenggaknya, aku juga pengen lebih kenal kamu." Apakah lelaki itu kini paham? Karena wajahnya masih tidak berubah ekpresi dan malah menaikan kedua alisnya. "Tapi semua yang Mbak suka adalah apa yang saya suka." Begitu mendengar jawaban dari Ruu, Lamia langsung melengos. "Terserah," katanya. Dia bahkan tidak bisa membayangkan sebanyak apa lelaki itu menyukai dirinya. Dirinya yang bahkan tidak berpengalaman dalam percintaan, bisa melihat dengan jelas bahwa mata Ruu selalu bersinar setiap kali menatap ke arahnya. Semua orang akan tahu, seisi dunia akan tahu bahwa lelaki ini menganggapnya spesial. "Mbak, saya serius! Saya enggak memaksakan diri. Semua yang Mbak suka, udah lama jadi kesukaan saya juga. Jadi Mbak enggak perlu khawatir, karena saya bener-bener senang bisa menyukai apa yang Mbak suka." Lamia masih tidak menatap ke arah Ruu. Ruu Ansel Kale, seorang pria yang selalu menatap datar lawan bicaranya, justru bersemu setiap kali berbicara dengan Lamia. Bodoh, jika Lamia mengabaikan lelaki yang tulus menyukainya dengan begitu besar. Karena di dunia ini, sulit menemukan seseorang yang bisa menganggap diri kita berharga. "Ayo turun!" Mata Lamia membulat, dia tidak sadar bahwa Ruu bahkan sudah turun dari mobil dan kini tengah berdiri di sisinya, membukakan pintu mobil untuk Lamia. Sejak kapan mereka sampai di parkiran basemen? "Apa saya boleh gandeng tangan Mbak?" Lamia menyipit menatap Ruu. "Kamu beneran banyak minta ya! Kita kan baru pendekatan, kalau udah berani pegang tangan, apa bedanya sama orang pacaran?" "Kalau begitu, kenapa enggak langsung pacaran aja, Mbak?" Mendengar ucapan Ruu, Lamia berjalan lebih dulu meninggalkan lelaki itu. Ruu tidak paham, bahwa Lamia ingin lebih dulu mengembangkan perasaannya. Jika terburu-buru, Lamia justru takut tanpa sengaja menyakiti Ruu dengan tingkahnya yang cenderung menganggap remeh hubungan mereka. Perasaannya belum sebesar yang Ruu miliki. "Kalau kamu keberatan buat pendekatan dulu, lebih baik enggak sama sekali," kata Lamia pelan. Dia tidak marah, tapi Ruu tampaknya salah paham. Lelaki itu berubah panik dan langsung menggeleng berulang kali. "Enggak, Mbak! Saya mau! Jangan ngomong begitu ya? Saya enggak akan minta yang lain-lain lagi." Lihat, kan? Perbedaan perasaan juga membuat sesuatu yang sepele terasa besar bagi pihak lain. Itulah kenapa Lamia tidak ingin memberi nama pada hubungan mereka dulu, sebelum perasaannya jadi sama besar seperti Ruu. "Iya, sekarang kita fokus makan dulu ya!" pinta Lamia. * "Kal, kamu enggak masalah karena kita makan di baris luar?" Ruu menunduk, berusaha menyembunyikan wajah senangnya karena mendengar panggilan baru dari wanita yang dia sukai. "Enggak masalah, Mbak. Lagian di dalam terlalu sumpek, saya lebih suka disini." Mendengar jawaban darinya, mata cantik wanita itu langsung menahan penuh selidik. Ruu tertawa kecil, "Saya serius. Saya beneran lebih suka disini kok, bukan cuma karena Mbak yang ngajak." Lamia akhirnya mengangguk. Mereka kemudian menerima pesanan mereka datang dan mulai menyantap dua mangkuk berisi soto betawi. "Kamu enggak mau pesan nasi?" Ruu mendongak, "Ini porsinya cukup banyak, jadi enggak usah, Mbak." Sepanjang makan, mata Ruu malah lebih fokus memperhatikan gerak tangan Lamia yang mulai dari mengaduk, lalu menyendok daging berserta sayuran yang ada. Tidak ada yahh berubah. Lamia selalu tampil menarik apapun yang dilakukan olehnya. "Mbak, habis ini mau ke--" "Ruu? Oh my! Aku enggak tahu kalau kamu udah balik kesini!" Kening Ruu langsung berkerut dalam melihat kehadiran Amora yang menjunjung tas kertas beberapa buah. Di sebelahnya ada dua perempuan yang melakukan hal yang sama, walaupun tas kertasnya tidak sebanyak milik Amora. "Hm," balas Ruu singkat. Dia tidak tertarik. Dia lebih tertarik mengangsurkan daging dari mangkuknya ke mangkuk Lamia. Sedangkan Lamia tampak bingung kareja Ruu dengan sengaja mengabaikan wanita yang datang menyapanya dengan akrab. "Kale, ini--" "Hah? Apa? Kamu manggil dia siapa?!" Amora berseru, tampak tidak suka dengan apa yang baru saja dirinya dengar. Dan Ruu mulai terganggu dengan interupsi di saat dirinya dan Lamia sedang makan. "Lowder ur voice! Kamu mengganggu." Wajah Amora pias mendengar suara dingin Ruu. Sedangkan Lamia terdiam, memperhatikan apa yang terjadi di antara Ruu dan wanita yang tiba-tiba datang itu. "Apa ada alasan saya enggak boleh manggil dia begitu?" tanya Lamia kemudian. Tatapannya ia arahkan sepenuhnya pada Wanita itu. Tapi jawaban justru datang dari Ruu, "Kamu bebas manggil aku apapun. Apapun." Bahkan Ruu sengaja menanggalkan kata 'Mbak' dan sapaan 'saya' seperti biasanya. Dia ingin menegaskan bahwa Lamia bukan hanya teman biasa. Dia ingin membuat Amora tahu bahwa wanita yang pernah Ruu sebut di depan wanita itu dan para orang tua waktu itu, adalah Lamia. Amora mendengus keras. "Aku pikir, akan sehebat apa perempuan yang kamu pilih itu, Ruu. Ternyata.." Tatapannya menilai Lamia dengan terang-terangan. Ruu tidak terima. Di matanya, Lamia bahkan jauh lebih cantik dari Amora yang memakai full make up. Hanya saja, suaranya kalah cepat dengan Lamia yang berdecak keras. Wanita itu tampak kesal. "Ternyata apa? Kamu ngerasa lebih hebat dari saya? Merasa lebih cantik dari saya? Saya pikir tadinya, mantan Putri Kampus pasti enggak hajua cantik tapi attitudenya juga oke. Ternyata..." Kini giliran Lamia yang menilai. Dia berdecak kecil berulang kali sambil menggelengkan kepalanya. "Antara jurinya waktu itu enggak pandai menilai atau juga karena kamu terlalu banyak pencitraan. Nyatanya, nol besar." "Apa?! Jadi kamu juga satu kampus sama kami?! Walaupun begitu, kamu berani ngomong begitu ke aku?!" Kedua temannya yang mulai menyadari bahwa Amora menarik begitu banyak perhatian dalam arti negatif, mulai membujuk wanita itu untuk berhenti. Tapi kekesalan dan amarah Amora nampaknya tidak bisa surut semudah itu. "Iya, saya di kampus dan jurusan yang sama dengan kalian. Satu tahun di atas kalian," ujar Lamia santai. Tangannya mulai menyendok kembali soto yang tidak sepanas tadi. "Amora, cukup! Kamu datang dan bikin enggak nyaman orang lain yang sedang makan. Apalagi kamu dengan lancangnya menilai wanita yang sedang bersama sama. Betapa kurang ajarnya itu!" Tidak ada suara tinggi, tapi penuh dengan penekanan. Ruu tidak senang ada orang lain yang meremehkan Lamia. "Daripada kamu lebih menarik perhatian lagi, lebih baik kamu pergi sekarang. Ingat, saya bukan orang yang akan membiarkan begitu saja orang-orang yang membuat saya enggak senang. Dan sekarang, kamu bahkan melakukan lebih dari itu." Napas Amora naik turun menahan amarah, wanita itu berulang kali menghujamkan tatapannya ke arah Lamia, walaupun Lamia sama sekali tidak perduli. "Ruu, harusnya kamu tahu kualitas diri kamu sendiri. Kamu mengecewakan!" Setelah Amora pergi, Ruu buru-buru meminta maaf pada Lamia karena sudah membuat wanita itu mengalami kejadian yang kurang mengenakan. Tapi jawaban Lamia kemudian membuatnya malu bukan kepalang, "Ya aku udah enggak kaget. Kamu kan ganteng dan populer, jadi yang tadi itu udah bukan hal yang mengejutkan." **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD